xxxxweishin

Your eyes stole all my words away

Ares mendengus kecil, bibir tebalnya terlihat mengucap gerutuan yang tiada henti, gerutuan-gerutuan tersebut ia tujukan pada temannya yang baru saja mengirimi pesan dengan banyak sekali buble chat lengkap dengan voice note penuh nada memohon.

“Please, Res. Nggak jauh kok dari kampus kita dulu, cari aja sekitar situ gue tahu ada tokonya sekalian lo lewat. Gue beneran gak keburu kalau beli sendiri ini baru mau masuk tol belum lagi kalau macet.”

Seharusnya Ares bersikap bodoamat saja karena itu artinya ia harus rela putar balik saat kampus mereka sudah terlewati sekitar sepuluh menit lalu, kalau saja pesan masuk tersebut ia dapatkan saat belum berangkat dari apartemennya, pasti Ares juga tidak akan terlalu ribut.

“Jangan sampai temen lo ini jadi bujang lapuk diputusin gara-gara gak bawa bunga buat anniversary, bantuin gue ya, Ares.”

“Yang pacaran siapa, yang riweuh siapa. Bukan sekali dua kali nih gue mulu yang kena gara-gara tuh anak.”

Namun, yang bernama Samudra itu adalah sahabatnya sejak di bangku kuliah, teman yang baik buruknya sudah saling tahu, teman yang lebih sering ribut daripada akur tapi toh bisa betah hingga sekarang usia pertemanan mereka berada di tahun ke tujuh.

Dan tidak bisa dipungkiri juga oleh Ares bahwasanya ia sangat mengetahui bagaimana usaha-usaha Samudra saat kuliah dulu untuk mendapatkan pacarnya sekarang, Anindita si adik tingkat mereka yang dulu ditaksir Samudra sejak anak itu menjadi mahasiswa baru. Mengingat hal tersebut membuat Ares paham bagaimana sahabatnya itu begitu mencintai kekasihnya hingga hubungan mereka sudah berjalan tapat empat tahun.

“Tapi urusan ginian malah nyuruh gue, kalau Anin tahu pasti abis itu si Sam beli bunga sendiri aja gak bisa.”

Ares kembali berbicara, ia juga jelas mengenal baik Anindita sejak di bangku kuliah karena status pertemanannya dengan Samudra serta aksi pdkt-pdkt yang harus melibatkan dirinya hingga temannya itu akhirnya bisa berpacaran saat mereka berada di tingkat akhir.

Hujan turun lagi di langit Kota Bandung, suara guntur serta kilat sesekali terlihat terang menyambar-nyambar di udara. Sudah hampir dua minggu memasuki bulan November, intensitas hujan di kota ini semakin padat saja bahkan dalam satu hari cuaca bisa selang seling begitu drastis. Tadi saat berangkat, Ares hanya bisa melihat tetes-tetes kecil saja yang berjatuhan dan sekarang sudah jauh lebih lebat.

Mobil berwarna hitam milik Ares itu baru saja putar balik, membelah jalan yang terdapat banyak genangan air cukup tinggi membuat gelombang kecil ketika dilewati oleh mobilnya, dimana-mana banjir, keluhnya tanpa bisa ditahan.

Jam di pergelangan tangannya menjukkan pukul dua siang, hari ini adalah weekend, namun karena cuaca yang mendukung untuk tetap di rumah membuat jalanan tidak terlalu ramai, pasti kebanyakan orang memilih tidur siang sambil bergelung di bawah hangatnya selimut.

Tujuan Ares keluar di hari libur yang seharusnya ia habiskan untuk malas-malasan adalah memenuhi ajakan dari salah satu temannya saat kuliah dulu juga tentu saja teman Samudra, namanya Azka pemuda asal Malang yang kekeh mengajak mereka bertemu karena dia sedang berada di Bandung untuk suatu pekerjaan.

“Kapan lagi gue ke Bandung cok! Awas aja kalau gak bisa gue datengin lo berdua satu-satu.”

Begitu isi pesannya sejak kemarin, Azka adalah teman dekatnya selain Samudra. Mereka dulu satu kelas dan juga sama-sama satu tempat kost. Namun, karena pemuda itu kembali ke kotanya setelah kelulusan mereka tiga tahun lalu membuat ketiganya jarang bertemu.

Ares sendiri masih sering bulak-balik ke Jakarta minimal sebulan sekali untuk pulang ke rumah orang tuanya, pekerjaannya di Bandung membuatnya harus menetap di Kota Kembang ini meskipun studynya telah selesai.

Sedangkan Samudra adalah warga asli Bandung yang memang rumahnya cukup jauh dari kampus hingga membuatnya memilih tetap kost saat itu, yang ada gue gede di jalan kalau pulang pergi rumah ke kampus tiap hari, katanya.

Pandangan Ares yang terbatas karena hujan di luar masih belum juga berhenti namun untungnya tidak sederas tadi membuatnya harus fokus lebih ekstra ketika semakin mendekati daerah kampus untuk mencari toko bunga seperti permintaan sahabatnya itu.

Sebetulnya ia tidak literally sekalian lewat juga kalau ke arah sini seperti apa kata Samudra karena jelas-jelas arah apartemennya dengan kampus berbeda jalan walaupun tidak terlalu jauh itungannya.

Di beberapa titik banyak yang tidak familiar baginya, meskipun tempat tinggalnya sekarang masih di Bandung, tapi Ares jarang sekali lewat ke sini lagi. Perubahan selama tiga tahun cukup membuatnya mengerutkan kening sambil berpikir, dulu perasaan enggak gini deh.

Satu toko tidak terlalu besar tepat di samping kedai makanan berhasil Ares temukan, dari tulisan di kacanya sih Ares yakin itu toko bunga yang dimaksud oleh Samudra karena dari luar pun terlihat banyak bunga di balik kaca berwarna bening tersebut. Apalagi warna tokonya yang didominasi pastel tampak cantik juga manis tipikal kesukaan banyak perempuan yang pasti ingin mampir untuk masuk.

Sepatu putih bersih milik Ares itu harus menginjak tanah yang sedikit becek begitu ia turun dari mobil membuatnya merengut dan refleks mengucap sial, juga tidak ada payung di dalam mobilnya sehingga Ares harus rela kebasahan saat berjalan cepat memutari mobil menuju ke depan toko.

“The Daisy Den.”

Begitu tulisannya dari dekat yang bisa ia baca. Dari luar Ares bisa melihat papan di balik kaca yang menunjukan tanda open sehingga membuatnya bernapas lega, awas saja kalau ia sudah jauh-jauh kesini ternyata tokonya tutup, bakal ia pites tuh si Sam kalau nanti bertemu.

Pemuda yang baru genap berusia dua lima pada bulan lalu itu terlihat mengibas rambut serta kemeja lengan pendeknya yang sedikit basah, ia juga menggosokkan sepatunya pada keset tepat di depan pintu kaca yang ditutup sebelum tangannya memegang handle pintu dan mendorongnya untuk melangkah masuk.

Ini adalah pertama kalinya Ares memasuki toko bunga, sudah jelas harum sekali karena banyaknya bermacam bunga yang bisa ia lihat di sini. Tetapi, harumnya tidak terlalu mengganggu karena masih sopan untuk masuk ke hidungnya, suasana di dalam tampak cantik sesuai dengan kesan pertama yang Ares berikan untuk toko bunga ini.

Ngomong-ngomon, Ares sedikit celingukan saat tidak ada satu orang pun di sini. Ia melangkah semakin jauh masuk ke dalam hingga sampai di balik meja penuh bunga berserakan. Di belakang sana ada gorden berwarna krem seperti mengarah ke ruangan lain, mungkin yang menjaganya ada di sana.

Maka, Ares memanggil dengan sedikit keras agar terdengar ke dalam karena suara hujan sedikit membuat bising, namun nihil tidak ada yang menjawab sama sekali membuat keningnya berkerut bingung.

Ini tulisannya buka tapi gak ada orangnya, gimana sih.

Tidak mau dijadikan sasaran kalau ada apa-apa karena ia sendirian di toko orang lain—walaupun ada cctv. Ares memilih keluar lagi untuk menunggu di depan dan begitu ia membuka pintu, seorang pemuda terlihat berlarian ke arahnya tanpa menggunakan payung.

Kedua tangannya berusaha melindungi kepala dari hujan yang masih turun di langit Kota Bandung. Bisa Ares lihat dengan jelas bagian pundaknya sedikit basah dan menimbulkan warna berbeda dari sweater hijau sage yang sedang dikenakannya. Rambutnya dikibas cepat menggunakan tangan hingga tampak sedikit acak-acakan jatuh di dahinya begitu dia sampai di depan toko.

Ares bisa merasakan harumnya bunga entah dari yang mana terasa semakin menggelitik di hidungnya, menguarkan wangi yang menenangkan saat pemuda di depannya mendongak sehingga kedua iris coklat gelap yang terlihat hangat bersitatap dengan miliknya yang berwarna hitam legam.

Senyumnya tampak sungkan, menyapa dengan begitu lembut serta raut wajahnya sangat ramah menjamu kedua mata Ares yang terpaku menatapnya.

“Halo, Kak. Mau beli bunga ya? Maaf ya tadi saya keluar dulu nganterin pesanan jadi nggak ada yang jagain tokonya.”

Ares ingat, dulu ia pernah berkata konyol bahkan mengejek Samudra ketika pemuda itu bercerita kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Anindita saat mahasiswa baru itu sedang duduk di perpustakaan dan sibuk membaca buku dengan raut wajah serius.

Menurutnya yang seperti itu hanya ada dalam cerita fantasi karangan yang terkesan mengada-ngada karena mana mungkin jatuh cinta bisa semudah dan sesimple itu.

Bukan berarti selama dua puluh lima tahun ia hidup belum pernah merasakan cinta. Ares tentu pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan walau hanya bertahan kurang dari satu tahun itu pun sudah lumayan lama berlalu saat ia masih bersatus mahasiswa di kampus yang berada tepat di dekat tempatnya sekarang.

Setelah kelulusannya hingga sekarang, rutinitasnya hanya berputar antara bekerja dan pulang, sesekali mungkin nongkrong dengan temannya tanpa adanya agenda cinta-cintaan, ia seperti sudah kenyang dengan kisah cinta kedua sahabatnya yang kerap kali bercerita dan meminta solusinya walaupun agak salah sasaran, minta solusi kok sama Ares yang gak punya pacar.

“Kak?”

Ares mengerjapkan matanya, kesadarannya kembali diambil alih saat tangan lentik pemuda itu melambai di depan wajahnya, “Kok malah ngelamun? Jadi beli bunga?” tanyanya lagi memastikan karena Ares masih berdiri di depan pintu dan menghalangi jalan.

“Oh.. iya, jadi.” jawabnya pelan.

Kalau Samudra dan Azka tahu pasti ia sudah menjadi bulan-bulanan mereka. Seorang Ares bisa-bisanya kikuk di depan orang yang bahkan baru ia temui belum ada sepuluh menit.

Pikirannya mendadak kosong untuk beberapa saat. Ada sensasi aneh yang ia rasakan ketika pandangan mereka bertemu untuk pertama kali, yang begini disebut jatuh cinta pada pandangan pertama nggak sih? Ares masih enggan untuk berkata iya namun debar di jantungnya yang meningkat tanpa aba-aba karena pemuda di depannya tidak bisa ia jelaskan mengapa.

Menarik, batinnya.

“Oke.. mari silahkan masuk lagi.” Ares hanya mengekor saat si florist membuka pintunya dan berjalan lebih dulu menuju ke balik meja yang tadi Ares lihat.

Jujur saya, ini di luar ekspektasi seorang Rajendra Ares Baskara saat yang akan merangkai bunga di toko bunga semanis ini adalah seorang laki-laki, tidak bermaksud apa-apa hanya saja ia kira penjualnya perempuan karena kebanyakan begitu, mungkin?

“Jadi, gimana kak? Mau bunga yang seperti apa?” Ares menatap pemuda yang jelas berada di bawah umurnya itu sambil tersenyum bingung, yang gimana ya? ia juga tidak tahu.

“Bebas deh, buat anniversary bagusnya gimana terserah kakak nya saja, saya ngikut. Yang paling bagus sama paling cantik.”

Ares hanya mengulang permintaan Samudra di chat, wajib bagus sama cantik, mahal gapapa buat Anin gue jabanin, begitu katanya.

Pemuda tersebut terlihat kembali tersenyum saat mendengar ucapan Ares, “Pacar kakak sukanya bunga apa? biar saya jadikan referensi.” tanyanya kemudian membuat Ares menggeleng dengan cepat.

“Bukan buat saya, cuma titipan teman.” Ares berkata sambil terkekeh kecil, ia juga tidak tahu Anindita suka bunga apa dan Samudra tidak memberi request apa pun yang lebih spesifik.

Satu tangannya menyentuh kening yang tidak gatal sama sekali, “Tolong dibikinin buket yang spesial saja ya. Saya yakin kakak nya pasti lebih paham.” katanya membuat pemuda yang kini sudah memakai appron berwarna coklat itu mengangguk kecil dan kembali mengulas senyum.

“Buat anniversary ya...” gumamnya sedikit berpikir sambil menerawang, dia kembali menatap Ares yang masih berdiri di depan mejanya, “Oke, saya buatkan dulu ya. Itu ada kursi sambil nunggu bisa duduk dulu atau mau diambil nanti, kak?” tanyanya dengan ramah.

“Ditunggu saja.”

Ares berjalan ke arah meja berbentuk persegi cukup besar yang terdapat beberapa kursi, sepertinya memang digunakan untuk workshop merangkai bunga karena ia sempat melihat foto-foto polaroid yang ditempel di dinding.

Dari tempatnya duduk sekarang, Ares bisa melihat dengan jalas bagaimana pemuda tersebut sudah sibuk memilih dari banyaknya vas berukuran besar serta penuh dengan bermacam-macam bunga warna-warni entah apa saja ia tidak tahu dan juga tidak paham, mungkin yang Ares tahu namanya di sana hanyalah bunga mawar.

Sesekali, kening pemuda itu akan sibuk mengeryit ketika wajahnya tampak berpikir, kemudian dia akan tersenyum puas saat melihat kombinasi yang sesuai keinginannya, semua ekspresi itu terekam jelas oleh ingatan Ares yang masih anteng menopang dagu di atas meja untuk memperhatikan.

Hujan di luar sepertinya sudah mulai mereda, suasana sejuk dari pendingin ruangan ditambah cuaca Bandung membuat semuanya semakin menusuk.

Ares sudah terbiasa dengan dinginnya Bandung di musim hujan seperti sekarang karena ia sudah tujuh tahun menetap di sini, dulu sewaktu mahasiswa baru ia sampai tidak tahan untuk mandi di pagi hari dan bibirnya bahkan pecah-pecah hingga berdarah karena perubahan cuaca dari Jakarta ke Bandung cukup signifikan bagi tubuhnya.

Suara dari pintu yang dibuka di belakangnya membuat Ares juga si florist menoleh dengan cepat. Sekilas, Ares bisa melihat senyum pemuda tersebut melebar hingga lesung pipinya yang tadi samar tampak terlihat semakin jelas, cantik.

“Halo Kak Nanda, pesenan aku udah jadi ya?”

Ares memperhatikan anak perempuan dengan tas ransel berwarna hitam itu memasuki toko dan melewatinya untuk berjalan ke depan meja si florist.

Nanda?

“Sudah aku siapin dari tadi, katanya mau diambil jam satu.”

“Iya tadi kan hujan gede banget aku kejebak di kampus. Lupa gak ngabarin Kak Nanda lagi.”

Oh namanya Nanda.

Ares bukan berniat menguping, tapi ia hanya memperhatikan mereka yang sibuk mengobrol berdua dan dari yang ia dengar kalau mahasiswi itu memesan buket untuk temannya yang sedang sidang akhir.

Ares tebak, Nanda bukan mahasiswa di sini. Sepertinya sudah lulus walaupun wajahnya masih cocok jadi maba, pikirnya.

Tapi, sedikit penasaran toko bunga ini miliknya sendiri atau bagaimana? karena saat Ares masih kuliah dulu tentu saja belum ada.

Baru saat mahasiswi tersebut keluar dari toko sambil membawa sebuket bunga berukuran tidak terlalu besar, Ares bisa melihat Nanda yang kembali merangkai bunga pesanannya.

Dia menatapnya sambil tersenyum simpul, “Maaf ya kak, keganggu sebentar.” katanya yang dibalas anggukan kecil oleh Ares, mau lama juga gapapa, ia jadi semakin bisa berlama-lama pula melihat Nanda yang kembali sibuk dengan tangkai-tangkai bunga di tangannya.

“Gapapa, santai saja saya punya banyak waktu kok.”

Halah, padahal Azka sudah riweuh bertanya dimana dan kanapa belum sampai juga di hotel tempatnya menginap untuk menjemput. Dan tentu saja Ares melimpahkan kesalahan tersebut pada Samudra, salahin temen lo tuh.

Walaupun ada nilai plusnya juga karena sepertinya Ares harus berterimakasih pada Samudra yang sudah menyuruhnya untuk datang ke sini sehingga ia bisa tahu ada makhluk bernama Nanda yang sedang merangkai bunga dengan wajah cerahnya.

Atau ada baiknya Nanda diajak kenalan langsung saja sekalian nanti?

Kedua netra Ares itu terlalu fokus pada setiap gerik pemuda tersebut, hingga ia bergumam tanpa sadar memanggil si pemilik nama yang langsung mendongak menatapnya.

“Nanda..”

Nanda menghentikan tangannya yang sedang memotong tangkai mawar berwarna pink pucat saat sebuat suara yang begitu dalam menyebutkan namanya, pelan tapi terdengar jelas karena di ruangan sunyi ini hanya ada dia dan pemuda yang sedang menunggu pesanannya.

“Iya?” dia menjawab dengan nada bingung saat pemuda itu tahu namanya.

Ares merutuk, ingin rasanya menepuk mulutnya sendiri ketika Nanda kini menatapnya penuh tanya, “Maaf... saya tadi dengar kamu dipanggil Nanda sama mahasiswi yang ke sini.” jelasnya cepat, wajahnya kalau bisa ia taruh dulu di saku, begini kalau otak sama mulutnya tidak sinkron padahal hanya memanggil di pikirannya saja bukan untuk diucapkan.

“Maaf ya.” ulangnya sekali lagi.

Pemuda itu bahkan sampai berdehem untuk menghilangkan canggung saat Nanda justru mengeluarkan tawa ringannya sambil berkata tidak apa-apa sebelum kembali sibuk dengan pekerjaannya, kedua sudut bibirnya tampak ditarik tipis ketika melirik Ares yang kali ini sibuk memainkan ponselnya.

Buket bunganya hampir jadi, Nanda sedang membungkusnya lengkap dengan pita berwarna putih, tangan lentik itu dengan cekatan membuat simpul yang terlihat cantik seperti itu adalah hal yang begitu mudah dilakukan. Juga sangat lihai merakit bunga-bunga membentuk perpaduan yang begitu cantik memanjakan mata.

Senyumnya terlihat puas ketika memegang buket bunga berukuran cukup besar hasil karyanya yang ke empat di hari ini, Nanda selalu suka dengan kegiatan sehari-harinya sejak tiga minggu ini.

Bunga, gunting, kertas, pita, bahkan duri yang terkadang melukai jarinya sudah menjadi teman sejak dia suka membantu di toko bunga milik kakak sepupunya bahkan saat dia masih berstatus mahasiswa.

Hampir setiap hari Nanda menghabiskan waktu sepulang kuliahnya di sini, membantu saat ada workshop merangkai bunga atau saat banyak pesanan yang menumpuk terutama ketika wisuda.

Dan sekarang, toko bunga itu dipegang olehnya untuk sementara waktu karena Teh Maudy—kakak sepupunya sedang sibuk dengan persiapan kelahiran anak pertamanya. Dia sudah jarang ke sini dan mengandalkan Nanda sepenuhnya yang memang masih belum bekerja karena sejak wisuda beberapa bulan lalu dia telah resmi menjadi pengangguran.

Nanda pikir daripada hanya di rumah tidak ada kegiatan jadi ia setuju ketika Teh Maudy meminta tolong padanya untuk mengurus toko bunga ini sementara, mungkin hingga dua atau tiga bulan ke depan saat kakak sepupunya itu sudah bisa kembali mengurus tokonya sendiri.

Pandangannya bersitatap dengan Ares yang perlahan berdiri dari kursi dan berjalan ke arahnya. Pemuda yang tadi menggumamkan namanya itu terlihat menyodorkan ponselnya membuat Nanda memasang wajah bingung.

“Kata teman saya bisa ditambahin kartu ucapan? tulisannya begini.” tanyanya membuat Nanda mengangguk pasti, “Bisa, kak.” dia mengambil ponsel Ares yang memperlihatkan ruang obrolannya dengan Samudra.

Diperhatikannya lagi Nanda yang sedang menulis di sebuah kartu ucapan kecil, tulisan tangannya rapi sekali.

Ares tersenyum ketika ponselnya dikembalikan. Ia kemudian menerima buket yang diberikan oleh Nanda yang ternyata lumayan besar juga saat sudah berada di tangannya. Tidak lupa juga sempat difoto untuk laporan pada Samudra yang sudah sibuk bertanya.

Setelah selesai membayar, Ares terlihat mengusap tengkuknya. Pemuda dua puluh lima tahun itu tampak ragu tapi juga seakan enggan untuk melewatkan kesempatan.

“Tokonya baru ya? Saya baru tahu ada toko bunga di dekat kampus.” basa-basi dulu sekaligus memang penasaran, “Tiga tahun lalu soalnya masih belum ada waktu saya masih kuliah di sini.” lanjutnya.

Nanda tampak menyimak saat Ares mengajaknya mengobrol, daritadi padahal mereka hanya diam ketika Nanda sibuk dengan pekerjaannya dan Ares juga tidak ingin terlihat menganggu.

“Enggak baru banget kok soalnya udah dua tahunan. Oh, kakak alumni sini juga?” dia balik bertanya membuat Ares mengangguk kecil, “Iya, sudah jarang lewat ke sini jadi banyak yang berubah.” jelasnya.

Ada senyum ramah yang kembali Nanda perlihatkan pada Ares yang berarti berstatus seniornya dulu karena saat Nanda mahasiswa baru, Ares sudah berada di tingkat akhir, simpulnya.

“Iya kalau dibandingkan sama tiga tahun memang sudah lumayan banyak yang beda, kak.”

Gengisnya kalah, bodoamat ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang dua kali padanya. Ares mungkin sudah mengetahui namanya, tapi secara resmi mereka belum berkenalan dan Nanda tentu saja tidak mengetahui namanya sama sekali.

Ares ingin mereka saling mengenal. Ia dan juga Nanda. Bukan hanya dirinya saja.

Maka, dengan yakin Ares mengulurkan tangannya yang sedang tidak memegang buket bunga milik Samudra itu ke depan Nanda yang masih berdiri di belakang meja.

“Saya Ares, salam kenal ya.”

Nanda terdiam sebentar dan netranya menatap tangan yang sudah berada di depannya, sedikit tidak menyangka dengan apa yang akan didapatkannya secara tiba-tiba itu.

Diajak berkenalan oleh pemuda yang sedari tadi menatapnya dalam diam saat dia sibuk merangkai bunga.

Tentu saja Nanda jelas menyadarinya karena beberapa kali sudut matanya menangkap figur tersebut yang terlihat anteng sambil memangku dagunya di atas meja.

Dengan perlahan Nanda menyambut uluran tangan Ares, pandangannya terangkat dari tangan mereka yang sudah bertautan ke arah iris hitam Ares yang menatapnya lekat.

Senyum ramahnya kembali terlihat, jauh lebih manis serta lebih tulus hingga kedua sudut matanya menyipit dan lesung pipi dalamnya terlihat jelas.

Cantik, Ares sibuk membantin.

“Ananda, biasa dipanggil Nanda. Salam kenal juga, Kak Ares.”

Ananda.

Bahkan, namanya juga sangat cantik.

Ares bisa merasakan genggaman dari tangan Nanda di kulitnya, sedikit dingin namun terasa halus. Jemari rampingnya yang tadi ia lihat begitu cekatan mengikat pita sekarang melingkupi telapak tangannya.

Netranya seakan tidak mau berpaling, Ares tidak tahu kalau akan ada sepasang mata yang begitu hangat menatapnya bahkan sejak mereka bertemu untuk pertama kali.

Sepasang mata coklat gelap yang berbinar namun terkesan lembut ketika memandangnya, sepasang mata yang bisa menariknya bagai magnet membuat Ares ingin menatapnya langsung selama mungkin.

Satu dering telepon masuk di ponsel Ares membuat mereka melepaskan tangan dengan kikuk. Nanda meringis kecil di balik mejanya sambil menahan senyum saat dia melihat wajah Ares yang merengut kesal lalu mendengus melihat ponselnya yang masih berdering, Azka sialan.

“Nanda, makasih ya. Saya buru-buru sudah ditungguin.” Ares memasukan ponselnya ke dalam saku celana tanpa mengangkatnya sama sekali, bodoamat gak sabaran banget sih temannya itu.

Ia menatap Nanda yang mengangguk kecil sambil melepaskan appronnya, “Sama-sama, kak. Semoga temannya suka ya sama bunganya.”

“Pasti suka kok, orang bagus banget begini.”

Tentu saja Nanda tersenyum penuh terimakasih mendengar pujian Ares untuk hasil karyanya itu.

“Boleh minta kartu nama? siapa tahu saya ada perlu.”

Perlu untuk apa lagi kira-kira? Ares juga tidak tahu, ia hanya mencari alasan dengan cepat.

“Boleh, Kak Ares. Sebentar ya.”

Nanda terlihat berjalan ke arah meja yang lain, dia membuka laci dan mengambil kartu nama yang berada di dalam kotak kecil lalu diberikan pada Ares yang menerimanya dengan senang hati tampak excited.

“Ini nomor kamu?” tanyanya tidak tahu malu sambil melihat dua belas deretan angka yang membentuk sebuah nomor telepon aktif. Ditatapnya Nanda yang memberikan gestur bukan dengan kedua tangannya.

“Itu khusus nomor ponsel untuk customer, kak. Bukan nomor pribadi saya. Tapi, nanti saya yang bales kok karena ponselnya saya yang pegang.” begitu penjelasannya membuat Ares mengangguk-angguk mengerti sambil memasukan kartu nama berwarna putih itu ke dalam saku celananya.

Lalu, apa lagi sekarang.

Azka sudah menunggunya, mereka bertiga akan bertemu sebentar sebelum Samudra menemui Anindita dan dia membutuhkan buket bunga di tangannya ini.

“Ya sudah, sekali lagi makasih ya, Nanda.”

“Iya, sama-sama Kak Ares. Kalau butuh bunga lagi datang saja.”

“Wah kalau ditawarin gini nanti saya sering datang dan kamu bosen.” Nanda kembali tertawa dibuatnya ketika mendengar candaan Ares, “Gapapa, saya senang kalau punya pelanggan tetap.” balasnya membuat Ares besar kepala dan benar-benar berniat untuk datang lagi.

Nanda mengulum senyum dengan lesung pipinya lagi sebelum Ares benar-benar berjalan ke luar dan meninggalkan toko bunga yang menjadi awal pertemuan mereka hari itu.

Pertemuan pertama yang akan membawa banyak cerita abadi bagi Ares hingga bertahun-tahun kemudian.

Pertemuan yang bukan sepenuhnya tentang ketidaksengajaan semata karena semua yang terjadi di dunia ini memang sudah digariskan oleh takdirnya masing-masing.

Tentang Ares, tentang Nanda juga tentang cinta yang tumbuh diantara keduanya, namun dengan pelengkap takdir yang Ares rasa terlalu kejam bekerja untuk mereka.

Choi Sekyung tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat akhirnya Yiheon setuju untuk dijemput. Kekasihnya itu sudah mulai melunak. Sudah cukup dua hari ia bersikap dingin karena sibuk ngambek padanya, ujung dari rasa khawatir berlebihan hingga malah memunculkan rasa marah dan juga kesal.

Mobil putih itu terlihat berhenti di parkiran, Sekyung mematikan mesinnya lalu memilih menunggu di luar. Dia terlalu excited untuk melihat kekasihnya lagi. Satu hari kemarin dia mencoba mengerti, tidak memaksa untuk bertemu saat Yiheon nya tidak mau, mungkin ia butuh waktu dan Sekyung setuju untuk memberinya ruang.

Pandangannya mengedar, pemuda tingkat tiga itu sangat familiar dengan suasana parkiran di sini sejak semester lalu, tempat yang sering kali didatangi selain fakultasnya sendiri. Dia melihat ponselnya sambil bersandar pada kap mobil, masih ada sepuluh menit sebelum kelas Yiheon selesai, sebentar lagi. Sabar.

Seekor kucing yang sedang tiduran di tangga parkiran menarik perhatiannya, ah ini kucing yang kata Yiheon memang penunggu parkiran yang sudah menjadi rahasia umum bagi mahasiswa fakultasnya. Juga kucing yang pernah mencakar Yiheon hingga jarinya terluka waktu itu.

Sekyung mendekat, tanpa perduli celana jeans nya kotor dia duduk di anak tangga ke tiga tepat di samping si kucing yang kemudian mengeong pelan saat tangan Sekyung mengelus kepalanya.

Tidak dipungkiri, Sekyung jadi menyukai kucing sejak dia mengenal si ayang—kucing berwana abu tua milik Yiheon. Sebelumnya jujur saja dia tidak terlalu menaruh perhatian banyak pada hewan berbulu halus dan menggemaskan itu.

Sekyung juga tidak pernah punya hewan peliharaan, hanya dulu waktu kecil saja saat seekor anjing menjadi teman bermainnya ketika dia banyak menghabiskan waktu di rumah Oma, langganan dititipkan kedua orang tuanya yang sering sibuk tidak ada di rumah.

Ngomong-ngomong, sudah hampir tiga bulan dia belum berkunjung lagi ke sana, butuh waktu sekitar tiga jam untuknya ke luar kota dan sampai ke rumah Oma yang kini tinggal dengan anak bungsunya, yaitu adik sang Mama.

Saat Sekyung nanti ada waktu luang pasti akan berkunjung karena dia juga merindukannya. Oma yang cerewet namun sangat menyayangi cucunya. Oma yang dulu bahkan beberapa kali selalu menggantikan peran orang tuanya saat harus hadir di acara sekolah. Oma juga yang kerap bertanya tentang bagaimana kehidupan kuliahnya dan Sekyung akan tersenyum lembut sembari membahas seseorang yang kini terlihat berjalan ke arahnya.

Mungkin juga yang sudah bisa dia kenalkan dengan bangga, pacar Sekyung.

“Abang....”

Dia langsung berdiri dari duduknya, mengulas senyum hangat pada Yiheon yang terlihat canggung menatapnya sambil memainkan tali ransel yang tersampir di kedua pundaknya. Tampak lucu sekali saat raut wajahnya sumringah namun juga mencoba dikontrol sekuat tenaga. Jaim banget sih.

Diam-diam Yiheon menghela napas kecil saat ia menatap wajah Sekyung, sudut bibirnya masih memerah tampak lebam. Sedangkan luka miliknya sendiri sudah perlahan menghilang hanya tinggal satu plester di pelipis yang masih terlihat di wajahnya.

“Sudah selesai?” tanya Sekyung pelan yang diangguki kecil oleh Yiheon yang mengekorinya berjalan ke arah pintu mobil yang sudah dibukakan oleh Sekyung.

Sekyung masih memasang senyumnya tidak lelah bahkan terlihat begitu senang saat dia sudah duduk di bangku kemudi. Tidak langsung menyalakan mobilnya, pemuda itu memilih duduk menyamping untuk menatap lekat pada Yiheon yang baru saja menyimpan tasnya ke bangku belakang.

“Kamu sudah baikan? obatnya pasti sudah habis ya?”

Satu dengusan kecil keluar dari bibir Yiheon, harusnya ia yang bertanya tentang luka Sekyung.

Kenapa masih merah, itu diobatin gak sih!

“Udah.” jawab Yiheon singkat.

Tangannya mengambil sesuatu di saku celananya dan mengeluarkan sebuah salep kecil. Lalu dibukanya dan dioleskan pada jari telunjuk di tangan kanannya sendiri. Sekyung hanya memperhatikan dengan diam apa yang sedang dilakukan pacarnya itu hingga kemudian tangan Yiheon terulur padanya dan mengobati sudut bibirnya. Dan dia berkedip lambat, tidak menyangka akan apa yang dilakukan Yiheon saat ini.

“Aku gak percaya aku yang bakal ngobatin kayak gini. Biasanya kan abang ke aku. Lagian ngapain ikut-ikutan jadi tukang ribut gini sih!”

Sejak kemarin Yiheon sudah membeli obat untuk Sekyung dan ada di dalam tasnya, tapi kemarin ia masih merasa kesal dan takut malah semakin merutuk kalau melihat wajah terluka Sekyung di pandangannya.

“Muka abang jadi jelek kan karena terluka gini.”

Sekarang Yiheon tahu bagaimana rasanya selama ini jadi Sekyung yang harus melihat wajah dan tubuhnya kalau sehabis ribut. Rasanya kesal dan marah, tapi Choi Sekyung itu tahan sekali untuk tidak mengomel panjang lebar padanya.

Di sudut bibirnya terasa dingin alih-alih perih ketika tangan Yiheon dengan lembut dan telaten mengobatinya di sana hingga Sekyung tidak meringis sama sekali.

“Gak apa-apa abang jelek sehari. Tiap hari kan sudah genteng.”

Mendengar balasan Sekyung itu membuat Yiheon langsung memutar bola matanya ke atas, kesel banget antara fakta sama jengkel sendiri. Ia mengobati dengan wajah ditekuk serta alis menyatu membuat Sekyung justru malah mengulas senyum lebih lebar, gak ada ramah-ramahnya sama sekali tapi dia sangat bersyukur karena Yiheon sudah perduli walaupun sambil ngambek.

Tangan Sekyung memegang pergelangan tangan Yiheon yang sedang mengobatinya, jarak mereka cukup dekat karena Yiheon sempat memajukan tubuh padanya untuk mempermudah merawat lukanya.

Pandangan Yiheon dari wajah Sekyung bergulir sebentar melirik tangannya yang dipegang dan ditahan, “Maaf..” bisik Sekyung menatap pada Yiheon yang sudah balas menatapnya, kedua iris hitam Sekyung itu begitu teduh berhasil membuat Yiheon mengubah raut wajahnya lebih bersahabat.

Entah sudah berapa kali ia mendengar kata maaf dari Sekyung sejak kejadian kemarin.

Belum mendapatkan jawaban apa pun, Sekyung perlahan membawa tangan Yiheon tersebut ke depan bibirnya kemudian mengecup lembut di telapak tangannya.

“Maafin abang ya, Yiheon.”

Hati Yiheon berdesir merasakannya, ia hanya bisa terpaku saat diperlakukan seperti itu. Momennya terlalu tiba-tiba saat atmosfer di sekitar mereka masih sedikit canggung baginya.

Dan seakan tidak menunggu respon lainnya, Sekyung kemudian menariknya lebih dekat hingga kini ia sudah berada di dalam sebuah pelukan yang terasa erat.

“Abang gak bisa kalau kamu marahnya lama-lama. Abang gak suka harus jauh-jauh dari kamu, sayang.” bisiknya terdengar lirih.

Yiheon masih belum berkata apa-apa, namun tangannya perlahan bergerak untuk membalas, melingkar di tubuh Sekyung dan sedikit meremas bagian belakang hoodie berwarna hitam itu.

“Iya, maafin aku juga...” gumamnya pelan pada akhirnya setelah beberapa saat ada hening diantara mereka yang mengambil alih, “Maaf aku udah marah sampai bentak abang kamarin..”

Choi Sekyung mengangguk kecil berkata tidak apa-apa, memberi jarak lagi membuat dia kembali bisa menatap wajah Yiheon.

Di sana tidak ada lagi raut ditekuk apalagi alis tebalnya yang tampak menyatu, ia menatap Sekyung dengan rasa bersalah karena justru sudah bersikap dingin padanya.

Sekyung mengulum senyum menenangkan ketika melihat tatapan Yiheon padanya. Diusapnya dengan lembut pipi tegas Yiheon itu sebelum dia mendaratkan sebuah kecupan di keningnya dan ditahan cukup lama.

“Sudah tidak ngambek dan marah lagi kan?” tanyanya memastikan hingga Yiheon tentu saja menjawab dan kembali minta masuk ke pelukannya dengan manja.

“Enggak. Sekarang mau peluk lagi...” katanya sambil ndusel, ia memejamkan matanya saat Sekyung memberi banyak afeksi baik dengan ucapan juga usapan penuh sayang yang begitu banyak.

Kangen.

Akhirnya bisa peluk dan dipukpuk juga.

“Berarti kita baikan ya sekarang.” Sekyung kembali menegaskan yang artinya masalah mereka sudah selesai detik ini dan Yiheon mengangguk setuju dengan cepat saat mendengarnya sambil bercicit pelan mengiyakan.

“Bagus, Yiheon nya abang berarti jangan galak lagi, jangan kayak es batu dingin banget tuh kalau di chat.” tetapi celetukan Sekyung itu berhasil membuat Yiheon mencebikkan bibirnya lalu menepuk pelan punggung Sekyung dengan kepalan tangan, “Salah siapa bikin aku kesel sih.” balasnya membuat Sekyung meringis kecil di balik bahu Yiheon.

“Iya abang salah.”

Mereka sama-sama belajar, bahwa kejadian kemarin cukup memberi banyak pengertian tentang hubungan yang bahkan baru berjalan beberapa hari itu.

Setelah status mereka jelas, ada banyak hal yang memang tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Pun karena hubungan ini dilakukan oleh dua orang yang sama-sama bergantung satu sama lain, yang sama-sama punya porsi yang setara dalam hal saling menyayangi dan menyalurkan rasa.

Sekyung jelas sangat mengkhawatirkan Yiheon hingga dia bisa bertindak jauh seperti kemarin, tidak terima saat orang yang disayanginya diperlakukan seperti itu. Namun, sayang Yiheon juga sama besar. Untuk Sekyung, ia tidak akan pernah mau membuatnya terlibat dalam hal yang membahayakan dirinya sendiri walaupun itu menyangkut dirinya.

“Abang...” panggil Yiheon, suaranya sedikit teredam karena wajahnya bersembunyi di bahu Sekyung. Menghirup wangi familiar yang selalu menenangkan baginya. Betag banget.

“Kenapa?”

Ia menggeleng tidak mau saat Sekyung bertanya dan akan melepaskan pelukan mereka, “Lima menit lagi....” pintanya sedikit merajuk sambil mengeratkan pelukannya, “...soalnya aku masih mau disayang.”

Dipukpuk, diusap-usap, dipeluk erat tapi tidak sesak justru terasa begitu nyaman dan membawa tenang.

Dengan Sekyung seperti ini, Yiheon menyukainya.

“Kamu setiap waktu juga disayang sama abang, Yiheon.”

Sekyung hanya menurut, senang banget Yiheon nya sudah kembali manja daripada dingin seperti kemarin. Ada kekehan ringan yang terdengar darinya sambil menepuk-nepuk pelan punggung tegap Yiheon, “Kayaknya yang lebih kangen itu kamu.”

“Enggak. Abang lah, lebay juga kemarin katanya galau sampai lemes kaya orang tipes! Apasih segitunya segala aku jadi kepikiran kan.”

Nada Yiheon terdengar menyindir, saat Sungchan berkata seperti itu ia tentu tidak percaya namun saat melihat cuitan kedua teman Sekyung di twitter ia malah mendengus, pantes saja disebut bulol sama Bomin.

“Iya abang kan sedih, sikap kamu kayak gitu gak biasanya. Abang juga baru tahu kalau kamu lagi beneran marah bisa parah banget cuek nya.”

Sekyung tidak membantah, dia malah dengan jujur mengakuinya tanpa gengsi sedikit pun dan membuat Yiheon tertegun sebentar saat mendengarnya.

Ternyata ada ya orang yang begitu perduli karena sikapnya, begitu dipengarhui oleh dirinya karena mungkin arti Yiheon yang begitu besar untuk Sekyung?

Berpikir seperti itu membuat Yiheon gusar dan kembali merasa keterlaluan, “Iya maaf, abang...” balasnya pelan semakin ndusel dan membuat Sekyung kembali dilanda kegemasan sambil mengecup bahunya berkali-kali.

Lalu tidak lama tubuh Yiheon berjengit saat Sekyung berusaha mencairkan suasana diantara mereka, dia sadar Yiheon yang tampak kembali diam. Dengan seluruh keisengannya dia mencolek pinggang Yiheon dan semakin terasa geli ketika tangan jahil itu bergerak acak di sekitar pinggang dan punggungnya.

“Diem abang atau aku tabok.”

Tentu saja Choi Sekyung tidak mendengarkan, dia tertawa dengan suara dalam saat Yiheon sudah berkata ampun dan menjauhkan tubuhnya. Pelukannya sudah terlepas karena ia beringsut duduk mendekat ke pintu.

Yiheon akhirnya ikut tertawa, suaranya lepas terdengar tanpa beban hingga sudut matanya menyipit, tangan bergerak sibuk berkali-kali menepis tangan Sekyung yang akan memegang pinggangnya dengan kilat jahil di kedua matanya.

Mereka masih di parkiran fakultas Yiheon, dengan mesin mobil yang belum dinyalakan. Tidak perduli saat untungnya dari luar tidak akan terlihat apa-apa karena kaca mobil Sekyung yang gelap.

Terlihat kontras dengan tempo hari saat sama-sama berada di sebuah parkiran. Satu hari itu penuh dengan tangis emosi yang mengambil alih saat di hari lainnya penuh tawa yang terdengar begitu menyenangkan.

“Udahan, capek! Apasih geli tahu.” Yiheon merenggut dengan bibir yang mencebik ke bawah, gemes banget minta dicium ya?

Matanya menatap Sekyung sambil melotot memberi peringatan lalu tangannya bersiap-siap untuk menepis tangan pacarnya itu yang sudah terangkat. Pasti mau menggelitikinya lagi. Jujur saja Sekyung baru tahu kalau toleransi geli Yiheon itu cetek banget.

Padahal bibirnya sudah siap mengomel pada Sekyung kalau dia melakukan hal seperti tadi lagi, tapi Yiheon harus merapatkannya kembali saat tahu-tahu Sekyung sudah menangkup wajahnya.

Maka ketika tebakannya salah, Yiheon hanya terdiam, tidak ada keinginan untuk protes kali ini. Kedua netranya justru sibuk membalas tatapan Sekyung yang tidak berkata lewat ucapan.

Cuma ditatap, tapi Yiheon menyerah karena perlahan senyumnya terlihat begitu manis dengan lesung pipi yang kembali dipamerkan untuk yang paling menyukainya, siapa lagi kalau bukan si abang kesayangannya.

Malu sekaligus salah tingkah.

Lalu ia terkekeh kecil saat Sekyung mendekat dan mengusakan hidung mancungnya itu padanya. Mencium kedua pipinya, mengecup cepat bibirnya, mencium sewajah-wajah dengan gemas karena ia kini tidak berhenti tertawa.

Tawa senang yang sudah menggantikan tangis menyesakannya kemarin.

Sekyung memang yang telah membuatnya menangis, tapi Sekyung juga yang bisa mengobatinya. Sekyung yang bisa kembali membuatnya merasakan debar dari rasa yang dinamakan dicintai dan disayangi begitu dalam.

“Yiheon sayangku yang paling indah dan gemas...” katanya membuat perlahan semburat merah hadir di kedua pipi Yiheon, netra Sekyung itu terlihat berbinar dari dekat, dari jarak yang jelas cukup untuk melihat setiap inchi wajah sang kekasih tanpa terlewat sedikit pun, “...juga paling cantik.” lanjutnya sambil mengusap lembut lesung pipi dalam kesukaannya itu yang akan selalu dia kagumi dan puji setiap saat.

“Abang...” bisik Yiheon sebelum Sekyung kembali menarik jauh wajahnya. Ia kemudian mengecup pipi kiri Sekyung tanpa ragu, “Makasih ya buat semuanya...” dan berkata pelan sambil melepaskannya.

Kemudian lagi-lagi Sekyung disuguhi sebuah senyum yang mampu membuatnya hatinya meleleh, menyerah tidak mampu kalau senyum itu harus ditarik darinya.

Senyum Yiheon yang paling indah.

Senyum Yiheon yang paling manis.

Senyum Yiheon yang paling cantik.

“Sama-sama, sayangku kekasihku, Song Yiheon.”

Dan Yiheon akan selalu merasakan sensasi yang sama ketika ia mendengar kalimat tersebut, hatinya penuh dan menghangat.

Berjuta kali merasa beruntung saat seorang Choi Sekyung mencintainya begitu besar.

“Jadi, mau kemana nggak mungkin langsung pulang kan?”

Sekyung bertanya saat kini mulai membenarkan posisi duduknya di balik kemudi dan menyalakan mobilnya. Dia menunggu respon Yiheon yang sedang memasang seatbeltnya dan terlihat mengetik sesuatu di layar ponsel.

Pacarnya itu kemudian menatapnya dengan wajah cerah sambil menujukan ponselnya pada Sekyung, sebuah rute jalan di dalam maps.

“Mau ke sini dulu, aku dikasih tahu Kak Namra kalau makanannya enak terus banyak pilihan dessert nya. Beda arah sama ke rumah sih, tapi enggak terlalu jauh kok. Boleh nggak, bang?”

“Boleh, sayang. Kemana pun boleh.” jawab Sekyung membuat Yiheon mengangguk senang saat mobil Sekyung mulai berjalan meninggalkan parkiran.

“Pacaran dulu abis itu baru pulang ya!” katanya lagi mulai bawel mengisi hening di mobil Sekyung.

Berbeda sekali dengan saat terakhir kali ia ada di sini, ketika Sekyung mengantarkannya pulang saat menangis. Sepanjang jalan itu terasa penuh sesak baginya karena Yiheon mendiamkannya dengan tidak berkata apa pun bahkan sampai Sekyung hanya bisa melihat punggungnya yang menghilang di balik pintu gerbang rumahnya.

“Iya, cintaku. Aku culik kamu sekalian kalau bisa.”

Sembarangan kalau ngomong, ia mendengus sambil menepuk paha Sekyung saat mobil mereka baru saja melewati gerbang kampus dan Sekyung hanya tertawa kecil membiarkan pahanya menjadi korban.

Bertepatan dengan jam pulang kantor tentu saja membuat jalanan sedikit macet bahkan sejak mobil mereka tidak jauh baru keluar dari kampus membuat Sekyung menjalankan lajunya dengan pelan.

Dia melirik Yiheon yang sedang menatap ke luar jendela, tampak anteng melihat kesibukan di luar sana sambil mendengarkan lagu dari radio yang diputar olehnya sendiri tadi.

Tangannya dilepas dari kemudi, lalu diusapnya pelan puncak kepala Yiheon hingga anaknya menoleh tersenyum padanya.

Satu alis Yiheon itu naik tanpa bisa dicegah saat tangan Sekyung langsung menggenggamnya dengan erat, menautkan jari mereka berdua untuk saling mengisi ruang kosong di setiap selanya tanpa berkata apa pun.

“Apanih mau nyebrang sampai pegangan gini?” Yiheon bertanya sambil nyengir menampilkan dereta giginya yang rapi, tapi toh ia tidak berusaha melepaskannya. Sekyung bahkan bisa meraskan kalau Yiheon membalas genggamannya dengan nyaman.

Ditanggapinya candaan Yiheon tersebut dengan tawa kecil sambil mengangkat bahu, Sekyung menjawab kemudian menciumi punggung tangannya, “Enggak, mau pegangan aja sama kesayangan aku.”

Tobat Choi Sekyung! jantung Yiheon sudah jumpalitan saat ini, ia hanya bisa pasrah saat tangannya tidak dilepas dan malah ditaruh di atas paha Sekyung.

Seakan dipegangin takut hilang dan takut menjauh lagi.

“Oh iya, nanti sekalian kita beli kado dulu ya buat adek. Abang masih belum beli.” ajakannya itu membuat kening Yiheon berkerut lalu bertanya tidak yakin, “Abang mau kasih kado?”

“Iya dong, sayang.”

Dia menjawab sambil meliriknya, ada senyum simpul di wajah tampannya yang tampak percaya diri.

Sebetulnya Sekyung memang sudah berniat membeli kado untuk Woonjin sejak tahu kalau adik pacaranya itu akan berulang tahun, namun memang masih bingung dan belum sempat. Apalagi sejak kejadian kemarin bagaimana Woonjin banyak membantunya bicara dengan Yiheon membuat Sekyung tidak segan untuk menyenangkan anak remaja itu dengan hadiah kesukaannya.

“Aku kan kakak ipar yang baik buat adek.”

Dan Yiheon berhasil tersedak ludahnya sendiri mendengar ucapan Sekyung, sialan! asbun banget sih.

“Apasih jauh banget bahasannya.”

“Loh, kamu juga sudah manggil orang tua abang camer tuh. Masa abang nggak boleh manggil adek ipar.”

Sanggah Sekyung cepat dan alis naik turunnya itu yang memasang wajah jahil menggodanya membuat Yiheon mau kabur saat ini juga. Iya bener sih, ia dengan terang-terangan saat itu bilang di akunnya sendiri. Walaupun Sekyung juga yang sebetulnya lebih dulu asbun waktu bilang mau daftar jadi calon mantu Bunda.

“Hari Jumat kan kalau enggak salah? Nanti kamu bawa pulang aja langsung, jadi abang titip ke kamu buat kasihkan ke adek.”

Namun, Yiheon menggeleng pelan, dia mengeratakan pegangan tangan mereka membuat Sekyung menatapnya tidak mengerti, tidak mau dititipin kado?

“Abang kasih aja langsung. Biasanya Bunda bikin acara kecil-kecilan. Bahkan tahun lalu juga Sungchan ikut ngeramein di rumah tuh.”

Ada senyum kecil saat ia mengingat bagaimana Sungchan yang sedang mengantarkan sepatu futsal ke rumah malah berujung ikut makan dengan keluarga Yiheon dan merayakan ulang tahun adiknya karena dilarang pulang sama Bunda.

“Abang takut ganggu deh, gak enak, sayang. Itu kan acara keluarga kamu.”

Sekyung menatap Yiheon, bukan berarti dia menolak karena tidak mau. Sekyung hanya sadar diri saja karena moment seperti itu tidak setiap hari dan dia jelas bukan bagian dari keluarga Yiheon walaupun status mereka sudah jelas berpacaran.

“Ih kayaknya kalau aku yang ngomong abang gak percaya gitu. Nanti aku suruh Bunda yang ngomong langsung deh. Awas kalau Bunda yang bilang kamu gak bisa nolak loh harus datang.”

Dia hanya bisa tertawa mendengar suara Yiheon yang merajuk padanya dengan sedikit mengancam. Hingga akhirnya memutuskan untuk mengiyakan ucapan pacar bawelnya ini dan membuat satu senyum cerah Yiheon terlihat begitu jelas hingga ke matanya yang menyipit.

“Yiheon, kalau nanti kita jodoh kayaknya abang bakal seneng banget deh.”

Yiheon yang sedang mengecek arah jalan di ponselnya terdiam sebentar untuk mencerna apa yang diucapkan Sekyung secara tiba-tiba itu. Dia tidak terlihat bercanda, pandangannya sedikit menerawang seperti mungkin sedang membayangkan hubungan mereka beberapa tahun ke depan.

Tiba-tiba banget kenapa sih.

Ia yang duduk di sampingnya hanya mengulas senyum tipis, tentang masa depan yang jauh itu memang belum ada yang tahu pasti, tapi Yiheon juga tentu saja berharap sama karena ia pun tidak tahu akan bagaimana dirinya tanpa Choi Sekyung.

Yiheon memilih menyimpan ponselnya kembali di saku celana. Lalu tangan yang memang sudah bebas tidak digenggam oleh Sekyung itu kembali menyentuhnya, membawa tangan kiri Sekyung untuk digenggam dan ditaruh di atas pahanya. Dilingkupi dengan hangat oleh kedua telapak tangannya dan ditepuk-tepuk pelan sambil terlihat berpikir.

“Abang, kalau kita gak jodoh izinin aku gebuk jodoh kamu terus nanti aku rebut kamu lagi sampai dapat, ya?” tanyanya berhasil membuat Sekyung tergelak, barbar banget pikirannya.

Dia berhasil mencuri kecupan di pipinya dengan cepat sebelum kembali fokus dengan jalan di depannya, “Mendingan kita kawin lari mau gak?” tanyanya dengan sisa tawa yang masih ada.

“Ogah deh capek!” tolak Yiheon dengan pandangan bergidik membuat Sekyung mendengus, “Iya gak literally sambil lari-larian juga maksudnya, Yiheonku sayang.”

Tidak bisa menahannya Yiheon langsung tertawa mendengar nada jengkel yang keluar dari Sekyung itu, lama-lama dia bisa ketularan dan kesabarannya menjadi setipis tisu dibagi tujuh seperti Yiheon kalau begini terus.

“Abang... kalau kawin kontrak aja, mau gak kamu?”

“Kalau kontraknya seumur hidup sih gapapa.”

Sepertinya keasbunan ini akan berlajut karena Yiheon kali ini mengangguk-ngangguk serius, tangannya menopang dagunya lalu menatap lekat pada Sekyung yang masih sibuk menyetir.

“Kalau abang nanti udah jadi kakek-kakek dan masih ganteng kayak gini sih aku juga mau deh.”

“Iya masih lah, Yiheon. Kamu liat aja Papaku masih ganteng kan.”

“Tapi itu om-om, bukan kakek-kakek!!”

Sekyung menyukainya, tentang Yiheon dan segala ocehannya yang Sekyung rindukan, yang kemudian akan membuatnya tertawa lepas sekaligus gemas karena tingkahnya.

Maka, saat Yiheon bersikap dingin padanya seperti kemarin, dia jelas merasa sedih, tawanya seperti ditarik paksa dan merasa kosong.

Marahnya Yiheon jelas membuat dia merutukin dirinya lebih banyak, apalagi saat melihat tangis kencang Yiheon dan itu justru karena dirinya.

Jangan lagi, kesalahannya hari itu yang membuat Yiheon menangis adalah hal yang sangat disesalinya sampai sekarang. Cukup satu kali dan Sekyung tidak mau dihantui sesal semakin banyak.

Choi Sekyung menarik kembali kedua sudut bibirnya membentuk lengkung indah. Dia menatap punggung yang kini berjalan di depannya dengan semangat menuju pintu cafe yang berada di samping tempat parkir, hingga punggung tegap di balik sweater berwana khaki itu perlahan berbalik dan kedua iris mata mereka bertemu.

Senyumnya terlihat mengembang begitu manis dengan lesung pipinya yang demi Tuhan membuat Sekyung sudah jatuh cinta berkali-kali pada Yiheon.

Kemudian tangannya terulur tidak sabar padanya, “Abang jalannya cepetan dong!” katanya dengan geregetan.

Sekyung hanya mengangguk sambil melebarkan langkahnya kemudian merangkul pundaknya serta menyempatkan untuk mengusak lembut puncak kepalanya, “Iya Yiheon bawel, gak sabar lapar banget ya kamu?”

“Laperrrrr banget belum makan dari SD.” Yiheon menjawab asal-asalan sambil mendelik tajam saat rambutnya jadi berantakan karena ulah tangan jahil pacarnya itu, “Tanggung jawab! benerin.”

“Iya, stop lucu atau abang culik kamu.”

Dan dia bisa langsung meraskan perutnya yang disikut oleh Yiheon sambil anak itu memeletkan lidah padanya, masih aja kdrt.

“Nanti abang yang rugi, aku jajan terus! Kan harus dikasih makan kalau nyulik anak orang.” ia berkata seakan itu adalah hal paling serius yang harus dipikirkan matang-matang oleh Sekyung.

Yang begini nih mana bisa Sekyung dibikin jauh-jauh, maunya dikekepin seharian kalau bisa, “Gapapa, uang abang ada banyak kalau buat kamu.”

“Yaudah boleh deh kalau gitu, culik aja aku bang, culikkkk yang jauh.”

Baru saja selesai bicara, Yiheon langsung melotot saat Sekyung kembali mencuri kecupan di pipinya karena terlalu gemas mendengar balasannya.

“Ya Tuhan, kenapa lucu banget sih pacar aku.”

Sebentar! Kalau masih di dalam mobil sih oke gapapa. Tapi, ini kan lagi di luar dan untungnya cafe terlihat masih kosong hingga tidak akan ada yang melihat mereka dari dalam.

“Bang Sekyung anjir minimal tahu tempat!” serunya kesal sekaligus malu menatap galak pada Sekyung yang terlihat santai sekali sambil tertawa-tawa melihat reaksi hebohnya, bahkan tangan Yiheon itu sudah menepuk-nepuk keras lengannya hingga ia mengaduh, “Kalau ada yang liat gimana coba, abang. Kamu tuh ya!” lanjutnya sambil mendengus dan sibuk melirik ke sekitar mereka.

“Iya gapapa, mau aku pamerin sekalian karena punya pacar semanis Yiheon. Bisa aku cium pipinya sepuasnya.”

Tolong! kalau begini Yiheon mending kabur atau meleleh di tempat saja? Karena pacar gantengnya itu berkata sambil menatapnya sungguh-sungguh dan Yiheon tahu Sekyung bisa melakukannya dengan mudah.

“Tahu deh, ngeselin lu.”

“Iya, love you too.”

“Dih, gak nyambung!”

Sekyung tertawa melihat punggung Yiheon yang sudah ngibrit masuk ke dalam cafe, membuka terburu-buru pintu kaca sehingga menimbulkan bunyi dari lonceng kecil yang ada di atasnya.

Lalu dengan jelas dia bisa melihat Yiheon yang menangkup pipinya sendiri, sedikit merah dan terasa hangat di cuaca yang kembali mendung.

Semuanya karena ulah Sekyung, juga karena mereka hari ini bertemu dan sudah berbaikan.

“Lo yakin nggak nih?”

Jung Sungchan terlihat menengokan kepalanya ke belakang melewati bahunya, menunggu balasan dari orang yang sudah duduk di jok motornya, yaitu Yiheon.

Barusan, sehabis kelas Sungchan langsung tancap gas menuju fakultas Yiheon, saat anak itu mengabarinya sambil terdengar nada panik melalui voice note.

Bang Sekyung kayaknya ribut sama Jaemin!

Sungchan sampai harus mendengarkan berulang kali saat itu, gak salah? Sekyung sama Jaemin ribut? info aneh darimana ini.

Bukan Yiheon, tapi Choi Sekyung?

“Kata Kak Jiyeon, dia liat pacar gue di sana, Sungchan. Asa bilang sendiri ke gue.”

Yiheon berucap cepat tanda gusar, jujur ia juga berharap pacar Asa itu cuma salah lihat. Tapi, ponsel Sekyung yang tidak bisa dihubungi sejak tadi membuatnya berpikir semakin buruk.

Gimana bisa Sekyung berurusan dengan Jaemin karena dirinya? karena masalah di hari Jumat lalu?

Pandangan Yiheon langsung mengedar saat motor Sungchan berhenti di parkiran salah satu fakultas kampus mereka itu. Dengan cepat ia turun dan berjalan menuju banyak mobil yang terparkir di sana, melihat satu-satu mobil berwarna putih yang ada untuk memastikan.

Tentu saja ia hapal betul mobil Sekyung yang selalu menjemputnya dan berharap mobil itu tidak ada di sini.

Sungchan meringis melihat Yiheon yang seperti tidak memperdulikan keadaan kakinya sendiri, ia sibuk berjalan di depannya dengan cepat. Bahkan setelah tiga hari wajah sahabatnya itu masih meninggalkan bekas luka, kalau hari ini ada ribut lagi, Sungchan jelas akan ikut turun tangan.

Di ingatannya seperti masih segar bagaimana Jumat lalu saat ia mendapati telepon dari Yiheon yang meminta menjemputnya, yang membuatnya menghembuskan napas kasar saat melihat keadaan Yiheon yang berantakan dengan noda darah di wajah dan tangannya.

“Yiheon...” panggilnya tidak yakin saat dia berdiri di depan salah satu mobil yang terlihat familiar, “Ini mobil pacar lo kan?”

Song Yiheon mendekat dan ia mengangguk cepat, sialan!

“Abang beneran di sini, Sungchan!” katanya, tanpa sadar kedua tangannya bertautan gelisah.

Yiheon tahu, Sekyung itu bukan tipikal yang akan mendahulukan otot daripada otak. Tapi kalau berurusan dengan Jaemin, semua itu tidak akan ada gunanya.

Hong Jaemin suka bermain-main, memancing amarah lawannya dengan mudah lewat kata-kata kurang ajar hingga Yiheon selalu tanpa ragu untuk memberinya bogem mentah agar dia diam.

“Yiheon, mending kita mencar, oke? Lo ke arah sana, gue ke sini. Langsung kabarin gue kalau udah ketemu Bang Sekyung, ngerti?”

Sungchan terlihat memimpin, dia sedikit meremas pundak Yiheon agar menatapnya, tahu saat ini Yiheon sedang kalut sibuk berpikir kemana-mana, “Jangan macem-macem sendiri, paham! Luka lo aja masih ada. Hubungin gue.” katanya penuh penekanan hingga Yiheon mengangguk sekilas lalu berjalan meninggalkan parkiran.

Sungchan melakukan hal yang sama, sedikit menyayangkan apa yang dilakukan Sekyung saat ini, tapi di sisi lain dia juga paham kalau mungkin dia berada di posisi Sekyung akan melakukan hal yang sama.

Pacar lo dibikin kayak gitu, masa lo gak marah sedikit pun.


Yiheon tentu saja tidak familiar dengan banyak gedung di fakultas ini, ditambah ia berkeliaran saat jam kelas selesai di mana banyak sekali mahasiswa dari berbagai prodi yang semakin memenuhi koridor membuatnya berkali-kali meminta maaf saat menabrak beberapa tubuh yang menghalangi jalannya.

Kini kedua iris matanya menajam memperhatikan dari atas tangga gedung multimedia tempatnya berada sekarang, menatap ke berbagai arah yang untungnya bisa terlihat jelas ke beberapa tempat.

Kebanyakan mahasiswa bergerombol tampak nongkrong sambil bercakap, atau sibuk dengan buku dan laptopnya masing-masing di gazebo dekat gedung perpustakaan.

Tidak ada tanda-tanda rusuh orang ribut di sini membuatnya menghela napas lega.

“Abang, kamu di mana sih!” gerutunya kesal namun penuh khawatir.

Lagi-lagi ia mendial nomor Sekyung sambil menuruni tangga, sakit di kakinya sudah tidak dirasa, semuanya sibuk berkerumul di kepala tentang Sekyung yang masih belum juga ia temukan.

Anjing! Awas aja lu Jaemin kalau bikin cowok gue kenapa-napa.”

Nada penuh marah itu keluar dari bibir Yiheon, wajahnya tampak mengeras dengan tatapan tajam. Kedua tangannya sudah mengepal seperti siap melayangkan pukulan tanpa segan bila ia berhasil menemukan mereka berdua.


Sungchan mengerutkan keningnya dengan dalam saat dia berjalan di lingkungan yang lebih sepi semakin ke belakang. Jujur dia juga tidak familiar sebagai anak saintek untuk berkeliaran di salah satu fakultas soshum ini.

Pemuda jangkung itu dengan langkah lebarnya menyusuri gedung yang tampak tua, oh dia tahu kampus mereka memang sudah berdiri puluh-puluh tahun lalu tapi dia tidak menyangka bangunan seperti ini masih digunakan di sini.

Mungkin ruang kelas karena saat dia mengintip lewat kaca yang berwarna hitam dari luar, suasana di dalam tidak begitu buruk hanya bagian luar gedung saja yang memang terlihat bangunan lama.

Dia mendial nomor Yiheon, berharap temannya itu sudah menemukan Sekyung lebih dulu karena dia malah ikut pusing memikirkan kemana seniornya itu pergi.

Suara dering familiar langsung masuk ke pendengarannya membuat dia menoleh seketika dan berhasil mendapati Yiheon dengan kemeja flannelnya itu mendekat padanya.

“Lu di sini juga.” katanya langsung.

Yiheon tadi memang berjalan asal, suasana gedung yang sepi entah mengapa membuatnya berpikir untuk lewat kesini dan ia langsung melihat punggung Sungchan yang muncul dari arah lain.

“Gue heran, daritadi masa gak nemu mereka. Kayaknya hampir satu fakultas udah gue puterin.” keluh Sungchan saat mereka kini berjalan beriringan, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku hoodie dan netranya melirik Yiheon yang juga mengeluh sama.

Rasanya mereka sudah kemana-mana tapi masih juga tidak melihat batang hidung Sekyung maupun Jaemin.

“Apa mereka gak di sini?” tanya Sungchan ragu, tapi Yiheon menatapnya sambil menggeleng tidak setuju, “Mobil dia ada di sini, Chan. Gue yakin mereka masih di sini.” jawabnya yakin.

Yiheon kembali menatap detail ke sekitar tidak menyerah membuat Sungchan menghela napas sedikit frustasi.

Kalau akhirnya mereka menemukan Sekyung dalam keadaan sama seperti Yiheon tempo hari, Sungchan tidak akan bisa membayangkan bagaimana sahabatnya ini akan mengamuk pada Jaemin.

“Semoga pacar lo gapapa.” ucapnya pelan membuat Yiheon menatapnya sambil menarik sudut bibirnya tipis, “Pacar gue jago berantem gak ya kira-kira?” tanyanya membuat Sungchan terkekeh sambil meninju pelan lengannya.

“Ayo cari lagi.”

Memutuskan tidak kembali berpencar, Yiheon dan Sungchan kini terlihat berjalan di sisi luar fakultas yang bersampingan dengan kantin yang terlihat ramai.

Walaupun kemungkinannya kecil karena mana mungkin mereka memilih tempat ramai untuk ribut, tapi Yiheon tidak perduli.

Langkahnya tetap berjalan berharap pada akhirnya akan melihat Sekyung di suatu tempat di sekitar sini.

Perhatian Yiheon sedikit teralihkan saat ponselnya terus bergetar di saku celana, ia mendengus berpikir siapa sih dari tadi mengganggu di saat seperti ini. Namun, matanya langsung membulat manatap Sungchan yang berdiri di sampingnya.

“Dari Bang Sekyung....” katanya memberitahu.

“Angkat buruan!”

Tangan Yiheon dengan cepat mengangkat telepon dari Sekyung itu, menempelkan ponselnya di telinga dan tidak mendengar suara apa-apa selain hening.

“Halo, abang? Kamu di mana? Kamu gapapa kan?” tanyanya dengan nada tidak sabar, ia menatap Sungchan yang ikut penasaran.

“Choi Sekyung, sumpah jangan bikin gue kayak gini. Kamu gapapa kan?” desaknya lagi sambil menggigit bibirnya, pikirannya sudah kemana-mana.

Takut Sekyung terluka parah.

“Abang di parkiran. Kamu di mana?”

Sekyung balik bertanya, membuat Yiheon langsung bergegas berjalan diikuti Sungchan yang masih menebak-nebak, “Aku ke situ.” jawab Yiheon singkat lalu mematikan teleponnya.

“Gimana? Bang Sekyung kenapa?” Sungchan menahan lengan Yiheon, dia bisa melihat tatapan Yiheon yang kembali mengeras saat ini, “Yiheon.”

“Gue juga gak tahu, Sungchan! Abang ada di parkiran!” sahut Yiheon sedikit keras namun tidak bermaksud membentaknya, ia menatap Sungchan lalu menghela napas kasar, “Gue mau liat dulu keadaan dia. Habis itu gue cari si Jaemin.” lanjutnya dengan nada marah membuat Sungchan kembali frustasi.

“Gak ada. Lo gak boleh ketemu dia. Habis ketemu pacar lo, kita balik!”

Sungchan berkata tegas, dia tidak mau kejadian kemarin kembali terulang. Apalagi amarah Yiheon saat ini sedang tidak terkontrol, yang ada perkelahian mereka malah akan semakin parah.

Tangannya langsung menyeret tangan Yiheon, mengabaikan tatapan ingin tahu dari orang-orang di sana yang melihat perdebatan kecil kedua sahabat itu.

Satu pesan masuk dari Asakara tadi berhasil membuat hati Sekyung mencelos saat dia baru mengaktifkan ponselnya. Ditambah banyak panggilan tak terjawab serta pesan dari Yiheon seperti menjelaskan apa yang terjadi.

“Bang, lo lagi di Fikom ketemu Jaemin kan? Yiheon nyusul ke sana nyari lo dan sangat panik.”

Yiheon entah darimana sudah tahu apa yang terjadi dan bahkan menyusulnya ke sini. Membuat Sekyung menunggu dengan tidak sabar sambil berdiri tepat di samping mobilnya. Pemuda itu bahkan berkali-kali menengok ke sekitarnya, tidak tahu Yiheon akan muncul darimana.

Hingga kemudian dari kejauhan dia bisa melihat tubuh jangkung Sungchan yang berjalan ke arahnya. Tepat di sampingnya ada Yiheon yang memasang wajah khawatir, ia bahkan berlari padanya tanpa perduli keadaan kakinya sendiri membuat kedua iris mata Sekyung melebar.

“Ngapain lari-larian sih, kan masih sakit, Yiheon.”

“Kamu beneran berantem???!” tanya Yiheon tidak perduli ucapan Sekyung. Ia langsung menangkup kedua pipinya membuat Sekyung meringis seketika karena terasa ngilu.

Yiheon tentu saja memastikan keadaan Sekyung lebih dulu, ia memindai lekat wajah kekasihnya itu. Dan dengan jelas bisa melihat sudut bibir Sekyung yang memerah walau pun sudah tidak ada noda darah di sana. Sudah dibersihkan, tapi ia hapal betul kalau itu tampak robek. Juga bagian buku tangannya yang sedikit membengkak tanda kalau dia benar-benar habis menghajar orang.

Setidaknya keadaan Sekyung saat ini tidak separah yang ia takutkan.

“Kamu tahu gak aku daritadi nyariin! Kamu tahu gak aku udah kayak apaan muterin fakultas segitu gedenya buat nyari kamu, Choi Sekyung!”

Yiheon berkata dengan cukup keras, tangannya sudah meremas bagian lengan kemeja Sekyung dengan erat menyalurkan emosinya. Sorot matanya tentu tidak bisa berbohong kalau dia sungguh sedang kalut sekaligus frustasi, menatap langsung pada Sekyung yang sedikit terpaku kaget mendengarnya.

Nadanya jelas sarat akan rasa khawatir, marah dan kesal semuanya jadi satu saat akhirnya bisa melihat Sekyung yang dicarinya sejak tadi.

“Yiheon, sayang—”

“Kenapa susah banget dihubunginnya!!”

Ia marah dan ia tidak perduli saat suaranya yang meninggi itu membuat orang-orang yang melewati parkiran menoleh untuk memperhatikan mereka.

Sungchan yang berdiri di belakangnya membuang napas kecil melihat hal tersebut. Tahu jelas bagaimana perasaan Yiheon yang meledak itu. Ia tidak akan repot-repot untuk menahannya seperti halnya Sekyung ketika dihadapkan pada kejadian tempo hari di kosan Asa.

Sungchan mengenal Yiheon sejak lama, sahabatnya itu tidak akan pernah ragu untuk maju paling depan kalau ada apa-apa yang menimpa temannya. Dan saat itu jatuh pada seorang Choi Sekyung yang jelas berstatus pacarnya, Sungchan sudah bisa membayangkan akan bagaimana Yiheon bertindak.

Bagaimana tadi sikap tidak menyerah Yiheon mencari Sekyung tanpa memperdulikan keadaannya sendiri sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya, arti Sekyung bagi Yiheon memang sebesar itu.

Satu kesimpulan lain yang bisa ia tarik juga, Sekyung pun berlaku sejauh ini untuk Yiheon. Sekyung yang ia tahu penuh dengan sikap tenang dan sopan akan bertindak di luar kendali juga bila itu menyangkut Yiheon, orang yang disayanginya.

Melihat luka Sekyung yang tidak terlalu parah membuat Sungchan memikirkan dua hal kemungkinan.

Sekyung berhasil berbicara dengan Jaemin secara baik-baik atau Sekyung justru membuat Jaemin tidak bisa berkutik melawannya.

Dan untuk kemungkinan yang pertama, jelas Sungchan ragu karena dia tahu betul bagaimana seorang Jaemin yang tidak akan mendengarkan dengan mudah apalagi dia tidak mengenal sosok Sekyung sama sekali.

Mungkin, Sungchan nanti akan mendengar keadaan Jaemin yang lebih parah? saat pasti luka-luka bekas hari Jumat lalu belum sepenuhnya hilang, tubuhnya harus ditambah luka baru dari amarah Sekyung yang sudah ditahannya berhari-hari.

Terdengar cukup mengerikan baginya karena jujur mereka tidak pernah melihat Choi Sekyung marah secara langsung.

Tapi, apa pun itu Sungchan hanya berharap masalah mereka sudah diselesaikan hari ini oleh Sekyung.

Semoga Jaemin benar-benar tidak akan berani lagi mencari gara-gara dengan Yiheon.

“Sorry ya, gak ada apa-apa kok. Jangan diperdulikan. Biasalah orang pacaran.”

Sungchan berbicara pada orang-orang di sekitar yang sudah berhenti untuk menonton mereka, dia dengan senyum tampannya mencoba membuat orang-orang kembali kepada aktivitas mereka.

Di lapang parkir saat jam pulang kampus, tentu saja akan banyak orang di sini. Terlebih ketiganya adalah wajah asing dari orang luar fakultas mereka.

“Abang tahu gak kaki aku sakit, tapi aku gak bisa berhenti jalan karena aku terlalu takut kalau aku nyerah kamu bakal kenapa-napa. Aku udah gak bisa mikir hal positif dari tadi!”

Song Yiheon berjongkok dengan cepat sambil menelungkupkan wajahnya yang memerah menahan tangis. Suaranya terdengar bergetar dengan lirih dan sudut matanya sudah panas tidak bisa menahan lagi apa yang mendesak keluar dari sana.

Sebegitu khawatirnya Yiheon saat ini terhadap Sekyung.

Sekyung kembali dibuat terpaku melihatnya hingga kemudian dia berlutut memeluknya, ikut menurunkan tubuhnya sambil berucap maaf berkali-kali.

Tidak ada sedikit pun niat membuat Yiheon khawatir sampai begini. Harusnya Yiheon sudah pulang, bukan justru mencarinya ke sini.

“Yiheon... abang minta maaf banget banget ya, sayang...”

Dia merengkuh Yiheon yang pundaknya mulai bergetar perlahan dan masih enggan mengangkat wajahnya.

“Abang gapapa...” katanya mencoba menenangkan, menaruh dagunya di atas puncak kepala Yiheon dan menciumnya berkali-kali, namun tangis Yiheon malah tambah kencang dan pecah, “Abang gapapa, kamu jangan khawatir, sayang...”

Semua lelahnya, semua sakitnya yang tadi tidak ia perdulikan mulai terasa lagi saat ia merasakan tangan Sekyung mengeratkan pelukannya serta mengucap kata maaf tanpa henti.

Hatinya merasa lega karena Sekyung jauh dari kata parah, tapi rasa khawatir serta marahnya membuat emosi Yiheon berantakan hingga ia hanya bisa menangis.

Lagi-lagi Sungchan harus mengusir orang-orang saat tingkah mereka semakin menarik perhatian, “Udah ya guys, gak ada apa-apa serius! Gak usah diliatin kayak gitu anggap aja kita patung.” tangannya memberi gestur mengusir secara halus, lalu diam-diam anak basket itu menggerutu kesal, “Kayak baru liat orang pacaran lagi ribut aja. Heran gue!”

“Bang, udah bawa balik aja deh. Lo juga sih kan jadi begini tuh Yiheon nya.” dia akhirnya ikut berkomentar setelah sejak tadi menjadi saksi langsung drama hari ini.

“Dia khawatir takut lo bonyok parah di tangan si Jaemin.”

“Iya Sungchan, makasih udah bantuin Yiheon ya. Maaf juga udah ngerepotin lu hari ini. Sisanya biar gue aja, lu boleh pulang.”

Sungchan menatap mereka yang masih di bawah, Yiheon masih menelungkupkan wajahnya dan menangis dengan Sekyung yang tampak sabar memeluknya dan berusaha menenangkannya.

Pemuda itu bahkan tidak perduli dengan sekitarnya, terserah mau dijadikan tontonan orang yang menatap ingin tahu pun, karena yang ia perdulikan hanya Yiheon.

Sungchan melirik jam di pergelangan tanganya sekilas, masih jam segini. Lalu netranya menoleh ke arah samping, kebetulan fakultas ekonomi ada di sebelah, kan?

Gue juga butuh nenangin pikiran, malah ikutan stress kebawa emosi mereka berdua. Mending ke tempat Abin dulu aja, pikirnya.

“Ya udah. Gue balik, bang. Jagain awas nanti dia kabur buat nyamperin si Jaemin lagi tuh.” Sungchan berkata serius, dia takut Yiheon berbuat nekat karena dia tahu sahabatnya itu tentu bisa dengan mudah berbuat hal seperti itu.

Mendengarnya Sekyung kembali mendongak, dia tersenyum tipis menatap Sungchan dengan tangan yang tidak berhenti mengusap-ngusap punggung Yiheon.

“Tenang aja, lu bisa percayain Yiheon sama gue.”

Song Yiheon tanpa sadar semakin meringkuk dalam tidurnya saat merasakan ac kamar yang terasa menusuk dingin ujung kakinya yang tidak tertutup selimut. Ia masih sangat mengantuk, lagipula ini hari Sabtu, hari libur dan tentu saja tidak ada jadwal kuliah.

Namun, tepat di detik ke lima, netranya terbuka lebar saat baru saja memproses apa yang terjadi semalam.

Oh iya, dirinya saat ini sedang tidur di kamar Choi Sekyung, pacarnya.

Yiheon mengerang pelan saat tubuhnya terasa nyeri di sana-sani ketika ia semakin banyak bergerak, sialan lagi-lagi otaknya itu mengumpat, menyumpah serapah pada Jaemin.

Ia akhirnya bangun dengan hati-hati sebisa mungkin tidak ingin membangunkan Sekyung yang tampak masih memejamkan matanya, kebetulan dia tidur menghadap pada dirinya sehingga Yiheon bisa melihat wajah tenang serta napas teratur yang memberi tanda kalau dia masih berada di alam mimpi.

Jam di atas meja baru menunjukan pukul lima lebih lima pagi, masih terlalu dini untuknya memulai aktivitas di hari libur.

Maka, setelah selesai dari kamar mandi. Yiheon kembali bergelung di atas tempat tidur, tidak lupa ia memakai dan membenarkan selimut yang sudah melorot di tubuh Sekyung itu hingga sebatas dadanya agar dia tidak kedinginan.

Mau memejamkan matanya lagi rasanya mendadak tidak bisa saat Choi Sekyung ada tepat di depannya seperti ini, jelas dan dekat.

Tubuh Yiheon sengaja bergeser untuk mendekat, menyentuh anak rambut Sekyung yang berjatuhan acak di atas keningnya lalu hanya ditatapnya dengan lekat sambil menyunggingkan senyum tipis hingga kemudian ia menunduk untuk menciumnya di sana diam-diam.

Mumpung Sekyung nya masih tidur.

Namun, Yiheon meringis karena tebakannya salah. Sekyung ternyata sudah bangun dan ia malah ketahuan.

“Ngapain, sayang?”

Choi Sekyung bertanya pelan dengan masih memejamkan matanya, dia jelas tahu betul apa yang dilakukan Yiheon barusan. Karena sejujurnya Sekyung itu mudah terjaga ketika tidur maka saat Yiheon berlaku seperti itu dia bisa langsung terbangun dengan mudah.

Perlahan kedua matanya terbuka saat satu tangan milik Yiheon kali ini mengusap lembut pipinya.

“Gapapa. Abang tidur lagi aja ini masih pagi banget tahu, masih gelap tuh di luar. Masih jam lima.” bisik Yiheon mulai mengoceh, ia sudah tengkurap begitu dekat dengannya tampak anteng menatap Sekyung yang justru tertawa kecil dengan suara dalam khas bangun tidur.

Sepertinya hari baru, batrai baru. Masih pagi sudah full energi saja.

Soalnya sudah direcharge semalam tidur di pelukan Sekyung.

“Kok malah ketawa sih.”

“Selamat pagi, sayangku yang paling lucu dan menggemaskan.” balasnya sambil mengecup sekilas bibir Yiheon yang tampak sedikit merenggut, sukses membuat anak itu melolot kaget dengan wajah perlahan memerah.

Morning kiss, katanya.

Tentu saja, jiwa kompetitif Yiheon bisa muncul dalam hal apa pun seperti saat bagaimana ia berlaku sama pada Sekyung yang kembali mengeluarkan tawa. Bahkan anak itu semakin mendekat padanya, menciumi pipinya berlama-lama dan kekeh menyuruhnya untuk tidur lagi, bawel banget.

Akhirnya Sekyung membuka tangannya untuk kembali membawa Yiheon ke pelukannya lalu dijadikan guling dengan kakinya yang sudah mengunci tubuh Yiheon. Juga memakaikan selimut hingga menutupi tubuh mereka sebatas bahu.

“Ya sudah tidur lagi tapi begini.”

Ia tidak protes sama sekali, Yiheon justru seperti diberi akses untuk kembali ndusel pada Sekyung seperti semalam. Malah senang.

“Tidur kamu semalam nyenyak?”

Satu anggukan kecil bisa Sekyung rasakan dari Yiheon yang sudah mengubur wajah di ceruk lehernya, sepertinya itu spot favorit Yiheon baru-baru ini.

Suasana temaram kamar Sekyung serta suara khas pagi hari dari burung di luar seperti menambah nyaman apa yang sedang terjadi sekarang.

Sekyung kembali memejamkan matanya tanpa berniat untuk melepaskan pelukannya pada Yiheon yang malah kembali mengantuk saat Sekyung mengelus lembut rambutnya.

“Abang...” panggilnya lirih hampir tidak jelas karena sangat pelan, ia semakin melingkarkan tangannya di bahu Sekyung serta menumpukan sebagian beban tubuhnya pada Sekyung, “Ngantuk...” katanya yang membuat Sekyung tersenyum kecil sambil membenarkan posisi tidurnya agar Yiheon bisa tidur dengan nyaman.

“Mau tidur lagi, sampai jam tujuh aja, boleh ya?”

Lagipula ini weekend, setelah lima hari kemarin ia harus rela bangun pagi karena jadwal kuliah yang padat. Biarkan hari ini tubuhnya yang bonyok itu istirahat lebih lama di atas kasur, bonus dipelukan Sekyung.

“Iya tidur lagi gapapa, sayang. Gak ada yang ngelarang.”

Soalnya Yiheon tahu Sekyung itu orangnya memang morning person banget, hari libur pun dia biasa bangun pagi.

Tapi, untuk sekarang sepertinya pengecualian karena dia harus ngelonin pacarnya yang manja ini.

Dikekepin, dipukpuk, disayang-sayang hingga Yiheon nya kembali terlelap dan Sekyung bisa merasakan deru napasnya yang teratur menerpa lehernya.

Dia menunduk sedikit, meliriknya untuk memastikan lalu mendaratkan sebuh kecupan ringan di pelipisnya.

Berapa kali ya dia sudah melihat Yiheon yang tidur seperti ini. Sekyung bisa betah berlama-lama menatapnya, wajah Yiheon yang sedang terlelap itu begitu tenang.

Siapa sangka kalau sudah bangun ia akan tidak bisa diam dengan segala tingkahnya.


Yiheon sedikit mengernyit, matanya kembali ditutup saat merasakan silau cahaya dari gorden jendela berwarna putih itu. Walaupun belum dibuka namun jelas lewat celahnya cahaya matahari pagi masih bisa menerobos masuk memberi sinar di kamar bernuansa coklat muda ini.

Ia mencoba menghalau cahaya tersebut menggunakan tangannya yang di taruh untuk menghalangi matanya.

“Sudah bangun?”

Sekyung bertanya pelan saat Yiheon menggeser badannya untuk memberi jarak. Ia hanya mengangguk kecil sambil mengucek matanya.

Melirik jam yang berada di atas meja dan sontak mata yang masih setengah mengantuk itu membulat sempurna, setengah delapan pagi.

Lebih dari pukul tujuh seperti yang tadi ia katakan. Pantesan sudah terik sekali di kamar karena matahari sudah cukup tinggi di luar sana.

Mungkin karena dipukpuk terus jadi keenakan tidurnya tambah nyenyak.

“Maaf kesiangan...” ucapnya meringis menatap Sekyung yang hanya terkekeh menanggapinya sambil mengubah arah tidurnya untuk menyamping dengan mengganjal kepalanya sendiri menggunakan tangan.

Satu tangannya yang bebas kembali di taruh di atas kepala Yiheon yang juga masih belum berniat untuk bangun, dirapikannya rambut yang mencuat di sana sini itu, “Gapapa, sayang.” balasnya.

Yiheon menatap pacarnya lalu menarik kedua sudut bibirnya dengan lebar, pagi ini pemandangannya indah sekali. Bangun tidur disambut wajah tampan Sekyung yang menatapnya hangat.

Kemudian Song—bucin—Yiheon itu kembali membatin riweuh saat Choi Sekyung mendekat untuk mencium keningnya sekilas.

Tangannya berganti memeriksa luka-luka Yiheon, “Nanti diobatin lagi ya, habis kamu mandi.” dia menatap lebih serius kali ini, “Ada yang sakit lagi nggak? Nanti biar jadi ke rumah sakit.”

Masih saja.

“Gak mau, aku gapapa serius. Sakit sih tapi masih bisa aku handle.” ia menatap Sekyung dengan memelas, mencoba meyakinkannya, “Please, gak usah ya, abang sayang?” pintanya sambil menyatukan tangan sedikit merengek.

Oh, ayolah masa gini doang harus ke rumah sakit sih. Yiheon bukan menyepelekan rasa khawatir Sekyung, hanya saja dia merasa keadaannya tidak seburuk itu saat ini.

Sekyung menatapnya dalam diam, percuma mau maksa pun kalau Yiheon nya tidak mau, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi dihadapkan dengan Yiheon yang meminta dengan begitu menggemaskan jelas membuatnya luluh juga.

“Ya sudah kalau gak mau. Tapi jangan ditahan kalau sakit. Luka yang di perut kamu itu gimana? Coba lihat makin parah nggak.”

Ternyata Sekyung memang menyadarinya pasti sejak kemarin waktu di kamar Asa, pikir Yiheon.

Kalau dia sudah tahu, mau bagaimana lagi. Tanpa berniat membantah atau menyembunyikannya, Yiheon lantas menyingkap bajunya dan memperlihatkan kulit polosnya yang terasa dingin saat terkena udara dari ac yang memenuhi kamar.

Semalam sih masih merah, gak tau kalau sekarang, ia sendiri juga belum melihatnya lagi.

Netra Sekyung jelas bisa menangkap lebam yang sudah agak membiru di sana membuatnya menghembuskan napas kasar dengan alis menyatu dan Yiheon tentu menyadarinya walau sedikit tapi raut wajah Sekyung itu tampak tidak senang.

“Aku nanti minum obat kalau udah beneran ngerasa sakit banget, janji. Nanti dikompres juga.” katanya buru-buru kembali menurunkan lagi bajunya.

Ia tentu tidak mau membuat mood Sekyung malah rusak di pagi yang harusnya cerah ini. Ucapannya itu hanya dibalas gumaman kecil membuat Yiheon kembali meringis.

Tidak ingin terus membahas yang malah membuat Sekyung semakin khawatir, Yiheon kemudian terlihat sibuk berpikir memutar otaknya.

Hingga beberapa menit berlalu, mereka sepertinya malah mager-mageran belum ada yang berniat beranjak dari tempat tidur lebih dulu.

Sekyung pun kini terlihat betah berlama-lama menatapnya sambil memainkan tangannya, dipegangin terus sambil diusap-usap lembut di atas lukanya yang dibalut plester. Wajahnya sudah kembali seperti semula, tampak tenang dengan kedua sudut bibirnya yang ditarik tipis.

“Abang.. yang di meja itu foto kapan? Kamunya kemasan sachet gemes banget. Terus anjingnya punya abang?”

Song Yiheon dan rasa ingin tahunya langsung mengambil alih, bukan hanya sekedar mencari topik mengalihkan yang tadi, tapi ia juga penasaran.

Tentang Sekyung walaupun mereka kenal cukup lama, Yiheon juga menyadarinya kalau banyak sekali yang ia belum tahu. Berbeda dengan Sekyung yang mungkin lebih banyak mendengar cerita darinya yang terkadang over sharing tanpa bisa dicegah.

Sekyung tampak menarik kedua sudut bibirnya semakin lebar sebelum menjawab, pandangannya terlihat menerawang untuk mengingat kenangan masa kecilnya dulu.

“Pas baru mau masuk SD kayaknya waktu itu, jujur agak lupa. Bukan punya abang juga sih, cuma dia memang ada di rumah Oma di luar kota, sayang.” jelasnya membuat Yiheon mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan ia sudah terfokus sepenuhnya sambil sedikit mendekat, “Terus sampai sekarang masih suka ketemu dong kalau abang ke rumah Oma? pasti tambah besar dari yang di foto ya?” tanyanya lagi.

“Enggak. Udah lama sekitar lima tahun lalu terakhir lihat, anjing nya sempat sakit terus sekarang udah gak ada.”

Kedua mata Yiheon terlihat mengerjap kaget saat mendengarnya lalu ia menghela napas berat, “Sedih... kasihan anjingnya..” seperti bisa membayangkan bagaimana rasanya karena ia juga memiliki hewan peliharaan, ah Yiheon jadi ingat si ayang di rumah lagi apa ya jam segini.

Responnya itu membuat Sekyung tersenyum kecil, “Iya sedih banget, dulu waktu kecil hampir setiap hari nemenin abang main soalnya.” jelasnya membuat kedua alis tebal Yiheon kini menyatu.

“Tapi kok jauh banget anak kecil mainnya ke luar kota?”

Satu kekehen ringan terdengar tanpa bisa dicegah saat mendengar pertanyaan polos Yiheon itu. Sekyung tampak gemas hingga ia mencium tangan yang ada di genggamannya.

“Abang memang sempat tinggal di sana. Beberapa kali pindah kota juga karena pekerjaan Papa. Baru pindah ke sini pas masuk SMA, sayang.”

“Serius? Kok aku baru tahu. Abang gak pernah cerita juga sih! Terus misal abang dulu gak pindah ke sini, kita gak akan ketemu dong.”

Sekyung terlihat mengedikan bahunya, “Kalau memang sudah seharusnya ketemu, abang yakin kita akan tetep kenal nantinya di mana pun itu, sayang.” jelasnya membuat Yiheon mengangguk setuju.

Kalau jodoh gak akan kemana, kan?

Walaupun itu mungkin terlalu jauh untuk dipikirkan sekarang, tapi diam-diam Yiheon berharap banyak pada nasib mereka.

Tentang Sekyung ternyata memang banyak sekali yang ia belum tahu, maka hingga hampir lima belas menit kemudian Choi Sekyung dengar sabar menjawab apa saja pertanyaan bawel dari Yiheon.

Ia sibuk bertanya ini itu dan mendengarkan jawabannya dengan antusias, jarang-jarang Sekyung bercerita banyak, orang saat dimintai life update saja sering tidak mau.

“Nanti orang tua abang pulang? terus aku gimana?” tanyanya lagi membuat Sekyung menatapnya tidak mengerti.

“Gimana apanya? Ya gapapa, sayang.”

“Takut.” cicit Yiheon dengan suara kecil banget.

Sekyung menghela napas dibuatnya, dia kembali menangkup pipi Yiheon sambil diusap dengan ibu jarinya, “Takut apa? Takut digigit? dikira mereka vampir apa.”

Yiheon langsung mendengus kecil, malah bercanda!

Nanti gimana kalau mereka lihat penampilannya yang seperti ini, terus kalau mereka nggak suka gimana. Kalau perangai seperti Sekyung tentu saja mudah disukai dan sudah dibuktikan dengan respon kedua orang tuanya, tapi ia kan tidak sebaik Sekyung.

“Abang, kalau nanti kita gak direstuin aku bakal sedih banget.”

Demi Tuhan, ini anak mikirnya udah kemana-mana membuat Choi Sekyung geregetan melihat lagi raut sedihnya dengan bibir yang melengkung ke bawah.

“Sayangku, jangan mikir aneh-aneh dulu ya. Mereka gak gitu, oke?” Sekyung kembali memasang senyum lembut, tahu kalau Yiheon saat ini sedang gusar.

“Kamu tahu nggak, malah dikiranya abang yang kepedean loh waktu dikasih kue sama Bunda. Sampai ngiranya kalau abang cuma ngaku-ngaku aja.” jelasnya lalu tertawa kecil, menatap dalam pada Yiheon tanpa segan, “Masa Mamaku nggak percaya kalau ada yang mau sama anaknya.”

Jelas banyak, Tante. Ngantriiii banget yang mau sama Choi Sekyung, batin Yiheon.

Ia tampak kembali antusias mendegarnya, kedua matanya sudah berbinar menatap Sekyung, “Beneran nggak?” tanyanya mendesak, jujur ia deg-degan juga kalau beneran nanti bertemu orang tua Sekyung.

“Iya, sayang. Masa bohong.”

Melihat Sekyung yang bicara sungguh-sunggu membuatnya bisa bernapas dengan lega dan kembali melebarkan senyumnya lebih percaya diri.

Gapapa deh, gimana nanti saja toh ia punya Sekyung yang akan ada di sampingnya.

Dih, lu udah kayak mau menghadap siapa saja, batinnya geli sendiri.

“Nanti abang bikinin bubur, kamu sudah lapar belum? mau sarapan sekarang?”

Diberi pertanyaan seperti itu, Yiheon bukannya menjawab malah menatap heran pada pacarnya penuh ragu.

Ia langsung menutup mulutnya, “Aku gak mau keracunan.” katanya dengan suara teredam namun masih bisa terdengar jelas oleh Sekyung yang langsung mendengus.

“Ya enggak lah, masa pacar sendiri diracunin. Abang nanti tanya mbak cara bikinnya.”

Oh, justru itu satu-satunya yang Yiheon takutkan, ia bahkan ragu Choi Sekyung ini bisa masak mie sendiri.

“Gak usah, abang. Aku makan yang dikasih mbak aja nanti.” katanya sambil menggeser tubuhnya menjauh ke sisi tempat tidur seakan tawaran Sekyung adalah hal yang sangat berbahaya.

Yiheon sudah waspada saat melihat kilat jahil di kedua netra Sekyung yang menatapnya hingga kemudian ia memekik begitu Sekyung mengurung tubuhnya dan secepat kilat sudah berada di atasnya.

Satu alis Yiheon terangkat menatap Sekyung yang menumpu tubuhnya dengan tangan yang berada tepat di samping kepalanya.

Mau ngapain lu, Choi Sekyung????!

Mencoba biasa saja, Yiheon mendongak menatap datar pada Sekyung yang kampretnya malah mengeluarkan senyum miring tanda bermain-main.

“Apasih, kamu mau ngapain? berat nanti kalau nindih aku!”

Sekyung seakan tidak perduli protesan apa yang dia dengar barusan, “Kalau pacarku, maunya kita ngapain, hmm?” bisiknya sedikit kurang ajar di samping telinganya.

Stress!

“Abang jangan memanfaatkan ketidakberdayaan aku sekarang. Awas aja lu nanti!” balas Yiheon yang membuat Sekyung tertawa, oh dia paham kalau lagi sehat itu pasti kaki sudah menendangnya hingga jatuh tersungkur dari tempat tidur.

Sambil memasang wajah penuh senyum, Sekyung perlahan menunduk membuat Yiheon tanpa sadar meremas selimut berwarna abu yang sudah melorot di pinggangnya.

Sekyung hanya mengusakkan hidung mancungnya pada hidung Yiheon dan langsung terkekeh melihat anak itu sudah memejamkan matanya.

“Mikir apa sih, Song Yiheon.” katanya sambil menyentil pelan kening Yiheon menggunakan jarinya.

Tentu saja Yiheon langsung membuka matanya lagi lalu mendelik tajam menatap Sekyung yang masih menyisakan tawa kecil namun dia belum beranjak sedikit pun di atasnya.

“Ngeselin banget lu sumpah!” Yiheon refleks merutuk kemudian mencoba mendorong dada Sekyung agar pergi dari atasnya, namun pemuda itu tidak berniat beranjak sedikit pun.

Sekyung menggeleng pelan tanda menolak, dia malah semakin merendahkan jarak tubuhnya dan Song Yiheon tidak akan masuk untuk kedua kali dalam perangkap liciknya itu.

Apalagi saat tangan Sekyung itu perlahan mengusap ringan sisi wajahnya, dari mulai kening hingga menyentuh dagunya dan sengaja memegangnya sedikit lebih lama tanpa bicara apa pun.

Halah percuma walaupun ditambah trik seperti itu, gak akan mempan, batin Yiheon nyinyir.

Tapi, ia malah meneguk ludahnya sendiri saat tatapan penuh jahil Sekyung itu berubah menjadi teduh, tidak ada senyum main-main seperti tadi karena di sudut bibirnya hanya ada senyum simpul yang terlihat begitu lembut.

Yiheon jelas masih membuka matanya saat Sekyung mengecup lembut di bibirnya dan ketika bibir tebalnya itu bergerak perlahan, lututnya malah lemas.

Sialan! kok ciuman beneran.

Yiheon sudah tidak bisa mundur selain ikut memejamkan matanya seperti yang sudah dilakukan Sekyung lebih dulu.

Choi Sekyung lagi-lagi tersenyum di antara ciumannya saat tangan Yiheon kini sudah terangkat memeluk bahunya, membawa tubuhnya semakin turun untuk memperdalam ciuman mereka yang tidak seperti tiga hari lalu.

Maka, dikabulkannya lagi permintaan kekasihnya itu dengan senang hati, Sekyung akan menuruti mau nya Yiheon.

Terserah, apa pun asal ia senang.

Song Yiheon bisa merasakan sensasi geli seperti penuh kupu-kupu di perutnya semakin mendesak memenuhi hingga naik ke dadanya, jantungnya bahkan sudah berdegup tidak terkendali hingga ia takut Sekyung bisa mendengarnya sekarang walaupun dia sepertinya tidak akan memberikan perhatian pada hal lain selain dari ciuman mereka yang belum selesai.

Satu tangan Yiheon yang berada di balik bahu Sekyung tanpa sadar sedikit naik untuk menyisir rambutnya, membuat Choi Sekyung kembali menghadirkan sebuah senyum kecil di antara mereka.

Kalau begini, bukan hanya Yiheon yang bisa gila. Choi Sekyung jelas akan ikut bersamanya.

Yiheon terlihat yang lebih dulu menjauh, memberi jarak tipis diantara mereka dengan kening yang nyaris bersentuhan. Tanganya menahan dada Sekyung yang hampir menindihnya.

“Udahan....” bisiknya lirih, menatap langsung kedua iris Sekyung yang terlihat berbinar tidak bisa menyembunyikan perasaannya saat ini, “Bibir aku perih tahu lama-lama..” lanjutnya yang behasil membuat Sekyung tertawa namun juga kasihan.

Dia mengecup pelan penuh sayang di sudut bibir Yiheon tersebut.

“Cepat sembuh makanya ya.” katanya sambil mengusap kembali pipi Yiheon, menatapnya teduh dan mengucap sungguh-sungguh.

“Iyaaa, abang sayang. Sekarang mandi gih udah siang, gantian abang dulu aja aku masih mager mau tiduran lagi.”

Yiheon memamerkan senyum lebarnya hingga pipi bolongnya itu terlihat dan Sekyung tidak bisa menahan untuk memberikan kecupan-kecuman gemas di sana membuat Yiheon tertawa geli sambil berkelit untuk menghindar walaupun ruang geraknya sangat terbatas di bawah Sekyung yang dengan mudah memegang pinggangnya.

Mereka melepaskan tawa yang begitu renyah saling beradu mengisi kamar yang terbiasa sunyi, dengan suara Yiheon yang memintanya berhenti dan Sekyung yang tampak senang menjahili pacarnya itu.

“Abang, mandi buruan!” Yiheon menatapnya galak saat Sekyung akhirnya berguling ke sampingnya dan pergi dari atas tubuhnya.

“Kenapa harus gantian kalau bisa barengan.”

“Abang kalau ngomong gak boleh sembarangan!! Awas aja!”

Sekyung langsung kabur sambil terbahak sebelum dia kena amuk dan sukses mendapatkan lemparan bantal dari Yiheon yang sudah duduk hingga mengenai punggungnya.

“Bercanda doang, Yiheon.”

Lagi sakit saja lemparannya masih akurat, apalagi kalau sehat pasti dia sudah habis tuh, pikirnya sambil mengusap punggungnya sendiri yang menjadi korban kdrt di pagi hari.

“Sayangku kekasihku, Song Yiheon.” panggilnya dari pintu kamar mandi dengan kepala menyembul keluar membuat Yiheon menatapnya penuh tanya, apaan lagi sih Choi Sekyung!

I love you.

Tanpa mengeluarkan suara, Sekyung berkata pelan. Hanya gerak bibirnya saja yang bisa Yiheon baca dengan jelas.

“Ngomong sekali lagi aku kunciin kamu di sana!!”

Sekyung menatap gemas pada Yiheon yang mengumpat tapi langsung menyembunyikan wajahnya yang memerah di bawah bantal dan kembali menggulung tubuhnya dengan selimut sebadan-badan seperti kepompong.

Salting brutal.

Tapi Yiheon menyukainya, bagaimana setiap hari Sekyung selalu memberinya kasih yang banyak.

Selalu menunjukan perasaanya tanpa ragu agar ia tahu bagaimana rasanya dicintai oleh seorang Choi Sekyung, kekasihnya.

“Gak malem, gak pagi, terus aja gue dibikin baper! sport jantung mulu ya ternyata kalau dipacarin Choi Sekyung!”

Katanya, Choi Sekyung itu tidak pernah marah terhadap Song Yiheon.

Benar, itu adalah sebuah fakta yang bisa diperkuat oleh kesaksian Asakara yang memang mengenal keduanya sejauh ini.

Yiheon adalah salah satu temannya sejak dia menjadi mahasiswa baru di kampus, bersama dengan Sungchan yang merupakan teman Yiheon sejak SMA, ketiganya entah bagaimana menjadi semakin dekat dalam urusan pertemanan walaupun berada di fakultas yang berbeda.

Sedangkan Choi Sekyung adalah senior mereka. Mahasiswa tingkat tiga itu awalnya merupakan kenalan Yiheon yang kemudian membuat mereka ikut mengenalnya saat kerap bertemu beberapa kali.

Namun, hari ini sepertinya pemuda itu meragukan kesaksiannya sendiri.

Asa dengan jelas menyadari ada perubahan dari raut pemuda yang kerap mereka panggil Bang Sekyung itu sejak menuruni mobil berwana putihnya yang terparkir tepat di depan gerbang kost, tempat mereka sedang menunggu Yiheon yang sedang dijemput oleh Sungchan.

Tidak ada senyum seramah biasa yang selalu dia tampilkan. Wajah tampan itu terlihat lebih serius dengan bibir yang membentuk garis lurus.

Langkahnya dengan tenang namun tegas perlahan memasuki gerbang dan melawati parkiran dengan beberapa motor serta mobil penghuni yang terparkir rapi, dia menghampiri Asa yang duduk di bangku depan kamar yang berjajar.

“Belum datang?” tanyanya langsung yang membuat Asa menjawab pelan, “Belum, bang.”

Sungchan belum mengabari Asa lagi. Mungkin masih di jalan walaupun terasa lama sekali karena jarak kampus dan kosannya terbilang tidak terlalu jauh.

Cepat-cepat dia menanyakannya lagi guna melaporkan apa yang dilihat sekarang. Perasaannya tidak enak saat melihat Sekyung yang tidak seperti biasanya.

Ngamuk beneran kayanya nih orang, pikirnya sambil melirik Sekyung yang memilih berdiri bersandar pada tembok, pemuda itu bahkan menolak tawaran Asa yang menyuruhnya menunggu sambil duduk.

Kedua tangan di balik hoodie abu muda itu terlipat di depan dada sambil ujung sepatunya mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar. Pandangannya bahkan lurus ke arah gerbang yang terbuka setengah.

Bisa dibilang Asa memang tidak terlalu akrab dengan seniornya itu, selain karena berbeda fakultas, mereka juga biasa mengobrol sebatas saat Sekyung menjemput Yiheon bila sedang di kosannya. Atau pernah nongkrong bareng sambil makan sepulang kuliah sesekali kali.

Namun, saat ini tanpa perlu mengenal dalam sosok tersebut, seratus persen Asa yakin Choi Sekyung yang berada di depannya ini khawatir terhadap Yiheon, sahabat keras kepalanya yang sedikit berulah hari ini.

Tetapi, seharusnya memang begitu kan? karena jelas Song Yiheon adalah pacarnya.

Apa yang dikatakan Sungchan tentang keadaan Yiheon tidak serta merta ia sampaikan pada Sekyung, biar lihat sendiri saja karena sejujurnya dia pun tidak tahu tolak ukur luka seperti apa yang ada pada standar aman seorang Yiheon.


Sebelumnya tidak akan ada yang pernah menduga bahwa suara motor yang memasuki parkiran sebuah kost dua lantai berwarna kuning pucat itu bisa membuat tiga orang sekaligus menghembusakan napas lega mereka masing-masing.

Sungchan si pengemudi, Asakara si penghuni kost, dan tentu saja Sekyung yang pikirannya terasa paling penuh saat ini.

Sedangkan satu orang lagi tidak tahu apa-apa, yang merupakan si tokoh utama kejadian ini justru terlihat santai sekali di belakang tubuh jangkung Sungchan yang memboncengnya.

Sekyung menegakkan tubuhnya yang semula bersandar pada tembok, memasukan kedua tangan ke dalam saku celana jeansnya. Dia menatap motor yang baru saja terparkir di depannya dan nertanya langsung tertuju pada Yiheon yang baru saja turun dari atas motor.

Dalam sepersekian waktu tersebut, Asa berjalan mendekat lebih dulu. Mengecek kondisi temannya itu yang terlihat tidak terlalu baik.

Oke, kalau boleh jujur, jelas sedikit berantakan.

Dihadapkannya tubuh Yiheon ke kanan dan kiri bahkan ke bekalang hingga diputar, praktis pemuda yang katanya masih ada keturunan Jepang itu menggerutu pelan membuat Yiheon meringis karena Sungchan sudah melakukan hal yang sama padanya tadi.

“Gue gapapa, Asa.”

Pandangan Yiheon kali ini baru beralih pada Sekyung yang belum beranjak dari tempatnya. Masih berdiri di depan tembok depan salah satu kamar.

Ia langsung menuntut penjelasan menatap pada kedua temannya seakan bertanya,

Kok ada pacar gue di sini?!!

Baik Sungchan maupun Asa hanya mengangkat bahu, “Gak tahu.” ujar mereka berhasil membuat Yiheon memutar kedua bola matanya.

Sudah jelas-jelas ini ulah mereka berdua yang pasti mengadu. Dari siapa lagi Sekyung tahu kalau ia akan ke sini.

Sekyung masih diam saat dia melihat Yiheon mencopot tisu yang sedari tadi tersumpal di hidung kanannya akibat mimisan, lalu dilempar kecil ke tempat sampah yang ada di pinggir parkiran.

Di sini jelas yang paling tahu keadaan Yiheon selain dirinya sendiri adalah Sungchan yang tadi datang menjemputnya. Maka pemuda jangkung itu langsung merangkul lengannya dan membantunya jalan.

“Gapapa apanya kayak begitu, Yiheon!” seruan Asa terdengar jelas saat melihat hal tersebut.

Harus diakui rupaya kali ini ulah Yiheon memang agak serius karena sebelum-sebelumnya dia tidak pernah melihat Yiheon sampai dipapah seperti ini.

Satu orang yang sedari tadi masih belum beranjak bahkan belum mengeluarkan satu kata pun terlihat menyimak saja apa yang dilakukan mereka walaupun sudah jelas fokusnya hanya pada satu orang.

Presensinya tersebut ternyata berdampak nyata pada ketiga pemuda di sana. Atmosfernya bahkan terasa sangat tidak bersahabat.

Mampus ngamuk, batin ketiganya kompak berucap hal yang sama.

Kesimpulan yang sangat mudah dibuat apabila melihat raut wajah sang senior.

Begitu sampai tepat di depan Sekyung, Sungchan yang sedang memapah Yiheon berhenti. Begitupun Asa yang mengekori mereka di belakang sambil menggendong ransel milik Yiheon.

Sungchan, pemuda itu pernah sekali berucap kalau Sekyung pasti bakal ngamuk juga suatu saat nanti jika Yiheon ribut parah. Dan dia tidak menyangka hari ini sepertinya bakal kejadian. Walaupun dia mempunyai tubuh lebih tinggi dari mereka semua, Sungchan tidak akan menyangkal aura Choi Sekyung yang sekarang cukup membuat anak basket itu merasa ciut.

Serem banget anjir! Gue gak mau ikutan. Kalau boleh milih, dia mau mengajak Asa kabur dari sana. Namun, nyatanya dia tidak mungkin meninggalan Yiheon sendirian untuk saat ini, setidaknya sampai Yiheon bisa masuk dulu dan setelah itu biar urusan mereka berdua saja.

Meledak seharusnya, baik itu rasa khawatir atau pun marah dan kesal seorang Choi Sekyung saat dihadapkan dengan Song Yiheon yang demi Tuhan hampir seluruh wajahnya tidak baik-baik saja.

Tepat di tulang pipinya sangat merah bekas kena pukulan begitu pun di sudut bibir kirinya, di ujung pelipisnya ada luka yang sedikit terbuka, di hidung kanannya terdapat tanda mimisan yang bahkan belum kering.

Kaos putih yang dibalut kemeja biru panjang itu juga tampak kusut dan kotor di sana sini. Dilihat semakin ke bawah ada telapak tangan baret dan buku tangan memerah bekas adu jotos.

Jangan lupa kaki yang harus dipapah saat berjalan, entah apa yang terjadi di bagian sana karena dibalut dengan celana panjang sehingga tidak terlihat satu luka pun dari luar.

Ingin rasanya Sekyung berteriak, kenapa kamu bisa sampai begini sih, Yiheon?

Namun, nyatanya yang keluar dari kedua bilah bibir tebalnya hanya hembusan napas berat sedikit frustasi sambil mengangkat kepalanya menatap sembarangan ke atas.

Tangan kanannya terangkat mengurut keningnya yang entah kenapa mendadak pening benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah anak di depannya ini.

Tingkah pacarnya.

“Bang Sekyung...”

Yiheon yang pertama berujar pelan memutus hening diantara mereka. Tenggorokannya terasa kering melihat Sekyung yang seperti itu sehingga suaranya nyaris seperti bisikan.

Asakara berhasil mengerjap melihat apa yang dia lihat dengan kening berkerut dalam. Dia yang lebih dulu bersama Sekyung sedari tadi tahu jelas bagaimana sikap yang ditampilkan seniornya tersebut.

Raut penuh tegang itu jelas berubah cukup cepat tak kala Yiheon memanggil namanya.

Tatapan lurus dan tajam tadi mulai memudar walau tidak sepenuhnya hilang seiring dengan garis lurus di kedua sudut bibirnya yang perlahan ditarik berlawanan, tipis tetapi Asa tahu itu adalah sebuah tanda menenangkan dari seorang Choi Sekyung untuk Yiheon.

“Masuk dulu gih, abang ngambil obat di mobil.”

Kalimat panjang pertama diucapkan oleh Sekyung sambil menepuk sekilas pundak Yiheon sesaat sebelum dia beranjak dari hadapan ketiganya.

Tidak ada nada tinggi apalagi suara membentak darinya membuat mereka semua saling berpandangan bingung.

Tidak marah?

“Oh iya..” suaranya terdengar lagi membuat mereka semua tanpa sadar menahan napas menatapnya.

“Asa ada es batu? Boleh tolong ambilkan.” lanjut Sekyung bertanya yang langsung diangguki si tuan rumah, dia bergegas berjalan ke arah kulkas yang ada di dapur kosannya.

Yiheon terdiam sebentar, ia melihat Sekyung lewat bahunya sesaat sebelum kembali dipapah oleh Sungchan ke dalam kamar Asa yang ada di lantai satu.

Menatap gusar punggung yang berjalan ke luar kosan itu dengan perasaan campur aduk.

Apa betul abang nggak marah sama aku?

“Kenapa?” Sungchan bertanya pelan saat Yiheon terdengar menghela napas panjang.

“Menurut lu dia marah gak sih?”

Si anak basket itu mendengus kecil mendengar pertanyaan Yiheon, “Ya menurut lo aja deh. Kalau dibalik lo liat pacar lo dateng-dateng kayak begini masih bisa biasa aja nggak? Makanya jangan berulah, udah dibilangin juga masih aja ngeyel disamperin.”

Kata Bunda, Choi Sekyung ini punya cara sendiri untuk mendekatinya.

Lewat jalur belakang.

Jadi, mari kita bahas satu persatu.

Dia memang mendekati Yiheon, tapi dia tidak melupakan peran kedua sahabat baiknya itu. Sekyung selalu bersikap baik kepada Sungchan juga Asakara yang kerap kali bersamanya.

Karena Sekyung hanya mengenal dekat dirinya, tidak membuat Sekyung serta merta bersikap tak acuh pada mereka. Yiheon tahu bagaimana dia selalu mencoba ikut mengakrabkan diri kalau dia bertemu kedua sahabatnya.

Dengan Sungchan jelas mereka sering bertemu karena masih satu fakultas, dengan Asa pun Sekyung cukup sering datang ke kosannya untuk menjemput Yiheon, oh juga saat dia perlu mengurusi Yiheon tempo hari saat mengobati lukanya.

Setidaknya Yiheon harap, kedua temannya itu tahu kalau Choi Sekyung adalah orang baik yang pernah ia kenal.

Lalu, Yiheon harus mundur hingga mungkin empat bulan ke belakang kalau mau mengingat bagaimana Choi Sekyung itu mengenal kedua orang tuanya.

Bunda itu ramah juga baik, banyak senyum dengan lesung pipi sama seperti dirinya. Orangnya welcome sekali kalau kata Yiheon, bisa ditanya kepada teman-temannya yang pernah ke rumah, katakanlah Sungchan yang sejak SMA seringkali main karena rumah mereka pun hanya berbeda komplek saja.

Dan Choi Sekyung dengan sikap lembutnya yang sopan, yang baik, yang terbiasa berbicara dengan intonasi tenang akan dengan mudah mengambil hatinya.

Maklum, anak bunda semuanya suka ribut dan berisik apalagi kalau sudah disatukan berdua pasti ramai.

Sepertinya, setiap Sekyung meminta izin saat menjemputnya, Bunda akan dengan mudah memberinya percaya. Kalau sama Sekyung tidak apa-apa. Hingga sekarang, Choi Sekyung itu entah sudah berapa kali masuk ke dalam rumahnya walaupun hanya sekedar untuk makan kue buatan Bunda bahkan dengan sengaja diberi untuk dibawanya pulang.

Begitu pun dengan Ayah. Yiheon tahu Ayah tidak seramah Bunda terhadap orang baru, jelas saja perlu waktu hingga akhirnya di suatu sore hari saat mengantarnya pulang Ayah mengajaknya duduk di teras rumah hanya untuk menemaninya main catur sambil minum kopi. Hari itu Sekyung terlihat tidak sungkan untuk berbaur sama sekali dengan sepasang Ayah dan anak itu selayaknya mereka sudah saling mengenal lama.

Yiheon tahu Sekyung tidak pernah ragu saat meminta izin untuk menjemputnya walaupun tahu ada Ayah karena berbeda dengan Bunda yang sudah jelas seperti memberinya lampu hijau lebih dulu.

Tetapi, kata Ayah, dia kalau izin serius banget, dan Yiheon sepertinya tahu kalau Sekyung tahu bagaimana sikap Ayahnya karena kalau asal sudah jelas tidak akan digubris.

Juga, saat akan liburan beberapa minggu lalu, Yiheon bisa melihat Sekyung yang sudah berkata, “Beres, sudah dapat izin buat kita pergi.” katanya sambil tersenyum lebar padanya yang saat itu kesal karena rencana dadakannya, kan terbukti dia itu sudah bisa ngambil hati orang tuanya.

Satu orang lagi dalam rencana jalur belakang Choi Sekyung adalah bocah kelas sepuluh yang minggu depan akan ulang tahun.

Yiheon tahu betul adiknya itu sedikit lebih pendiam daripada dirinya yang bisa mengoceh panjang lebar, di beberapa kesempatan Woojin bahkan akan terlihat cuek sekali pada orang lain.

Sekyung selalu bertanya lebih dulu bila bertemu dengannya di rumah. Tanpa segan akan menyapanya, mendekatinya yang selalu terlihat membawa kucing mereka, atau berbicara tentang mainan lego yang Woojin punya.

Lalu, di pertemuan-pertemuan mereka berikutnya, adiknya itu sudah tampak bercakap tanpa canggung, sampai sekarang Sekyung bahkan tahu betul bagaimana si bungsu itu sering merajuk dan bersikap manja bila di rumah.

Rasanya begitu panjang yang sudah dilakukan Choi Sekyung hanya untuk mendekati dirinya. Dia bahkan mencoba mengenal Yiheon dari orang-orang terdekatnya.

Mendekat tanpa terburu-buru, tanpa memaksa, dibiarkan mengalir begitu saja namun usahanya terlihat pasti.

Hasilnya sekarang, bagaimana semua orang di sekitarnya mengenal sosok Sekyung itu terasa begitu menyenangkan bagi Yiheon.

Mereka harus tahu kalau Choi Sekyung begitu baik padanya.

Seperti hari ini yang sudah dilewatinya.

Hari ini Choi Sekyung itu baik sekali, mau berepot-repot untuk datang ke rumahnya, mau berepot-repot mengantarnya pergi malam-malam, mau berepot-repot pulang telat karena harus bicara dulu dengannya.

Tidak ada hari esok lagi seperti yang dia rencanakan, di dekapannya saat ini tubuh Yiheon sedikit membeku dan terpaku seperti meragukan telinganya sendiri, seperti apa yang barusan ia dengar tidak nyata dan menyangka kalau itu hanyalah suara dari pikirannya sendiri.

Sayangku, hari ini baiknya kita langsung pacaran saja gak sih. Soalnya abang tahu kamu nggak sabaran.

Choi Sekyung sedikit terkekeh saat tidak mendapati respon apapun dari Yiheon, “Yiheon, kamu dengar abang nggak?” tanyanya sambil melepaskan pelukannya.

Dia memegang kedua pundaknya, menatap Yiheon yang memasang wajah kaget sekaligus bingung sendiri seakan berkata ini seriusan nggak sih abang? Kamu ngajakin aku pacaran sekarang?

“Mending kita masuk dulu deh, ngobrol di dalam.”

Dirangkulnya pundak Yiheon yang belum mengeluarkan suara itu untuk masuk melewati gerbang berwarna putih yang ada di depan mereka, berjalan di halaman rumahnya yang cukup banyak terdapat pot-pot bunga hias milik Bunda yang terawat rapi lalu hingga akhirnya mereka sampai di teras rumah dengan pintu yang tertutup.

Sekyung mengambil barang-barang yang ada di tangan Yiheon lalu ditaruh di atas kursi yang ada di sana. Dia berdiri hanya dengan jarak satu langkah kecil di depan Yiheon yang sibuk menatapnya dari tadi.

Di netranya sekarang, ia tidak bisa bohong kalau sedang berbinar penuh harap namun juga terselip ragu di sana. Menatap Sekyung yang kali ini sudah kembali menampilkan senyum meyakinkannya dengan anggukan kecil kalau apa yang ia dengar adalah betul, kalau apa yang ia dengar adalah apa yang sesungguhnya Sekyung mau untuk mereka.

“Tentang abang sama kamu, tentang kita baiknya diperjelas saja sekarang, ya.”

Maka, ada satu pertanyaan yang sejak tadi ingin diucap oleh Yiheon, namun terlalu takut bila ia dianggap menuntut karena sejujurnya dengan Sekyung, Yiheon tidak pernah merasa kurang apa pun.

Akhirnya ia bawa sekarang, ditanyakan secara langsung kepada Sekyung, tidak mau ditunda lagi karena Sekyung sendiri yang memulai semuanya barusan.

Tentang kita.

“Abang.... memang kita ini apa?” tanya Yiheon pelan.

Choi Sekyung melebarkan senyumnya, menyentuh anak rambut Yiheon yang menutupi pelipisnya, tempat tadi dia mendaratkan sebuah kecupan di sana.

Kemudian tatapannya bergulir, menatap Yiheon dengan begitu lembut, dengan penuh sayang, dengan tatapan kagum untuk yang paling dicintainya.

Juga secara perlahan dipegang kedua tangannya dan ibu jari Sekyung mengusap pelan di sana, menyalurkan hangat membuat tenang di punggung tangan yang terasa dingin entah karena udara malam atau karena terlalu gugup.

Ditanyanya ia pakai nada serius namun tidak menakuti, karena Sekyung tahu Yiheon tidak suka, karena Sekyung tahu Yiheon sudah terbiasa dengan nada penuh sayang yang selalu dia berikan.

“Yiheon, maunya apa, hmm? Kalau abang sekarang mau kita punya status yang jelas dan mau menjalin hubungan lebih serius sama kamu. Kamu nya mau?”

Tentu saja. Yiheon tidak akan menolak kalau hubungan tanpa status mereka yang sudah berjalan itu menjadi semakin jelas.

“Yiheon... jadi pacar abang, mau ya?”

Sekyung bertanya pelan, senyumnya begitu tulus, meminta hal yang sudah lama sekali dia pikirkan tentang Yiheon, “Soalnya abang mau banget kalau jadi pacarnya, Yiheon.”

Demi Tuhan, Song Yiheon saat ini tersenyum lebar begitu manis, memperlihatkan lesung pipinya untuk Sekyung yang menunggu dengan debar yang cukup menggila.

Akhirnya saat Yiheon menyambut uluran tangannya datang juga, saat mereka sudah sama-sama bisa berjalan bersisian. Saat mereka tidak lagi harus menunggu satu sama lain tanpa kejelasan.

Ia mengangguk cepat, seperti ini adalah mimpi yang entah sejak kapan mampir di pikirannya. Genggaman di tangannya oleh Sekyung sedikit mengerat membuat ia semakin yakin karena tidak ada alasan untuknya berkata tidak.

“Mau, aku juga mau jadi pacarnya abang!”

Song Yiheon berkata sungguh-sungguh, sorot matanya terlihat semakin berbinar menatap Sekyung yang kemudian mengangguk pelan, memberinya tawa yang terdengar amat dalam melihat jawaban semangatnya itu.

Maka, Sekyung membawa lagi Yiheon pada sebuah pelukan hangat dan mengeratkannya membuat Yiheon mendusel padanya tanpa ragu, mengikis jarak yang bahkan dari tadi pun sudah cukup tipis diantara mereka.

“Terimakasih banyak, Yiheon...” bisiknya begitu lirih membuat Yiheon semakin mengeratkan pelukannya, untung tas belajaan sama bunganya sudah Sekyung simpankan dulu jadi ia bisa membalas sepuasnya pelukan Sekyung itu.

“Sama-sama...” jawabnya pelan, merasakan begitu penuh hatinya sama senang yang membuncah, sama rasa hangat yang bisa ia dapat dari pelukan penuh sayang dari Sekyung saat ini.

Senyumnya berkali-kali lebih membahagiakan saat mengingat kalau pemuda yang sedang memeluknya ini sekarang bisa disebut miliknya, Choi Sekyung nya, pacarnya Yiheon. Utuh. Jelas.

Dengan Sekyung, ia tidak akan kurang apa pun. Baiknya, perhatiannya, sayangnya, semuanya seperti dia beri banyak-banyak untuk Yiheon nya seorang.

“Aku sayang banget sama abang. Sayangggggg banget sama pacarku!”

Sekyung tidak bisa menahan tawa kecilnya, lucu banget sudah bisa manggil pacar.

“Betul, sekarang Yiheon pacarnya Bang Sekyung, ya.” jelas Sekyung yang membuat wajah Yiheon semakin memerah di pelukannya, “Pacarku sayang, Song Yiheon.” gumamnya yang dibalas pelukan erat serta erangan penuh senang dari bibir Yiheon.

Hari ini, tidak ada lagi hubungan tanpa status yang nggak jelas di antara mereka.

Aku udah jadi pacarnya abang.

Yiheon menjauhkan tubuhnya sedikit tanpa melepaskan tanganya yang memeluk pinggang Sekyung, ia kembali menatap kedua mata Sekyung, menatap setiap inchi wajah kekasihnya itu dengan cukup lama lalu sedikit berkaca-kaca, “Mau nangis dikit...” ujarnya dengan bibir yang mencebik ke bawah membuat Sekyung sedikit panik sambil mengusap pipinya, “Kenapa, nangis? Harusnya senang dong, sayang.”

Yiheon menggigit bibirnya, mengalihkan pandangannya dari Sekyung untuk menatap ke atas, menahan sesuatu yang mendesak keluar di sudut matanya yang sudah menghangat.

“Aku kelewat seneng aja sampai aku gabisa ngomong...” gumamnya serak, “Aku cuma bisa mikir... oh ternyata aku bisa sampai juga yah di titik ini sama kamu. Makasih banyak.” lanjutnya.

Sekyung mengusap pelan sudut mata kanan Yiheon yang sedikit basah itu, ada senyum menenangkan di wajahnya menatap Yiheon yang seperti ini. Hatinya gampang luluh juga, gampang tersentuh walaupun perangainya sedikit galak.

“Dari awal kalau kamu tahu, abang sudah nunggu hari ini. Abang sudah nunggu saat akhirnya abang bisa dengan bangga bilang kalau Yiheon itu pacarku, kalau Yiheon itu milikku, kalau Yiheon yang aku cintai itu juga akhirnya tahu perasaanku. Abang sayang banget sama kamu, Yiheon.”

Digenggamnya tangan Sekyung yang masih berada di pipinya itu, detik ini Yiheon semakin tahu kalau ia ternyata begitu disayang, begitu dicintai oleh seorang Choi Sekyung yang berada di depannya, yang sudah berstatus kekasihnya.

“Abang minta maaf ya, kalau kita harus sedikit lama sampai ke hari ini. Melihat kamu sesenang ini bikin abang ngerasa bersalah kenapa gak lebih awal saja kita bicara.”

Namun, Yiheon menggeleng dengan cepat ketika mendengarnya, ia mengeratkan tangannya yang memegang tangan Sekyung yang masih berada di pipinya.

“Abang... sama kamu aku gak pernah ngerasa kurang apa pun selama ini.” ujarnya meyakinkan.

“Sayangnya kamu, baiknya kamu, perhatiannya kamu sama aku udah banyak banget. Jadi jangan ngomong gitu ya? Aku punya kamu selama ini udah bersyukur banget, udah seneng. Cuma, sekarang makin tambah banyak aja porsi senengnya. Kalau lagi sama kamu aku pasti dibikin bahagia terus.”

Sekyung mungkin sebelumnya tidak akan pernah menyangka kalau ucapan panjang lebar tersebut bisa keluar dari bibir Yiheon yang berbicara dengan lembut padanya, dengan nada penuh perhatian mencoba menghiburnya, dengan tatapan penuh sayang yang coba ia sampaikan padanya.

“Makasih, Yiheon sayang.” bisik Sekyung pada akhirnya.

Mau peluk sepuasnya.

Yiheon tidak tahu berapa kali Sekyung mengucap sayang padanya, yang pasti banyak sekali, dieratkannya lagi pelukannya, disembunyikan wajahnya di ceruk leher Sekyung yang wanginya sangat menenangkan, wangi Sekyung yang paling disukainya.

Suara tawa kecil dari bibirnya terdengar saat Choi Sekyung itu sedikit menggerakan badannya hingga pelukannya mengayun pelan ke kanan juga ke kiri. Membawa Yiheon dalam rima yang begitu menyenangkan sambil dipeluk erat pinggangnya, sambil ia harus berjinjit untuk mendekap sempura keseluruhan Choi Sekyung nya.

“Abang...” panggilnya, Sekyung menggumam pelan dengan wajah yang terkubur di pundak Yiheon, wangi manis Song Yiheon itu membuat dia betah berlama-lama sambil memejamkan matanya, karena yang dapat nyaman juga tenang bukan hanya Yiheon, namun juga dirinya.

Suasana rumah Yiheon yang sudah sepi itu membuat mereka betah di sana. Masih berpelukan, masih di depan teras walaupun gerbangnya masih terbuka lebar, lagipula mereka tidak akan perduli karena tidak ada yang akan melihat.

“Abang Sekyung...” panggilnya lagi.

“Apa, sayangku.., cintaku..., kekasihku.., Yiheonku...” bisik Sekyung dengan suara teredam, namun Yiheon bisa dibuat merinding mendengarnya.

Yiheon mengusap punggung Sekyung begitu lembut, menyalurkan rasa yang mungkin ia tahu belum sebesar Sekyung untuknya namun ia akan selalu mencoba, sebanyak apa pun yang Sekyung beri maka akan ia beri juga untuk Sekyung.

Ia kemudian memberi jarak dan membuat Sekyung harus rela membuka matanya serta ikut memberi jarak lagi walau sedikit, walaupun Yiheon masih bisa merasakan deru napas mereka yang teramat dekat dengan kening yang nyaris bersentuhan.

“Makasih banyak abang, sayangku.” ucapnya tiba-tiba, satu tangan Yiheon terangkat untuk menyentuh sisi wajah Choi Sekyung, “Tahu nggak, aku suka, naksir, cinta, kagum, apapun itu sebutannya semua aku kasih buat kamu.” tambahnya nyaris berbisik.

Keberaniannya datang cukup lama untuk akhirnya bisa melakukan hal sederhana ini, ibu jarinya mengusap lembut pipi Sekyung yang dari dulu membuatnya penasaran, menyentuh tulang hidungya yang begitu tinggi dan indah, juga kelopak matanya serta alis yang terkadang naik turun saat memberikan tatapan jahil.

“Ganteng banget ya pacar aku.” gumamnya membuat Sekyung tidak bisa menahan kekehan kecil, haduh ada-ada saja si tukan ribut ini.

Tetapi, Sekyung memilih membiarkan rasa penasaran Yiheon menguasainya, membiarkan Yiheon berbuat sesukanya pada dirinya.

Tugasnya hanya diam, mengulas senyum tampan di wajahnya untuk memanjakan kedua mata Yiheon.

Asal Yiheon senang, asal Yiheon bahagia, asal dia bisa melihat tawanya yang telah menjadi candu baginya lengkap dengan lesung pipi dalam yang begitu cantik sudah lebih dari cukup untuknya.

Yiheon meneguk ludahnya sendiri saat ibu jarinya kini turun, menyentuh dagu kemudian bibir tebal Sekyung yang kerap kali tersenyum, yang kerap kali mengeluarkan candaan, yang kerap kali berkata hal yang bisa membuatnya semakin jatuh cinta pada seorang Choi Sekyung.

Entah keberanian dari mana serta setan apa yang merasukinya, Yiheon memajukan wajahnya untuk mengecup pelan sudut bibir Sekyung dan menahanya dalam hitungan detik membuat Sekyung membulatkan matanya cukup terkejut.

Oh, Song Yiheon.

Jangan pernah membangunkan macan yang sedang tertidur.

Selama ini Sekyung tidak pernah macam-macam. Dia hanya sering merangkul Yiheon atau memeluknya bonus menggandengnya, cium pelipis sesekali sih atau pipi juga sekali, sudah.

Tidak lebih.

Karena Sekyung tahu batas yang ada diantara mereka, dia teramat menghargai Yiheon dan menyayanginya, dia bukan brengsek yang akan mengambil kesempatan dengan kurang ajar.

Tetapi, batas itu sudah hilang kan?

Status mereka sudah jelas saat ini.

“Ngapain ya?” tanyanya dengan tenang, Yiheon menjauhkan wajahnya yang Sekyung lihat mulai memerah hingga ke telinga, salah tingkah.

Ia yang memulai, tapi ia juga yang malu. Mengulang hal yang sama, hmm? tadi di pipinya sekarang di sudut bibirnya.

Kalau dilihat-lihat nyalinya mendadak jadi besar sekali ya Song Yiheon itu.

“Gapapa, penasaran aja. Emang nggak boleh?” katanya dengan suara mencicit pelan.

“Oh, boleh sih... memang belum pernah ciuman?” tanya Sekyung frontal membuat Yiheon melotot, anjir bisa gak disaring dulu kalau ngomong!

Ia menepuk lalu mendorong dada Sekyung agar menjauh dan melepaskan pelukan mereka namun, sial. Pelukan Sekyung itu mengunci pinggannya, tangannya bertautan di belakang sana.

“Bacot banget sih.” gumamnya sedikit menggerutu.

Sekyung dibuat tertawa lagi, “Iya, I love you, too.” balasnya sambil mencium pipinya dengan lembut, ditahan, dibikin malu sama salah tingkah kekasihnya tersebut.

Siapa yang lagi bilang cinta sih, bang!

Gemas gak kuat saat melihat perubahan wajah Yiheon itu, hingga dijawilnya hidung Yiheon menggunakan telunjuknya. Ia bisa ngegodain orang, tapi giliran digodain balik malah ngamuk.

Kalau harus dihitung berapa kali Sekyung tersenyum saat ini sepertinya tidak akan cukup untuk menggunakan jari-jari tangannya.

Banyak sekali yang terjadi malam ini biar menjadi cerita manis untuknya dan juga Yiheon.

Cerita dari perjalananya dalam mengenal dan mencintai Song Yiheon si tukang ribut namun ternyata manja ini.

Sekyung perlahan melepaskan pelukannya, tangannya berpindah untuk menangkup kedua pipi Yiheon, memperhatikan setiap apa yang bisa dia lihat dalam jarak sedekat ini.

Indah sekali Yiheon nya, kekasihnya.

Dia mengusap lembut pipi Yiheon dan menatap lurus kepada netra yang balas menatapnya tanpa ragu.

Di sana ada hal yang mencarkan rasa yang sama, yang mencoba saling melengkapi, yang tentu saja bisa menyatukan mereka.

Choi Sekyung mengusap bibir Yiheon seringan kapas, merasakan lembut di ujung jarinya, menatap dalam padanya lalu meminta consent yang terdengar begitu mendebarkan bagi Yiheon.

Boleh abang cium kamu sekarang?

Sekyung mengangguk kecil tersenyum tipis saat Yiheon terkejut lalu tidak lama menjawab permintaannya dengan malu-malu.

Tidak menunggu lama setelah Yiheon memberinya izin, dia lantas mencium keningnya sedikit lama, menyelipkan kata penuh cinta untuk yang terkasih yang praktis membuat Yiheon tersenyum bahagia sekaligus berdebar hebat.

Turun di kedua pipinya juga pucuk hidungnya membuat Yiheon kali ini tertawa kecil merasa geli sekaligus lucu, diciumi sewajah-wajah sama Sekyung.

Sekyung menatap penuh arti tawa bahagia dari Yiheon sekarang, hatinya berkali-kali harus mengucap syukur kalau pemuda di depannya ini adalah miliknya.

Hingga kemudian Choi Sekyung itu perlahan menunduk untuk mengecup bibirnya.

Yiheon tidak sempat untuk merasa kaget saat hal itu terjadi, ia hanya bisa perlahan menutup matanya serta meremas ujung sweater Sekyung yang bisa ia pegang saat rasa hangat menyapanya di sana, juga saat kedua tangan Sekyung yang menangkup wajahnya membuat ia harus sedikit mendongak, memberi akses pada apa yang dilakukan mereka selanjutnya.

Pelan dan terlampau lembut, Choi Sekyung membawa Yiheon pada rasa yang membuatnya benar-benar meleleh detik itu juga.

Mau gila rasanya.

Akhirnya diciumnya ia oleh Sekyung, oleh yang berstatus kekasihnya.

Semuanya terasa mendebarkan, terasa asing untuk pertama kali, namun manis, namun menyenangkan, namun penuh makna, seperti memvalidasi perasaan mereka berdua yang memang sejak lama hadir diantara keduanya.

Sekyung mencintainya, dan begitupun Song Yiheon.

Di ciuman pertama mereka itu, tidak ada yang terlalu menuntut baik Sekyung maupun Yiheon.

Mengecap ringan, meraup dengan lembut setiap rasa, membiarkan sensasi penuh dengan kupu-kupu yang menggelitik mengambil alih mereka.

Walaupun tentu saja kita tahu Choi Sekyung yang mendominasi tapi Yiheon tetap diberi peran. Sekyung tersenyum di sela ciumannya saat dia membiarkan Yiheon berlaku sesukanya, membayar rasa penasarannya.

Tentang Yiheon pasti selalu seperti itu, terserah asal Yiheon nya senang.

Setelah melepaskan ciumannya Sekyung mengusap pelan bibir Yiheon yang sedikit basah, juga yang terbuka sibuk untuk mengambil napas, lalu menatap wajah yang sudah begitu memerah malu.

Dia mencuri kecupan ringan lagi di sana saat Yiheon kemudian tidak mau kalah dan melakukan hal yang sama padanya.

Gemas banget si tukang ribut mode bucin begini.

Keduanya hanya saling menatap sambil mengulum senyum dengan kening yang saling bersentuhan, dengan tangan Sekyung yang masih menangkup kedua pipinya, dengan ibu jari yang lagi-lagi membelai lembut penuh afeksi, lalu berbicara lewat pandangan yang penuh arti.

Sama kamu, aku bahagia.

Sebelum Sekyung kembali memberi kecupan ringan di pipi kanan Yiheon yang sedang menampilkan lesung pipi cantiknya itu.

“Yiheon manis, kayak gelato tadi.”

Yiheon tersenyum lebar mendengarnya, sadar betul apa yang telah dilakukan Choi Sekyung padanya, tepatnya apa yang telah mereka lakukan saat ini.

“I love you, Bang Sekyung.”

Bisiknya pelan, suaranya teredam kembali saat ia menaruh wajah di ceruk leher Sekyung. Memeluk seperti memang seharusnya begini saja dari dulu karena memang pelukan Sekyung adalah tempat ternyaman untuk ia bersandar.

Merasakan usapan penuh sayang Sekyung di kepalanya, sambil dibisikin banyak hal yang bisa membuat ia tertawa bahagia.

Lalu, dicium gemas lagi bahu Yiheon saat anak itu tidak mau lepas setelah beberapa saat.

“Sayang... sudah malam. Abang pulang sekarang ya?” Sekyung bertanya setelah milirik jam di pergelangan tangannya.

Namun, yang didapatinya adalah gelengan pelan alih-alih pelukan yang terlepas. “Nggak mau... sebentar lagi aja, boleh?” pacar gemasnya itu kembali bersikap manja membuat Sekyung menarik satu sudut bibirnya.

“Boleh, lima menit ya?”

“BENTAR BANGET!”

Choi Sekyung merapikan sweater rajut berwarna cream dengan motif garis-garis hitam yang dipakainya itu untuk memastikan kembali penampilannya. Walaupun batinnya sibuk menyindir lebay akan tingkahnya ini tetapi hal itu tidak menghentikan tangan Sekyung untuk kembali mengibas rambut hitamnya entah sudah yang keberapa kali dalam lima menit terakhir. Dia tampak sibuk sendiri berkaca pada jendela mobil miliknya yang sedang diparkir di pinggir jalan.

Oke, sudah rapi dan juga ganteng kan?

Sekyung melakukan itu semua sebelum berjalan dan memasuki gerbang rumah berwarna putih nomor empat belas di depannya. Tungkai yang dibalut celana hitam panjang itu seperti sudah terbiasa menginjak halaman luas rumah ini, langkahnya bergerak ringan menapaki teras hingga akhirnya sampai di depan pintu kayu yang tidak tertutup sempurna.

Tadi, dia sudah bilang pada Yiheon kalau sudah sampai, tapi anak itu tidak membaca pesannya sama sekali.

Diketuknya tiga kali pintu utama kediaman Yiheon, sekarang sudah pukul setengah tujuh malam, sepertinya semua orang ada di rumah apalagi saat Sekyung bisa melihat mobil hitam Ayah Yiheon yang terparkir di halaman.

Tidak sampai dua menit, pintu di depannya itu ditarik dari dalam sehingga terbuka semakin lebar dan menampilkan sosok Yiheon yang mengenakan kemeja kotak-kotak navy lengan panjang dengan kedua kancing teratasnya yang dibiarkan terbuka begitu saja. Ia terlihat tampan sekaligus manis saat tersenyum menyapanya.

“Malam, Yiheon.”

“Malam juga, abang...”

Si tuan rumah itu tidak perlu berpikir dua kali saat ia melihat Sekyung di depannya, satu yang sangat ingin dilakukannya.

Mau peluk, boleh yah?

Sekyung tertawa kecil saat tau-tau Song Yiheon menerjangnya dengan sebuah pelukan erat.

Ia bergumam pelan di balik bahu Sekyung, senyumnya bahkan melebar tampak senang sekali. Dieratkan kedua tangan di bahunya yang masih mengeluarkan tawa yang terdengar semakin dalam sambil membalas pelukannya. Satu tangan Sekyung merengkuh pinggangnya saat tangan yang lain mengusap lembut punggungnya.

Yiheon memejamkan matanya, menghirup dalam wangi khas familiar Sekyung yang entah sejak kapan sangat disukainya.

Bukan tiga hari seperti kata Sungchan, Yiheon terakhir bertemu Sekyung sejak Jumat malam lalu ketika dia datang ke rumahnya saat membawa makanan tepat sebelum pergi ke luar kota. Kemudian minggu ini keduanya sama-sama sibuk karena jadwal yang bentrok terus, hingga baru di hari Rabu malam inilah ia akhirnya melihat Sekyung lagi.

Pantas Yiheon mood nya jelek terus karena selama itu ia belum bertemu Bang Sekyung nya.

Kangen.

Gak lebay kan? kalau pun lebay ya sudah terserah Yiheon saja, suka-suka ia karena Choi Sekyung tidak akan protes sama sekali, apapun asal Yiheon senang pasti gapapa kok, pikirnya.

Diantara kemungkinan yang terjadi hari ini, Sekyung mungkin tidak akan menyangka kalau Yiheon akan tiba-tiba memeluknya bahkan ia masih belum ada tanda-tanda mau melepaskan setelah Sekyung tebak hampir satu menit berlalu, “Ini kamu kangen beneran ya?” tanyanya pelan sambil mengusap-ngusap belakang kepala Yiheon yang mengangguk kecil.

“Udah numpuk tau!” suaranya sedikit merajuk dan teredam karena pelukannya sendiri.

Sekyung kembali meloloskan tawa kecil saat mendengarnya, gemas sekali, “Senangnya dikangenin sama kamu.”

Mana ini Yiheon nya wangi banget lagi, sepertinya beneran baru mandi. Bukan wangi minyak telon, tapi wangi manis lembut yang sopan sekali masuk ke hidungnya serta wangi dari sabun yang sedikit segar bisa tercium jelas saat Sekyung menaruh dagu—dan mencium di bahunya.

Sejujurnya mau mereka pelukan selama apapun Sekyung tidak masalah karena dia sama kangennya, walaupun setiap hari ada chat masuk tapi tetap terasa kurang kalau tidak melihatnya secara langsung. Hanya saja ini di depan pintu rumahnya yang terbuka lebar, siapa saja bisa melihatnya kalau ada yang keluar, lebih parah mungkin orang tuanya Yiheon.

“Yiheon...” Sekyung memanggilnya dengan lembut, perlahan memberi jarak diantara mereka. Dia tahu Yiheon mungkin sedang dalam versi manja dan dia tidak bisa asal bicara atau bertingkah bisa-bisa anak ini galak lagi seperti tadi di chat, atau mungkin bakal bad mood dan menjadikannya samsak tinju secara cuma-cuma.

Di memegang kedua bahu pemuda itu, menatap penuh hangat pada Yiheon, “Sudah siap kan? Mau dianterin pergi kemana hari ini?”

Namun, bukannya menjawab, Yiheon justru balas menatap Sekyung dengan mata berbinar, “Sekarang aku udah inget lagi deh muka Bang Sekyung.” ujarnya tidak nyambung membuat Sekyung harus menahan erangan gemas sambil mengunyel-unyel pipinya.

“Enggak ketemu berapa hari kok tingkahnya malah jadi gini ya? Ini abang gak salah rumah kan?”

Dipegangnya tangan Sekyung yang berada di pipinya itu sambil mendengus kecil dan mengangkat kedua bahunya tidak mau ambil pusing. Jangankan Sekyung, ia sendiri pun tidak tahu kenapa tingkah anehnya ini tiba-tiba muncul.

Aneh banget kan? Maunya sama Bang Sekyung terusssss

“Jadi mau pergi kemana, hmm?”

“Temenin aku nyari kado buat adek.”

“Oh, adek mau ulang tahun?” Sekyung bertanya yang diangguki oleh Yiheon, “Minggu depan, tapi gapapa beli sekarang aja mumpung bisa. Sekalian minta anter abang ya.” jawabnya sambil bisik-bisik, mungkin takut terdengar ke dalam walaupun sepertinya tidak akan. Ada-ada saja tingkahnya itu.

“Oke, ya sudah pergi sekarang saja keburu malam. Sebentar tapi ini calon mertuaku mana ya, aku mau izin bawa anaknya pergi.”

Sekyung kemudian harus merelakan punggungnya terkena cap lima jari saat selesai bicara dan mendapati Yiheon yang menatapnya—sok galak, “Jangan asal ngomong terus bisa gak sih.” katanya.

Dia tertawa, walaupun tingkahnya begitu tapi sebaliknya Yiheon justru langsung manarik tangannya menyuruh masuk ke dalam rumah dan membawanya bertemu dengan keluarganya yang sedang berada di ruang tv.

“Bunda... ada Bang Sekyung.”

Ucapannya itu seperti memberi pengumuman membuat Sekyung lantas meringis, bukan karena perih di punggungnya, tapi karena malu saat semua penghuni rumah itu kini memusatkan perhatian padanya yang berdiri di samping Yiheon yang justru melebarkan senyum tanpa dosa.

“Halo Bang Sekyung, pasti mau ngapelin kakak.”

Oh mulut asal ceplos milik Woojin yang sedang duduk di atas karpet sambil memegang remote tv itu membuat Yiheon harus menyumpalnya menggunakan kukis buatan Bunda yang ada di atas meja hingga dia merengek minta tolong pada sang Ayah yang hanya menggeleng pelan, hal biasa yang kerap terjadi di rumah mereka.

Rame dan selalu hangat, simpul Sekyung saat melihat keributan kakak adik tersebut sambil dia berjalan mendekat ke arah sofa untuk menyapa.

“Tumben ini Nak Sekyung baru kelihatan.” adalah ucapan pertama Bunda saat Sekyung mencium tangan kedua orang tua Yiheon yang sedang menikmati waktu santai mereka.

Sekyung tersenyum kecil mendengarnya. Membuktikan bahwa sesering itu kah dia datang ke rumah ini, oh yang terakhir kan hanya bertemu Yiheon saja saat Jumat tempo hari, jadi pantas dibilang seperti itu.

“Iya minggu ini aku lagi hectic di kampus, Bunda. Jadinya kemarin-kemarin nggak ada yang bisa aku jemput sama anterin pulang. Untungnya sekarang sudah bisa ketemu sama Yiheon nya lagi.”

Dia menjawab sambil melirik anak sulung mereka yang kini juga ikut memperhatikan dan malah malu-malu tapi kesenengan hingga kembali diledek oleh sang adik, “Pantesan bete mulu dari kemarin.”

Setelah ngobrol sebentar sekalian minta izin untuk pergi, Sekyung akhirnya bisa membawa Yiheon keluar. Jujur saja hal itu tidak terlalu susah bagi Sekyung, seperti yang sudah dia bilang kalau ada list calon mantu idaman Bunda, jelas Sekyung yang akan menang.

Patut diacungi jempol memang tingkat percaya diri dari seorang Choi Sekyung bila menyangkut hal tersebut. Tapi, sombongnya itu memang bukan tanpa alasan, dia tahu kalau dia—sepertinya sudah mengantongi lampu hijau dari keluarga Yiheon.

“Dih abang kenapa senyum-senyum gitu?”

Sekyung menoleh pada Yiheon yang menatapnya dengan alis berkerut, pasalnya sejak keluar dari rumah dan bahkan sejak mobil mereka ini jalan, Yiheon tidak elat memperhatikan ekspresi senang Sekyung itu.

“Gapapa, senang aja bisa jalan sama kamu setelah beberapa hari sibuk.”

“Oh...”

“Kok oh doang?” sahut Sekyung membuat Yiheon terkekeh, “Terus aku harus kayang?”

Ia langsung menggerutu saat tangan Sekyung mengusak puncak kepalanya secara tiba-tiba, sudah capek-capek ditata cukup lama biar terlihat cakep malah dirusakin.

“Rambut aku berantakan jadinya, nih!” protesnya sambil sibuk dibenarkan lagi sebisanya.

Sekyung menahan tawanya dan meminta maaf saat mereka terjebak di lampu merah, “Habisnya kamu lucu sih. Sini sama abang aja.”

Dengan telaten dia merapikan kembali rambut Yiheon saat anak itu sengaja duduk miring ke arahnya, “Ganteng dan wangi banget Yiheon hari ini.” puji Sekyung tanpa bisa ditahan, sengaja juga biar Yiheon nya tahu.

Pokoknya Yiheon deserve all the compliments.

“Oh..”

“Oh oh mulu deh.”

Yiheon hanya terlalu bingung menanggapi pujian tiba-tiba dari Choi Sekyung itu, dia tidak tahu saja kalau hatinya sudah meleleh.

“Iya apalagi coba, apa aku harus nangis terharu atau aku harus ketawa kenceng banget? atau bener aku harus kay—”

Bibir yang sedang mengoceh itu tiba-tiba membentuk garis lurus, Yiheon menelan kembali kata-kata yang bahkan belum selesai ia ucapkan saat Sekyung tiba-tiba mendekat dan mensejajarkan wajah dengannya. Ia bahkan tanpa sadar harus menahan napas karena terlalu kaget dengan tingkah Sekyung itu.

Kedua netra mereka saling bersitatap, yang satu membulat kaget dan satunya jelas tampak tenang menatap dengan penuh kagum seluruh bagian wajah di depannya.

“Abang juga kangen banget deh sama kamu.” bisiknya di depan Yiheon sambil mengulas senyum yang membingkai wajah tampannya, “Sebentar ya...” lanjutnya ketika kemudian jarinya berpindah dari rambut Yiheon ke wajahnya, dengan pelan dan hati-hati dia mencoba mengambil satu helai bulu mata yang jatuh tepat di atas pipi Yiheon.

“Bulu mata kamu jatuh nih.”

Jangan tanya keadaan Song Yiheon sekarang, pokoknya jangan apalagi saat deru napas Sekyung bisa ia rasakan menerpa wajahnya saking dekatnya mereka.

Ini maksudnya apa ya Choi Sekyung? Emang boleh sedeket ini? ini kalau orang lain lihat sudah jelas akan salah paham mengingat posisi mereka yang sangat tidak bisa dianggap biasa saja.

Maksudnya... kan bisa tinggal ngasih tau... nggak usah diambilin... apalagi... pake effort yang berlebihan...

Suara klakson dari mobil belakang menandakan bahwa lampu sudah kembali hijau. Sekyung menjauhkan wajahnya lagi dan sedikit menarik satu sudut bibirnya ketika menatap Yiheon sebelum dia kembali memegang kemudi lalu menjalankan mobilnya saat Yiheon justru masih mengerjap linglung dan menyandarkan punggungnya pada kursi secara perlahan.

Diam-diam Yiheon melirik pada Sekyung, meremas seatbeltnya dengan jantung yang sibuk konser akbar di dalam sana. Wajahnya panas sekali padahal ac mobil Sekyung cukup dingin.

Kalau saja tadi ia bergerak sedikit, Yiheon yakin mereka bisa tidak sengaja ciu—

Halah. Mikir apasih otak error nya ini.

Yiheon buru-buru menggelengkan kepalanya. Memang sialan saja Choi Sekyung ini, hobi sekali tingkahnya itu berbuat yang mengundang pikiran kotor.

Yiheon dengan cepat menaikan volume dari radio yang daritadi diputar berharap bisa mengurangi canggung yang dirasakannya.

Tidak ada yang mengeluarkan suara lagi, mobil Sekyung itu kini diisi oleh lagu-lagu acak serta suara penyiar yang sibuk bercuap-cuap.

Melihat Yiheon yang kini menatap ke luar jendela tampak anteng, Sekyung memanggilnya dengan pelan hingga si pemilik nama itu menatapnya.

Beruntung Yiheon terlihat sudah bisa kembali mengatur detak jantung dan raut wajahnya seperti semula.

“Maaf ya kalau abang beberapa hari ini sibuk, banyak banget yang harus dikerjain. Jadi nggak bisa ketemu kamu dulu. Bukannya abang sengaja mau buat kamu bete atau apa.”

“Hah? oh iya gapapa...”

Kan, tiba-tiba begini lagi.

“Aku ngerti kok.” lanjut Yiheon, menatap Sekyung dengan senyum tipis tanda tidak apa-apa, lagipula mau bagaimana pun Yiheon juga tidak akan berani menuntut ini itu padanya kalau nyatanya memang Sekyung sedang sibuk.

“Makasih abang udah mau diajak ketemu hari ini dan bahkan mau anter aku pergi.”

Ada senyum lega yang terlihat di wajah Sekyung saat dia melihat Yiheon sudah kembali sibuk bicara panjang lebar sepanjang jalan dan bercerita serunya camping dadakan kemarin.

Beneran, mendengar cerita Yiheon yang selalu banyak stok itu adalah salah satu hal yang membuat Sekyung rindu pada ocehannya.

“Oh jadi ajakan kamu beneran nih? Kita camping berdua?”

“Iya beneran, kan aku udah janji gimana sih.” bibir Yiheon mencucu gemas saat daritadi Sekyung meragukannya.

Dari hari itu juga ia sudah janji, sejak Sekyung bilang kalau dia hanya pergi karena urusan pekerjaan orang tuanya dan mungkin tidak benar-benar menghabiskan family time seperti dirinya.

Bukan berarti mau ikut campur urusan keluarga orang, Yiheon hanya mau Sekyung juga merasakan serunya apa yang ia bisa lakukan, banyak kegiatan seru yang nanti bisa mereka habiskan bersama untuk menghabiskan weekend.

“Nanti ya, kita cari waktunya dulu. Kalau habis UTS saja gimana, kamu mau?” usul Sekyung itu dibalas anggukan semangat oleh Yiheon yang seperti tidak sabar menantikan agenda healing mereka berdua, sama Bang Sekyung seru banget pasti terus malamnya nyalain api unggun sambil makan jagung bakar.

“Mau!!”


“Abang...”

Sekyung menoleh saat Yiheon memanggilnya dan melirik stand photo box setelah mereka muter-muter sports station mencari sepatu untuk hadiah ulang tahu Woojin, si kakak itu bahkan sampai bolak balik minta saran dari Sekyung bertanya mana yang lebih bagus dari beberapa pilihan yang sudah ia ambil. Hingga akhirnya pilihannya jatuh pada sneakers berwana putih karena katanya milik adek kebanyakan warna gelap, biar beda dan spesial katanya.

“Kenapa, kamu mau photo box?”

“Enggak, cuma bilang aja. Kok rame banget ya antriannya.”

Sekyung memang melihat banyak anak muda di sana, kebanyakan seperti pasangan tapi ada juga yang bergerombol mungkin teman satu circle, tebaknya sok tahu, “Kalau kamu mau antri juga boleh, ayo.”

“Hah? enggak deh. Kapan-kapan aja kalau gak rame.”

Ia menolak cepat saat Sekyung mengajaknya, malas sekali apalagi dirinya sudah lapar mau makan, perutnya sudah minta diisi sejak tadi. Mereka sengaja mencari kado dulu sebelum pergi makan kata Yiheon biar tenang kalau sudah dapat.

“Oke jadi kapan-kapan ya Yiheon, kita photo box?” tanya Sekyung sambil tersenyum lebar dengan alis yang terangkat jahil. Yiheon memutar kedua bola matanya, salah ngomong deh.

“Enggak gitu maksudnya! udah ah males aku udah laper. Ayo buruan.”

Tangan Sekyung yang sedang memegang tas belanjaan itu diseret oleh Yiheon yang berjalan di depannya, iya tasnya dibawain sama Sekyung, baik banget kan si abang ini.

“Nggak apa-apa kalau kamu mau, abang mau juga kok. Lagian lucu tuh kayak anak muda.”

“Emang kamu bukan anak muda? kamu udah tua, Bang Sekyung?”

Yiheon melirik Sekyung yang tertawa di belakangnya, dia tidak protes sama sekali saat tangannya ditarik, perlahan Yiheon justru melepaskannya karena tidak enak sudah berlaku seperti itu.

Maaf ya selalu kelepasan tingkah grasak-grusuknya ini walaupun di depan Sekyung, ia tidak bisa kalau harus jaga image terus-terusan.

Keduanya kembali berjalan bersisian menuju food court yang berada di lantai atas, tandanya harus naik eskalator yang berada di sebelah utara tempat mereka sekarang.

“Abang mau makan apa?”

Bukannya menjawab, Sekyung malah balik bertanya, “Kamu nya lagi mau apa?” menatap Yiheon yang berjalan di sisi kanannya.

Ditanya seperti itu membuat Yiheon sedikit berpikir, lalu dengan cepat melihat Sekyung lagi yang masih sabar menunggu sambil memperlihatkan tatapan memohon seperti bocah minta jajan, “Mau ramen aja, boleh nggak?” tanyanya, takut Bang Sekyung nya lagi nggak mau makan itu.

“Iya boleh, Yiheon.” jawab Sekyung hingga ia tersenyum lebar, “Okedeh!”

“Habis itu mau beli gelato boleh?”

“Boleh.”

“Nanti pulangnya kalau sempat jajan lagi ke taman boleh?”

“Boleh.”

“Nanti peluk lagi boleh?”

“Boleh, Yiheon.”

Untuk yang terakhir, Yiheon hanya asal bicara karena ia tahu sepertinya apapun yang diucapkan dirinya jawaban Sekyung akan tetap sama. Ditatapnya lagi Choi Sekyung yang ada di sampingnya itu, mau coba buktikan sekali lagi.

“Abang, panggil aku sayang boleh?” tanyanya pelan, antara memang iseng atau pingin banget dengar itu hari ini.

“Boleh, Yiheon sayang.”

Sialan ini buaya lepas dari mana sih. Bahaya banget. Coba siapa pun tolong kandangin dulu nih, gerutunya dalam hati sambil sibuk menahan senyum lebarnya.

Sekyung terkekeh setelah menjawab pertanyaan terkahir seperti tahu apa keisengan yang sedang dilakukan Yiheon padanya, lantas dia lalu merangkul Yiheon dengan santai sambil melajutkan jalannya.

“Sudah ya, sekarang makan dulu nanti lagi ngobrolnya, kamu nggak boleh telat makan. Ramennya gak usah pedes-pedes banget, oke?”

Di dalam rangkulannya Yiheon hanya mengangguk patuh membuat Sekyung kembali mendaratkan tangannya di puncak kepalanya, terus dipukpuk. Nurut banget sih.

Kangen dipukpuk kayak gini.


Kalau misal ditanya kenapa pingin banget ketemu dan memangnya mau ngapain sih? Yiheon kayaknya akan jawab nggak tahu, liat nanti aja.

Karena kegiatannya gak penting, yang penting ia bisa lihat Choi Sekyung. Pokoknya ketemu dulu, mau lihat langsung di depan matanya.

Oh apa yang begini sudah di tahap bucin kah?

“Abang... cobain nih.”

Yiheon menyodorkan gelato di tangannya pada Sekyung yang baru saja duduk di balik kemudi. Keduanya baru keluar dari kedai gelato tidak jauh dari mall tempat mereka tadi membeli hadiah.

Terlihat hanya Yiheon yang memegang cone gelato dan sibuk makan sejak mereka jalan ke parkiran, Sekyung hanya menjadi supir pribadi kemana saja maunya Yiheon hari ini. Lagipula dia kenyang kalau harus makan gelato satu cone seperti itu. Giung juga.

Sekyung menatap sebentar cone yang terlulur di depan wajahnya, warna hijau dari rasa green tea serta entah rasa apalagi berwarna coklat muda seperti ada potongan buah tampak terlihat begitu segar.

Tawaran Yiheon juga seperti tidak menerima penolakan, tatapannya seakan bilang, makan gak buruan atau aku ngambek.

Maka, digenggamnya tangan Yiheon yang sedang memegang cone itu untuk didekatkan pada bibirnya agar dia bisa memakannya.

Bro? kagak usah sambil dipegang juga tangan gue nya???? batin seseorang di mobil itu tampak berisik.

Yiheon sedikit blushing saat ini, harusnya gak usah ditawarin aja gak sih? kok malah begini... tapi kasian kan yang beli cuma dia, Sekyung nya enggak mau.

Satu gigitan kecil Sekyung pada gelato miliknya membuat Yiheon menatap penasaran menunggu reaksi Sekyung yang sedang mengecap-ngecap rasa yang tadi dipesannya.

“Enak nggak?”

Seniornya itu mengangguk cepat sambil melepaskan tangannya lagi. Ada sebuah senyum puas terlihat di paras Yiheon saat melihat respon Sekyung, “Pilihan aku gak salah kan? Walaupun asal sih tadi ini yang dipesan.” katanya bangga.

“Iya, enak kok.”

Yiheon kembali makan, lalu sibuk mengoceh lagi, “Nanti kalau aku beli lagi mau cobain rasa yang lain deh. Terus misalnya aku nggak suka, abang ya yang habisin.” putusnya secara sepihak dan Sekyung menyahut pelan, “Iya bebas gimana kamu saja.” pokoknya asal Yiheon senang, dia oke.

Tangannya justru tanpa bisa dicegah terangkat untuk mengusap sekilas bibir Yiheon yang terdapat sedikit noda dari gelato yang dimakannya itu menggunakan ibu jarinya dengan gerakan pelan.

Tiba-tiba banget!

Kedua bola mata Yiheon kembali membulat sambil menatap Sekyung yang terlihat tidak ragu-ragu sedikit pun melakukannya. Pemuda itu bahkan memasang raut heran melihat Yiheon yang terkaget.

“Kenapa?” tanyanya bingung.

“Harusnya aku yang tanya, abang ngapain?” ucap Yiheon dengan nada tertahan, tiba-tiba banget tuh jari mampir di bibirnya tanpa aba-aba dulu, ya jelas kaget lah.

“Kamu makannya belepotan kayak anak kecil, abang cuma bantu bersihin.” jawabnya kalem membuat Yiheon mendengus kecil.

Tahu gak sih efeknya apa, jantungnya malah jadi konser lagi di dalam sana kan!

Semua gara-gara Choi Sekyung, ngeselin banget mana kayak jadi banyak kupu-kupunya, geli.

“Kayak gak ada tisu aja sih.” sindirnya itu membuat Sekyung menghela napas pendek serba salah, “Iya memang nggak ada, Yiheon sayang. Kalau ada ya sudah abang kasih ke kamu dari tadi.” jelasnya sedikit geregetan sambil menangkup kedua pipi Yiheon menggunakan tangannya, ini sudah dibaikin kok malah dia kena omel.

Oh? tapi sepertinya Sekyung paham, marah-marah gini tuh karena Yiheon nya salting aja gak sih? Masa gitu dong sampai ngambek.

Apalagi ini bibirnya sambil mencucu kesal karena pipinya diunyel-unyel.

Full gemes banget Yiheon nya hari ini.

Sekyung lantas kembali memajukan tubuhnya ke arah Yiheon dan mendekatkan wajahnya, belum berniat melepaskan tangannya dari pipi Yiheon, dia tersenyum hingga sudut matanya menyipit, menatap dengan sorot jahil yang sedikit membuat Yiheon kewalahan, lu ganteng banget stress.

“Kamu salting yah? atau kamu maunya abang bantu bersihin pake cara lain aja, hmm?” tanyanya dengan satu alis yang naik, suaranya pelan hampir berbisik karena jarak mereka yang terlalu dekat.

Cara lain apaan?

Yiheon tanpa sadar meneguk ludahnya saat membalas tatapan Sekyung yang seperti menguncinya, apalagi hidung mancung Sekyung yang tampak begitu dekat seperti mengikis jarak diantara mereka, belum lagi netranya sedikit kurang ajar melirik ke arah bibir Yiheon yang tadi terasa lembut saat diusapnya.

Sumpah! Song Yiheon saat ini sedang mati-matian mempertahankan ekspresinya di depan Sekyung.

Baru paham “cara lain” yang dimaksud Sekyung.

Pake bibir gitu maksudnya? ciuman? mereka berdua? sekarang? bercanda banget lu.

Jangan mleyot.

Jangan klemar klemer.

Ia terlihat mengambil napas panjang lalu menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum manis banget di depan Sekyung yang justru terpaku menatapnya. Yiheon nya ganteng banget tapi lesung pipinya cantik, apalagi sedang dipegang sama dia, diusap sebentar pakai jarinya itu.

Sedang dimanfaatkan asetnya sebisa mungkin untuk target pasarnya itu, yaitu Choi Sekyung.

Cone gelato di tangan kanannya ia dekatkan lagi pada bibir Sekyung, lalu sengaja dikenakan hingga Sekyung bisa merasakan dinginnya lagi di bibirnya dan meninggalkan bekas di sana.

Song Yiheon tertawa senang menatap noda gelato di bibir Sekyung akibat ulahnya itu, tawa kecil yang menular pada Sekyung yang sempat kaget dan menatapnya penuh tanya, ngapain kamu, iseng banget.

“Sekarang, bibir abang yang kotor tuh, mau aku bersihin juga nggak?” tanyanya pelan, “Pakai tangan atau pakai cara lain maunya?” lanjutnya seperti berbisik menatap langsung pada Sekyung dengan degup yang terasa menggila, pura-pura berani saja dulu.

Namun, kemudian sebelum Sekyung bertindak bahkan menjawab, didorongnya dada Sekyung itu menggunakan tangannya agar menjauh dengan cepat-cepat.

Yiheon nggak kuat sendiri, karena semakin Sekyung nya diam maka semakin ketar-ketir dirinya ditatap seperti itu.

Kalau beneran ia dicium gimana? Kalau ternyata Sekyung gak bercanda gimana?

Astaga Song Yiheon, tetap saja ciut bila dihadapan Choi Sekyung. Jiwa maung dalam dirinya itu sudah berubah jadi anak kucing.

Sekyung tertawa dibuatnya sambil menggeleng pelan, sedikit tidak menyangka dengan apa yang dilakukan Yiheon padanya hingga dia sedikit ngeblank, jujur.

Manis, batinnya.

Entah tentang rasa gelato yang ada di bibirnya atau tentang Yiheon yang kini memeletkan lidah padanya sambil tersenyum merasa bangga karena sudah bisa balik mengerjainya, hargai saja usahanya yang tidak seberapa itu.

“Yah.. yaudah kapan-kapan aja ya berarti. Nanti mungkin kalau kamu jajan gelato lagi.”

”... terserah?”

Setelah diusaknya kembali puncak kepala Yiheon yang kali ini tidak menggerutu kesal seperti tadi, Sekyung baru menyalakan mobilnya dan keluar dari parkiran.

Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukan hampir setengah sepuluh malam. Kok cepat banget sudah jam segini saja, kalau sama Yiheon rasanya waktu cepat berlalu, enggak kerasa.

Sedangkan Yiheon sudah kembali menghabiskan makanannya walaupun sambil diam-diam kepikiran juga, gimana kalau tadi dia mengiyakan.

“Mau minum?” tawar Sekyung saat dilihatnya Yiheon sudah selesai makan, dia menyodorkan tumbler minumnya yang memang selalu ada di dalam mobil.

Ini orang act of servicenya memang nggak usah diraguin lagi deh, gimana Yiheon bisa tahan kalau ditreat seperti ini terus-terusan.

Diambilnya tumbler dari tangan Sekyung yang isinya tinggal setengah itu, “Aku habisin boleh?”

satu

dua

tiga

“Boleh, Yiheon.”

Nah kan Yiheon sudah bisa menebak jawaban Sekyung yang seperti tadi, ia sempat terkeheh sebelum menenggak air minum milik Sekyung itu, aslinya enggak dihabiskan kok ia cuma minum sedikit saja.

“Kenapa ketawa?”

Sekyung meliriknya ingin tahu sambil membagi fokus pada jalan di depannya yang lumayan lengang di jam segini mungkin karena weekday, tentu saja akan beda ceritanya kalau mereka keluar di saat weekend yang pasti akan macet.

“Gapapa... lucu aja dari tadi denger abang yang bilang ke aku apa-apa dibolehin.”

“Oh.. coba kamu tanya yang jawabannya bakal gak boleh.”

Kedua alis tebal Yiheon tampak menyatu mendegar perkataan Sekyung itu, kepalanya sedikit dimiringkan menatap ke arah Sekyung, berpikir apa ya kiranya yang bakal dilarang oleh orang di sampingnya ini.

“Pegang tangan aku?” tanyanya.

“Lah itu mah boleh banget, dong.”

Namun, Yiheon menggeleng tidak setuju, “Enggak boleh lah, kan abang lagi nyetir masa pegangan tangan, kalau lagi jalan biasa atau nyebrang baru jawab boleh harusnya.” katanya sambil menjelaskan.

Sekyung menoleh cepat padanya, ayolah yang benar saja, Yiheon? gitu doang. Dengan santai dia mengambil tangan kanan Yiheon yang ada di atas pahanya itu.

“Gini kan? gampang kata siapa gak boleh.” pamernya sambil mengangkat tangan mereka yang sudah bertautan itu sejajar dengan wajah.

Mampus! Kok malah kayak senjata makan tuan gini sih, batinnya.

“Kalau sudah begini gak bisa lepas loh. Kamu sendiri ya yang mancing.” lanjutnya saat melihat Yiheon yang kelabakan dengan wajah memerah.

2-1 untuk skor sementara mereka.

Sekarang mobil Sekyung kembali diisi lagi oleh suara musik yang volumenya tadi dikencangkan oleh Yiheon, kali ini suara merdu dari vokalis band Dewa19 itu terdengar mengalun memenuhi pendengaran mereka membawakan lagu yang dirilis tahun 90an.

Yiheon yang sedang memainkan ponselnya menoleh pada Sekyung saat pemuda di sampingnya itu terdengar bergumam pelan mengikuti lagu tersebut dengan suara beratnya, jarinya bahkan terlihat asik mengetuk kemudi mengikuti beat bertempo cepat itu sambil sibuk melihat jalan di depannya.

Merasa diperhatikan, Sekyung balas menatapnya, bertanya ada apa lewat pandangannya. Dia hanya mendapati Yiheon kembali menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkung yang menciptakan senyum lebar dengan lagi-lagi lesung pipi yang dipamerkan seperti sudah menunggu momen ini daritadi.

Tangannya mengepal terulur pada Sekyung pura-pura menjadi mic.

Mulai. Selalu deh.

Tapi, toh Choi Sekyung terlihat meladeninya juga walaupun sambil tertawa.

Tahu apa yang bakal selanjutnya terjadi.

Bagai vokalis band kawakan, keduanya sedang sibuk mengikuti lagu hits pada zamannya yang masih eksis bahkan di tahun sekarang itu. Walaupun suaranya sedikit ngalor ngidul tapi tidak ada yang perduli, namun kata Yiheon sih suara Sekyung bagus banget, ia suka.

Dan atau semuanya ia suka kalau itu tentang Sekyung.

Yiheon dengan kacamata hitam yang ia ambil asal dari dalam dashboard mobil Sekyung itu tampak sibuk bernyanyi dengan semangat hingga selesai, menjadikan ponselnya bagai mic yang ia pegang dan berasa tampil di atas panggung.

Kalau sama Yiheon, mobil Sekyung itu tidak pernah sepi. Kalau sama Yiheon, dia bisa melakukan banyak hal seru yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

“Udah ah capek...” keluh Yiheon sambil kembali bersandar pada kursi, menaikan kacamata hitamnya ke atas kepala saat lagu yang terdengar sudah berganti, “Besok lagi konsernya, vokalis lelah.” lanjutnya berhasil membuat Choi Sekyung melepaskan tawa yang terdengar dalam sambil menatapnya, “Oh batrenya sudah habis?”

“Udah, nanti perlu diisi dulu deh.” balas Yiheon, kadang asbunnya itu memang selalu ditanggapi oleh Sekyung.

“Gimana tuh ngisinya?”

“Dipeluk sama Choi Sekyung.” jawab Yiheon dengan tawanya yang terdengar ringan.

“Oke.”

Karena saat bersama Sekyung, Yiheon bisa ketawa lepas, Yiheon bisa salting, Yiheon bisa pamer lesung pipi sepuasnya karena Sekyung berdampak senyata itu bagi dirinya.

Perkataannya, semua tindak tanduknya yang selalu seperti menomor satukan Yiheon tidak luput dari hal yang harus disyukuri karena Yiheon bisa mengenalnya.

Seperti tidak ada habisnya kalau ia harus disuruh membahas Choi Sekyung, karena akan ada banyak sekali cerita yang keluar dari bibirnya lengkap dengan senyum lebar yang akan tergambar jelas di wajahnya.

“Abang...”

“Hmm?” Sekyung menoleh padanya dengan senyum lembut, “Kenapa? capek sudah ngantuk? mau tidur? diatur dulu kursinya.”

“Enggak.”

“Terus kenapa?”

Aku sayang banget sama kamu.

“Kenapa, Yiheon? malah diem ditanya tuh.”

Yiheon menampilkan senyum tipisnya, “Hati-hati nyetirnya. Maaf kamu harus pulang telat gara-gara nganterin aku dulu.”

“Gapapa. Hari ini, abang bisa ketemu kamu rasanya kayak obat banget buat hari-hari kemarin yang kerasa selalu hectic dan capek.”

Tangan kiri Sekyung lagi-lagi dilepas dari kemudi, tapi bukan untuk menggengam tangan Yiheon seperti tadi. Tangan itu terangkat untuk ke puncak kepalanya lagi yang sedang bersandar pada kursi dan menoleh pada Sekyung, diusap lembut banget sambil disayang-sayang sampai Yiheon rasanya mau tidur aja saat ini saking nyamannya.

“Abang... “

“Iya..”

“Bang Sekyung...”

“Apa, sayang...”

Sekyung mencubit gemas pipinya saat Yiheon hanya terkekeh alih-alih bicara, cuma manggil-manggil doang nih dari tadi.

Rupanya mereka harus kembali terjebak di lampu merah terakhir menuju ke rumah Yiheon. Choi Sekyung meregangkan tangannya yang dilepas dari kemudi lalu membuka kaca di sampingnya saat dia melihat bapak-bapak yang membawa keranjang bunga dan menjajakan dagangan di pinggir jalan hingga jam segini.

Yiheon hanya memperhatikan dalam diam saat Sekyung memanggilnya dan membeli sekitar lima tangkai mawar merah dan putih yang dipilihnya sendiri.

“Kasihan bapaknya, abang lihat dari tadi gak ada yang beli sudah malam dan belum pulang.” jelas Sekyung seperti tahu apa yang tergambar di wajah Yiheon hingga anak itu mengangguk paham, di matanya sudah penuh banget sama kagum yang menumpuk, kenapa sih Sekyung tuh baik banget jadi orang.

Sepertinya setiap hari makin ada alasan buat Yiheon jatuh cinta sama dia.

Lalu diberikannya bunga di tangannya tersebut pada Yiheon yang masih sibuk ngebucin dengan pikirannya itu.

“Hah? buat aku?” tanyanya kaget.

“Iya, atau kamu nggak suka?”

“Bukan gitu...” Yiheon menggigit bibirnya sekilas, menatap tangan Sekyung yang terulur padanya.

Kenapa banyak banget kejadian malam ini, mau sampai kapan ia dibuat berhenti deg-degan gini, capek banget jantungnya kalau lagi sama Sekyung tahu gak.

“Kalau nggak mau gapa—”

“Mau lah! Yaudah... sini.. suka kok kalau dikasih...” potong Yiheon cepat sambil mengambilnya dari tangan Sekyung dengan malu-malu, “Makasih, abang..” cicitnya kemudian.

Bunga mawarnya cantik, masih terlihat segar walaupun sudah malam, mana banyak lagi ada lima, terus wangi juga. Tukang ribut tukang ribut begini juga kalau dikasih bunga ya tetep aja baper.

Sekyung bisa melihat Yiheon yang menyunggingkan senyum di wajahnya ketika ia sibuk menatap bunga di tangannya itu, dipegan-pegang kelopaknya, dilihatin terus-terusan, soft banget anaknya kalau lagi begini, “Nanti abang kasih yang lebih proper ya.” katanya sambil mengusap puncak kepala Yiheon.

Dalam rangka apa dah?

Tapi, Yiheon memilih tidak menjawab, ia hanya diam-diam melirik Sekyung yang sudah kembali menjalankan mobilnya.

Apa harusnya gue tanya sekarang aja soal kita, waktunya pas nggak ya, batinnya penuh ragu.

Takut terlalu mendadak dan jujur ia juga tidak bisa menebak apa yang sekiranya ada di pikiran Sekyung saat ini. Kalau ekspektasinya ketinggian, ia juga yang bakal sakit.

Apalagi dilihatnya pesan masuk di ponselnya dari Bunda yang bertanya kapan pulang membuat Yiheon menghela napas panjang sambil menggigit kuku tangannya dan sibuk menatap ke kaca jendela di sampingnya, galau banget.

“Kenapa, Yiheon?” tanya Sekyung sambil meliriknya.

“Gapapa, Bunda udah nanyain masih dimana, Bang.”

“Oh, jawab saja sudah sampai.” karena mobil Sekyung memang sudah memasuki komplek perumahannya, hanya perlu satu belokan di depan maka mereka akan sampai di rumah bernomor empat belas tersebut.

“Yiheon...”

“Iya?”

Choi Sekyung terlihat sedikit menghela napas sebelum kembali membuka mulutnya, menatap Yiheon yang menunggunya berbicara, “Kamu ada waktu lagi kapan? nanti abang ada yang mau diomongin sama kamu, tapi enggak sekarang. Kalau kita ketemu lagi aja.”

Yiheon sedikit mengerut saat mendengar suara Sekyung yang mendadak serius tidak seperti biasanya, pikirannya malah jadi kemana-kemana.

“Ngomong apa? Kok aku jadi takut? Aku ada salah sama abang?” tanyanya cepat sambil mengingat-nginat, hari ini adakah dia kelepasan bersikap kasar sama Sekyung?

Namun, satu tawa ringan justru terdengar dari bibir Sekyung saat Yiheon selesai bertanya banyak, seaneh itu kah nada seriusnya bagi Yiheon.

“Nggak ada salah apa-apa, Yiheon. Bukan begitu maksud abang.” dia langsung melembutkan nadanya lagi seperti biasa, apalagi melihat Yiheon yang masih memasang wajah tidak percaya padanya, takut malah jadi salah paham nanti.

“Abang cuma mau ngomong saja berdua sama kamu.”

“Ngomong tentang kita?” tebak Yiheon sok tahu dengan keberanian yang entah datang dari mana. Ia beneran sedang kepikiran daritadi dan itu sangat mengganggunya.

Urusan malu karena salah menebak, biar belakangan dipikirkan.

Hingga dihentikannya mobil Sekyung itu tepat di depan gerbang rumahnya. Yiheon tanpa sadar akhirnya betul-betul meringis malu, sepertinya dia beneran sok tahu dan kepedean karena Sekyung tidak menjawabnya.

Pertanyaan tentang status mereka seperti kata Sungchan itu tiba-tiba ingin ia kubur dalam-dalam, gak usah ditanyain sekarang atau gak usah ditanyain sama sekali.

“Yiheon..” panggilan Sekyung itu kembali menarik atensi Yiheon yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri, “Kok ngelamun sih?” tanyanya.

“Gapapa, bang. Yaudah aku tur—”

“Iya, tentang kita.” potong Sekyung langsung, menghentikan tangan Yiheon yang akan mengambil tas belanjaannya di kursi belakang. Ia menatap tidak mengerti pada Sekyung yang sekarang sudah tersenyum begitu lembut padanya.

“Tentang abang sama kamu, tentang kita, Yiheon. Nanti kita omongin ya semuanya.”

Ternyata beneran mau ngomong tentang kita.

Ternyata beneran tebakan sok tahu nya itu.

Tiba-tiba hatinya menghangat dan terasa penuh saat ini, pikirannya salah tadi, nanti pasti akan ia tanyakan, tidak jadi dikubur dalam-dalam tapi mau dibawa ke permukaan, tentang hubungan mereka.

Yang ada di wajah Yiheon sekarang hanya binar senang, galaunya sudah hilang. Ia sedikit ragu namun secara perlahan mendekat pada Sekyung, mencium pipi kanan seniornya itu secepat kilat lalu mengambil tas belanjaannya dan kabur keluar dari mobil.

Meninggalkan Choi Sekyung yang seperti orang bodoh sambil memegang pipinya sendiri.

“Makasih abang, hati-hati bawa mobilnya.”

Sialan.

2-2 untuk skor akhir hari ini.

Sekyung menurunkan kaca mobilnya, menatap Yiheon yang sudah berdiri di tengah gerbang rumahnya yang sudah dibuka, dengan tangan yang tampak penuh, di kanan ada tas belanjaan dan di kiri ada bunga yang ia peluk.

“Muka kamu merah tuh, yang nyium siapa yang malu siapa.”

Sekyung berkata sambil menujuk ke wajah Yiheon dimana ia langsung tertawa sendiri, bodoamat deh buat kali ini Yiheon mengakui soalnya lagi beneran seneng banget.

Mending pacaran sekarang aja gak sih, nanti mah kelamaaaannn, Choi Sekyung!

Yiheon berjalan mendekat lagi pada Sekyung, sedikit menunduk lalu memberikan satu tangkai bunga di tangan kirinya itu pada Sekyung yang berada di dalam mobil.

“Kok dibalikin?”

“Bukan dibalikin, tapi itu aku yang kasih spesial buat abang.. kamu simpan aja deh dari aku tuh awas ilang! Nanti kapan-kapan aku tanyain kalau gak disimpan aku gebuk.”

Choi Sekyung dibuat ketawa lagi, apalagi nada galak Yihoen yang maksa tapi mukanya bertolak belakang malah kesenengan saat Sekyung menerima bunga darinya itu.

Akhirnya malah keluar mobil juga. Padahal niatannya mau buru-buru pergi karena sudah malam. Namun, nyatanya Sekyung kalah kalau harus berhadapan sama Yiheon nya ini.

“Makasih, Yiheon. Nanti abang simpan dan jaga baik-baik, ya.” gumamnya pelan, membawa kembali Yiheon ke dalam pelukannya, direngkuh dan diusap, diberi sayang yang banyak, dicium lembut di pelipisnya, dikasih senyum tulus sambil dibisikin yang bisa membuat Yiheon bucin total gak pakai rem lagi.

“Sayangku, hari ini baiknya kita langsung pacaran saja gak sih. Soalnya abang tahu kamu nggak sabaran.”

Choi Sekyung menatap heran pada Yiheon yang masih saja meledek adiknya. Seneng banget bikin dia menggerutu.

Rupanya keputusan mereka mengajak adik Yiheon itu membuat Sekyung sedikit mengurut keningnya.

Bayangkan satu Yiheon saja terkadang membuatnya pusing sekarang ditambah Woojin atau yang biasa mereka panggil adek itu tingkahnya tidak grasak-grusuk senggol bacok seperti Yiheon tapi sering merajuk dan sedikit manja.

“Sudah ya, kita makan sekarang. Adek mau makan apa?”

Sekyung berdiri di tengah kedua kakak adik itu setelah mereka keluar dari bioskop. Tadi ketiganya memutuskan untuk pergi ke mall yang tidak jauh dari pet shop tempat grooming kucing milik Yiheon selagi menunggunya selesai, sekalian malam mingguan.

“Terserah aja.” jawab Woojin pelan membuat Sekyung mengangguk kecil lalu mengalihkan pandangan pada kakaknya yang berada di sebelah kiri, “Terus kamu mau makan apa?” dia mengulang pertanyaan yang sama sekali lagi.

Sumpah kalau dilihat ini bukan seperti Sekyung mengajak ngedate Yiheon, tapi dia seperti kakak sulung yang sedang mengasuh kedua adiknya serta menjadi penengah diantara keduanya.

“Belum tahu, mending kita ke food court aja dulu.” Yiheon memberi usul yang disetujui Sekyung dan langsung mengekorinya berjalan menuju eskalator untuk turun ke satu lantai tepat di bawah mereka sekarang berada.

“Kamu tuh ya, iseng banget sih, Yiheon. Beneran bad mood nanti adeknya. Jangan gitu.” bisik Sekyung pada Yiheon yang kemudian mengangguk patuh, padahal tidak seserius itu apa yang dilakukannya terhadap sang adik, mereka sudah biasa bila di rumah hanya saja Choi Sekyung mungkin melihatnya dengan berbeda.

“Iya iya orang aku cuma bercanda doang, bang...” katanya sambil melirik Sekyung, tidak mau membuatnya semakin salah paham, Yiheon kemudian mendekat pada sang adik yang berjalan lebih dulu.

Selanjutnya Sekyung bisa mendengar Yiheon yang meminta maaf sambil merangkul Woojin.

“Nanti kakak beliin kamu gelato.”

“Deal.”

Sekyung menghela napas panjang, gampang ribut tapi untungnya gampang akur juga. Sebagai anak tunggal, dia mungkin tidak terlalu paham karena Sekyung sudah terbiasa sendirian di rumah sejak dia kecil dan berada diantara keduanya sekarang membuatnya merasakan hal yang tidak pernah dia miliki.

Melihat bagaimana Yiheon kini berjalan merangkul adiknya sambil memilih-milih tempat makan yang akan mereka datangi, cukup untuk membuat Sekyung akhirnya tersenyum menatap hal di depannya.

“Kamu suka udon kan, mau itu? Eh jangan deh penuh, bentar kakak pilihin lagi, mau sushi? tapi waiting list panjang banget jir.”

Di pukul setengah tujuh malam ini jelas tempat makan kebanyakan akan penuh, apalagi di tambah malam minggu. Selain orang pacaran, banyak juga potret keluarga yang Sekyung lihat mengisi meja-meja makan di sana dengan membawa anak-anak. Semua orang memang punya cara untuk menghabiskan weekend bersama orang terdekatnya, begitu pun dengan dirinya.

Sekyung dengan sabar berjalan tepat di belakang mereka, dia tidak banyak bicara hanya membiarkan kedua kakak adik itu memilih-milih sesuai maunya.

“Abang...”

Yiheon menoleh ke belakang, menatap Sekyung yang mengulum senyum tipis, “Sudah? Mau di mana?”

“Kita makan di situ aja, gapapa?” setelah muter-muter, Yiheon menunjuk pada salah satu tempat makan yang berada tepat di sebelah kanan mereka, di sana terlihat masih ada meja kosong sehingga tidak perlu waiting list, “Boleh, abang ikut kalian aja.” jawabnya yang dibalas senyum lebar oleh Yiheon.

Seneng banget kayaknya.

Tanpa melepaskan tangan kirinya yang masih berada di bahu sang adik, tangan kanan Yiheon terulur dan menarik lengan Sekyung yang hanya mengenakan baju pendek berwana hitam itu agar berjalan di sampingnya.

“Ngapain di belakang sih, nanti kita kepisah.” gumamnya.

Sekyung tertawa kecil, enggak mungkin. Dia bukan anak kecil yang akan jalan-jalan sendiri kalau tidak dipegangi. Tidak ingin protes, Sekyung hanya menurut saat mereka memasuki tempat makan itu.

Sekyung terbiasa melihat Yiheon yang suka sekali makan dengan pipi menggembul lucu seperti tupai—menurutnya bila sedang mengunyah penuh, kedua matanya akan berbinar bila makanannya sesuai dengan seleranya. Ah, tapi semua makanan kebanyakan Yiheon bilang enak, makanya Sekyung suka sekali memanjakannya agar Yiheon nya itu senang, mau apa juga pasti dikasih.

Sedangkan sekarang Sekyung bisa melihat Woojin yang slow eater, si bungsu itu ternyata berbeda sekali dengan kakaknya. Makanya sedikit-sedikit juga santai. Makanan di piringnya masih terlihat cukup banyak berbeda dengan sang kakak yang sudah hampir habis, miliknya sendiri juga sudah tinggal setengah.

“Jangan diliatin, bang. Dia emang makannya lama.” Yiheon yang duduk di sampingnya memberi tahu, ia baru saja menelan suapannya dan kemudian mengambil gelasnya, mengaduk sebentar sedotannya sebelum kemudian meminumnya.

Woojin yang mendengar ucapan kakaknya hanya meringis kecil tampak lucu dengan rambut cepaknya itu lengkap dengan kacamata bulat yang dia kenakan.

“Maaf ya...” cicitnya pada Sekyung.

“Iya nggak usah minta maaf. Makan sampai selesai, dek. Kita nggak lagi buru-buru kok.” ujar Sekyung yang diangguki Yiheon, “Kakak juga belum dikabarin, si ayang belum selesai.” tambahnya menenangkan, menatap adiknya yang masih sibuk mengunyah.

Meja makan bernomor enam itu semakin lama tampak seru dengan obrolan dari tiga orang pemuda yang mengisinya.

Yiheon yang sudah selesai makan lebih dulu paling banyak bicara tampak semangat membahas film yang baru saja mereka tonton. Padahal yang milih film Woojin tapi ia yang paling anteng buat nonton. Sekyung tahu karena tadi dia duduk di samping Yiheon yang berada di tengah-tengah mereka.

“Tuh kan padahal emang kakak yang mau nonton itu, tapi dia mancing aku buat bilang, bang.” Woojin menunjuk kakaknya dan mengadu pada Sekyung.

Makannya baru selesai setelah akhirnya habis.

Makasih Tuhan, ternyata memang lama.

Yiheon menggelengkan kepalanya sambil tertawa mendengar tuduhan sang adik, ia mengibaskan tangannya lalu ikut menatap Sekyung yang berada di sampingnya.

“Enggak bang, sok tahu banget tuh kamu. Jelas-jelas kamu ya yang tadi milih.” balasnya tidak mengakui membuat sang adik memutar bola matanya ke atas lalu mendengus kecil, “Tapi kakak yang ngasih-ngasih aku kode.” ujarnya kekeh sambil menyandarkan punggung pada kursi, ngeselin tuh si kakak nggak mau ngaku.

“Iya oke gak masalah siapa yang mau nonton, mau adek atau kakak, kan udah beres juga filmnya.”

Sekyung tidak bisa menahan tawa kecilnya melihat apa yang terjadi di depannya. Lagi-lagi dia menjadi penengah mereka sebelum semakin panjang. Sejak tadi loh, di mobil pun ada saja yang diributkan.

“Bang Sekyung tahu gak...”

Kali ini Sekyung menoleh pada Woojin yang memanggilnya lalu tersenyum lebar. Dia mengenal Woojin sejak pertama kali mengantarkan Yiheon pulang dulu, Sekyung ingat anak itu hanya menatapnya bingung saat dia melihat sang kakak yang keluar dari mobil miliknya.

“Apa?”

“Tadi kakak mandi lama banget tahu pas aku pulang sekolah, kirain mau kemana tumben mau groomin kucing doang mandi.”

“Adek diem gak.” sela Yiheon seperti tahu kemana arah pembicaraan ini.

Adiknya yang duduk di depan mereka tampak santai dengan gelas yang masih dia pegang sambil mengigit sedotan, pura-pura tidak mendengar suara kakaknya itu.

“Terus aku tanyain kan, kakak mau pergi sama siapa emang, ke pet shop doang kok lebay banget.” lanjutnya tanpa takut hingga membuat sang kakak semakin gregetan.

Choi Sekyung tidak terganggu sama sekali dengan Yiheon yang sudah seperti mengeluarkan asap dari kepalanya. Dia dengan anteng mendengarkan cerita Woojin yang semangat dengan senyum semakin lebar tampak puas, apalagi melihat Yiheon bersikap seperti itu membuat rasa penasarannya makin bertambah.

“Terus, dek?”

“Terus dijawab, kakak mau malam mingguan lah sama Bang Sekyung.” pungkasnya menirukan suara sang kakak yang terdengar songong, anak itu memajukan duduknya berlagak berbisik pada Sekyung namun dengan suara yang jelas bisa mereka dengar. Sengaja banget.

“Kayaknya grooming kucing cuma modus doang deh, bang.”

Demi Tuhan, Yiheon rasanya mau menyumpal mulut adiknya itu dengan tisu yang ada di atas meja.

Tawa Sekyung langsung terdengar begitu anak SMA itu selesai bicara, sepertinya dia memang butuh Woojin untuk mendengar cerita eksklusif lain tentang Yiheon.

“Beneran kata adek?”

Tanyanya langsung pada Yiheon yang duduk di samping kanannya, di ujung kalimatnya terdengar tawa yang masih jelas terdengar.

Yiheon mendengus kecil, kedua matanya melotot galak pada adiknya yang memamerkan cengiran jahil di sebrang meja sambil memeletkan lidahnya, senang bisa balik mengerjai kakaknya itu.

Ternyata senjatanya cuma satu, bang Sekyung, gebetan kakaknya dari lama.

“Enggak.” jawabnya singkat, “Jangan percaya, dia suka ngasal.” menatap Sekyung yang masih memasang wajah cerah dengan senyum yang tampak senang.

“Yakin?” tidak puas, Sekyung menaik turunkan alisnya sambil menatap Yiheon yang kemudian meninju bahunya pelan.

Sudah dibilang kan salting nya jelek banget, Yiheon.

“Sumpah! Emang sekarang jadwalnya si ayang grooming, bang. Kan aku minta anter kamu dari hari Kamis tuh.”

Yiheon menjawab ngeyel membuat Sekyung mengangguk kecil mengiyakan sambil mengusak puncak kepalanya, lucu banget sih.

“Yang bilang kita malam mingguan kan lu sendiri pas di chat.” gumamnya sedikit menggerutu bisa di dengar oleh Sekyung yang memang duduk cukup dekat di sampingnya.

Tentu saja.

Sekarang mereka lagi malam mingguan. Lagi jalan di hari Sabtu sore hingga sekarang pukul tujuh.

Sekyung tahu jelas rencana grooming kucingnya memang bukan modus seperti kata adiknya, dia hanya ingin tahu kalau ternyata Yiheon benar-benar menantikan mereka untuk pergi hari ini.

Yiheon menyandarkan punggungnya pada kursi masih sambil menggerutu kecil, enak saja kalau disangka modus. Agenda utama mereka memang mau ke pet shop, ya sudah sisanya anggap saja bonus.

Lalu ia menatap cepat ke samping saat tangan kiri yang ada di atas pahanya itu tau-tau digenggam oleh tangan Choi Sekyung.

Tiba-tiba banget.

Apasih emang mau nyebrang?

Kenapa gandengan segala?

Genggaman itu terasa hangat melingkupinya, Yiheon belum terbiasa mendapatkan hal baru seperti ini. Terhitung sudah dua kali genggaman serta usapan lembut dari ibu jari Sekyung di punggung tangannya benar-benar membuatnya tidak karuan, namun jelas terasa nyaman, ia tidak bisa menampik.

Sekyung tidak membalas tatapannya, seniornya itu justru memajukan duduknya ke arah meja dan kembali berbicara dengan Woojin tampak santai tanpa melepaskan tangannya.

Dan jelas saja adiknya itu tidak akan bisa melihatnya karena tangan mereka berada di bawah meja.

Sudah jelas apa yang terjadi selanjutnya, saat mereka berdua sibuk mengobrol, Yiheon sibuk dengan degup jantungnya sendiri. Ia hanya menimpali sesekali dengan wajah sedikit memerah yang hanya disadari oleh Sekyung.

Yiheon sadar Sekyung meliriknya walaupun dari sudut matanya, dan ia tidak bisa menahan deheman gugup dibuatnya, lalu mengambil minumnya yang untungnya masih ada.

Hal tersebut tidak lepas dari pandangan Sekyung yang jelas langsung terkekeh melihatnya, suka sekali membuat anak orang salah tingkah.

Kali ini akhirnya dia menatap Yiheon yang sedang berlagak sibuk memainkan sedotan dengan tangan kanannya yang bebas itu, bahkan enggan balik menatapnya karena ia memilih untuk menatap gelasnya itu.

Diliriknya ke bawah saat Yiheon jelas tadi membalas mengeratkan genggaman mereka, ibu jarinya kembali bergerak mengusap lembut punggung tangan Yiheon yang sedikit dingin itu.

“Kamu gugup gitu, keliatan loh.” bisiknya kurang ajar.

Terus kalau gugup kenapa? Emang iya kok! Salah lu.

“Kayak mau nyebrang aja.” sindir Yiheon yang hanya dibalas tawa oleh Sekyung.

Bukannya dilepas, genggamannya malah semakin dieratkan.

Sialan Choi Sekyung ini.

Makin hari, tingkahnya semakin jadi saja.

Dan bodohnya Yiheon malah semakin menyukainya.

Akibatnya sekarang ia harus mati-matian menahan wajah salah tingkahnya agar mereka tidak tahu.

Awas aja lu, gue bales nanti, Choi Sekyung!


“Ayangggg.....”

Suara Woojin terdengar mengisi mobil yang baru saja kembali jalan.

Mereka sudah menjemput kucingnya dari pet shop, dia sudah bersih, sudah potong kuku, sudah dikeluarkan dari pet cargo dan langsung dipeluk gemas oleh si adik yang duduk di kursi belakang.

Sekyung tersenyum melihat dari kaca tengah, sama saja seperti Yiheon. Kedua kakak adik itu memang sama-sama memanjakan kucing kesayangan mereka, oh jelas babunya dia nambah satu yaitu dirinya.

“Ayah sama Bunda kamu sudah pulang?”

Yiheon menggeleng pelan, melihat ponselnya yang barusan dapat pesan dari Bunda yang bilang kalau mereka baru saja jalan pulang dan mungkin akan telat karena terjebak macet.

“Adek, mau langsung pulang?”

Sedikit menengok ke belakang, Yiheon bertanya pada adiknya yang sedang mengelus-ngelus kucing mereka yang tampak anteng di pangkuannya.

“Mampir ke taman sebentar boleh nggak? Mau beli takoyaki.”

Kalau urusan jajan sama saja ternyata.

“Boleh, dek. Yang ada taman bermainnya itu, kan?” tanya Sekyung memastikan dan diiyakan keduanya dengan kompak. Dia sedikit ingat tempatnya tidak jauh dari rumah Yiheon, mungkin hanya beberapa ratus meter saja.

“Nanti ada banyak kedai, mobilnya parkir di pinggir taman aja gapapa kok, bang.” beritahu Yiheon.

“Oke gampang.”

Sekyung melihat jam tangannya saat dia sudah mematikan mesin mobil, pukul setengah sembilan.

Dilihatnya si adek yang langsung memindahkan kucing ke pangkuan Yiheon yang duduk di depan.

“Kakak mau nitip apa?” tanyanya sebelum membuka pintu, dia menatap Yiheon yang justru melihat Sekyung, “Abang mau?” tanyanya langsung dibalas gelengan pelan, “Enggak. Kalian aja.”

“Yaudah kakak samain aja kayak kamu.”

Woojin mengerti, dia lekas keluar dari mobil dan berjalan ke arah kedai yang berjajar di sebrang taman.

Malam minggu seperti ini, walaupun tamannya tidak terlalu besar tapi kedai-kedai jajannya serta cafe di dekat situ cukup ramai bisa Sekyung lihat dari tempat mereka memarkir mobil.

Dia menyandarkan punggunngnya sambil sedikit meregangkan pundaknya, menoleh pada Yiheon yang sedang menunduk, lalu mengulurkan tangannya untuk ikut mengelus bulu halus berwarna abu gelap itu.

“Abang mau turun nggak sambil nunggu adek atau mau nunggu di mobil?”

“Kamu mau turun?”

Satu anggukan semangat terlihat darinya, “Kayaknya bakal ngantri sih.” jarinya menunjuk Woojin yang sedang duduk seperti menunggu antrian.

“Yaudah boleh.” balas Sekyung yang langsung membuka pintu mobilnya disusul oleh Yiheon yang tersenyum senang, “Ayang kita jalan-jalan, yeay!” gumamnya sambil memainkan tangan si kucing.

Hembusan angin cukup dingin terasa sedikit menusuk bagi Sekyung yang hanya menggunakan kaos pendek, untungnya Yiheon saat ini menggunakan sweater panjang, ia juga memasang kupluknya.

Sekyung hanya pernah melewati taman ini mungkin sekali atau dua kali karena bukan berada di jalan yang biasa dia lewati apabila menuju rumah Yiheon.

Dari dekat, bisa terlihat tempat bermain seperti dua ayunan di samping bak pasir untuk anak-anak, ada perosotan bahkan ada papan jungkat jungkit yang diisi oleh bocil yang sedang bermain. Ada juga satu lapangan terbuka lumayan besar di sebelah taman yang terdapat beberapa anak muda sedang bermain basket.

Ruang hijau itu tampak sepi, jelas saja ini sudah cukup malam, hanya segelintir orang saja yang terlihat selain bocil tadi yang memang mungkin tinggal di sekitar sini.

Yiheon memilih berjalan di jalur yang biasa dipakai jogging di sisi taman, ada beberapa bangku tampak kosong yang kalau pagi atau sore pasti bakal terisi untuk nongkrong sekedar menikmati suasana teduh taman dengan pohon-pohon besar.

“Kamu sering ke sini?”

Sekyung bertanya pada Yiheon yang berjalan pelan di samping kanannya, anak itu terlihat menaruh kucing di dadanya, tampak anteng sekali si ayang dimanja seperti itu.

“Kalau ke tamannya enggak sering juga sih, paling kalau lagi mau jogging sama adek suka ke sini. Kalau ke tempat jajannya baru sering.”

Ia menjawab sambil memamerkan gigi rapinya, Sekyung rupanya bisa menebak untuk hal tersebut.

“Sekolahku dulu lewat sini soalnya, bang. Sekolah adek juga, jadi sekalian lewat.” jelas Yiheon membuat Sekyung membulatkan mulutnya dan mengangguk mengerti mengetahui hal baru lagi dari Yiheon.

“Deket rumah Sungchan juga tuh ke arah sana.” tunjuk Yiheon pada jalan di sebrang taman yang seperti mengarah ke sebuah komplek perumahan.

“Oh pantes suka pulang bareng, deket juga ya.” balas Sekyung yang diiyakan oleh Yiheon. Memang kalau ia sedang tidak membawa motor ke kampus daripada pulang naik bis—selain kalau dengan Sekyung mending nebeng sama Sungchan.

Langkah Sekyung kemudian berhenti saat Yiheon tiba-tiba berhenti di bawah lampu taman berbentuk bulat dan cukup tinggi itu, membuat siluet bayangan mereka berdua terlihat di sisi bawah jalan.

“Kenapa?” tanyanya.

“Nitip ayang dulu, tali sepatuku lepas.”

Yiheon baru saja akan memberikan kucingnya pada Sekyung saat pemuda itu justru berjongkok tepat di depannya tanpa banyak bicara, dia memasang lagi tali sepatunya yang terlepas dengan cekatan, bahkan mengencangkan tali sepatu yang satunya lagi, memastikan keduanya sudah diikat sempurna.

Rupanya Song Yiheon harus kembali mengontrol degup jantungnya hanya karena perlakuan sederhana Sekyung padanya.

Ia hanya bisa melihat bagian atas topi Sekyung yang sedang menunduk hingga kemudian pemuda itu mendongak menatapnya yang justru terdiam belum sempat mengeluarkan kata apa-apa saat melihat Sekyung berlaku seperti itu padanya.

“Sudah?” tanya Sekyung.

Yiheon mengangguk kecil lalu mengulas sebuah senyum tipis saat Sekyung sudah kembali berdiri di sampingnya.

“Makasih...” ucapnya lirih.

“Sama-sama, Yiheon.”

Sekyung melirik ke tempat Woojin yang masih asik duduk sambil memainkan ponselnya, seperti belum ada tanda-tanda sudah selesai.

Dia kembali mengikuti langkah Yiheon yang berjalan pelan di sampingnya semakin jauh dari tempat mereka parkir mobil.

“Ayang kayaknya betah banget, ya? Kamu suka kan jalan-jalan begini, hmm?”

Suara Yiheon terdengar gemas berbicara dengan kucingnya yang memberi respon dengan suara mengeong pelan membuat Sekyung menahan tawanya.

Gemes banget deh nih berdua.

“Kucingnya sama aku aja sini, dia mau nggak ya.”

Sekyung akhirnya mengambil alih kucing betina tersebut yang asik nemplok di bahu Yiheon. Dipangkunya sambil dielus-elus saat kucing itu mengeong karena harus berpindah tempat lalu kemudian sibuk ndusel di dadanya.

Yiheon tersenyum lebar menatap hal tersebut, rupanya udah jinak beneran sama Sekyung walau tanpa diberi snack.

Ia berdiri di depan Sekyung dengan tangan yang memainkan kaki kucingnya, paw nya bersih lucu berwarna pink. Tidak lupa mengelus kepalanya hingga kucing itu memejamkan mata tampak nyaman.

“Kayaknya pelukan aku bukan cuma buat kamu, tapi buat dia juga. Anteng banget kan.”

Suara Sekyung terdengar diucap pelan, menatap Yiheon yang daritadi menunduk menaruh seluruh perhatiannya pada si kucing.

“Kalau sama dia gapapa deh aku bagi-bagi.” katanya sambil terkekeh, Yiheon akhirnya mengangkat pandangannya hingga balas menatap Sekyung.

Lagi-lagi Sekyung bisa melihat jelas lekukan cantik itu di pipi Yiheon.

Hari ini sudah berapa kali ya sejak mereka pergi dia dikasih pemandangan seperti ini.

“Betah deh aku.”

“Kenapa?”

Kepala Sekyung sedikit mendekat saat akan menjawab membuat Yiheon mengerutkan keningnya.

“Soalnya bisa liat senyum kamu kayak gini terus.”

Yiheon tidak bisa menahan decakannya saat mendengar ucapan Sekyung, ditepuknya cukup lembut lengan seniornya itu sambil memalingkan wajah ke sembarang arah, “Halah apasih geli banget anjir.”

Mana yang katanya mau balas dendam, yang ada malah ia yang kembali dibuat salah tingkah oleh Choi Sekyung!

Sudahlah, lagi pula Yiheon malas mikir sekarang ia hanya mau menikmati malam minggunya saja.

Mereka tidak melanjutkan lagi langkahnya semakin jauh, Sekyung sudah duduk di bangku taman dekat tempat tadi, begitu pun dengan Yiheon yang kembali sudah sibuk bermain dengan kucingnya yang masih dipangku oleh Sekyung.

“Meng, kamu kok gemes banget sih, wangi lagi....”

Yiheon kali ini mengunyel-unyel pipi si abu itu yang sedikit berontak tidak mau sambil kembali mengeluarkan suara meongan sedikit keras.

“Marah kan tuh.”

Sekyung terkekeh melihat Yiheon yang merengut kecil dengan bibir yang mengerucut lucu di depannya, rasanya dia juga mau unyel-unyel pipi Yiheon kalau begini.

“Ini sih malah kamu ikutan jadi gemes.”

“Stop bilang gue gemes!”

Ia berjalan ke belakang Sekyung mencoba melihat muka si ayang yang kini nemplok di bahu lebar seniornya itu dan mengintip ke balakang.

Tangan Yiheon memegang pundak Sekyung sambil kembali bermain-main dan berbicara dengan kucingnya itu. Sekyung hanya membiarkannya, dia tidak keberatan, dia menyukainya bagaimana tawa Yiheon dan celotehannya itu mengisi hening di sekitar mereka.

“Sombong ya kamu nggak mau aku pegang mentang-mentang lagi dipeluk sama abang...”

Suaranya kali ini terdengar merajuk, Sekyung melirik ke belakang bahunya untuk melihat Yiheon yang dari tadi berdiri di belakangnya.

“Kamu mau juga?”

“Apa?”

“Abang peluk.”

Hah?

Kedua netranya mengerjap kaget saat Sekyung tiba-tiba berdiri dan berbalik dengan jarak yang cukup dekat. Menatapnya lurus sambil menarik kedua sudut bibirnya terlihat ramah namun tidak dengan tatapannya yang mengerling jahil, “Mau, Yiheon?”

Lihat, makin menjadi kan tingkahnya? belum sehari malah, baru sejam lalu!

Tolong beritahu caranya agar ia bisa bertahan beberapa jam lagi saat menghadapi Choi Sekyung malam ini.

“Enggak deh, makasih.”

Diambilnya si kucing dari pelukan Sekyung itu dengan cepat, lalu berjalan meninggalkan Sekyung yang tertawa melihat tingkahnya.

“Yah kok kabur sih?”

“Adek udah beres kayaknya. Kita pulang sekarang.” seru Yiheon tanpa menoleh bahkan berjalan dengan langkah cepat.

“Lucu banget sih.” gumam Sekyung tidak bisa menahan di pikirannya. Dengan mudah dia bisa menyusulnya dan menahan lengannya.

“Apalagi, abang?”

Yiheon mau tidak mau harus menatap Sekyung yang kini berdiri di depannya, mereka belum sampai ke tempat parkir mobil, masih berada di taman tepatnya di samping ayunan yang kosong tanpa ada yang memainkan, kemana para bocil yang tadi.

Tidak langsung menjawab, Choi Sekyung menghela napas kecil dengan senyum yang terlihat tulus, “Makasih ya udah ngajakin pergi hari ini.” katanya yang dibalas dengan tatapan tidak mengerti Yiheon, kenapa dia selalu tiba-tiba gini sih.

“Yang tadi di tempat makan, maksudnya nggak gitu, abang cuma mau tahu kalau ternyata kamu sama excited nya pas kita mau pergi sore ini.” lanjut Sekyung.

Sama excited nya? berarti Bang Sekyung juga dong?

Sekyung seperti tahu apa yang dipikirkan Yiheon hingga iya menepuk-nepuk puncak kepalanya yang terhalang kupluk itu.

“Abang juga selalu nggak sabar kalau mau pergi sama kamu kok. Jangankan pergi, mau ketemu makan siang doang juga seneng banget rasanya.”

Belum ada balasan apapun dari Yiheon yang masih mencerna semua ucapannya, Sekyung sudah keburu menarik kembali tangannya. Dimasukan ke dalam saku celananya takut tiba-tiba bertindak kurang ajar seperti mungkin memeluk pemuda di depannya ini yang terlihat kembali mengalihkan tatapannya ke sembarang arah karena malu?

Ada semburat samar yang perlahan menghiasi pipinya itu.

“Walaupun enggak yang gimana-gimana, cuma jalan seadanya. Tapi sudah bisa disebut malam mingguan, kan?”

Yiheon bergumam kecil sambil mengangguk pasti, tangannya masih mengelus bulu halus si kucing yang kemudian mengeong pelan di gendongannya.

Ini lebih dari cukup, walaupun tidak berdua tapi Song Yiheon sudah senang sekali, ia juga jadi semakij yakin kalau baiknya Sekyung memang bukan hanya padanya saja.

“Makasih juga udah mau anter aku.”

“Anytime, Yiheon.”

Sebuah senyuman lebar tersungging di paras Sekyung saat Yiheon kembali menarik tangannya.

“Sekarang kita pulang, orang tua aku keburu dateng duluan ke rumah dan adek kelamaan nunggu nanti dia ngadu yang macem-macem ke Bunda.”

Choi Sekyung kembali meloloskan tawa kecilnya, dia melepas tangan Yiheon yang memegang—sedikit menyeret lengannya, lalu merubahnya menjadi dia yang menggenggam tangan Yiheon dan kembali menautkan jemari mereka sebelum melanjutkan jalan.

Yiheon tidak menolak, ia hanya menatap tangan mereka sekilas sebelum kembali melangkahkan kakinya mengikuti Sekyung.

Genggaman kedua di hari yang sama.

“Apa yang mau diaduin orang kita belum ngapa-ngapain.”

Mulai.

Satu delikan tajam terlihat di wajah Yiheon, menatap galak pada Sekyung yang justru menarik satu sudut bibirnya.

“Apa pun di pikiran aneh lu itu singkirin sekarang, Bang Sekyung atau aku suruh ayang gigit kamu beneran!”

“Udah dibilangin jangan banyak marah-marah. Banyakin senyum nanti orang jadi bisa liat semanis apa kalau kamu senyum apalagi ketawa, Yiheon.”

Yiheon mendengus kecil, kok malah diceramahin sih.

“Gak semua orang perlu tahu tentang aku...” beritahunya sambil melirik Sekyung, menghela napas berat tanpa sadar mengeratkan gengaman tangannya.

Bukan tugasnya membuat semua orang untuk menyukainya, untuk tidak memandangnya dengan tatapan jengah karena mungkin beberapa perilakunya. Yiheon merasa ia tidak perlu berlaku seperti itu bila tidak menginginkannya. Jujur saja ia tidak terlalu perduli juga, tidak mau dibawa pusing.

”...dan gak semua orang juga bisa bikin aku ngerasa nyaman kalau di dekat mereka, bang. Kayak aku kalau lagi sama kamu.”

Mendengar ucapan Song Yiheon, Sekyung praktis menghentikan langkahnya, menatap lekat padanya yang sudah menautkan kedua alis tebalnya.

Apalagi sih? ia salah ngomong lagi? mau diceramahin lagi?

Choi Sekyung tidak mengucapkan apa pun saat dia tiba-tiba mengambil langkah maju dan memeluknya, bukan Yiheon yang memintanya lebih dulu tapi Sekyung sendiri yang merengkuhnya.

Kucing di pelukan Yiheon itu kembali mengeong saat dia berada ditengah-tengah kedua babunya itu.

“Apasih tiba-tiba?”

Sekyung tidak menjawab, dia mengusak belakang kepala Yiheon yang terhalang kupluknya itu, lalu menaruh dagu di atas pundak Yiheon sedikit lebih lama sambil tidak henti mengusap-ngusap punggungnya.

Faktanya, setelah mendengar ucapan Yiheon tadi, dia tidak bisa untuk tidak memeluknya yang sudah sejak tadi coba ditahan.

Karena kali ini jelas Choi Sekyung yang lebih membutuhkan pelukan ini, bukan Yiheon yang seperti biasa.

Walaupun sedikit bingung dengan sikap Sekyung yang tiba-tiba. Yiheon hanya bisa membalas dengan tangan kirinya, karena tangan kanannya masih memegang kucing, tidak mungkin diturunkan karena ia tidak mau harus ribet kalau nanti dia kabur malam-malam seperti ini.

“Abang...” panggil Yiheon.

“Sebentar aja.” bisik Sekyung dengan suara dalamnya, “Jangan dilepas dulu.”

“Enggak..” Yiheon tersenyum kecil di balik bahu Sekyung, ia menepuk-nepuk pelan punggungnya.

“Cuma mau bilang kalau aku seneng hari ini.” beritahunya sungguh-sungguh.

Seperti diberi perintah, Sekyung mengeratkan pelukannya dan Yiheon tertawa lepas saat terdengar suara kucing yang mengisi suasana hening, sepertinya tidak merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka.

Tawa Yiheon terdengar begitu renyah di pendengaran Sekyung, masih ada bahkan saat dia sudah kembali memberi jarak dan mengusap sekilas kepala si kucing yang mengganggu itu.

Choi Sekyung tersenyum begitu tampan, menangkup kedua pipi Yiheon yang masih memasang wajah senangnya itu. Menyalurkan hangat dari telapak tangannya lengkap dengan usapan yang begitu lembut. Kedua netranya seakan tidak bisa melihat hal lai selain Yiheon di depannya.

“Seneng banget nggak?” tanyanya yang jelas membuat Yiheon mengangguk cepat.

“Seneng banget banget banget.” jawabnya dengan semangat serta cengiran yang menampilkan gigi rapinya, kedua bola matanya berbinar indah tampak tidak berbohong.

Dan Sekyung seperti tidak lelah untuk memamerkan senyumnya yang kali ini semakin lebar melihat kejujuran Yiheon itu.

Dia menjawil puncak hidung Yiheon sebelum kembali memeluknya, juga mendaratkan sebuah kecupan ringan di pelipisnya sambil bergumam pelan.

“Sayangku Song Yiheon kenapa gemas sekali...”

Hati Yiheon berdesir saat mendengarnya, bibirnya terlalu kelu untuk sekedar memberi respon atas apa yang didengarnya barusan. Yang bisa dilakukannya hanya meremas kaos belakang Sekyung sambil menyembunyikan wajahnya yang memerah di bahu pemuda itu.

Kali ini, Yiheon tidak akan protes disebut gemas oleh Sekyung.

“Ekhem..... kakak..”

Suara Woojin tiba-tiba terdengar tanpa terlihat datang dari mana membuat keduanya buru-buru melepaskan pelukan, lebih tepatnya Yiheon karena kalau Sekyung tampak santai masih menaruh tangan di punggung Yiheon.

Yiheon menatap Woojin yang memamerkan senyum lebarnya sambil menenteng satu kantong makanan. Dia berjalan mendekat pada kakaknya juga Sekyung yang tersenyum lembut padanya.

“Sudah jajannya, dek?”

“Udah, bang. Aku tadi ke mobil tapi dikunci, ternyata lagi pada di sini.” dia melirik kakaknya yang tampak memasang senyum tipis dengan tatapan yang artinya adek gak liat apa-apa, kan?

Bila harus dikatakan, dia sudah selesai dari tadi dan berdiri tidak jauh dari mereka, remaja kelas sepulug itu memilih menunggu saat kakaknya telihat tertawa lepas dengan Sekyung, dia tidak mau mengganggu.

“Tenang aja.” balas Woojin membuat gestur kunci di bibirnya, “Aman kak.”

“Pulang sekarang, yuk?”

“Iya. Ehm.. kalau kalian mau lanjut lagi di rumah juga boleh.” jawab Woojin sambil terkikik lucu sedikit meledek kakaknya yang jelas memerah membuat Yiheon mendengus kecil dan Sekyung hanya tersenyum tanpa berkomentar.

“Udah deh buruan keburu Ayah sama Bunda pulang! Nanti abang nya malah ditanyain macem-macem lagi kalau telat.” Yiheon berjalan lebih dulu diikuti oleh sang adik juga Sekyung.

“Gapapa, perginya tadi gak izin langsung kan. Minimal pulangnya harus bilang juga, aku udah bawa anak-anaknya pergi jalan.”

Woojin melirik Sekyung yang berjalan di sampingnya, dia tampak menatap terus punggung kakaknya di depan dengan sebuah senyum lembut.

Hal itu berhasil menampilkan senyum tipis di wajah Woojin, dia tahu kalau ternyata Choi Sekyung yang selalu ke rumahnya itu benar-benar bisa membuat kakaknya terlihat bahagia.

Dia juga tahu Sekyung yang selalu mengobati kakanya kalau pulang dalam keadaan habis berulah. Dia juga tahu selama jalan tadi bagaimana Sekyung selalu bersikap penuh perhatian.

“Bang Sekyung kalau butuh info tanya aku aja nanti aku kasih tau biar pdkt nya sama kakak lancar.”

Sekyung menoleh pada Woojin yang memamerkan cengiran lebarnya, di tepuk-tepuknya pundak anak SMA itu oleh Sekyung tanpa menghilangkan senyumnya.

“Makasih, adek. Menurut kamu gapapa kalau Bang Sekyung makin sering deketin kakak?”

“Gapapa dong. Soalnya kakak sendiri yang bilang kalau Bang Sekyung udah baik banget sama kakak.”

“Masa sih?” tanya Sekyung dengan senyum yang justru terlihat percaya diri, dia melirik Yiheon yang sibuk dengan kucingnya.

Woojin mengangguk tanpa ragu, tangannya membenarkan kacamata bulatnya yang sedikit melorot.

“Ayah sama Bunda juga gapapa kok, mungkin Bang Sekyung udah bisa ngerasain sendiri gimana sikap mereka.” jelas Woojin, dia tahu betul bagaimana orang tuanya selalu bersikap baik pada teman-teman anak mereka, tapi Sekyung jelas punya nilai lebih dalam mengambil hati Ayah dan Bunda dengan caranya sendiri.

Dia menatap Sekyung yang terlihat menampilkan raut wajah keget, sedikit tidak menyangka tentang apa yang diucapkan oleh Woojin, tiba-tiba banget anak itu memberitahunya hal seperti ini.

Sekyung bukannya tidak tahu, dia hanya mencoba untuk tidak berpikir terlalu jauh. Karena dengan sudah selalu diterimanya dia oleh sebuah senyum hangat dari Bunda juga tatapan ramah dari Ayah Yiheon itu sudah lebih dari cukup untuknya.

Namun, jauh di dalam hatinya Sekyung tidak bisa berbohong kalau dia merasa teramat lega sekarang.

“Makasih ya, udah ngasih percaya begitu banyak.”

Keduanya menoleh saat Yiheon yang sudah berdiri di samping mobil putih Sekyung itu memanggil dan menatap dengan mata memincing penasaran.

“Ngomongin apasih serius banget kalian?”

Sekyung melirik Woojin dan keduanya kompak mengangkat bahu sambil saling melemparkan senyum kecil membuat Yiheon menaikan satu alisnya. Aneh banget.

“Kakak gak diajak.” jawab Woojin singkat.

“Parah banget sih, cimol. Awas kakak jitak kamu nanti.”

“Bang Sekyung tuh.....”

Woojin kembali mengadu membuat Yiheon mencibir melihat adiknya itu sudah berdiri di belakang Sekyung dan memasang wajah menang padanya, merasa bangga dia punya tameng yang tidak mungkin Yiheon akan berani.

Ditatapnya Choi Sekyung yang menarik satu sudut bibirnya sebelum kembali menengahi mereka, “Kamu jangan gangguin adek, oke? dia aset penting buat kita.”

Yiheon mengernyit semakin tidak mengerti, apalagi saat Sekyung kali ini merangkul adiknya dan melakukan high five dengan bocah itu yang tampak senang.

Ini yang kakaknya siapa sih, gue atau Choi Sekyung?

Sekyung hapal di mana biasanya tempat duduk Yiheon bila berkunjung ke perpustakaan kampus. Lantai tiga, meja pojok yang menghadap langsung ke kaca lebar yang memperlihatkan pohon cukup besar sehingga bisa menghalau cahaya matahari agar tidak terlalu terik menembus jendela.

Langkahnya sempat berhenti saat melirik lift yang baru saja tertutup, malas menunggu, dia memilih berjalan ke arah tangga yang berada di sebelah kanan pintu masuk.

Begitu sampai di lantai tiga, pandangannya langsung mengedar setelah dia mendorong pintu kaca untuk melangkah masuk.

Seperti dugaannya suasana perpustakaan di lantai tiga memang tidak terlalu ramai layaknya di lantai satu serta dua di jam setengah empat sore ini.

Dari arah pintu, dia cukup berjalan lurus melewati dua rak buku setinggi sekitar dua meter lalu berbelok ke arah kanan dan sampai. Di sana terdapat beberapa meja berwarna putih lengkap dengan colokan yang ada di bawahnya. Juga ada beberapa orang yang terlihat sibuk dengan laptop masing-masing namun dengan jarak yang cukup berjauhan.

Dan sebuah punggung di balik jaket biru dongker itu bisa dia kenali dengan mudah. Duduk di ujung menghadap ke kaca jendela dengan laptop dan buku-buku yang terbuka di depannya.

Namun, Sekyung mendengus kecil sambil menggeleng saat Song Yiheon justu menempelkan kepalanya di atas meja alih-alih sibuk dengan bukunya itu.

Sekyung mengeluarkan sesuatu dari dalam tas nya saat berjalan ke belakang Yiheon, sebuah minuman kaleng dingin yang tadi sengaja dia beli di kantin.

Dia menunda tangannya yang akan menaruh kaleng dingin itu di atas meja, posisinya kini berdiri tepat di samping Yiheon. Melihatnya dengan jelas bagaimana Yiheon benar-benar menutup matanya serta earphone yang terpasang di telinganya.

Ia tidur di atas tangannya yang di lipat di atas meja. Sebagian sisi wajahnya terkena sinar matahari yang masih bisa lolos diantara daun pohon di depan jendela.

Ditariknya dengan pelan kursi yang ada di depan Yiheon agar tidak mengeluarkan suara berdecit. Tidak berniat buru-buru membangunkannya, Sekyung justru menggeser duduknya agar Yiheon tidak merasa silau.

Dia menghalau sinar matahari sore itu yang mengenai wajah Yiheon dengan punggungnya.

“Lima menit ya, Yiheon. Abis itu abang bangunin kamu nanti.”

Bagaimana kalau dia tidak datang. Bisa-bisa anak itu tidur sampai perpus ditutup.

Sekyung tidak membuka laptopnya, tidak mengeluarkan bukunya, tidak juga mengambil buku dari ratusan judul yang ada di rak yang berjajar rapi itu. Dia hanya diam sambil memainkan ponselnya, sesekali membuka fitur kamera dan memfoto wajah Yiheon sambil mengulum senyum.

“Cakep banget sih, kamu.” bisiknya.

Yiheon terlihat anteng banget kalau lagi tidur dan Sekyung betah berlama-lama melihatnya.

Lima menit kemudian kening Yiheon itu berkerut dalam saat ia perlahan merasakan sensasi dingin yang menusuk di pipi kanannya.

“Anjir!” serunya sembari menepis pipinya sendiri dan membuka kedua matanya dengan kaget.

“Apasih nih.” desisnya hampir saja mengamuk dan mengutuk siapa pun yang melakukan hal tersebut padanya.

Belum sadar di depannya adalah Choi Sekyung yang memegang kaleng minuman itu, di goyang-goyangkan tanda meledek, gue nih pelakunya.

“Kok Bang Sekyung???!” ucapnya tanpa bisa ditahan, melirik pengunjung lain takut suaranya terlalu keras. Tetapi untungnya tidak ada yang perduli dan sadar sama sekali, lagipula ia duduk paling ujung cukup jauh dari yang lain.

“Iya masa setan lagi.” ujar Sekyung masih mengingat jelas bagaimana kejadian sebelumnya.

Yiheon mengucek matanya, menguap lalu menatap Sekyung dengan mata memincing curiga, “Lu bohong ya? katanya pulang anjir.” tanyanya.

“Baru mau Yiheon, belum pulang.”

Koreksi Sekyung, kelasnya memang sudah selesai dari tadi dan saat ada chat dari Yiheon dia sedang berada di kantin dengan teman-temannya.

Wajah bangun tidur itu sedikit merengut, tetapi kemudian terlihat cerah saat Sekyung membuka kaleng minuman di tangannya dan diberikan padanya.

“Makasih..” ujarnya sebelum menenggak hampir setengah isinya, seger banget. Tau aja lagi haus.

“Masih lama nggak kamu ini? Kok udah tidur aja sih.”

Yiheon menaruh kaleng minuman di atas meja tepat di samping buku catatanya.

“Orang tinggal dikit lagi, terus gak sengaja ketiduran, sumpah.” jelasnya, suasana perpus yang tenang dan juga adem banget malah membuat matanya berat. Ia melepas earphone di telinganya dan di masukan ke dalam tempatnya yang ada di tas.

“Terus abang gak pulang?”

Yiheon bertanya saat kembali memegang laptop yang menampilkan sebuah jurnal, lagi nyari bahan buat tugasnya deadline besok.

“Enggak, di sini aja ngawasin kamu biar gak tidur lagi.”

Punggungnya menyandar pada kursi, menatap Yiheon yang terlihat meringis mendengar ucapannya itu merasa tertangkap basah dan Sekyung tertawa kecil dibuatnya.

“Yaudah bentar, gue lanjutin dulu.”

Selanjutnya, meja paling ujung itu hanya diisi oleh Yiheon yang kembali fokus pada laptop dan Sekyung yang fokus memperhatikan Yiheon. Pemuda itu benar-benar tidak melakukan apa pun selain memangku dagunya menatap Yiheon atau sesekali memainkan ponselnya.

Hingga di tujuh menit kemudian, yang lebih dewasa itu sibuk menulis di post it yang dia ambil dari kotak pensil milik Yiheon lalu ditempelkan di belakang laptop pemiliknya.

Hal itu jelas membuat Yiheon yang sedang fokus sedikit terdistraksi, ia menatap Sekyung dengan penuh curiga lalu dengan cepat mengambil dan membacanya.

semangat nugasnya yiheon yang paling cakep, gemes dan lucu!

Ngapain sih anjir.

Ada dengusan kecil yang keluar dari bibir Yiheon disusul dengan kedua ujung bibirnya yang tanpa bisa ditahan bergerak berlawanan arah.

Dilihatnya Choi Sekyung yang kali ini menaik turun kan alisnya dengan senyum puas. Dia menujuk laptop Yiheon dengan dagunya pertanda menyuruh untuk kembali melanjutkan tugasnya.

Namun, Yiheon justru mengulurkan tangannya mengambil post it yang masih ada di depan Sekyung dan menulis sesuatu sebelum di tempelkan di tangan Sekyung yang dibalut sweater berwarna hitam itu.

GAK GEMES!! tapi makasih bang sekyung ganteng, baik hati dan tidak sombong!!!! :p

Choi Sekyung menahan tawanya sebisa mungkin karena masih ingat mereka ada di mana, menatap Yiheon yang memeletkan lidah padanya seperti apa yang ia tulis.

Kok anaknya tambah lucu sih kalau begini? Bisa juga balik jahil padanya.

Dia memajukan duduknya dan mencondongkan tubuhnya ke arah meja, dengan mudah tangannya bisa menjangkau puncak kepala Yiheon untuk diusak cepat.

“Lucu gini punya siapa sih.”

“Punya orang tua gue lah.”

Sahutan Yiheon itu membuat Sekyung mengangguk-ngangguk dengan sisa tawa kecilnya. Betul tidak salah sama sekali.

Lalu Yiheon melihat Sekyung yang berdiri dan berjalan melewati samping kursinya sehingga ia yang refleks langsung menahan untuk bertanya, “Mau kemana?” tanyanya mendongak pada Sekyung yang justru melirik tangan Yiheon yang memegang jemarinya dan membuatnya terdiam sesaat. Tiba-tiba banget.

“Gak pulang, kan?”

“Mau ke toilet. Mau ikut?”

Sekyung menaikan satu alisnya saat Yiheon hanya menampilkan cengiran.

“Kirain pulang.”

Yang benar saja, bahkan tas Sekyung masih ada di atas kursi tepat di depannya.

Yiheon melepaskan tangannya dari Sekyung yang mengulas senyum walaupun samar, “Yaudah sana.” katanya.

“Kalau kayak gini, nanti abang mau minta deh. Siapa tau dikasih sama Bunda.”

“Maksudnya?”

“Kamu.”

Jawab Sekyung sebelum berjalan meninggalkan Yiheon yang termenung bingung.

Maksud lu apa?

Mau minta gue ke Bunda???!!!

Yiheon berdecak kecil sambil menggelengkan kepalanya. Menenggak habis minuman kaleng yang masih tersisa tadi lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri.

Fokus fokus fokus nugas lagi please! jangan dipikirin asbun nya orang itu, batinnya sibuk mengucap.


“Abang...”

Choi Sekyung mengangkat wajahnya dari buku yang akhirnya tadi dia ambil dari rak untuk menemaninya yang ditinggal nugas oleh Yiheon.

Dia menatap Yiheon yang masih berada di depan laptopnya, “Udah selesai?” tanyanya yang langsung diangguki dengan capat.

“Gue mau cerita yang kemarin...”

Oh, sudah mau bilang ya.

Sekyung melirik jam tangannya yang menunjukan pukul empat, dia melihat sekitar dan mendapati tiga orang yang sibuk dengan kegiatannya duduk cukup jauh dari mereka, juga mereka masih punya banyak waktu karena perpus biasanya ditutup pukul lima.

Ditutupnya buku yang tadi dibacanya lalu di simpan di atas meja, belum berniat dikembalikan ke tempatnya, nanti saja saat pulang.

Yiheon tidak melakukan hal yang sama, laptop nya masih dibiarkan terbuka begitu pun bukunya, ia hanya menggeserkan mereka saja ke samping kanannya.

“Jadi.. ada apa?”

“Kemarin gue mellow gara-gara Sungchan.”

Mulainya dengan suara pelan membuat Sekyung memilih untuk bangun dan pindah ke sampingnya supaya lebih jelas, dia menarik kursi di sebelah kiri Yiheon dan menggesernya lebih dekat.

Tingkahnya itu membuat Yiheon menatapnya heran namun merasa senang, karena kalau diingat Sekyung memang pendengar yang baik, yang selalu menyimak segala ocehannya, yang selalu terlihat excited apabila Yiheon bercerita tentang apa pun life update yang terjadi.

“Diapain sama Sungchan?” tanya Sekyung langsung begitu dia sudah duduk, menatap Yiheon ingin tahu apa yang terjadi hingga kemarin ia banyak diam.

“Masa dia tiba-tiba kepikiran gimana kalau misal dulu kita gak pernah ketemu.”

“Kita nya itu kamu sama Sungchan atau kamu sama abang?” ada raut sedikit bingung yang ditampilkan Sekyung saat ini.

“Sama Bang Sekyung.”

Yiheon menghela napas, menatap Sekyung yang mulai mengangguk paham.

“Gimana kalau dulu gue gak suka main ke tempat Sungchan dan akhirnya gak pernah ketemu sama Bang Sekyung di sana.”

“Kok bisa kepikiran gitu sih?”

“Iya kemarin dia jemput ke tempat gue, biasanya gue yang nyamperin dia kan. Gak tau, gitu deh pokoknya tiba-tiba.”

Sekyung terlihat menegakkan tubuhnya, duduk sedikit menyerong pada Yiheon yang merengut lucu. Kepalanya meneleng sedikit, ada tambahan rasa penasaran yang tiba-tiba dia rasakan saat ini mengenai kelanjutan cerita Yiheon.

“Terus kamu nya gimana?”

“Iya gue bilang gak mau, jangan aneh-aneh kalau ngomong. Gue maunya gini aja gak usah what if ini itu segala. Kalau beneran kayak gitu.. kemungkinan kita gak akan kenal, gue gak akan kenal sama Bang Sekyung.”

Song Yiheon di depannya ini berkata dengan nada merajuk namun terdengar sungguh-sungguh, benar-benar tidak ingin hal itu kejadian.

Sedikit tidak menyangka dengan jawaban yang dia dengar barusan. Sekyung sempat terdiam dan menatap pemuda di depannya ini, mencoba membaca apa yang tergambar di raut wajahnya.

Takut mereka gak pernah kenal.

Hingga kemudian dia menyunggingkan senyum di bibirnya, perlahan mengulurkan tangan untuk memeluk bahu Yiheon, menepuk-nepuk lengannya dengan lembut untuk menenangkan.

“Nggak apa-apa, Yiheon. Kan buktinya sekarang nggak begitu. Jadi, kamu sedih gara-gara ini, hmm?”

Satu anggukan kecil dari Yiheon benar-benar membuat Sekyung tertegun. Dia mengusap belakang kepala Yiheon tanpa segan, kenapa Yiheon nya bisa semanis ini sih.

Rupanya dia juga bisa mengerti apa yang diucapkan oleh Yiheon. Karena Sekyung pun tidak bisa membayangkannya kalau saja dulu dia tidak pernah mengenal sosok Yiheon.

“Terus ada lagi, abang.” beritahunya membuat Sekyung kembali fokus, dia memilih menarik kembali tangannya dan di taruh di atas meja. Netranya menatap Yiheon dengan memberi sinyal untuk melanjutkan ceritanya.

“Sungchan ada bilang sesuatu gitu terus gue jadi terharu.”

Satu senyum simpul terlihat di wajah Yiheon, pandangannya sedikit menerawang saat akan kembali berbicara. Sekyung tidak berniat memotong kali ini, dia hanya mendengarkan apa yang diucapkan Yiheon.

“Walaupun kadang suka asbun gak jelas tapi dia baik udah mau tahan sahabatan dari pas kita SMA dulu. Sungchan beneran temen yang kenal banget sama gue dari lama.”

Senyum simpul itu kian melebar hingga ke sorot matanya, Sekyung suka melihatnya bagaimana perasaan senang Yiheon saat ini ikut menular kepadanya.

“Terus sekarang ada Asa yang gue kenal pas maba dan kita bertiga udah deket. Sering banget ke kosan nya karena enak dijadiin tempat buat ngumpul. Kadang suka mikir gue punya temen baik kayak mereka itu sangat beruntung.”

“Abang ikut senang dengernya.” Sekyung akhirnya memberi respon setelah mendengar cerita Yiheon, “Karena memang nggak semua orang bisa beruntung punya temen baik kayak mereka, punya sahabat deket kayak kalian.”

Yiheon mengangguk senang terlihat bersemangat mendengar respon Sekyung yang positif, “Iyakan, bang. Makanya itu gini-gini juga gue sayang sama mereka kalau ada apa-apa bisa maju paling depan.”

Sekyung tidak bisa menahan rasa gemasnya saat ini, mau unyel-unyel, mau pukpuk, mau culik Yiheon bisa?

“Nggak cuma kamu yang beruntung, mereka juga pasti beruntung kenal sama kamu. Siapa lagi yang mau gelut buat mereka selain kamu tuh.” ucapnya membuat Yiheon mendengus tapi kemudian ia menatap Sekyung dan menghela napas kecil, bahkan mengigit bibirnya tampak ragu.

“Tapi masalahnya gue bisa gak sebaik apa yang udah mereka kasih ke gue. Takut gak bisa balesnya...”

“Yiheon...”

Sekyung tidak terlalu suka mendengar nada suara Yiheon yang tampak lesu seperti itu, penuh ragu dan tidak seperti biasa Yiheon yang dia kenal. Ia menepuk-nepuk punggung tangan Yiheon yang ada di atas meja.

“Kalau orang udah mau temanan sama kamu, bahkan sampai awet begitu berarti dia betah, dia yang lebih tau kamu kayak gimana..”

Sekyung menjeda lalu menggeleng pelan,

”..bukan seperti apa yg dilihat sama orang selewat, bukan. Tapi apa yang dirasa sama mereka sebagai orang terdekat kamu.” jelasnya dengan nada lembut, tidak ada kesan menggurui sama sekali.

Ada senyum penuh pengertian yang ditampilkannya saat ini, mencoba memahami apa resah yang dirasa oleh Yiheon yang mendengarkan semua ucapannya dengan diam.

“Kamu cukup jadi diri kamu sendiri, Yiheon. Mereka perduli karena kamu sama perdulinya ke mereka.”

Rupanya kesabaran Sekyung kali ini harus sedikit ekstra bukan karena menghadapi sikap Yiheon yang terkadang membuatnya pusing, namun dia harus menghadapi Yiheon yang justru menatapnya dengan tatapan sendu juga dengan bibir yang melengkung ke bawah.

“Abang....” cicitnya sedih.

Sekyung kembali merangkul bahunya kali ini sedikit erat, mengusap-ngusapnya penuh sayang. Rupanya pilihan tepat saat dia memberi usul kalau lebih baik cerita secara langsung karena dia bisa berada di sisi Yiheon seperti ini.

“Gini deh.. abang mau bilang sesuatu, kamu tuh selalu ngelakuin hal kecil yang bahkan mungkin menurut kamu sendiri biasa aja. Tapi menurut orang lain nggak gitu.”

Yiheon menatap tidak mengerti akan ucapan Sekyung, ia melihat seniornya itu yang mengulas senyum lembut atas tatapan bingungnya.

Memang ia melakukan apa?

Tanpa melepaskan rangkulannya, Sekyung kembali berbicara.

“Abang kasih contoh dikit aja. Kamu ingat bahkan sampai pilihin makan biar abang gak makan kerang loh, terus abang tau kamu ngajak masuk ke cafe biar abang nggak kepanasan, kamu juga selalu bawel kalo abang asal nyimpen barang karena ujung-ujungnya pasti bakal pusing sendiri buat nyari.”

Apa ia memang seperti itu? yang di katakan Sekyung menurutnya adalah hal biasa. Yiheon tidak pernah tahu kalau semua itu bisa dianggap lebih.

“Dan abang yakin teman kamu, Asa sama Sungchan juga bisa ngerasain hal seperti itu.”

Semoga begitu, pikir Yiheon.

Sekyung kembali berucap saat Yiheon masih belum berniat mengeluarkan suara, masih mau mendengar apa yang dikatakannya.

“Meskipun kalian bertiga ini kadang ribut mulu kayak kemarin tapi abang tau kok dalemnya pasti nggak gitu. Kayak yang kamu bilang kalau kamu sayang mereka kan. Pasti kalau ada apa-apa mereka-mereka juga yang akan paling khawatir.”

Yiheon mencoba memahami hal panjang lebar yang sudah dikatakan oleh Sekyung yang begitu baik menjelaskan segalanya, mengatakan kata menenangkan lebih dari siapa pun, memberi banyak alasan baginya untuk tidak berhenti mengagumi sosoknya itu.

“Jadi mau nangis dikit.” adalah ucapan pertama Yiheon yang bisa Sekyung dengar setelah obrolan panjangnya.

Lagi-lagi Choi Sekyung itu mengusap lengan Yiheon, memberi tahu kalau dia ada, kalau dia selalu di sampingnya.

“Abang bilang gini bukan mau buat kamu tambah sedih.”

Sekyung menatap wajah Yiheon yang mengangguk mengerti, ia tahu niat baik Sekyung, sangat tahu.

“Abang cuma mau kamu tau, kalau gak semua harus kamu pikirin sampai khawatir ini itu terus malah jadi overthinking.”

Tangan Sekyung menyentuh sisi kepala Yiheon, ibu jarinya bergerak pelan di pelipisnya.

“Di sini, jangan dibikin penuh sama hal yang bisa bikin pusing ya. Kamu cukup lakuin apa aja yang kamu bisa. Soal mirroring ini kan kemarin kamu bilang kalau orang baik, bales baik lagi. Inget, kan?”

Ada senyum begitu menenangkan dengan tatapan hangat yang sampai hingga ke hati Yiheon.

Entah bagaimana lagi Yiheon harus mendefinisikan perasaannya pada Sekyung yang setiap saat seperti selalu menariknya semakin dekat, memaksa dengan setiap perilakunya yang selalu bisa membuatnya berdebar.

Sekyung juga semakin lembut dalam memanggilnya sejak mereka pergi ke pantai dan Yiheon menyukainya, selalu. Perlahan ia juga mau mencoba melakukan hal yang sama.

“Kenal sama abang juga hal paling beruntung buat aku.”

“Makasih ya udah berpikir seperti itu. Abang seneng banget dengernya.”

Kali ini raut sendu itu berubah menjadi cerah, menampilkan senyum lebarnya tanpa ada ragu. Terlihat dari lesung pipi yang semakin jelas seperti ditunjukan kepada yang paling menyukainya itu, Bang Sekyung.

“Mau pulang sekarang? Udah lega?”

Yiheon mengangguk pasti, “Makasih banyak, bang.” katanya tulus yang dibalas pukpuk ringan di atas kepalanya.

Keduanya kemudian sibuk membereskan barang masing-masing. Sekyung yang tidak mengeluarkan apapun hanya mengambil buku yang tadi dia baca untuk di kembalikan, dengan sabar dia menunggu Yiheon memasukan semua barangnya di atas meja ke dalam ransel hitam miliknya.

Yiheon menatap punggung Sekyung yang berjalan pelan di depannya di antara rak penuh buku-buku, mereka menyusuri celah tidak terlalu lebar itu untuk mencari rak tempat buku yang tadi diambil oleh Sekyung.

“Ternyata di sini. Lupa tadi.”

Tidak bisa menahannya, Yiheon terkekeh kecil mendengar ucapan Sekyung, pantesan nggak sampai-sampai dari tadi. Tingkahnya itu membuat Sekyung menatapanya sambil menyipit setelah dia berhasil menaruh bukunya lagi di baris paling tinggi.

“Apa yang lucu, Yiheon.”

“Kamu.” jawabnya tanpa takut, ia bersandar di rak yang ada di sampingnya, pandangannya menatap lurus pada Sekyung yang melakukan hal yang sama di depannya.

Tidak ada yang lewat di lorong ini karena suasana perpus yang semakin sepi menjelang ditutup membuat mereka berdua leluasa diam menghalangi jalan.

Sekyung menarik satu sudut bibirnya mendengar ucapan Yiheon, jujur saja ucapan itu sedikit menggelitiknya.

Kali ini dia bahkan melipat bibirnya menahan senyum yang tidak bisa ditahan. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku celananya, “Oh oke..” balasnya pelan.

Katanya mau pulang, tapi keduanya belum ada yang beranjak sedikit pun. Mereka tidak ada yang bicara setelahnya, hanya terdiam menikmati suasanya perpus yang semakin sepi serta suara dari mahasiswa lain dari arah kanan terdengar samar seperti membahas tugas atau mungkin sedang ngobrol seperti apa yang tadi mereka lalukan.

Betul, obrolan panjang mereka tadi juga tentu saja diucap dengan pelan agar tidak mengganggu yang lain, dan karena tidak ada yang menegurnya Yiheon merasa lega, ia mempunyai kesempatan untuk bercerita tentang gundahnya pada Sekyung yang sudah memberi banyak masukan.

Yiheon terlihat membenarkan tas yang yang hanya disampirkan di bahu kanannya. Berdehem sebentar karena dari tadi Sekyung hanya menatapnya sambil mengulas senyum tanpa berbicara apa-apa.

Bikin salting aja nih orang.

Ia akhirnya menarik punggung yang tadi bersandar untuk berdiri tegak, maju satu langkah kecil mendekat pada Sekyung membuat jarak mereka menjadi lebih dekat.

Bodoamat ia ngejar kok, batinnya percaya diri.

“Abang.. aku boleh ngelunjak nggak?” tanyanya berbisik.

“Apa?” balas Sekyung penasaran karena Yiheon sampai berbisik seperti itu.

“Hari ini aku mau minta peluk yang lama.” pintanya dengan malu-malu, “Kalau gak boleh juga gapapa sih.”

Ya Tuhan. Song Yiheon ini bisa dikarungin sekalian gak?

Senyum itu lagi, senyum Choi Sekyung yang selalu membuatnya terlihat semakin tampan terlihat jelas saat ini.

“Boleh. Abang kan pernah bilang ke kamu, kapan pun kalau kamu mau dan butuh tinggal bilang aja.”

Yiheon tahu itu, tapi tetap saja ia merasa perlu alasan untuk memintanya. Dan Sekyung seperti bisa membaca pikirannya saat ini.

“Kalau kamu lagi senang, kalau kamu lagi ngerasa capek, kalau kamu lagi ngerasa butuh seseorang buat luapin apa yang kamu rasain jangan ragu buat ngasih tau. Karena kalau kamu nya gak bilang, abang gak akan tau gitu aja, Yiheon.”

Sekyung menurunkan pandangannya, berbicara dengan meyankinkan pada Yiheon yang menghela napas dalam.

“Tapi kemarin abang tau apa yang aku butuhin tanpa aku harus bilang.”

“Iya itu karena kita lagi bareng dan abang bisa liat dengan jelas, sayang.” ujar Sekyung sedikit gemas, kemarin siapa yang tidak tahu kalau mood Yiheon sedang tidak bagus karena dalam sekali lihat saja Sekyung sudah paham.

“Emang kalau misal lagi gak bareng. Terus aku bilang butuh abang, abang bakal dateng?”

Yiheon tidak berniat mundur saat Sekyung melakukan hal yang sama seperti apa yang tadi ia lakukan. Satu langkah Choi Sekyung itu mampu membuatnya untuk menahan napas dan memegang tali ranselnya dengan erat.

“Pasti, Yiheon.” jawabnya yakin, “Abang pasti datang kalau kamu minta.”

“Memangnya aku sepenting itu?” tanyanya dengan suara lirih.

Yiheon bisa melihat iris mata Sekyung yang seperti menatap setiap inci wajahnya, dengan jarak yang sedekat ini ia tidak memilih untuk berpaling, ia membalasnya tanpa ragu.

Tidak lagi berada di dalam saku celananya, telapak tangan lebar milik Sekyung terasa hangat saat menangkup kedua pipi Yiheon yang sedikit dingin karena pendingin ruangan yang terpasang, di sana dia mengusapnya dengan pelan.

“Bohong kalau abang jawab enggak. Kamu tahu itu.”

Setelah apa yang Sekyung lakukan selama ini, Yiheon tidak perlu bertanya karena jawabannya bahkan sudah ada sejak lama.

“Iya.” bisiknya, “Kamu sepenting itu buat abang, Yiheon.”

Kalau Yiheon meminta jawabannya, maka Sekyung menjawab, dia memberitahunya agar Yiheon tahu kalau dirinya bagi Sekyung memang sangat berarti.

Lalu tidak ada yang bisa menahan Song Yiheon saat dia kemudian memeluk erat Choi Sekyung yang ada di depannya.

Tersenyum begitu lebar dengan perasaan penuh senang saat Sekyung melakukan hal yang sama, dia memeluk pinggangnya, mengusap punggungnya bahkan Yiheon bisa meraskan Sekyung yang mencium pundaknya cukup lama.

“Mau pulang sekarang, hmm?”

Yiheon menggeleng di pundak Sekyung, tetapi ia melepaskan pelukannya, menatap Sekyung dengan bibir yang mencucu lucu.

Choi Sekyung seperti mengerti, mau peluk yang lama katanya dan ini baru sebentar. Tingkah mereka ini sejak di meja hingga di sini kalau ada yang memperhatikan pasti sudah menarik perhatian orang sejak tadi.

“Kita ke mobil aja ya?” tawar Sekyung yang membuat Yiheon mengangguk cepat.

“Iya biar lebih aman takut ada yang liat.”

Sekyung tertawa kecil, menatap jahil pada Yiheon, “Mau ngapain sih takut ada yang liat segala.” katanya membuat Yiheon membulatkan mata sambil menyikut perut Sekyung cukup keras hingga dia mengaduh lebay.

“Tolong otaknya jangan kotor ya, Choi Sekyung!” ujarnya sambil berjalan lebih dulu dengan wajah memerah, meninggalkan Sekyung yang meringis memegang perutnya di belakang.

Orang minta peluk doang kok! beneran! Sumpah! Dasar Choi Sekyung!

“Oke, gimana kamu aja maunya.”

Belum selesai malunya karena ucapan Sekyung itu. Yiheon kini menatap kaget saat tangan Sekyung tiba-tiba menggenggam tangan kirinya hingga kemudian dia yang berjalan di depannya.

Sekyung menggenggamnya dengan erat, menautkan jari mereka sambil menuntunnya ke luar perpus dan berjalan menuruni tangga.

“Ngapain?”

Yiheon bertanya bingung dan Sekyung hanya bergumam pelan, berlagak seperti tidak ada yang aneh atas apa yang sudah dia lakukan.

Tangan gue woy ini lu apain kenapa digandeng begini anjir kalau ada yang liat gimana????!

Kalimat ributnya itu hanya mampu ia telan lagi. Yiheon memilih untuk diam sekarang, menatap punggung Sekyung di depannya dengan kedua sudut bibir yang ditarik berlawanan.

Seneng dikit.

Enggak, seneng banyak banget!

Tolong ini jantungnya udah gak karuan.

Bahkan pikirannya sedikit berisik.

Nggak apa-apa nggak punya pacar, soalnya gue punya Bang Sekyung yang sebaik ini, yang kasih sayangnya banyak banget, yang selalu membuatnya ngerasa bahagia terus.

Sekyung melirik ke belakang saat dia merasakan Yiheon yang membalas genggaman tangannya.

Di pandangannya saat ini Song Yiheon berkali-kali lebih tampan dengan raut yang terlihat senang, sudah dibilang kan, arti bahagia bagi Sekyung itu Yiheon, seperti sekarang.

Yiheon nya sedang bahagia, maka artinya dia lebih bahagia lagi.

“Abang aku bawa motor.”

Sial.

Sekyung lupa.

“Mau pelukan di motor aja?”

“YAKALI ANJIR!!!”

Sekyung terbahak ketika meraskan tepukan khas Yiheon di pundaknya.

“Iya di mobil aja terus nanti pulangnya masing-masing, gapapa, ya?”

“Em.” sahut Yiheon, ya memang begitu terus gimana lagi masa iya motornya ditinggal di kampus!

“Kamu beneran udah ngerasa baikan? udah gak kebawa mellow lagi gara-gara tadi kan?”

Sekyung bertanya memastikan saat mereka sudah keluar dari gedung perpustakaan dan berjalan ke arah parkiran tempat mobilnya berada.

Tidak lagi berjalan di depan, Choi Sekyung kini berjalan di sisi kiri Yiheon tanpa melepaskan tangannya.

“Udah enggak, beneran.” jawab Yiheon meyakinkan saat mereka sudah sampai di depan mobil Sekyung.

Sekyung menghela napas lega sebelum melepaskan tangan mereka, dia mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana dan mempersilahkan Yiheon untuk masuk lebih dulu, tidak lupa mengambil tas milik Yiheon untuk di simpan di kursi belakang bersama dengan miliknya.

Sekyung berdiri di samping pintu penumpang saat Yiheon sudah duduk dan dia menahan pintu yang belum ditutup itu.

“Jangan sampai malam ya, nanti kamu dicariin. Masa iya izin telat pulang karena kelamaan pelukan.” ujarnya bercanda.

Yiheon meringis, ya enggak lah. Ia hanya perlu beberapa menit lagi bersama Sekyung, ia masih mau merasakan nyaman yang menenangkan ketika Sekyung memeluknya dengan usapan dan tepukan pelan yang membuatnya betah berlama-lama.

Song Yiheon ini rupanya sudah beneran kena sihir karena pelukan Sekyung.

“Biarin! paling kalau tahu sama abang dibolehin kok.”

Ini anak kalau ngomong dipikir dulu nggak sih?

Tapi Choi Sekyung memang sudah kenal baik dengan keluarganya bahkan dengan si kucing imut bernama ayang itu karena seringnya dia menjemput atau mengantarnya pulang.

Tidak tahan, pipi Yiheon menjadi sasaran empuk Sekyung kali ini, dia mencubitnya geregetan hingga anaknya kewalahan dan memegang tangan Sekyung yang ada di pipinya.

“Sakit Bang Sekyung!!”

“Stop tambah lucu makanya...” ujar Sekyung lalu memajukan wajahnya ke samping Yiheon kemudian berbicara tepat di samping telinganya, “...atau nanti kita lebih dari pelukan, mau?”

Sialan.

Yiheon merinding beneran.

Sumpah.

Sekyung terkekeh melihat Yiheon yang menutup mulutnya sendiri menggunakan kedua tangan dengan heboh.

“GAK!”

“Oh kamu mikirinya emang ke sana ya?”

Tanyanya sebelum menutup pintu di samping Yiheon itu dan berjalan dengan santai ke kursi miliknya yang ada di balik kemudi.

Pokoknya semua ini gara-gara ucapan Sungchan semalam! pikir Yiheon menggerutu.

Good part, good part sialan, otaknya jadi ikutan ke sana.

“Enggak! udah gak usah dibahas.”

“Kenapa mukanya merah?”

“Diem bang atau aku gebuk.”

“Kamu yang butuh kok kamu yang galak sih, Yiheon.”

Bisa nggak, sehari tanpa drama. Yiheon menatap kesal tawa menyebalkan—tapi tetep ganteng milik Sekyung itu.

Ia mencebikan bibirnya lalu mengubah araha duduknya menyamping ke arah Sekyung.

“Buruan peluk sebelum gue makin ngamuk!” ucapnya tidak sabar, setidaknya saat dipeluk nanti, Sekyung tidak bisa melihat wajahnya yang kian memerah ini.

Melihat tingkah Yiheon yang seperti itu justru malah membuat Sekyung melipat tangannya di dada alih-alih membuka lengannya. Agak takut anaknya tantrum tapi seru juga mengerjainya.

“Bilang yang bener coba, jangan sambil marah-marah gitu. Abang gak mau.”

Song Yiheon mendesah frustasi sambil mengusap wajahnya, mengambil napas panjang mencoba mengatur emosinya yang setipis tisu itu menghadapi Sekyung yang terkadang suka sengaja mengujinya.

Ia mau dipeluk. sekarang. ngerti gak sih.

“Bang Sekyung...” ucapnya dengan suara pelan, menatap Sekyung yang mengangguk dengan senang.

“Iya Yiheon, sayang?”

Anjir.

Tahan.

GAK BOLEH PINGSAN.

“Aku minta peluk sekarang, boleh?”

“Dengan senang hati.”

Yiheon memukul pelan punggung Sekyung dengan kepalan tangannya saat ia sudah memeluk pundak itu dengan erat.

Akhirnya bisa menyembunyikan wajahnya di pundak Sekyung, bisa berlama-lama menikmati wangi menenangkan Sekyung yang entah sejak kapan disukainya.

Pokonya mau peluk yang lama.

Sampai dipisahin warga sekalian.

“Ngeselin deh asli.” gumamnya dengan suara tertahan.

Choi Sekyung mengusap belakang kepala Yiheon sebagai respon kekesalan tersebut, lengkap dengan tawa ringan yang keluar dari bibirnya.

Selain membuat Yiheon senang, rupanya membuat Yiheon kesal juga sudah menjadi hal yang sering dia lakukan.

“Maaf ya...” bisiknya.

“Gak dimaafin.” balas Yiheon enteng.

Sekyung sudah siap mengurut keningnya pusing saat dia bertanya, “Oke, jadi abang harus ngapain biar dimaafin?”

“Peluk aja yang lama.”

Haduh.

Kalau begini mah nggak usah diminta, bakal dia kasih tiap hari juga.

“Abang juga mau liat pipi bolong kamu dong, boleh lepas dulu nggak?”

“Gak!”

“Yiheon..”

“Enggak!”

Song Yiheon akhirnya melonggarkan pelukannya saat Bang Sekyung nya itu tidak bicara lagi setelah beberapa saat, ngambek gak sih? apa ia terlalu kasar?

Ia menatap Sekyung yang justru tersenyum lebar dan membuatnya menghela napas lega karena pikirannya sudah salah.

“Lihat sekali aja, please.”

Kalau begini malah Sekyung yang merengek kayak anak kecil. Dia bahkan sudah menunjuk-nujuk pipinya dengan jari.

Ya sudah, Yiheon akhirnya menarik sudut bibir kanannya hingga lesung pipinya terlihat jelas dan membuat Sekyung tertawa, nurut banget lagi??

Diusapnya lesung pipi itu dengan perlahan oleh ibu jarinya, “Kok bisa gini ya? cantik banget.” bisiknya lalu menatap kedua netra Yiheon yang mengangkat bahunya.

Gak tau lah kok tanya gue, dari sananya udah gitu, pikirnya.

“Kalau bisa dipindahin aku pindahin deh, abang kayaknya suka banget.”

Sekyung gemas, dasar asbun.

“Enggak gitu, abang gak mau ambil. Abang lebih suka liatnya ada di wajah kamu.”

Yiheon mengangguk kecil, ia juga suka lesung pipinya. Kata orang dari sejak kecil itu tampak manis di wajahnya dan kata Sekyung itu terlihat cantik.

Dan hanya dalam tiga detik kemudian kedua netra Yiheon membulat sempurna saat Choi Sekyung mencium pipinya itu, tepat di atas lesung pipi nya dan sengaja ditahan sedikit lama.

Bentar.

Napas dulu.

Choi Sekyung ngapain barusan????

“Jangan banyak marah-marah ya, banyakin senyum aja. Sayang kalau yang kayak gini diumpetin terus.” bisik Sekyung kemudian sambil membawa tubuh Yiheon kembali ke dalam pelukannya.

“Sekarang sudah boleh peluk lagi selama yang kamu mau, Yiheon.”

Yiheon menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin yang berada di kamar mandi. Wajahnya bahkan ia majukan semakin dekat untuk melihat jelas luka-lukanya kali ini. Plesternya baru diganti lagi oleh Sekyung barusan.

Sebelumnya Sekyung memang sempat meninggalkannya sendirian di ruang keluarga, tapi alih-alih kembali membawa selimut, dia malah membawa kotak obatnya lagi.

Yiheon merasa lega karena pikirannya ternyata tidak benar. Padahal ia tadi sempat misuh-misuh saat Sekyung benar-benar pergi dari pandangannya.

Lagipula dirinya seakan tidak tahu saja kalau Sekyung mana tega melakukannya, menyuruh pacarnya itu untuk tidur di sana sendirian.

Saat diobati, suara ringisan Yiheon yang banyak protes itu memenuhi ruang keluarga kediaman Sekyung yang lengang dan sunyi hingga membuat mbak yang sedang lewat di sana ikut menatapnya ngilu.

“Pelan-pelan, perih tau!”

“Mas Sekyung jangan galak-galak ngobatinnya, kasian Mas Yiheon kesakitan gitu.” komentarnya membuat Yiheon tertawa garing, si mbak ini malah diperjelas segala.

Karena memang berbeda dengan saat di kost Asa tadi, kali ini Sekyung melakukannya sambil sedikit menggerutu, udah tahu sakit kan masih aja nggak kapok.

Bibir Yiheon semakin bedecak kesal saat ia melihat wajahnya dari berbagai sisi dengan tangan yang berada di dagunya, dari sebelah kanan atau sebelah kiri sama saja.

Intinya satu. Jelek banget lu, Song Yiheon, simpulnya pasrah.

Tapi, mau bagaimana lagi sudah luka, sudah kejadian.

Semuanya gara-gara Jaemin, bocah yang selalu mencari gara-gara dengannya dari sejak mereka SMA. Entah bagaimana awalnya tapi sekolah mereka berdua dulu memang berdekatan dan selalu saja ada hal yang diributkan. Akhirnya hingga sampai sekarang pun mereka berdua tidak pernah akur.

Harusnya tadi ia tidak usah ikut terpancing saat satu bogem mentah mengenai pipinya.

Harusnya ia pergi saja.

Namun, Song Yiheon yang memang kesabarannya setipis tisu itu justru meladeninya dengan semangat, membalas pukulan itu hingga mereka berdua berakhir seperti ini.

Jaemin mungkin lebih parah lagi saat dia tadi dibawa oleh temannya.

Yiheon membuka tiga kancing atas piyama yang dipakainya, disingkap ke bawah hingga bahunya terlihat jelas, ia berdiri menyamping mencoba melihat bagian belakang bahu kanannya itu, beruntung tidak ada luka luar di sana.

Ia hanya merasa sedikit terganggu saat menggerakan tangannya ke atas, sepertinya akibat terbentur pas tubuhnya jatuh lumayan keras ke tanah tadi.

Juga, Yiheon mengangkat bajunya dari bawah melihat perutnya lewat pantulan kaca di depannya yang ternyata memang ada bagian yang memerah di sana, sedikit sih tapi pasti tadi Sekyung juga sempat menyadarinya.

“Yiheon?”

Suara Sekyung terdengar di balik pintu yang tertutup, mengetuk dua kali membuatnya memasang kembali kancing yang tadi ia lepas. Luka seperti ini bukan hal yang baru pertama kali dirasakannya, jadi Yiheon hanya menghela napas berpikir besok juga mendingan.

“Gapapa?”

Tanya Sekyung begitu ia membuka pintu, pasalnya dari tadi Yiheon belum keluar. Ia menjawab pelan lalu mengikuti Sekyung yang berjalan ke arah tempat tidur, memberinya isyarat agar ia duduk di sana.

Ada sebuah kantung es yang bisa ia lihat di atas meja belajar Sekyung, sepertinya itu diambil pas Yiheon sedang di kamar mandi.

“Abang ngapain?”

Yiheon menatap heran Sekyung yang duduk di lantai tepat di depannya, pemuda itu menatapnya sambil tersenyum tipis setelah sempat mengambil kantong es yang ada di atas meja tadi.

“Mau ngompres.” jawabnya singkat.

“Hah? gak usah! Aku bisa sendiri, bang. Ngapain sampai duduk di lantai gitu sih.”

Tentu saja Yiheon menolak, bagaimana mungkin membiarkan si tuan rumah duduk di bawah saat ia duduk di atas. Tapi, rupanya Sekyung lah yang menang. Pemuda itu hanya menatap seakan berkata diem, kamu nurut aja. Tidak berani membantah, Yiheon kembali mengatupkan bibirnya.

Tadi saat di kosan Asa, kakinya memang belum sempat dikompres. Tulang keringnya sebelah kanannya itu cukup berdenyut saat ia berjalan sehingga harus dipapah atau berpegangan.

Celana piyama pendek di atas lutut yang dipakainya kali ini membuat kakinya terlihat jelas, tidak seperti tadi saat ia memakai celana panjang untuk ke kampus. Di sana terlihat ada memar berwana merah yang masih samar dan mungkin besok akan terlihat jelas bahkan membiru.

Sekyung dengan perlahan dan telaten mengompresnya diiringin dengan Yiheon yang sesekali meringis antara sakit dan merasa dinginnya es yang menyentuh kulitnya.

Tidak sampai sepuluh menit, ia menarik kakinya dari Sekyung yang kemudian menatapnya.

“Udahan. Besok lagi aja.” katanya.

“Gimana sedikit mendingan?”

Kepala Yiheon mengangguk untuk menjawab Sekyung yang langsung memasang wajah lega.

Jam digital yang ada di atas meja sudah menunjukan hampir pukul sepuluh malam.

Sekyung kemudian beranjak dari duduknya sambil membawa kantung es tadi untuk disimpan kembali ke dapur. Dia pergi keluar kamar meninggalkan Yiheon yang menatap punggungnya hingga menghilang di balik pintu.

Dihembuskannya napas dengan dalam saat Yiheon menatap pintu kamar yang sudah tertutup.

Suasana diantara mereka mungkin sudah agak membaik akibat beberapa obrolan tadi di meja makan. Namun, Yiheon jelas sadar Sekyung masih belum kembali seperti biasa.

Walaupun seperti itu, tapi baiknya dia tidak berkurang sedikit pun, dilihatnya kakinya sendiri yang masih terasa dingin dengan pandangan sendu.

Saat Sekyung kembali dan membuka pintu kamarnya dia sedikit terlonjak karena Yiheon sudah berdiri di depan pintu menunggunya. Terlihat di tangan kanan Sekyung ada mug berwana putih dengan asap tipis yang masih mengepul di atasnya.

Dia berjalan ke arah meja dan menyimpan mug berisi coklat panas itu di sana, “Nanti minum ini, sekarang masih panas. Biar tunggu hangat dulu.” jelasnya.

Yiheon hanya mengikuti gerak-gerik pacarnya yang kini berbalik menatapnya dengan lagi-lagi memasang wajah kaget saat tahu-tahu Yiheon berada di depannya.

Persis seperti anak ayam yang terus mengekori induknya.

“Ngapain sih kamu?” ditanyanya Yiheon yang justru mengalihkan tatapannya ke arah rak buku di samping meja belajar, ia tidak mau menatap Sekyung yang terlihat heran dengan kelakuannya ini.

Tingkah Yiheon itu membuat Sekyung mengerutkan keningnya tidak mengerti hingga dia hanya menepuk bahu Yiheon sekilas lalu beranjak ke tempat tidur saat Yiheon masih berdiri di tempatnya.

Serius, mau tidur gitu aja dan gue masih didiemin kayak gini?

Tanpa berbalik, Yiheon menarik kursi yang ada di depannya, lalu duduk di sana menghadap ke meja belajar. Membelakangi tempat tidur juga Sekyung dan mantap ke jendela yang tertutup gorden berwana putih itu.

Sepertinya jendela ini menghadap ke halaman belakang, karena Yiheon tebak bukan ke arah depan rumah. Besok siang pasti terlihat jelas, untuk sekarang ia juga tidak berniat membukannya sekedar untuk mengintip.

Yiheon memegang mug yang terasa hangat di telapak tangannya. Diangkatnya ke depan bibirnya lalu meniup-niupnya. Menyesap secara perlahan rasa manis sedikit pahit dari coklat hangat yang enak itu membuatnya tidak bisa menahan senyum karena dibikinin ini sama Bang Sekyung.

Diliriknya jam di atas meja yang sudah berada di angka sepuluh lewat sepuluh, tidak sadar Yiheon menikmati waktu sendirinya sambil melihat-lihat buku di atas meja Sekyung lengkap dengan post it yang di tempel berisi deadline bermacam tugas mahasiswa semester enam itu.

Yiheon menyimpan kembali pulpen yang tadi digunakannya untuk menulis sesuatu di post it yang ada di atas meja, lalu ditempel bersisian dengan yang lain. Ia kemudian menenggak habis minumnya yang masih tersisa sampai mug tersebut kosong.

Tubuhnya lalu berbalik menatap Sekyung yang ternyata sedang anteng membaca buku sambil bersandar di kepala ranjang dengan kacamata baca yang demi Tuhan jarang sekali Yiheon lihat, mungkin dipakai saat di kelas saja.

Bisa-bisanya santai begitu!

Walau hanya mengenakan baju kaos hitam polos lengkap dengan celana pendeknya, Choi Sekyung itu terlihat begitu tampan di mata Yiheon.

Kesal sih tapi masih sempat membucin juga.

“Abang...” panggilnya.

Sekyung berdehem pelan untuk menjawab, dia menutup bukunya lalu menyimpannya di meja kecil samping tempat tidur. Menatap Yiheon tanpa melepas kacamatanya.

“Sudah ngantuk?” tanyanya.

Yiheon berdiri dan berjalan ke arah Sekyung alih-alih tinggal naik ke sisi tempat tidur yang berada di dekatnya.

“Kamu masih marah?”

Tanyannya serius, iya betul walaupun mengantuk tapi Yiheon memilih untuk berdiri di samping tempat tidur dan menatap Sekyung di kedua matanya.

Jujur ia capek hari ini, badannya sakit, mukanya perih, ditambah Sekyung yang membuatnya merasa tidak tenang dengan sikapnya itu.

Ia sadar diantara mereka belum clear sepenuhnya dan Yiheon tidak suka kalau ada yang mengganjal seperti ini.

“Maaf kalau tadi aku gak bilang dulu terus akhirnya malah jadi begini...” ucapnya jelas mengakui, ia tidak sedang ingin membela dirinya karena kenyataannya memang seperti itu.

“Maaf kalau mungkin aku udah bikin abang khawatir.”

“Bukan mungkin, tapi memang, Yiheon.” potong Sekyung cepat mengoreksi ucapannya, dia berkata dengan nada tenang tanpa emosi untuk memarahinya tapi entah mengapa justru membuat Yiheon menunduk sedih.

“Maaf kalau abang jadi repot harus ngurusin aku yang ribut lagi.”

Kali ini suaranya sedikit tertahan di tenggorokan, tercekat lalu tangannya meremas pelan kedua ujung piyama yang tak luput dari penglihatan Sekyung.

Yiheon tidak mau merasakan frustasi yang kedua kalinya menghadapi Sekyung seperti saat mereka pergi liburan waktu itu.

Namun, nyatanya ia sendiri yang mencari perkara. Ia sendiri yang membuat Sekyung bersikap seperti itu padanya.

Pasti Bang Sekyung kecewa, pasti Bang Sekyung pusing gue bikin masalah lagi, pasti Bang Sekyung muak lagi-lagi harus ngobatin gue.

Dan tidak menutup kemungkinan pasti Bang Sekyung lama-lama capek dan mungkin bisa pergi darinya kalau begini terus.

“Yiheon...”

Sekyung memanggil Yiheon yang sudah menunduk, menyembunyikan wajahnya yang perlahan memerah menahan amarah untuk dirinya sendiri, kalau Sekyung pergi yang salah adalah dirinya.

Ia yang cari gara-gara sendiri.

Ia yang sudah berulah dan bandel.

Tangannya kini bahkan terkepal di kedua sisi tubuhnya.

Overthinking sepertinya telah mengambil alih Yiheon sepenuhnya saat ini.

“Song Yiheon...”

Panggilnya lebih lembut lagi, dia melepas kacamatanya dan disimpan di atas buku tadi. Sekyung lalu menghela napas kecil saat melihat Yiheon yang masih enggan menatapnya, “Kalau gak jawab, abang nanti marah beneran.” ucapnya itu berhasil membuat Yiheon akhirnya mengangkat wajah.

Tidak mau. Jangan sampai itu kejadian.

Ia menatap Sekyung dengan berbagai emosi yang terpancar jelas di wajahnya dan Sekyung yang mengenal betul sosok Yiheon mudah sekali membacanya.

Dia tahu semua bagaimana Song Yiheon kalau marah, senang, malu, kesal, bahkan salah tingkah hingga wajahnya akan memerah lucu.

Tetapi, sedihnya yang sekarang ia tampilkan membuat Sekyung merasa kalau Song Yiheon benar-benar sudah mengambil seluruh perdulinya, mengambil seluruh perasaannya.

Karena Sekyung bertaruh demi apa pun, dia tidak ingin melihat lagi hal tersebut di wajah Yiheon.

Sekyung hanya ingin memberinya bahagia sebanyak yang dia bisa.

“Sini....”

Yiheon menatap tangan Sekyung yang terulur padanya, mengajaknya untuk mendekat, menawarkan hal yang membuatnya tidak bisa menolak bukan karena takut namun karena butuh.

“Sayang, sini...”

Hatinya menghangat takala Choi Sekyung memanggilnya dengan lembut, menyambut lengannya yang terulur, menariknya untuk ikut naik ke tempat tidur saat dia menggeser duduknya serta kemudian membawa tubuhnya ke dalam sebuah pelukan yang begitu hangat merengkuhnya.

“Kamu tahu gimana khawatirnya abang pas tiba-tiba dikabarin kalau kamu berantem?”

Yiheon menggigit bibirnya lalu menggeleng pelan sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Sekyung.

“Kamu tahu perasaan abang pas liat keadaan kamu yang sangat berantakan kayak tadi?”

Yiheon lagi-lagi menggeleng mendengar pertanyaan Sekyung yang jawabannya padahal sudah jelas. Ia semakin menyembunyikan wajahnya di dada Sekyung, merasa sangat bersalah, tahu kalau tingkahnya ini sudah kelewatan.

“Yiheon, sekarang kamu itu punya abang, ada abang yang bakal paling khawatir kalau kamu kenapa-napa. Kalau kamu nggak mau abang terlalu jauh ikut campur gapapa, abang bakal coba ngerti. Tapi jangan tiba-tiba datang dengan tubuh penuh luka begini juga, sayang.”

Choi Sekyung tentu perlu waktu untuk mendinginkan kepalanya tadi. Rasa khawatir, kesal serta marahnya itu seperti berlomba-lomba mengambil alih emosinya.

Dia jelas tidak mau membuat semuanya menjadi runyam dan memilih banyak diam karena takut malah berkata yang tidak seharusnya dan akan membuat Yiheon sedih dan berpikir macam-macam.

Sekyung juga menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengannya, saat keduanya sama-sama bisa berpikir tenang dengan kepala dingin. Sekarang. Karena kalau tadi dia memaksa bicara langsung dengan Yiheon yang juga belum tenang sepenuhnya, dia bisa membayangkan akan seperti apa akibatnya.

“Jangan berpikir mentang-mentang abang sering ngobatin kamu dari dulu, abang jadi terbiasa melihatnya. Dan semua itu jadi kamu anggap baik-baik saja. Enggak begitu, Yiheon.”

Sekyung menepuk-nepuk pelan pundaknya, berharap Yiheon mengerti bagaimana kalau ia berada di posisinya, “Abang nggak akan pernah mau terbiasa kalau harus melihat wajah kamu penuh luka seperti ini, sayang...” dia memberi jeda sambil memegang bahu Yiheon membuatnya mau tidak mau menatapnya dengan sudut mata sudah menghangat.

“Kamu boleh anggap sikap abang lebay atau apa pun terserah.. abang cuma terlalu sayang sama kamu, Yiheon. Kamu ngerti kan?”

Sekyung mengerjap kaget saat ia kembali memeluknya dan merasakan pundak Yiheon yang perlahan bergetar.

Yiheon nya malah menangis.

Diusapnya dengan penuh sayang punggung Yiheon untuk menenangkannya.

Akhirnya daripada memilih menyuruhnya berhenti, Sekyung justru membiarkan Yiheon menumpahkan semua yang mungkin sudah ia pendam dari tadi. Memvalidasi bahwa emosinya nyata dan tidak perlu ditahan.

Yiheon tidak perlu menjadi kuat untuk setiap saat.

Sekyung memeluk tubuh yang semakin bergelung padanya dan mengucap kata maaf berulang kali dengan suara parau.

“Iya gapapa... abang nggak marah ke kamu, sayang. Sudah nggak usah minta maaf terus.”

Sekyung menarik selimut yang ada di kakinya, memasangkan dengan benar pada tubuhnya juga Yiheon yang masih terisak pelan di pelukannya.

Ditaruhnya dagunya di atas kepala Yiheon yang masih belum selesai, Sekyung menghela napas saat Yiheon sudah membasahi baju bagian depannya dengan air mata.

Sebanyak apa ia menangis, setakut apa yang dirasakan Yiheon saat ini hingga membuat Sekyung harus kembali mengulang kata menenangkan yang sama.

Abang nggak marah, sayang.

Yiheon memejamkan matanya, rasanya sakit yang dia rasa karena Jaemin tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ia menghadapi marah serta kecewanya Choi Sekyung saat ini.

Tangisnya pecah sendiri tanpa bisa ditahan begitu Sekyung semakin banyak berbica sambil memberi hangat padanya yang semakin kalut dengan pikiran yang begitu penuh dan semakin kemana-mana

Berbaring tanpa melepaskan pelukannya, Sekyung tampak sabar mengusap punggung Yiheon, menyisir rambutnya yang menguarkan wangi familiar dari shampo miliknya yang tadi Yiheon pakai.

Berkali-kali dia juga mengecup kepalanya dengan sayang saat pemuda di dekapannnya ini belum mau menunjukan wajahnya.

Muka penuh luka, ditambah nangis kayak bocah, mata sembab, hidung mampet. Yiheon bahkan tidak sempat memikirkan kemungkinan itu tadi.

“Sudah tenang?” suara lembut Sekyung terdengar di telinganya, membuat ia bergumam pelan. Entah sudah berapa menit kamar sunyi Sekyung itu hanya diisi oleh suara tangis Yiheon yang teredam di pelukannya.

Yiheon akhirnya menjauhkan wajah dari dada Sekyung, ia meringis melihat baju bagian depan Sekyung yang terlihat basah lalu mengusapnya pelan.

Tanpa ada yang berniat melepaskan pelukannya, Choi Sekyung sedikit menunduk untuk menatap Yiheon. Disentuhnya ujung mata yang lebih muda itu dengan ibu jarinya, lembut dan hati-hati mengusap jejak-jejak air mata yang bisa dia lihat hingga ke dagunya.

“Aku jelek ya...” guman Yiheon dengan suara serak khas habis nangis, Sekyung menggeleng pelan, tersenyum teduh hingga ke matanya.

“Enggak.” katanya, “Tapi abang gak suka lihatnya, ini pasti sakit.” Sekyung menunjuk luka-luka di wajahnya.

Yiheon menahan napasnya saat Sekyung kemudian menunduk untuk mengecup keningnya dan menahannya cukup lama.

“Abang cuma nggak mau orang yang abang sayangi terluka dan merasa sakit, abang juga nggak mau lihat kamu sedih dan nangis lagi, Yiheon.”

Jangan terluka seperti ini lagi.

Kedua iris Yiheon menatap Sekyung yang membuatnya tidak bisa berpaling, dia menguncinya tanpa perlu tatapan tajam. Sekyung justru menatapnya dengan tatapan paling hangat yang membuatnya merasa disayang dan dicintai.

Yiheon tahu jelas bahwa ia tidak jatuh cinta sendirian.

Karena Choi Sekyung bahkan sudah mencintainya jauh sebelum ia sadar dengan perasaannya sendiri.

“Maaf untuk hari ini.. aku tahu aku salah. Janji gak diulang lagi.” bisik Yiheon masih dengan suara seraknya yang terdengar lebih dalam, ia bisa merasakan usapan tangan Sekyung di rambutnya semakin memelan.

“Aku takut kalau abang marah nanti malah pergi, nanti aku nya ditinggalin. Aku gak mau, aku gak bisa kalau gak ada Bang Sekyung. “

“Abang nggak pernah kemana-mana.” balas Sekyung serius, sedikit bingung bisa-bisanya Yiheon berpikir seperti itu, kedua iris matanya menatap dalam padanya, “Dan gak akan kemana-mana, sayang.”

Yiheon seharusnya tahu itu, dari dulu Choi Sekyung adalah orang pertama yang akan selalu ada untuknya, Choi Sekyung yang selalu memberikan waktu bahkan hanya untuk mengajaknya makan siang di kantin. Choi Sekyung yang dengan senang akan mengantar jemputnya tanpa pernah diminta, serta masih banyak lagi yang sudah dia lakukan untuk Yiheon kesayangannya ini.

Yiheon tersenyum tipis mendengarnya, perkataan Sekyung bagai janji yang bisa ia yakini kalau Sekyung berkata begitu serius. Begitu sungguh-sungguh kalau dia akan selalu ada di sampingnya di saat apa pun keadaan Yiheon.

“Jangan ngomong atau pun berpikir gitu lagi.” pintanya yang diangguki oleh Yiheon.

Sekyung kembali mendaratnya ciuman lembut di keningnya, serta di pipinya yang menjadi tempat kesukaannya.

Akhirnya lesung pipi itu tampak jelas terlihat dari jarak yang begitu dekat seperti sekarang, memberi tanda bahwa Yiheon sudah bisa tersenyum sedikit lebih lebar walau belum begitu lepas, tapi Sekyung sudah bisa bernapas lega.

Sekyung juga kembali memeluknya, mempersempit jarak diantara mereka dan menyembunyikan wajahnya di bahu kiri Yiheon, menutup matanya, menghirup wangi Yiheon yang tercampur dengan miliknya sendiri dari mulai piyama hingga sabun yang tadi ia gunakan.

“Abang sayang banget sama kamu, Yiheon, kamu harus tahu itu.” bisik Sekyung, “Kamu segalanya buat abang.”

Bila harus menabak siapa yang paling beruntung di sini, Yiheon mungkin akan menjawab kalau itu adalah dirinya. Betapa beruntungnya ia bisa mengenal Choi Sekyung, lalu berteman baik dengannya sampai menjadi dekat, hingga akhirnya sampai di titik bahwa ia begitu dicintai olehnya.

“Aku tahu.. aku juga sayang sama abang.” balasnya.

“Kalau sayang berarti harus apa? Jangan banyak berulah, takut abang beneran hipertensi nanti ngadepin tingkah kamu lagi.”

Yiheon mendengus kecil lalu mendorong dada Sekyung agar menjauh, ia menarik selimut sampai lehernya dan berbalik untuk memunggungi Sekyung yang tidak bisa menahan senyumnya.

Emang aku segitunya bikin kamu stress???!

Sudah bisa merajuk, berarti sudah aman. Lebih baik begini daripada melihat tatapan sendu juga sedih darinya seperti tadi.

“Mau peluk kamu saja sampai tidur biar kayak guling.”

Sekyung mengulurkan tangannya di bawah kepala Yiheon untuk dijadikan bantal lalu mendekap bahunya dengan nyaman. Yiheon tidak protes saat Sekyung kembali mengubur wajahnya di bahunya. Lalu sesekali ia meraskan Sekyung mengecupnya di sana sambil berguman pelan mengulang kata yang sama.

Sayangku Yiheon.

Sejujurnya ini masih seperti mimpi bagi Yiheon, mereka sudah resmi pacaran dan bisa begitu dekat seperti sekarang.

“I love you.” bisik Sekyung sambil mencium pipinya dari belakang.

Yiheon memegang lengan Sekyung yang memeluk bahunya dari belakang, mengusap dengan ibu jarinya lengan yang selalu memberinya tenang melalui dekapannya, lengan yang selalu terulur lebih dulu padanya tanpa meminta balasan apapun hingga akhirnya ia menyambutnya dengan senang hati dan tentu saja akan menggenggamnya dengan erat.

Yiheon juga begitu mencintainya, orang sebaik Sekyung yang entah bagaimana bisa tiba-tiba hadir di hidupnya.

Ia kemudian berbalik lagi dan memilih untuk menatap Sekyung, masih menjadikan tangan Sekyung sebagai bantal dan bisa dibayangkan sedekat apa jarak mereka saat ini.

“Curang. Aku juga mau meluk pacar aku. Takut kabur lagi nanti pas bangun kayak waktu itu.”

Kata Yiheon dengan mata sembab yang terlihat mengantuk karena jam di meja Sekyung sudah menujukan angka dua tiga serta ia cukup lelah setelah menangis cukup lama tadi.

Sekyung menarik kedua sudut bibirnya, satu tangannya yang bebas menangkup pipi Yiheon pelan takut mengenai lukanya, mengusapnya sesekali, atau hanya menyentuh rambutnya yang turun ke pelipis menutupi plester yang ada di sana.

Tanpa bicara apa pun keduanya hanya menikmati waktu dalam diam, hanya saling melempar senyum tipis dengan pandangan yang sama-sama berbinar penuh kagum, yang begitu tulus, yang merasa beruntung karena memiliki satu sama lain.

Membawa tenang pada suasana malam yang tadi sunyi namun perlahan mulai terdengar suara hujan yang samar dari luar.

“Sudah ngantuk banget?”

Yiheon menggeleng kecil, sepertinya masih bisa ditahan kalau ada Sekyung di depannya.

“Ini masih sakit? perlu dikompres dulu nggak? abang ambil es lagi ke bawah ya.”

Dia mengusap sudut bibir Yiheon yang terluka berwarna merah tampak lebam dan akan beranjak kalau Yiheon tidak menahan lengannya. “Gak usah.. gapapa kok.” tahan Yiheon dengan pelan, “Besok aja.”

Sekyung mengangguk mengerti lalu perlahan menunduk untuk menciumnya tepat di sana.

“Cepat sembuh, sayang.”

“I love you too, abang.” balas Yiheon untuk yang tadi membuat Sekyung terkekeh kecil lalu mengecup pucuk hidungnya hingga Yiheon tersenyum semakin lebar apalagi saat dia mencuri kecupan di bibirnya secepat kilat, gak kerasa malah, hanya dapat saltingnya saja.

“Yiheonku gemes banget sih, mukanya merah tuh.”

“Makanya gak usah cium-cium!” balasnya dan Sekyung tentu tidak mengindahkan larangannya.

Dibisikin kata cinta banyak banget, dikecup lagi sambil memasang wajah paling tampan lengkap dengan senyum lembutnya.

Choi Sekyung seakan mau melihat wajah semerah tomat itu lebih lama hingga Yiheon harus berbalik memunggunginya lagi sambil mengerang ketika Sekyung semakin gencar menggodanya dengan tawa dalam tampak senang mengerjai pacarnya yang benar-benar memerah hingga ke telinga.

“Abang, hujannya besar.” gumam Yiheon kemudian setelah mereka kembali hanya terdiam dengan tangan Sekyung yang lagi-lagi bermain-main dengan rambutnya, “Aku jadi ngantuk denger suaranya.”

Seakan mengerti, Sekyung kembali membawa pacarnya itu ke dalam dekapannya, menaruh dagunya lagi di atas kepala Yiheon, memberi banyak cinta dengan ciuman yang entah sudah berapa banyak di puncak kepalanya. Juga dengan tangan yang kini mengusap lembut penuh afeksi pada punggung hingga pinggang yang sudah bergelung nyaman.

“Tidur yang nyenyak malam ini, sayangku.” ucap Sekyung yang hanya dibalas gumaman dari Yiheon yang kali ini sudah menutup matanya sambil tersenyum.

Pasti tidurnya akan nyenyak sekali kalau seperti ini.

Boleh tidak malam ini lebih panjang saja karena Yiheon tidak ingin ini semua berlalu terlalu cepat.

Tepatnya, bila saat bersama Sekyung Yiheon ingin sang waktu berjalan dengan lambat, membiarkan mereka untuk bersama lebih lama lagi.

“Good night, abang...” bisik Yiheon yang membuat Sekyung mengeratkan pelukannya, mengantarkan Yiheon kepada kantuk yang menelannya dengan iringan kata penuh sayang yang terakhir ia dengar.