xxxxweishin

tw // mcd, accident, angst, blood, hurt comfort


Jinu POV

Dari awal, semuanya memang bukanlah milikku. Tuhan hanya menitipkan sebagian rasa bahagia yang belum pernah aku rasakan dalam hidup, begitu baiknya sampai aku selalu berpikir semua adalah mimpi dan aku tidak ingin terbangun sama sekali.

Maka, ketika bahagia yang baru saja aku cicipi itu direnggut kembali, kecewaku seharusnya tidak perlu sedalam ini.

Namun, yang aku alami justru sebaliknya. Rasa sakitnya seperti seluruh tulangku diremukkan secara paksa, hatiku hancur, dan hidupku seperti telah berakhir.

Tubuhku hanya mampu diam terpaku menatap ke satu arah. Aliran darahku berdesir kencang dan kepalaku terasa pusing mendengar dengung yang memekikkan telinga.

Hingga akhirnya, saat mata itu menatapku dengan begitu sayu dan tersenyum sangat tipis, tubuhku bergetar hebat dan suaraku tercekat di tenggorokan mengucap satu kata yang terasa begitu sulit.

“Pa..pa..”

Darah yang bersimbah, tubuh yang terkapar, serta orang-orang yang bergerumul telah menjadi mimpi buruk bagiku sejak saat itu hingga detik ini.

Juga, tangis Ayah yang langsung memeluk tubuh penuh darah itu menatapku dengan tatapan yang tidak bisa aku pahami.

Seiring waktu berlalu, aku semakin mengerti akan sebuah kesimpulan bahwa Ayah membenciku.

Karena aku lah penyebab Papa meninggal.


Papa adalah sosok paling baik yang pernah aku kenal seumur hidupku.

Bila aku bercerita tentangnya, maka aku harus mulai pada hari itu, hari pertama kali aku bertemu dengannya.

Hari dimana sebuah tangan terulur padaku dengan lolipop rasa coklat, hari dimana seorang pria berusia dua puluh enam tahun berjongkok di depan ayunan tempatku duduk, hari dimana untuk pertama kalinya senyum hangat itu menyapaku dengan begitu lembut.

Saat itu aku memanggilnya Om Wooseok, katanya Papa sedang membantu teman yang menyalurkan bantuan untuk panti asuhan tempatku tinggal.

Pertemuan kita tidak berlangsung lama, Papa hanya mengajakku bicara karena aku duduk sendirian saat anak-anak lain sibuk bermain di dalam dengan beberapa orang teman Papa yang berkunjung.

Bukannya aku tidak menghargai para tamu, namun, aku hanya sedang tidak ingin bermain saja dan Papa hanya tersenyum sambil mengacak rambutku, berkata tidak apa-apa, biar dia yang temani aku di sini.

Dengan lolipop yang masih aku makan dan ayunan yang kumainkan pelan, Papa banyak bertanya tentangku, sekolah dan kegiatan sehari-hari yang aku lakukan.

Sejujurnya aku tidak terlalu banyak bicara dengan orang yang pertama kali ku temui, namun Papa berbeda, sikapnya terasa begitu tulus memperlakukanku dengan baik, mengajaku bercanda dan juga bercerita tentang suaminya yang tidak bisa datang karena sibuk bekerja, tentang orang yang kemudian aku sebut Ayah.

Usiaku enam tahun, dan sudah selama itu aku tinggal di panti asuhan ini. Jangan tanya sejak kapan, aku tidak ingat dan Bunda, ibu panti yang merawatku hanya akan bilang bahwa kami semua adalah anak-anaknya baik tahu atau tidak asal kami.

Setiap anak memimpikan sebuah keluarga yang utuh, punya rumah, punya orang tua yang menyayangi mereka, pun begitu juga dengan aku.

Setiap ada anak yang pergi dengan keluarga barunya, kami hanya akan tersenyum sambil melambaikan tangan tanpa bisa berbohong di dalam hati setiap anak pasti merasa iri, menunggu giliran, akankah tiba waktuku seperti mereka?

Lalu ada pertemuan keduaku dengan Papa terjadi di bulan berikutnya, juga dengan Ayah.

Bila dilihat pasti ada senyum kelewat lebar miliku saat Papa berjalan memasuki halaman panti dengan sosok tinggi di sampingnya, yang merangkulnya dengan penuh sayang sambil melihat sekeliling.

Aku senang bisa melihat Papa lagi saat itu.

Ada hangat yang tidak bisa aku jelaskan saat Papa menyapaku dengan senyum lembutnya, dengan tangan yang dibuka lebar seakan memintaku untuk berjalan mendekat padanya, “Kangen deh sama Jinu.” ucapnya begitu aku tiba-tiba sudah direngkuh olehnya. Yang aku ingat, walau sempat ragu tapi aku membalas pelukan Papa dengan erat, melingkarkan tangan di pinggannya serta merasakan kepala dan punggungku yang diusap perlahan.

Pelukan pertama yang terasa begitu nyaman, pelukan Papa yang tidak akan pernah aku lupakan.

Wooseok menggaruk pipinya setelah ia menyanyikan salah satu lagu. Wajah serta telinganya terlihat memerah menahan malu bercampur lega, selesai juga lagunya.

Suara tepuk tangan terdengar bergemuruh diantara orang-orang yang datang, yang berkeliling di depan panggung kecil yang digunakan untuk tempat hiburan, tempat musik yang dari tadi mengalun di acara pernikahan ini, juga diantara kedua pengantin yang tersenyum lebar bahkan salah satunya mengacungkan kedua jempol tampak senang melihat temannya ikut andil dalam acara pentingnya ini.

Tebakannya pasti Cho Seungyoun yang sudah menunjuk-nunjuknya tadi dan bersekongkol dengan teman-teman mereka yang lain agar Wooseok maju ke depan.

Tidak pernah berpikir sekalipun kalau tadi ia akan diseret dan mendadak dikasih mic seperti ini. Beruntung sampai akhir tidak ada lirik yang salah, Wooseok meringis kalau hal tersebut benar-benar terjadi sebaiknya salahkan Seungyoun saja.

Diantara semua orang itu ada Lee Jinhyuk yang berdiri tidak terlalu dekat dengan panggung bertepuk tangan paling kencang, paling semangat dengan senyum kelewat lebar dan wajah penuh kagum.

Baru kali ini dia melihat Wooseok tampil bernyanyi.

Tidak menunggu lama, Wooseok memilih turun sambil menangkup pipinya yang memerah, lalu menunduk dan berjalan ke arah Jinhyuk yang membuka tangannya sambil masih tersenyum lebar.

Seperti sudah seharusnya, seperti dipersilahkan dengan bebas Wooseok langsung menyembunyikan wajahnya di dada Jinhyuk, melingkarkan tangannya di pinggang pemuda jangkung itu dengan erat sambil bergumam pelan, “Aku malu banget, hyuk..”

Jinhyuk tergelak, mengusap puncak kepala Wooseok dengan lembut tanpa menghiraukan tatapan orang-orang yang mengekori Wooseok hingga kini berada di pelukannya, “Suara Wooseok bagus dan tadi itu keren banget.” bisik Jinhyuk tepat di samping kepalanya yang masih belum mengangkat wajah.

Yang dipuji semakin mengerut di pelukannya membuat Jinhyuk kembali mengulas senyum lebar dan menepuk-nepuk bahunya, kemudian dia memegang pundak Wooseok untuk memberi jarak, menatap wajahnya yang benar-benar memerah dilihat dari dekat, “Nggak apa-apa?” tanyanya lembut.

Wooseok mengangguk kecil “Merah banget?” ia bertanya yang langsung dijawab oleh Jinhyuk sambil menunjuk pipinya, “Di sini.”

“Aku semalu itu, hyuk.” katanya sambil melihat ke sekeliling, “Banyak juga yang bukan temen SMA ku ini sih nggak pada kenal.” ujarnya tertahan.

“Bagus kok, nggak usah malu. Kapan lagi aku lihat kamu tampil kayak tadi.”

“Beneran?” ia menatap langsung ke wajah Jinhyuk untuk mencari jawaban, semoga beneran nggak bikin malu deh, batinnya.

“Beneran...” sekarang ditangkupnya kedua pipi Wooseok untuk meyakinkan dan menghiburnya, “Kalau aku bilang bagus, berarti bagus dan semua orang juga tepuk tangan loh buat kamu tadi.”

Senyum Jinhyuk berhasil membuat Wooseok tertawa sebelum Jinhyuk melepaskan tangan dari wajahnya.

“Aku ambil minum dulu, tunggu di sini.”

Jinhyuk beranjak dari sana dan Wooseok kembali menatap ke arah panggung kecil tersebut saat kali ini mic diambil alih oleh penyanyi yang sesungguhnya.

Langkah kaki itu dengan mudah menemukan meja jamuan di sudut ruangan, lengkap dengan berbagai makanan manis juga gelas-gelas minuman yang terisi.

Acaranya memang cukup megah, sudah jelas kalau teman Wooseok yang ini berasal dari keluarga terpandang saat dari tadi sore yang Jinhyuk lihat adalah orang-orang berpenampilan penting yang datang.

Sapaan dari sampingnya membuat Jinhyuk menoleh, Cho Seungyoun, teman Wooseok yang dia kenal sejak pertama kali datang ke acara reuni SMA Wooseok beberapa bulan lalu.

Acara pertama juga pertemuan pertamanya dengan Wooseok.

“Gimana? jam segini masih di sini. Mau tetep balik kalian?” tanya Seungyoun, tangannya mengambil satu buah cupcakes dan langsung memakannya.

“Belum tanya Wooseok lagi.”

“Wooseok bilang sih tadi nggak katanya, mau langsung pulang pas gue ajak.”

Kening Jinhyuk mengerut, sudah tahu seperti ini kenapa masih tanya pendapatnya, “Ya berarti nggak kalau Wooseok bilangnya begitu, Seungyoun. Gue juga nggak masalah kalau harus nyetir.” penjelasan Jinhyuk barusan membuat Seungyoun membulatkan mulutnya yang masih sibuk mengunyah.

Sepertinya hubungan mereka memang murni bagaimana kehendak Wooseok saja dan Jinhyuk yang hanya akan menurut. Ah, mungkin memang begitu cara kerjanya? pikir Seungyoun.

Jinhyuk kemudian berdiri di samping Seungyoun sambil tangannya memegang gelas untuk Wooseok, belum berniat beranjak dari sana karena dilihatnya Wooseok juga sedang mengobrol dengan teman-temannya.

“Itu Daniel, yang pakai kemeja hitam.”

Seungyoun kembali membuka pembicaraan sambil dagunya menunjuk orang di depan Wooseok, “Mantannya.” lanjutnya lagi yang berhasil membuat Jinhyuk menajamkan penglihatan.

“Gue baru lihat.” ujar Jinhyuk.

“Tentu saja, waktu reuni dulu dia nggak datang. Terkenal super sibuk orangnya, kaget juga gue tiba-tiba lihat dia di sini.”

Kepala Seungyoun meneleng untuk memperhatikan Jinhyuk, “Bisa dibilang, sebagian besar masa SMA Wooseok dulu adalah tentang dia. Baru putus setelah mereka kuliah dan beda kampus.”

Sebelum berbicara lagi, dia sedikit bergeser mendekat ke arah Jinhyuk yang masih meluruskan pandangannya pada Wooseok di tengah ruangan sana, “Gue denger, putusnya karena Daniel ketahuan jalan sama temen kampusnya.”

Entah apa tujuan Seungyoun memberikan info yang tidak pernah diketahui oleh Jinhyuk begini atau mungkin tidak harus diketahuinya karena Wooseok tidak pernah bercerita apa pun.

Hanya saja bagi seorang Cho Seungyoun, melihat bagaimana Wooseok berjalan ke arah Jinhyuk tadi dan langsung masuk ke pelukannnya tanpa ragu, juga berbagai tingkah mereka yang berperan sebagai sepasang kekasih membuatnya menggelengkan kepala tidak habis pikir.

Rasanya permainan mereka terlalu sempurna untuk dilihat atau memang sesungguhnya ada hal lain yang memang menjadi alasan?

Mungkin hanya mereka yang tahu, Seungyoun hanya mampu menebak-nebak.

Setelahnya, pemuda itu justru tersenyum tipis kemudian beranjak begitu saja dari sana untuk menghampiri pacarnya yang baru masuk ke dalam ruangan lagi setelah tadi keluar untuk menerima telepon.

Meninggalkan begitu saja sosok Jinhyuk yang tidak lama langsung menghela napas panjang sebelum berjalan menghampiri Wooseok dengan yakin.

Ada wajah yang dibuat sebiasa mungkin, ada sedikit senyum yang dipaksa ditarik lewat kedua sudut bibirnya saat Wooseok menatap sosok di depannya saat ini.

Sedikit tidak menyangka kalau Kang Daniel ikut bergabung dalam obrolan yang sedang dilakukan teman-temannya. Dia berbicara seputar kabar karena sudah cukup lama mereka tidak bertemu sejak hubungan keduanya berakhir bertahun-tahun lalu.

“Sayang...”

Tidak lama Wooseok cukup terkesiap saat sebuah tangan melingkar di pinggangnya tiba-tiba secara posesif, disusul gelas yang diberikan kepadanya lengkap dengan senyum lembut yang ditampilkan oleh Jinhyuk.

“Terimakasih..” ucapnya pelan menerima gelas tersebut, ia membalas senyum Jinhyuk tanpa ragu dan terlihat begitu lega akan kedatangannya. Bagian sisi tubuhnya bahkan dengan nyaman langsung bersandar pada Jinhyuk sejalan dengan pelukan di pinggangnya yang mengerat.

Rasanya terasa aman, ada Jinhyuk di sisinya, begini jauh lebih baik.

Yang lain berdehem canggung melihat tingkah Jinhyuk yang seperti menunjukan kepemilikannya terhadap Wooseok, begitu pun sebaliknya.

Kumudian Jinhyuk tanpa sungkan ikut berbasa basi dalam obrolan mereka, bahkan dia berkenalan dengan Daniel yang lebih dulu mengulurkan tangan kepadanya dan memperkenalkan diri.

Tidak pernah salah, Jinhyuk memang yang paling bisa menempatkan diri, yang paling membuat Wooseok merasa berkali-kali beruntung datang dengan sosoknya sebagai pelengkap.

Karena beginilah Lee Jinhyuk di setiap acara, dia adalah seorang kekasih yang sangat sempurna. Selalu tersenyum lembut, bersikap teramat manis dan memperlakukan Wooseok dengan penuh sayang dan perhatian. Membuat hampir semua orang berdecak dan berkata padanya, beruntung sekali menjadi seorang Kim Wooseok.

“Mau pulang sekarang?”

Saat teman-teman Wooseok sudah pergi meninggalkan mereka Jinhyuk akhirnya bertanya. Cukup lama mereka terjebak dalam obrolan tersebut. Dia jelas melihat Wooseok yang tampak sudah lelah, “Iya pulang aja. Udah malam, hyuk.” katanya yang langsung disetujui oleh Jinhyuk.

Melihat jam saat ini, tentu saja bisa diperkirakan mereka sampai rumah pasti tengah malam nanti.

“Ya sudah, ayo pulang.”

Wooseok menyambut uluran tangan Jinhyuk, memeluk lengannya sambil beranjak dari sana menuju ke area parkir. Sempat berpamitan sebentar pada Seungyoun yang kebetulan mereka temui saat akan keluar ruangan.

“Sudah ngantuk, ya?”

Suara Jinhyuk memecah sunyi diantara mereka. Saat ini kepala Wooseok bertumpu pada lengannya sambil berjalan, yang ditanya bergumam kecil sedikit merajuk tanda iya membuat Jinhyuk kembali menaruh tangannya di atas kepala Wooseok untuk mengusak dan terkekeh.

“Jinhyuk?”

“Hmm?”

Suasana menuju parkiran yang berada di ujung dari gedung pernikahan tadi memang cukup sepi, mereka hanya melewati taman yang terdapat lampu-lampu gantung di sepanjang jalan, tampak tidak terlalu terang dan menimbulkan suasana hangat yang romantis, mungkin sengaja memang disetting seperti ini untuk acara pernikahan yang sedang berlangsung.

“Nggak apa-apa pulang? nggak apa-apa harus nyetir malam-malam?”

“Nggak apa-apa, Wooseok. Aku janji anterin sampai rumah kamu dengan aman.” jawab Jinhyuk sungguh-sungguh membuat Wooseok menatapnya dari samping dan tersenyum sambil mengeratkan pelukannya di lengan Jinhyuk, “Makasih, hyuk.” bisiknya.

“Daniel itu mantan kamu?”

Lee Jinhyuk sedikit melewati batas, dia sadar namun tidak bisa menahan pertanyaannya. Begitu saja yang terpikir olehnya daritadi hingga langsung dilisankan tanpa banyak pertimbangan saat ini.

Langkah kaki Wooseok malah memelan dan Jinhyuk harus menyesuaikannya. Satu langkah lebar miliknya menjadi begitu pendek dan diayun pelan.

“Iya.” jawab Wooseok, “Dia mau nikah tahun depan tadi sekalian ngasih tau aku.”

“Kamu nggak apa-apa?”

Kali ini Jinhyuk berhenti berjalan, dia ingin menatap wajah Wooseok dan mencari tahu karena sejak tadi mereka mengobrol dengan Daniel sikap Wooseok sedikit berbeda.

“Kamu berharap aku galau mikirin dia mau nikah?” kening Wooseok mengerut menatap Jinhyuk yang memasang wajah khawatir.

Tidak. Hanya takut memang seperti itu.

Namun, kemudian pemuda itu justru terkekeh tampak geli dan membantah saat yang ditanya tidak menjawab apa-apa.

“Nggak sama sekali, hyuk. Dia mantan aku udah lama banget, udah nggak ada apa-apa. Perasaanku sama dia udah mati.” jelas Wooseok.

“Tapi kamu kayak beda.”

“Aku cuma kesel aja kenapa ketemu dia di sini. Agak gak nyangka.” Wooseok berkata lalu mengangkat bahunya, bibirnya mencebik ke bawah, “Dulu kita putusnya nggak baik-baik soalnya, jadi gitu deh. Males.” akunya yang membuat Jinhyuk menghela napas.

Dia jelas tahu arti tidak baik-baik saja yang tadi disinggung oleh Seungyoun. Jadi memang benar seperti itu.

“Kamu deserved yang lebih baik, Wooseok.”

Perkataan Jinhyuk bagai harapan yang entah mengapa membuat hati Wooseok menghangat karenanya, ia seperti bisa meraskan kesungguhan dari apa yang diucap pria tersebut.

Netranya masih betah berlama-lama menatap Jinhyuk yang barusan berkata dengan wajah serius sambil menatapnya selembut tadi seperti saat mereka di dalam.

“Iya, doain aja nanti ada orang yang beneran sayang sama aku.”

“Pasti ada, Wooseok. Orang seperti kamu sangat mudah untuk disayangi.” balas Jinhyuk tanpa ragu, tanpa perlu melewatkan banyak waktu untuk kembali membuka mulut.

“Seperti aku gimana?”

Wooseok bertanya sambil kembali melangkah pelan dan Lee Jinhyuk di sampingnya berjalan sambil memasukan kedua tangannya di saku celana. Pelukan di tangannya sudah terbebas saat tadi Jinhyuk menghentikan langkah.

Di pandangan Wooseok kali ini terlihat Jinhyuk sedikit menerawang menatap langit malam yang hanya ada satu dua bintang terlihat samar.

Ia sedang menaruh seluruh perhatiannya pada yang belum menjawab, dan tanpa sadar kepalanya sedikit berisik saat Jinhyuk yang kali ini kembali memalingkan wajah padanya mengulas senyum tipis yang membingkai di wajah tampannya yang hanya terkena cahaya dari lampu yang tergantung di sekitar mereka.

“Seperti Wooseok, yang cuma Wooseok.” bisiknya tepat saat dia menunduk dan mensejajarkan dirinya dengan wajah Wooseok yang terpaku karena terlalu kaget.

Hingga kemudian ujung telunjuk Lee Jinhyuk mampir di puncak hidungnya dan ada tawa dalam yang berderai masuk ke pendengaran Wooseok dengan sangat jelas, “Yang begini, siapa yang bakal nggak sayang coba.”


terimakasih sudah baca^^

boleh kalau mampir chat ke https://curiouscat.live/xxxxweishin dan ini kalau jajanin sender https://trakteer.id/xxxweishin

you, me and coffe.

Sekitar pukul satu dini hari Lee Jinhyuk menghentikan mobilnya di depan rumah yang terlihat gelap dan sepi. Dia menoleh ke arah samping dimana ada Wooseok yang tertidur begitu pulas dengan tubuh ditutupi oleh jas miliknya yang dijadikan sebagai selimut.

Sengaja biar tidak dingin, walaupun tadi sempat ditolak tapi lama kelamaan diiyakan juga oleh Wooseok dan tentu saja wangi parfum Jinhyuk langsung ikut menempel kepadanya.

“Wooseok..” bisik Jinhyuk sambil menepuk bahunya pelan, dia mencondongkan tubuhnya setelah membuka seatbelt dan kali ini setelah lebih mudah, dia beralih menepuk pelan—cenderung mengusap pipi Wooseok yang menghadap ke arah jendela, “Kita sudah sampai.” ucapnya dengan sabar.

Ada satu senyum tertahan di sudut bibirnya saat yang dibangunkan justru bergumam tidak jelas dan masih enggan membuka mata, lucunya.

“Wooseok...” panggilnya sekali lagi masih dengan tangan yang belum beranjak dari pipi Wooseok.

Lagi, Wooseok bergumam tidak jelas, namun kali ini sambil terbangun dan mengucek matanya, ia bisa melihat Jinhyuk yang masih begitu dekat. Beruntung, rupanya Jinhyuk sadar akan jarak mereka yang terlalu dekat, dia langsung mundur kembali ke kursinya dan duduk dengan benar.

Oh sudah sampai? Wooseok melihat ke luar mobil dengan mata menyipit dan memang benar itu adalah rumahnya. Tangannya menurunkan jas milik Jinhyuk yang masih menutupi tubuhnya lalu dibiarkan ditaruh di atas pahanya.

Masih sambil menyandarkan kepalanya di kursi untuk mengumpulkan nyawanya, ia langsung melihat jam pada layar ponsel yang dipegangnya. Ada pesan Seungyoun satu jam lalu yang baru dibaca, berarti ia tertidur cukup lama hingga akhirnya sampai.

Wooseok segera membalas pesan temannya itu sambil menatap Jinhyuk yang baru saja menguap dan meminum air mineral, dia bahkan meregangkan tubuhnya sesaat sambil menempuk-nepuk pundaknya sendiri, kasihan Jinhyuk pasti capek.

Sekarang, ada rasa menyesal di hati Wooseok, kenapa nggak menginap saja sesuai ajakan Seungyoun tadi padanya. Padahal ia pernah diberitahu kalau rumah Jinhyuk dari sini cukup jauh.

“Jinhyuk maaf aku malah tidur. Kamu ngantuk banget, ya?” tanya dengan nada tidak enak, “Harusnya tadi kita nginep aja.. maaf...”

“Nggak apa-apa, Wooseok.” Jinhyuk mengulas senyum menenangkan saat dilihatnya raut wajah Wooseok yang terlihat bersalah, “Nanti biar aku mampir ke minimarket 24 jam. Harus beli kopi kayaknya.”

“Aku punya.” balas Wooseok cepat sambil menegakkan duduknya dan sedikit menyamping ke arah Jinhyuk dan Jinhyuk menatapnya tidak yakin, “Ada kopi. Di rumahku, banyak.” lanjutnya.

“Oh..” di balik kemudinya Jinhyuk hanya membeo pelan.

Jujur dia memang sudah sangat lelah dan sedikit mengantuk, apalagi sejak tadi hanya sendirian tidak ada teman berbicara karena Wooseok tertidur pulas.

“Masuk dulu aja. Aku takut kamu ketiduran sambil nyetir. Bahaya. Ini kan gara-gara aku juga, udah jam segini..” cemas serta sedikit memohon yang diucap oleh Wooseok karena ia betul-betul merasa tidak enak kali ini, “Mau ya, hyuk?”

Mampir di jam segini?

Jinhyuk sedikit meragu sambil melirik jam tangan di lengan kirinya. Tidak tega melihat bagaimana Wooseok sekarang yang menatapnya penuh harap serta dia sendiri yang memang butuh kafein membuatnya akhirnya setuju, “Boleh kalau gitu.”

Lalu, begitu saja saat akhirnya mereka turun dan Jinhyuk sudah berada di dalam rumah Wooseok.

Ini bukan pertama kalinya Jinhyuk masuk ke sini karena selagi menunggu Wooseok bersiap untuk pergi dengannya, dia selalu dipersilahkan masuk. Bahkan, tadi pagi pun saat datang dengan terburu-buru serta perut kosong, Wooseok menyuruhnya sarapan terlebih dulu dengan roti lapis yang ia siapkan.

Namun, ini jelas yang pertama saat dia datang di pukul satu dini hari!! Paling malam pun Jinhyuk mengantar Wooseok pulang pasti dibawah pukul dua belas.

Wooseok bergegas menyalakan semua lampu rumah termasuk yang di teras saat Jinhyuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat ia membuka gerbang tadi, hanya rumahnya yang gelap gulita diantara para tetangganya. Karena memang tidak ada niat pulang sedikit pun sampai dini hari begini, makanya Wooseok tidak menyalakan lampu saat tadi pagi mereka pergi.

“Sini, hyuk.”

Jinhyuk yang baru keluar kamar mandi mendekat ke arah Wooseok yang berada di dapur dan sedang memanaskan air, “Tunggu sebentar ya, nggak lama kok.” katanya dan Jinhyuk tidak masalah dengan hal itu.

“Nggak apa-apa, diajak masuk pun aku sudah terimakasih, Wooseok.”

Rumah ini memang terasa sepi sekali mau bagaimana pun Jinhyuk mengedarkan seluruh pandangannya karena yang Jinhyuk tahu Wooseok itu memang tinggal sendirian.

Dan justru semakin sepi saat kemudian tidak ada pembicaraan apapun yang terjadi diantara keduanya.

Wooseok sedang berdiri dan bersandar di meja makan memperhatikan teko berisi air dipanaskan, ia bahkan melipat tangan di dada sambil menggigit kuku jarinya saking gabutnya.

Kedua matanya diam-diam melirik dan mencuri pandang pada Jinhyuk yang berdiri di depannya kini sibuk bermain ponsel.

Jasnya sudah dibuka dan bahkan dijadikan selimut untuknya tadi selama tidur di dalam mobil, dan walaupun samar, Wooseok masih bisa mencium parfum Jinhyuk di sekitar bajunya sendiri.

Wangi lembut yang semakin familiar di penciumannya seiring semakin seringnya mereka bertemu.

Ia suka, wanginya bisa begitu menenangkan.

Sekarang apa yang dikenakan oleh Jinhyuk hanya kemeja putih yang digulung asal hingga siku serta celana bahan berwarna hitam yang membungkus kaki jenjangnya.

Sesuai apa yang pernah ditanyakan pemuda itu tadi pagi, mau seganteng dan serapi apa pacarnya Wooseok hari ini. Rupanya dibuktikan dengan sangat tepat, dilakukan dengan apa yang memang seharusnya Jinhyuk siapkan karena Kim Wooseok tidak punya keluhan apapun sejak tadi melihatnya di depan pintu.

Serapi dan seganteng apa Lee Jinhyuk hari ini sebagai pacarnya membuat dia tersenyum puas dan tanpa ragu memujinya.

“Begini lebih dari cukup, aku suka.”

Semakin Wooseok memperhatikan sosok di depannya, ia semakin sadar pula kalau Lee Jinhyuk yang tidak terlalu rapi begini juga.. tetap ganteng.

Namun, ada satu yang mengganggu yang membuatnya gatal.

Tanpa bisa dicegah tangan Wooseok mengambil tisu di atas meja dan kakinya melangkah kecil ke depan.

“Maaf ya...” ia berbisik lalu diusapnya sebagian kening Jinhyuk yang sedang menunduk menatap ponsel hingga ujung rambut kemerahannya yang masih basah sehabis mencuci muka dan sedikit berantakan jatuh secara acak di atas keningnya.

“Di kamar mandi ada tisu, hyuk. Masa nggak kelihatan.” ucapnya sedikit menegur.

Sempat mematung dalam tiga detik akibat mendapatkan perlakuan seperti itu secara tiba-tiba. Jinhyuk lalu tersenyum kecil, memilih memasukan ponselnya ke saku celana dan menurunkan tinggi tubuhnya agar lebih mudah bagi Wooseok, “Aku nggak lihat.” balasnya dengan nada halus yang membuat Wooseok begumam kecil.

Sebetulnya, bila dilihat oleh orang luar, oleh orang yang tidak tahu apa-apa tentang hubungan mereka, bukan saja Lee Jinhyuk yang sempurna berperan sebagai seorang kekasih.

Jauh lebih detailnya, sikap Wooseok sangat melengkapi segalanya dengan perhatian-perhatian kecil yang ia tunjukan tanpa sungkan.

Menata rambut Jinhyuk yang sedikit berantakan, membetulkan letak dasinya yang miring, merapikan lipatan jas ataupun kerahnya yang kurang rapi, juga ia selalu melingkarkan tangannya di lengan Jinhyuk di banyak kesempatan seakan tidak mau jauh dan melepaskan gandengan dari sang kekasih di dalam acara yang selalu ramai itu.

Jinhyuk memejamkan mata saat Wooseok menyuruh dan mengusap di atas alisnya, ditap tap dengan lembut hingga saat tisu itu pindah ke pipi baru Jinhyuk membuka matanya lagi.

Dirinya masih menekuk lutut saat ini sehingga wajah Wooseok berada tepat di depannya dan hanya berjarak beberapa senti saja.

Lebih dari cukup untuk membuatnya bisa menyapu seluruh pandangannya pada paras Wooseok, memperhatikan setiap detail dari wajah yang terlihat begitu tenang, berbeda sekali dengan tadi yang memerah menahan malu.

“Wooseok...” suaranya berbisik pelan, sedikit serak.

Namun, yang dipanggil tampak tidak berniat menjauhkan wajahnya sedikit pun. Ia malah menatap langsung kedua mata Jinhyuk ketika tangannya sampai di dagu pemuda itu dan mengulas senyum paling manis membuat sebagian akal sehat Jinhyuk jatuh ke dengkulnya.

Wooseok memajukan badannya hingga ia bisa merasakan napas mereka yang beradu, keping mata Jinhyuk sedikit melebar saat wajah Wooseok bergerak ke samping dan berbisik di telinganya.

“Airnya sudah panas, hyuk.”

Sialan.

Boleh mengumpat tidak sih?!

Lee Jinhyuk langsung menegakkan badannya lagi, wajahnya merenggut menatap Wooseok yang langsung berjalan meninggalkannya untuk membuat kopi tanpa rasa bersalah seakan yang barusan bukan apa-apa.

“Wooseok bercandanya gitu ya..”

Gumaman Jinhyuk itu jelas bisa didengar oleh Wooseok yang langsung meliriknya dan kemudian tertawa jahil yang tampak begitu puas, “Kamu pikir emangnya aku mau ngapain sih.”

“Enggak tahu tuh, kok tanya aku.” kilah Jinhyuk tidak mau memperpanjang, jangan sampai Wooseok berpikir yang bukan-bukan tentang dirinya.

Setelahnya, diberikan gelas kopi tersebut pada Jinhyuk yang sekarang sudah duduk, Wooseok juga memegang gelas lain yang berisi teh hangat.

Mereka duduk saling berhadapan di meja makan yang memang tidak terlalu besar, ditemani dengan suara detik jarum jam yang tidak bisa dihentikan, bergerak konstan hingga jarum panjangnya menyentuh angka lima.

Hampir setengah dua dini hari.

“Kamu nggak ngantuk?” tanya Jinhyuk setelah menyesap kopinya, menatap Wooseok yang memegang gelas dengan kedua tangannya lalu meniup-niup isinya.

“Nggak terlalu, kan udah tidur tadi di mobil.”

“Aku habisin cepet deh. Biar Wooseok bisa istirahat lagi.” lanjut Jinhyuk dan kembali meminum kopinya sedikit terburu.

Sedangkan di depannya, Wooseok memilih menaruh gelasnya, melipat kedua tangannya di atas meja sambil menggelengkan kepala tanda tidak setuju, “Senyamannya kamu aja, hyuk. Sampai nggak ngantuk.” ia tersenyum tipis, “Aku nggak apa-apa kok.”

“Beneran?”

“Iya, Jinhyuk.”

Tanda setuju, tidak ada yang akan dirugikan dan keberatan.

Lalu, ada obrolan yang kemudian mengalir diantara mereka, hal yang jarang, sangat jarang seperti ini terjadi suasai ada acara bersama. Karena biasannya pertemuan mereka hanya sampai Jinhyuk yang mengantar Wooseok pulang, setelahnya tidak ada apa-apa lagi.

Ruang makan itu, sampai pukul satu empat puluh menit menjadi tidak sepi, menjadi tempat paling hangat yang Wooseok punya dari seluruh bagian sisi rumahnya malam ini.

Bersama Jinhyuk, bersama orang yang berkali-kali membuatnya tertawa.

“Kayaknya aku pulang sekarang aja.”

Jinhyuk kemudian berjalan kearah ruang depan dengan Wooseok yang ada di sampingnya untuk mengantar. Dia sudah merasa tidak mengantuk lagi untuk kembali menyetir setelah obrolan dan tawa kecil yang sesekali terjadi diantara mereka sambil menghabiskan kopi barusan.

Pintunya belum dibuka saat Jinhyuk menatap Wooseok lebih dulu, acara hari ini selesai dan entah kapan lagi Wooseok akan menghubunginya. Sayangnya memang sangat tidak menentu sekali waktu untuk pertemuan mereka.

Jinhyuk menarik kedua sudut bibirnya, kembali tersenyum selembut tadi tidak perduli di sini hanya ada mereka, karena bukan untuk dipamerkan pada yang lain, bukan.

Hanya untuk Wooseok.

“Selamat malam Wooseok. Langsung istirahat, ya. Aku pulang.” pamitnya.

Wooseok mengangguk, berkata hati-hati.

Namun, setelah melihat tubuh jangkung Jinhyuk berbalik untuk membuka pintu, ada rasa tidak rela yang menyeruak dalam hatinya.

Ingin lebih, ingin sering melihat wajah dan senyumnya.

Wooseok yang sempat terdiam dan sibuk dengan pikirannya itu justru ikut melangkah, menahan cepat lengan kanan Jinhyuk sebelum pergi dan membuka pintu.

“Hyuk..”

Ada kata kenapa yang belum sempat diucap Jinhyuk dan teredam kembali di pangkal tenggorokannya saat tahu-tahu Wooseok yang sudah di depannya berjinjit dan kembali mendekatkan wajahnya.

Tepat di sudut bibirnya, Jinhyuk bisa meraskan kecupan itu dengan teramat jelas diantara kagetnya.

Yang hangat.

Yang teramat lembut mengusap kesadarannya.

”...makasih untuk hari ini.” bisik Wooseok sambil menurunkan kakinya lagi, memberi jarak yang ternyata tidak terlalu berarti karena Jinhyuk masih bisa merasakan napasnya begitu dekat.

Kedua netra Jinhyuk menatap Wooseok yang mengulas senyum manis seperti tadi saat menjahilinya, namun kali ini berbeda, yang barusan itu memang benar-benar nyata dilakukan lebih dulu oleh Wooseok.

Sebagian sisa akal sehat Jinhyuk yang tadi jatuh ke dengkul rupanya masih belum kembali karena sekarang yang dia lakukan adalah menunduk dengan satu tangan yang langsung menangkup pipi Wooseok dan membuatnya mendongak.

Ditatapnya dalam-dalam kedua iris kecoklatan itu sebelum akhirnya dia benar-benar balas menciumnya.

Tidak, tidak pernah sekalipun hal seperti ini terjadi sebelumnya diantara mereka berdua. Karena hubungan mereka hanya terjadi saat di depan orang banyak, di setiap acara yang dihadiri oleh Kim Wooseok yang hanya membutuhkan kehadirian Lee Jinhyuk.

Dan tidak pernah sekalipun Jinhyuk bepikir kalau Wooseok akan menciumnya lebih dulu seperti tadi karena ada batasan yang coba selalu dia terapkan diluar apa yang diminta Wooseok sebagai pacarnya.

Jinhyuk masih menunduk saat Wooseok menarik dirinya dan melepaskan ciuman mereka. Yang bisa dilakukannya saat ini hanya menyentuh keningnya dengan kening Wooseok sambil memejamkan mata, dengan tangan yang entah sejak kapan berada di pinggang Wooseok yang bersandar di tembok tepat di samping pintu yang tadi belum sempat dibuka.

Wooseok yang masih mencoba meraup napas banyak-banyak mengusap pipi kiri pemuda itu dengan pelan dan menatapnya dengan sorot ingin tahu, lalu bertanya nyaris seperti bisikan, “Sama pacar kamu yang lain seperti ini juga?”

Pacar yang lain, Lee Jinhyuk sedikit tergangu dengan penggunaan kata tersebut. Sangat. Karena dia tahu arti pacar yang lain yang dimaksud oleh Wooseok.

Tentu tidak!

Dia membuka matanya perlahan, menatap Wooseok sehangat yang dia bisa, membawa telapak tangan yang berada di pipi ke depan bibirnya, dikecup dengan pelan dan lama sebelum menjawab.

“Cuma Wooseok.” jawabnya serius.

“Nggak ada yang lain.”

Dada Wooseok seperti penuh yang bisa membuatnya meledak ketika mendegar jawaban Jinhyuk untuk rasa ingin tahunya.

“Cuma Wooseok.” ucap Jinhyuk sekali lagi sambil mencium pelipis Wooseok dan menahannya cukup lama juga mengusak hidung mancungnya di sakitar rambut Wooseok yang lembut dan wangi.

Wooseok benar-benar terdiam mendengarnya, menatap lagi ke dalam netra Jinhyuk yang masih menatapnya begitu hangat hingga rasa panas menjalar ke seluruh wajahnya.

Lalu seakan belum cukup meyakinkan, ibu jari Jinhyuk mengusap pipinya dengan teramat lembut.

“Dari awal, pacarnya aku itu memang Wooseok.”

Kali ini, dikecupnya sudut bibir Wooseok seperti bagaimana yang tadi Wooseok lakukan padanya, “Semoga Wooseok juga berpikir seperti itu.”

Sudah cukup!

Wooseok terlihat akan menangis menatap Jinhyuk, ia bahkan mengigit bibirnya sebelum berbicara, “Jinhyuk, free?” tanyanya pelan.

Kehadirannya yang entah sejak kapan menjadi hal yang sangat penting, yang mampu melengkapinya juga diinginkannya sekaligus.

Kedua alis Jinhyuk bertemu dan sedikit bingung mendapat pertanyaan seperti itu, dan belum lagi Wooseok yang terlihat akan menangis sambil memegang sisi kemejanya dengan erat.

“Sekarang? Kenapa, Wooseok? mau ditemani kemana jam segini, hmm?”

“Enggak mau kemana-mana.” jawab Wooseok dengan suara lirih, kedua bola matanya yang jernih itu sedikit berkabut saat kembali berbicara, “Temani di sini.”

“Menginap maksudnya?”

“Iya, tapi gak pake fee tambahan...” cicitnya dengan bibir mengerucut dan tatapan penuh harap.

Lee Jinhyuk tidak bisa menahan tawanya saat mendengar suara Wooseok, bahkan sampai melempar kepalanya ke balakang karena Wooseok saat ini terlihat begitu lucu di matanya.

“Boleh boleh, tentu saja. Aku nggak pernah minta apa-apa.” ucapnya sambil mencubit gemas kedua pipi Wooseok yang kali ini terlihat memerah walaupun samar.

“Sudah nggak usah sedih apalagi mau nangis gitu.” lanjutnya dan membawa Wooseok ke pelukannya.

Wanginya semakin jelas, menenangkan Wooseok yang langsung memeluknyaa dengan erat dan kembali menyembunyikan wajah di dadanya, “Jadi plus one aku sampai besok...” pintanya dengan suara teredam.

“Oh, cuma sampai besok? padahal cuma Wooseok yang ingin aku temani setiap hari nggak hanya di setiap acara.”

because being alone was never hard before i met you.

“Wooseok?”

Dari sebrang sana, Jinhyuk bisa mendengar suara Wooseok yang terisak pelan tanpa menjawab, dia menjauhkan teleponnya sebentar untuk melihat panggilannya tersambung karena barusan Wooseok jelas-jelas mengangkat telepon darinya, “Wooseok, dengar aku? kamu di mana?” tanyanya lagi dengan nada yang lebih lembut.

Setelah beberapa saat akhirnya ada jawaban walaupun terdengar serak, “Kantin kantor.”

Jinhyuk sengaja menepi ke arah tangga darurat, mencari tempat sepi di kantornya dan meninggalkan beberapa temannya yang tadi mengobrol bersama. Dia kembali membuka suara setelah menutup pintu, lalu duduk di anak tangga ketiga yang menuju lantai atas.

“Masih menangis dan diliatin orang?”

“Masih.”

Entah mengapa Jinhyuk bisa tersenyum diantara rasa khawatirnya sekarang, membayangkan Wooseok menyuap makanan sambil menangis malah membuatnya mengingat masa lalu.

Yang ada di bayangan Lee Jinhyuk saat ini seperti Jinu waktu kecil dulu ketika menangis karena tidak sabar ingin bermain dengannya, namun Wooseok menyuruhnya makan siang terlebih dulu dan dia yang hanya mampu menunggu sambil menghibur sang anak, sesekali membantu mengusap air mata yang ada di pipi kembung yang sibuk sambil menguyah makanan itu.

“Minum dulu, nggak apa-apa, Wooseok. Tenangin diri dulu, ya? Aku juga sama mau nangis pas baca chat Jinwoo tadi.”

Jinhyuk dengar selanjutnya suara Wooseok yang membuka air mineral dan meminumnya, “Sudah?”

“Hmm.”

Wooseok masih terisak di sebrang sana, mengambil tisu dan mengusap air matanya, ia menunduk saat melihat beberapa pasang mata masih ada yang melirik ingin tahu padanya. Tentu saja ia sadar kalau tingkahnya ini bisa menarik perhatian, makan sambil menangis, kurang aneh apalagi ia sekarang di mata rekan-rekan kerjanya.

Genggaman tangannya pada ponsel yang ada di telinganya semakin mengerat ketika Jinhyuk kembali berbicara, “Boleh aku temani kamu lewat telepon? biar kamu nggak sendiri. Silahkan lanjutin makannya sampai selesai, Seok.”

Ada anggukan kecil yang Wooseok berikan, namun tangannya mendorong jauh piring makan siangnya yang masih tersisa setengah dari yang sudah ia makan, “Sudah selesai.” ucapnya, “Aku gak bisa makan lagi.”

Walaupun ucapan Wooseok terbata-bata karena masih menangis, Jinhyuk di ujung sana bisa mengerti dan dia mengiyakan, paham betul pasti selera makan Wooseok mungkin sudah hilang daritadi.

Sekarang, sambungan mereka justru diisi tanpa kata apapun, Jinhyuk mencoba menunggu Wooseok yang memang masih menghentikan tangisnya walaupun setiap isakan pelan Wooseok yang dia dengar berhasil membuat Jinhyuk merasa seperti ada yang menekan dadanya.

Ingin sekali dia memastikan langsung keadaan Wooseok saat ini, mungkin lebih lancangnya lagi, ingin sekali dia mengilangkan jejak air mata yang sekarang memenuhi pipi tirus Wooseok.

“Jinwoo tadi chat aku, minta tolong buat mastiin kalau kamu nggak apa-apa, khawatir sekali dia sama Papanya.” ucap Jinhyuk saat tangis Wooseok terdengar mereda, “Sudah, ya? Jangan nangis lagi.”

“Maaf...” Wooseok berbisik.

“Nggak apa-apa, nanti aku bilangin. Dia takut soalnya gara-gara dia yang bikin kamu nangis.” Jinhyuk sedikit menimbang saat akan kembali berbicara, bahkan dia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali, ada ragu yang terselip di kalimatnya, “Bahkan, Jinwoo sempat bilang.. apa perlu ganti nama grup kita biar Papa nggak nangis. Jinwoo—”

“Jangan.” sela Wooseok cepat memotong ucapan Jinhyuk.

“Jangan?”

“Jangan diganti, tetap seperti itu. Seperti maunya Jinu...” Wooseok menggigit bibirnya, mengambil napas panjang sebelum kembali melanjutkan, “Kan memang benar, nggak ada yang harus diganti.. aku dan Kak Jinhyuk, kita memang rumah bagi Jinu.. karena kita orang tuanya.”

Jinhyuk hanya mampu bereaksi dengan anggukan kecil, paham kalau alasan Wooseok menangis karena arti rumah yang dimaksud oleh sang anak, karena dia pun sama seperti itu. Hanya saja memang Jinu yang berpikir kalau sedihnya sang Papa harus membuatnya mengganti nama tersebut.

“Mengetahui arti rumah buat Jinu, lalu sebelumya dia bahkan harus nunggu lama hanya untuk sebuah grup chat membuatku merasa bersalah.” Wooseok mengusap wajahnya, suaranya terdengar lemah di pendengaran Jinhyuk dan tercekat, “Aku nggak cukup baik ya kak sebagai Papa?”

Jelas kedua alis Jinhyuk langsung bertemu kala keningnya berkerut tajam, tidak setuju, “Kok ngomongnya gitu sih, Seok.” ucapnya tidak mengerti.

“Nggak ada yang lebih baik sebagai orangtuanya Jinwoo selain kamu. Nggak ada, bahkan aku nggak akan pernah berani sama sekali membandingkan diriku sama kamu karena aku, jelas Ayah yang bersikap buruk.”

“Kamu pikir siapa yang selama ini selalu ada buat Jinwoo? kamu, Wooseok. Jawabannya cuma kamu. Dan aku nggak perlu ngasih tahu kamu sesayang apa Jinwoo kepada Papanya, kamu jelas tahu itu.”

Wooseok bisa merasakan ujung matanya kembali menghangat saat mendengar ucapan Jinhyuk, ia menunduk, menyembunyikan wajahnya di atas meja dengan ponsel yang masih menempel di telingannya, “Aku takut akhir-akhir ini ada yang salah sama aku karena Jinu nggak berani bilang apa-apa ke aku langsung, kak...”

“Nggak ada, aku jamin. Kita kan udah tahu tadi alasannya, Jinwoo hanya takut nggak dikasih izin. Mungkin Jinwoo pikir kita nggak akan nyaman kalau ada dalam satu grup obrolan atau apa pun itu. Bukan karena kamunya, Seok. Tolong jangan pernah berpikir seperti itu lagi, ya?”

Jinhyuk tidak habis pikir, kenapa Wooseok sampai punya pikiran seperti itu. Namun, harus diakuinya, mereka terbiasa saling terbuka, saling cerita, dia juga sedikit menyayangkan kenapa sang anak sampai setakut itu untuk bilang keinginan yang bahkan sangat sederhana menurut mereka.

“Sudah, Wooseok.. habis ini, kabarin Jinwoo, ya? Jangan buat dia khawatir. Apa perlu sama aku?”

“Nggak usah, sama aku aja.”

Ada nada lega yang dikeluarkan oleh Jinhyuk saat ini, berharap Wooseok sudah baik-baik saja di sana saat sudah tidak terdengar isakan lagi. Karena bukan hanya Jinwoo, dia pun jauh lebih khawatir.

Jinhyuk melihat jam di pergelangan tangannya, waktu istirahat mereka sudah hampir habis.

“Masih di kantin? Masih diliatin orang? Nggak takut nanti digosipin loh Pak Wooseok nangis sambil makan.”

Wooseok mendengus dan tertawa kecil di ujung sana, bisa didengar jelas oleh Jinhyuk yang membuat dia menarik kedua sudut bibirnya berlawanan, “Sudah ya? nanti kalau kedengeran sama Seungwoo, pasti yang disalahinnya aku.”

“Ngapain nyalahin kamu. Nggak nyambung.” sahut Wooseok sambil perlahan beranjak dari sana, mengabaikan tatapan orang-orang yang masih mengekorinya. Ia berjalan dengan telepon yang masih menempel di telinganya.

“Bisa jadi, Seok. Di mata Seungwoo, siapa lagi yang bisa buat kamu terluka kalau bukan aku orangnya.”

Langkah kaki Wooseok melambat saat mendengar balasan Jinhyuk di ujung sana. Namun, yang ia lakukan hanya bergumam pelan, tidak ingin berkomentar banyak atau pun menanggapinya apalagi saat ia dengar ada getar penuh sesal yang diucap oleh Jinhyuk.

Punggung Wooseok kemudian bersandar pada tembok yang menghadap ke taman kecil di sudut bangunan dalam perjalannya kembali ke ruangannya, berhenti sejenak.

“Kak Jinhyuk... makasih.” katanya sungguh-sungguh.

“Buat?”

“Buat sekarang...” lanjutnya, mengambil napas panjang, “Makasih udah menghubungiku, makasih udah buat aku merasa lebih baik.. dan nggak sendiri.”

Jinhyuk langsung beranjak dari duduknya, tidak bisa dia menyembunyikan senyum lebarnya saat mendengar perkataan Wooseok barusan, kalau bisa ingin dia rekam, ingin dia ulang terus-menerus.

“Kapan pun, Wooseok. Kapan pun kalau kamu butuh teman, butuh tempat, butuh sesuatu, aku sudah berjanji, buat kamu, buat anak kita, kalau aku akan berusaha selalu ada untuk kalian. Walaupun aku sadar, masih banyak sekali kurang. Tapi, aku mau jadi Ayah yang baik buat Jinwoo.”

Juga, pasangan yang baik buat kamu.

“Makasih, kak.” bisik Wooseok sekali lagi, kali ini dengan senyum yang tampak samar di sudut bibir kecilnya, dengan perasaan hangatnya yang ia dapat karena ucapan Jinhyuk, juga dengan bahu yang terasa lebih ringan.

“Sama-sama, Wooseok.” balas Jinhyuk.

Dia kemudian sedikit gusar, menaiki anak tangga lalu menuruninya lagi saat di ujung sana Wooseok tidak mengeluarkan suara ataupun menutup panggilan, dan mereka masih tersambung.

“Mobil kamu masih di bengkel?” Jinhyuk bertanya setelah beberapa detik hening, dia mengetuk-ngetuk pegangan tangga karena sedikit gugup.

“Masih, lusa baru diambil.” jawab Wooseok begitu tenang, berbeda sekali dengan dirinya.

“Nanti, bisa tunggu dulu 30 menit? atau 20 menit aja, takutnya kelamaan. Kantorku lumayan jauh dari sana.”

“Maksudnya gimana?”

“Biar aku antar kamu pulang, boleh?”

Ada jeda cukup panjang di ujung sana yang hampir saja membuat Jinhyuk menyerah, mungkin memang belum, batinnya.

Kim Wooseok belum sepenuh itu untuk membuka kesempatan baginya, selama ini mereka memang bersikap baik sebagai orang tua untuk Jinu, namun hanya sebatas teman dalam hal lainnya, tidak lebih.

Mendapatkan maaf dari Wooseok saja adalah hal yang sangat disyukurinya, lebih dari apapun dan membuat sedikit beban di pundaknya terangkat. Lee Jinhyuk bahkan pernah berpikir untuk tidak serakah, hari-hari yang dilaluinya sekarang sudah jauh membuatnya merasa bahagia, merasa punya tujuan hidup yang jelas, bersama Jinu, juga bersama Wooseok walaupun dalam situasi seperti ini.

Wooseok masih membangun tembok untuknya walaupun tidak setinggi seperti di awal pertemuan mereka. Namun, kebersamaan mereka setelah beberapa tahun ini, walau perlahan, Jinhyuk meyakini tembok itu mulai terkikis.

Mungkin, kalau pun ada kesempatan nantinya tinggal menunggu waktu yang bicara dan selama apapun tidak masalah baginya, sekali lagi bisa seperti ini saja adalah hal yang selalu Jinhyuk syukuri tanpa henti, bersama mereka, menghabiskan waktu bertiga, adalah hari terbahagianya.

Jinhyuk ingin percaya apa yang pernah dikatakan oleh Adiknya, kalau saja Kim Wooseok tidak menerimanya, mungkin dia sudah diusir dari lama. Ada amin yang dia ucap di sudut hatinya kala itu, ada banyak harapan kalau yang kembali baik bukan hanya dia dengan sang anak, namun juga dengan Wooseok.

Memulai semuanya lagi dengan awal yang lebih baik, dengan cerita yang tidak penuh kekecewaan dan kesedihan, juga dengan luka yang telah dia torehkan begitu tega.

Jinhyuk tidak akan bertanya bagaimana arti rumah bagi Wooseok, tentang siapa yang dia anggap sebagai rumah itu sendiri, seperti halnya Jinu yang dengan jelas mengatakan kalau itu dirinya dan Wooseok.

Dengan apa yang dikatakan Jinu dalam pesannya, Jinhyuk bersyukur kalau itu setidaknya tersampaikan, kalau Wooseok membacanya, kalau Wooseok mengetahui bahwa ia dan Jinu sudah menjadi rumah bagi Jinhyuk, sudah menjadi orang yang paling penting, paling berharga yang dia punya di dunia ini.

“20 menit jangan terlambat.”

Telinga Jinhyuk tidak yakin hingga dia perlu memastikannya sekali lagi, dan saat yang didengarnya kemudian adalah suara tawa kecil Wooseok disebrang sana yang begitu menenangkan lebih dari apapun, berkata kalau dirinya tidak salah dengar.

Detik itu, Lee Jinhyuk dilanda perasaan lega yang luar biasa, “Sampai nanti, Wooseok dan terimakasih banyak, ya.” ucapnya dengan senyum lebar.

Kesempatan itu ada, untuk mereka.

“Jangan terlambat lagi, Kak Jinhyuk.”

“Aku menyukaimu...”

Bisingnya sorak sorai yang terdengar dari lapangan sekolah hampir saja menelan sebuah suara yang diucap dengan sedikit keraguan, juga dengan debar jantung yang terasa sangat menggila, jelas kentara sekali alasannya, ia merasa gugup detik ini. Lebih dari apapun.

Di sebuah atap sekolah, dua orang remaja yang mengenakan pakaian putih biru terlihat berdiri berhadapan. Ditemani terik matahari pukul dua siang yang beruntungnya terhalang tembok membuat salah satunya terlindungi, sedangkan yang lainnya harus merelakan punggung di balik kemeja putih yang telah dikeluarkan itu merasakan panas.

“Tentu saja, aku juga menyukaimu, Wooseok. Kalau aku nggak suka kita akan bermusuhan bukannya berteman, kan?”

Ada tawa kecil yang terdengar seakan pernyataan barusan adalah hal yang sangat lucu.

Namun, bukan begitu. Bukan seperti itu, Jinhyuk.

Wooseok menggelengkan kepalanya dengan cepat, matanya menatap pada Jinhyuk yang berdiri di hadapannya. Sambil menggigit bibir bawahnya, Wooseok menundukan kepala lagi tidak berani menatap lama-lama sosok yang merupakan temannya sejak ia menjadi murid baru di sekolah ini satu tahun lalu.

“Aku menyukaimu bukan sebagai teman...” bisiknya lirih, “Lebih dari itu.”

Semuanya mendadak sunyi, diantara mereka hanya ada angin yang berembus pelan menyibak anak rambut Jinhyuk yang hanya bisa terdiam mendengarnya. Remaja lima belas tahun itu mencerna dengan cepat apa yang baru saja diucapkan oleh teman di depannya.

Suka, lebih dari itu.

Maksudnya?

“Hah?”

Adalah respon yang sudah diduga oleh Wooseok atas pengakuannya di hari pelulusan sekolah menengah pertamanya ini.

Tangannya mencengkram erat kedua sisi celan biru yang sedang ia kenakan, “Maaf..” bisiknya sekali lagi masih tanpa berani menatap Jinhyuk.

“Kenapa minta maaf?”

Entah, hanya kata itu yang terlintas di benaknya saat ini.

Jinhyuk bertanya pelan sambil melangkah maju, dia tidak bisa melihat jelas wajah Wooseok yang sedang menunduk. Tangannya terulur untuk mengusak puncak kepala anak itu, hal yang kerap kali dia lakukan, sebuah kebiasaan kecil yang sudah berlangsung cukup lama.

“Harusnya aku yang minta maaf.”

Wooseok mengangkat kepalanya menatap bingung pada Jinhyuk. Mengerjap tidak mengerti akan ucapan barusan dan menunggu bagaimana sesungguhnya respon Jinhyuk atas keberaniannya berbicara saat ini.

Mengakui perasaan yang tersemat sejak ia mengenal sosok tersebut, teman pertamanya.

“Maaf.. tapi aku nggak bisa... aku nggak mungkin bisa menyukaimu, Wooseok.”

Karena dia seorang laki-laki?

Atau karena mereka cuma teman? dan tidak lebih?

Dipatahkan. Perasaannya.

Begitu saja.

Hari itu, Wooseok pulang ke rumah sambil menangis di sepanjang jalan. Kedua orangtuanya hanya mengira anak kesayangan mereka menangis bahagia karena dinyatakan lulus.

Namun, nyatanya Kim Wooseok mempunyai alasan yang lain, ia menangis karena Lee Jinhyuk menolak perasaannya.

Cinta pertamanya.


“Gue ketemu Wooseok.”

Jinhyuk tersedak minumnya saat Seungyoun berucap tanpa ragu secara tiba-tiba. Dia menepuk-nepuk dadanya sambil terbatuk, “Bangsat lo, bikin gue keselek.” ujarnya dengan nada kesal.

Seungyoun hanya menatap bingung sambil menaikan alisnya, “Kok responnya gitu amat sih? Emang lo tahu Wooseok siapa?” pandangannya menatap serius pada Jinhyuk dengan menelisik.

“Emang ada berapa Wooseok yang kita kenal?” balas Jinhyuk sambil memutar kedua bola matanya.

“Iya bener sih. Wooseok kan cuma satu, teman SMP kita dulu. Terus habis itu ngilang lagi, emang nggak jelas itu anak baru yang cuma datang di kelas sembilan, pas lulus langsung pindah, nggak tahu tuh SMA di mana. Balik ke Bandung, kali ya?”

Seungyoun mengangkat bahu dan kembali menyandarkan punggung di sandaran kursi, lalu sambil mengangguk kecil tangannya menggeserkan piring bekas makan ke samping meja, begitu pun Jinhyuk yang melakukan hal yang sama.

“Ketemu di mana? ngobrol sama dia?”

Jinhyuk tidak bisa menahan rasa penasarannya, lama sekali dia tidak mendengar nama itu.

“Di mall, gue cuma nggak sengaja lihat doang, gak ngobrol. Takut nggak kenal sama gue dianya, asli deh nanti malah gue yang malu. Kalau nggak salah itu juga, tapi mukanya nggak banyak berubah sih masih gitu-gitu aja. Beneran itu Kim Wooseok, masih pake kacamata bulet juga, hyuk. Gue yakin!”

Seungyoun bercerita heboh mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu.

“Gila berapa tahun ya nggak ketemu? hampir sebelas tahun nggak sih? gue juga heran kok masih ngenalin walaupun agak ragu awalnya.” tambahnya sambil tertawa kecil dan menggelengkan kepala.

Diam-diam Jinhyuk menghela napas dalam sambil ikut menyandarkan punggungnya, pikirannya sedikit menerawang.

Hampir sebelas tahun, ya? ternyata waktu berlalu begitu cepat.

Dan Kim Wooseok yang sekarang, seperti apa kiranya?

Kalau boleh jujur, Jinhyuk masih mengingat jelas hari saat Wooseok pertama kali menjadi anak baru di kelasnya.

Wooseok yang pendiam sebagai anak baru membuat anak-anak kelas segan untuk berkenalan, apalagi mengajaknya berteman.

Kala itu Jinhyuk dengan nekat—dan sok asik mengajaknya satu kelompok dalam sebuah tugas karena dia merasa kasihan pada Wooseok yang duduk sendirian di bangku belakang.

Tentu hal itu tidak berjalan mulus begitu saja karena seorang Kim Wooseok benar-benar pendiam, ia hanya bicara kalau ditanya, membuat Jinhyuk frustasi berkali-kali. Beruntunglah mulut tidak bisa diamnya yang selalu berhasil menciptakan obrolan.

Hingga kemudian mereka perlahan menjadi dekat, sering mengobrol—jelas Jinhyuk yang mengoceh dan Wooseok hanya mengiyakan saja, mengerjakan tugas di perpustakaan, makan bersama di kantin, atau pun pergi sepulang sekolah untuk membeli buku, bahkan Jinhyuk tahu rumahnya karena beberapa kali dia pernah berkunjung untuk meminjam koleksi soal-soal persiapan ujian nasional milik Wooseok yang sangat lengkap.

Begitu pun dengan Seungyoun yang notabennya teman sebangku Jinhyuk, oknum yang selalu diseret oleh Jinhyuk agar ikut berteman dengan Wooseok.

“Aslinya baik, lo baik-baikin aja anaknya.” begitu ucapan Jinhyuk yang sangat dihapal oleh Seungyoun kalau dia akan menolak.

Lalu, ingatan Jinhyuk juga tidak luput tentang kejadian di hari kelulusan mereka.

Hari itu.

Wooseok mengajaknya ke atap sekolah setelah mereka sibuk berbagi tawa senang di lapangan setelah menerima surat kelulusan. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya hari itu bagi siswa kelas sembilan.

Jinhyuk kira, Wooseok hanya akan berbicara perpisahan karena mereka akan melanjutkan sekolah masing-masing. Mengakhiri masa putih biru yang mereka lalui bersama satu tahun terakhir ini.

Nyatanya, Jinhyuk justru dibuat kaget oleh pengakuan Wooseok kepadanya.

Kim Wooseok menyukainya.

Fakta yang tidak pernah Jinhyuk beritahu pada siapapun hingga detik ini, bahkan pada Seungyoun sekali pun.

“Hyuk? malah ngelamun!”

Seungyoun menendang kaki Jinhyuk di bawah meja, tingkahnya itu berhasil membuat Jinhyuk kembali dari lamunannya tentang Wooseok.

Tentang rasa bersalahnya saat melihat sorot kecewa dari kedua mata jernih Wooseok yang memandang dirinya, juga tentang satu titik air mata yang jatuh di sudut matanya.

Mereka tidak sempat mengucapkan kata perpisahan, Wooseok langsung mundur dan meninggalkan Jinhyuk sambil mengusap pipinya yang basah.

Anak itu menangis dan Jinhyuk terlalu bingung hingga dia hanya bisa terdiam di tempatnya dengan persaan yang tidak pernah dia mengerti.

Hingga sekarang, Jinhyuk tidak pernah tahu kabarnya lagi. Dia benar-benar tidak tahu apa pun tentang Wooseok setelah hari itu.

“Lo kan dulu pernah deket sama dia, sumpah kalau lo ketemu pasti lo seneng banget deh. Kalau pun dia lupa sama gue, gue rasa dia nggak bakal lupa sama lo.”

Nggak bakal lupa, ya?

Ucapan Seungyoun tanpa sadar membuat Jinhyuk membatin, ngapain ingat gue, nggak penting banget, batinnya berdecak kecil.

Dia hanya orang yang membuat Wooseok menangis di pertemuan terakhir mereka.

Justru sejujurnya Jinhyuk akan merasa malu kalaupun nanti bila dia bertemu dengan Wooseok, karena rasa bersalahnya masih ada.

Pertemanan mereka tidak seharusnya berakhir tidak mengenakan seperti itu.

Karena jauh di dalam hatinya, Jinhyuk masih merasa janggal, itu semua salah, pikirnya berkali-kali.

Dan, tidak bisa dipungkiri nama Wooseok masih kerap kali mampir di pikirannya.

Bersama kenangan masa lalu.

Bersama waktu yang terkadang ingin dia ulang.


Lee Jinhyuk sibuk berbicara dengan ponsel yang dia tempelkan di telinga kanannya, berjalan memasuki sebuah mall sambil sibuk menghindari ramainya suasana malam di hari Jum'at ini.

“Iya, sabar. Aku baru mau pesan, bu. Baru sempat, ini pulang kerja habis lembur. Yang penting lusa nanti kue nya ada, kan.”

Masih menggunakan setelan kerja, penampilannya jelas cukup kontras dengan orang-orang di sekitar yang terlihat lebih santai, bagamana pun ini awal dari weekend, waktunya libur harusnya begitu kan. Bukannya sibuk lembur dan lalu berkeliaran sendiri seperti ini, mencari-cari toko kue yang dikatakan oleh Ibunya.

Terdengar tawa kecil saat dia menaiki eskalator, ponselnya masih menempel di telingan kanan dengan suara Ibunya yang masih tersambung di ujung sana, sedangkan tangan kirinya mengetuk-ngetuk pegangan, “Bilang Jinu, kalau kuenya nggak keburu. Ulang tahunnya diundur saja.”

Tidak bisa ditahan Jinhyuk sedikit tergelak saat mendengar suara Jinu yang terdengar protes padanya, dia jamin pasti ponsel Ibu direbut langsung dan benar saja, setelahnya Jinhyuk hanya mendengar suara rengekan sang adik.

Panggilan itu berakhir tidak lama setelah dia berkata sudah sampai di lantai tiga, dengan arahan dari sang Ibu, Jinhyuk berjalan sambil memperhatikan di mana toko yang dimaksud.

“Agak kecil tempatnya, tapi memang worth it, Ibu pernah coba pas arisan di rumah teman.” begitu katanya saat Jinhyuk bertanya kenapa harus banget pesan kue ulang tahun Jinu ke sini, padahal toko kue kan banyak, dekat kantornya pun ada.

Kening Jinhyuk sedikit berkerut saat dia melihat sebuah toko kue dengan pintu kaca yang tertutup dan sepi, untuk memastikan dia melihat jam tangan di lengan kirinya, sudah pukul delapan malam.

Masih buka, kan? batinnya ragu, jangan sampai nanti kena ceramah kalau dia lusa tidak bisa membawa pesanan kue ulang tahun sang adik ke rumah!

Aroma manis yang khas langsung bisa tercium kala Jinhyuk membuka pintu kaca tersebut dengan perlahan, memang sepi setelah dia masuk dan mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan.

Benar kata Ibu, tempatnya tidak terlalu besar. Namun, bisa Jinhyuk katakan kalau suasananya cukup nyaman, tatanan yang terlihat pas dilengkapi dengan tiga meja di dalamnya, salah satunya ternyata diisi oleh sepasang anak muda, jelas sedang pacaran, tebak Jinhyuk sok tahu.

Netra dan langkah Jinhyuk tanpa berlama-lama langsung berjalan ke bagian etalase, sempat mengangguk sekilas pada seseorang di balik meja kasir yang menyambutnya dengan senyum sopan lengkap dengan lesung pipi dalam.

Coklat, pokoknya harus coklat! ada tulisan happy birthday yang besar dan banyak lilinnya.

Begitu yang dimau Jinu untuk kue ulang tahunnya kali ini. Jinhyuk tidak usah pusing memilih jadinya, cukup turuti saja permintaan sang adik.

“Untuk lusa bisa kan?”

Harus bisa sih, balas Jinhyuk sendiri dalam hatinya setelah bertanya dan dia cukup mengangguk lega setelah mendapatkan jawaban.

“Nanti saya ambil siang, ya?” tanyanya lagi.

“Bisa, setelah toko buka juga sudah bisa diambil. Pukul sepuluh pagi, Mas.”

Oke, ternyata urusan kue Jinu selesai lebih mudah dari yang diperkirakannya.

Sambil menunggu proses pembayaran, netra Jinhyuk kembali melihat ke sekitar lebih seksama, memperhatikan setiap detail yang ada di toko tersebut hingga kemudian satu kue yang tadi tidak terlihat berhasil menarik perhatiannya.

Jinhyuk menarik tipis sudut bibirnya sebelum berujar tanpa ragu, “Mas, saya mau tambah raspberry almond cake nya satu ya. Diambil sekarang aja.”

Ada sekelabat ingatan yang lewat begitu dia melihat kue tersebut, jelas itu tentang Kim Wooseok.

“Kue kesukaanku, buat kamu bawa pulang dan cobain. Pasti suka.”

Jinhyuk ingat saat dia pulang dengan Wooseok membeli buku, anak itu mengajaknya mampir ke sebuah toko kue dan membeli kue tersebut yang kemudian saat sampai rumah dibagi dua, setengahnya diberikan pada Jinhyuk sebagai tanda terimakasih sudah mengantarnya pulang.

“Ini salah satu best seller di toko kami, Mas. Selain kue yang tadi Mas pesan.” beritahu si pegawai sambil menyiapkan pesanan Jinhyuk dan Jinhyuk hanya mengangguk, info yang lumayan.

Artinya kue tersebut enak, kan?

“Bos saya sendiri yang membuatnya.”

TMI sekali ya, namun Jinhyuk tetap menanggapi dengan senyum tipis. Orangnya ini terlihat ramah sekali untuk ukuran pegawai dan tentu terlihat lebih muda dari dia, mungkin anak kuliahan, batin Jinhyuk berasumsi.

“Tutup jam berapa kalau saya boleh tahu?” karena memang sedang sepi dan pesanan Jinhyuk masih disiapkan akhirnya dia bertanya dan sempat melirik name tag yang ada di dada kiri pemuda tersebut, Byungchan.

“Kalau weekday begini pukul setengah sembilan dan weekend sampai pukul sembilan, Mas. Tapi kadang tergantung bos saya juga, soalnya saya gak setiap hari kerja. Biasanya dia yang pegang langsung. Siapa tahu mas nya mau pesan lagi kan.”

“Adik saya nggak ulang tahun tiap minggu.” balas Jinhyuk yang berhasil mengundang tawa cekikian Byungchan. “Iya juga, ya.”

Suara Byungchan yang mengucap terimakasih sudah berkunjung bisa Jinhyuk dengar saat dia membuka pintu kaca untuk keluar dari toko, berjalan sambil menenteng karton kardus berisi kue yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Dan langkah lebarnya berhasil mematung hingga beberapa detik kemudian saat sosok yang baru saja hadir di ingatannya terlihat nyata, berjalan menuju ke arahnya sambil sibuk menatap ponsel.

Apa yang dikatakan Seungyoun benar, walaupun sudah berlalu beberapa tahun, walapaun pertemuan mereka sudah begitu lama, mereka masih bisa mengenali Wooseok dalam sekali lihat.

Ini jelas Kim Wooseok yang sekarang. Kim Wooseok yang bukan lagi teman semasa putih birunya, bukan lagi teman yang sama-sama berusia lima belas tahu.

Kaki Jinhyuk seperti dipatok di tempatnya, persis sama saat dulu dia melihat Wooseok pergi dari atap begitu saja.

Meninggalkannya.

Tidak, jangan lagi.

Ada dorongan kuat kali ini yang dirasakan oleh Jinhyuk, tidak ingin seperti dulu yang hanya bisa melihat punggung itu menjauh dan kemudian hilang, tanpa kabar, tanpa salam perpisahan.

Maka, suaranya terdengar serak, “Kim Wooseok.” saat sosok tersebut berjalan melewatinya dengan kepala yang masih menunduk menatap ponsel.

Harus diakui ada debar yang menggila di dalam dada Jinhyuk saat yang dipanggil menganggkat kepalanya dan menghentikan langkah.

Jinhyuk pernah perpikir, harusnya dia bakal malu kalau nanti bertemu Wooseok karena sikapnya dulu, namun rupanya pikiran itu kalah dengan spontanitas yang dia lakukan barusan.

Kapan lagi dia bisa melihat Wooseok setelah bertahun-tahun.

Kapan lagi dia bertemu teman lamanya ini.

Dan kapan lagi kesempatan itu akan datang.

Lebih jelas, kemudian paras Wooseok bisa terlihat sempurna sekarang di pandangan Jinhyuk ketika ia berbalik. Seluruhnya. Setiap inchi wajahnya, pahatan yang terlihat semakin tegas seiring bertambahnya usia mereka.

Kim Wooseok yang berusia dua puluh lima.

Butuh hingga sepuluh detik sebelum bola mata Wooseok melebar setelah menatap orang yang baru saja menyebut nama lengkapnya.

Mengingat cepat, mencoba menebak dengan pasti sosok tinggi yang terlihat sedikit familiar.

“Jinhyuk..?” bisiknya tidak percaya dengan nada terkejut.

“Iya, Lee Jinhyuk.” jelas Jinhyuk tanpa ragu, satu langkah dia mendekat hingga berdiri tapat di depan Wooseok yang kali ini menutup mulut karena tebakannya benar.

Lee Jinhyuk, temannya dulu.

Lee Jinhyuk, cinta pertamanya.

Juga Lee Jinhyuk yang pernah dia tangisi berhari-hari semasa remaja dulu.

“Lama nggak ketemu, Wooseok.”

Sudut mata Wooseok berkedut samar dan jelas Jinhyuk bisa melihat Wooseok yang balas menatapnya cukup lama, “Maaf aku terlalu kaget lihat kamu di sini.” ucapnya pelan.

Senyum tipisnya itu masih sama dengan sejelas-jelasnya apa yang ada di ingatan Jinhyuk.

Masih khas Wooseok sekali yang dulu selalu membuatnya tidak tahan untuk mengulurkan tangan dan mengusak puncak kepalanya dengan lembut.

“Iya, lama nggak ketemu ya, Jinhyuk.”

Suara Wooseok yang dalam dan berat membuat Jinhyuk ikut menarik sudut bibirnya, menegaskan kalau memang mereka bukan anak remaja berseragam putih biru lagi.

Jinhyuk mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Wooseok yang menatapnya sambil mengerutkan kening sebelum tertawa kecil dan menyambutnya, membalas genggangan tangan Jinhyuk yang kali ini sedikit mengerat.

“Senang ketemu kamu lagi, Seok.”

Wooseok mengangguk.

Tentang Jinhyuk selalu ada yang ia ingat, baik tawa senang maupun tangis sedihnya diantara semua kenangan dalam satu tahun yang mereka habiskan bersama.

Sebuah kisah semasa remaja yang menjadi kenangan manis dalam perjalanan hidup Kim Wooseok, sekalipun itu patah hati dari cinta pertamanya yang tidak berhasil.

“Aku juga, makasih udah masih ingat aku, Jinhyuk.”

“Aku nggak pernah lupa kamu.” balas Jinhyuk cepat dengan tangan yang masih belum dilepaskan, dia kembali berbicara, “Bahkan banyak waktu yang rasanya ingin aku ulang sama kamu.”

Lupakan dulu rasa malunya, yang dia mau kalau Kim Wooseok harus tahu bahwasanya pertemanan mereka tidak seharusnya berakhir seperti itu dan mungkin akan memiliki cerita yang sedikit berbeda nantinya.


terimakasih sudah baca^^

boleh kalau ada chat ke https://curiouscat.live/xxxxweishin dan ini kalau jajanin sender https://trakteer.id/xxxweishin

Kalau ditanya tentang bagaimana seorang Kim Wooseok, Jinhyuk pasti bakal langsung keinget bertahun-tahun lalu, bagaimana dia pertama kali bertemu anak usia empat tahun yang natap dia dengan mata bulatnya. Yang ngeliatin dia pas lagi nangis waktu nggak mau sekolah.

Dulunya, yang Jinhyuk tahu rumah warna biru yang di samping depan rumahnya itu kosong, sering diceritakan oleh anak-anak yang lebih besar darinya kalau itu rumah hantu yang setiap malam gelap banget kalau dia pulang dari masjid habis ngaji.

Terus, nggak lama, rumahnya terisi, ada yang pindahan. Sebuah keluarga dengan dua orang anak balita. Jinhyuk masih ingat, Wooseok sama Yohan yang diajak ke warung Mbak Ayu yang ada di samping rumahnya. Dia yang masih enam tahun lagi main sepeda depan rumah disapa duluan, diajak kenalan sama Maminya mereka.

Akhirnya Jinhyuk tahu anak yang ngeliatin dia waktu kemarin dari balik pagar itu namanya Kim Wooseok.

“Abang Jinyu..”

Manggilnya gitu, dulu Wooseok sama Yohan yang cuma beda setaun itu sama-sama cadel. Jinhyuk jadi Jinyu, bahkan Yohan kebawa sampe sekarang, kebiasaan katanya.

Wooseok anaknya agak pemalu, sering banget kalau Jinhyuk pulang sekolah dia lagi main di halaman, tapi pagarnya kebuka. Jinhyuk berhentiin sepedanya cuma buat nyapa, terus dadah-dadah. Wooseok nya bakal senyum aja, kadang ikut dadahin dia balik sambil nanya, “Abang habis sekolah, ya?”

Sampai masuk SD kemana-mana pasti sama Jinhyuk, sama si abang. Ngekorin terus pingin dibonceng di sepedanya. Anaknya cengeng, gatau deh Jinhyuk suka banget ngeledek soalnya Wooseok kalau ngambek lucu, pipinya jadi merah terus bibirnya yang kecil itu jadi manyun. Tapi, habis ngambek pasti bakal ketawa lagi kalau dikasih lolipop sambil minta maaf.

“Maafin abang ya, adek.”

“Abang ngeselin!” katanya, tapi lolipopnya tetep diambil juga, terus langsung dimakan.

Pas Jinhyuk masuk SMP, Wooseok masih kelas lima. Mereka cuma beda dua tahun. Di SMP, Jinhyuk mulai sibuk, banyak ekskul tiap pulang sekolah. Pulangnya pasti sore banget, jadi kalau main biasanya habis magrib dan habis ngerjain PR. Bisa Wooseok yang main di rumah Jinhyuk atau sebaliknya.

“Om, aku bisa main catur.” Jinhyuk pamer, habis diajarin catur sama temen sekelasnya di SMP, dia tau Papi Wooseok itu suka main catur sama Ayah kalo hari Minggu.

“Abang ih, main kesini kok malah sama Papi!”

Wooseok sering ngambek jadinya kalau Jinhyuk malah main sama Papi dan Yohan yang sibuk nontonin mereka, dia malah minta diajarin juga main catur sama si abang.

Terus Jinhyuk sempat kaget, waktu dia udah SMA dan Wooseok masih SMP, pulang sekolah ketemu di jalan, “Jinhyuk!” panggilnya yang buat Jinhyuk narik alisnya ke atas, tumben banget nggak pake abang. Pas ditanya, anaknya langsung ngeles, “Besok-besok gak usah panggil adek lagi. Aku juga panggil kamu Jinhyuk.”

Aneh banget awalnya, cuma ya Jinhyuk nurut aja sampai Wooseok SMA malah makin kacau, “Jinhyuk, lo mau ke kampus kan? gue ikut dong. Yoyo ngga masuk.”

Oke, lama kelamaan terbiasa juga, sampai sekarang. Jinhyuk manggil adek cuma buat ngisengin jatohnya atau kalau lagi serius. Misal pas Wooseok kuliah terus pulang malam habis ada acara, katanya minta jemput ke Yohan tapi udah tidur, telponnya nggak diangkat terus. Dia baru berani ngabarin Jinhyuk hampir jam 12 buat minta jemput.

Jinhyuk jelas langsung jemput, gimana jam segini itu anak masih di luar!

“Kalau Yohan nggak bisa, kasih tahu abang, dek. Kamu kayak kesiapa aja. Kalau kamunya kenapa-napa gimana coba?” sambil masangin jaket, jelas banget dari nada sama wajahnya Jinhyuk lagi khawatir.

Lama banget berarti ya mereka kenal? Wooseok dari umur empat tahun dulu sampai sekarang anaknya udah kerja, udah mau dilamar orang.

Jinhyuk duduk di kursi terasnya, ditemenin sama rokok yang udah batang ke dua yang dia sulut. Dari rumah keliatan jelas ada mobil yang di parkir depan pagar rumah Wooseok.

Bahkan, Jinhyuk juga sempat lihat tadi pas mobil itu berhenti, terus yang keluar dari sana bikin dia ngangguk paham, oh itu yang namanya Seungwoo. Ada dua orang lagi, udah jelas orangtuanya.

Udah jelas mau ngelamar Wooseok.

“Tumben ngerokok?”

Jinhyuk langsung noleh begitu ada yang ngomong, ada Ibuk yang keluar rumah terus berdiri di samping kursinya.

“Lagi pingin aja, buk.” jawab Jinhyuk pelan.

“Itu mobil calonnya Wooseok, ya?” kayaknya nggak perlu dijawab juga Ibuk udah tahu jawabannya, cuma Jinhyuk tetep ngangguk.

Pundak Jinhyuk ditepuk pelan sama tangan Ibuk, “Gak apa-apa. Bukan jalannya kamu sama Wooseok.”

Jinhyuk ketawa kecil dengernya, terus nyesep roroknya dalam-dalam, dikeluarin asapnya banyak banget sebelum puntung rokok yang kedua itu dia taruh di asbak yang ada di meja. Dimatiin paksa.

“Dari awal aku juga cuma mau bantuin, buk. Kasian itu anak, aku gak tega. Mungkin sekarang juga nangis.”

Ibuk akhirnya duduk di kursi samping Jinhyuk yang kehalang meja kecil, wajahnya sedikit merenggut menatap anak bungsunya itu, “Kamu ditawarin kan mau sama Ayah gak ngobrol ke Papinya Wooseok malah nolak, coba kalau bawa Ayah tadi.”

Lagi-lagi Jinhyuk ketawa kecil, kali ini sambil menggelengkan kepalanya.

“Nggak, aku mau ngobrol sendiri. Minta izin langsung nyampein maksud aku buat ngajak anaknya serius. Buat Wooseok, buk. Aku cerita ke kalian aja bikin kaget kan semalem? Apalagi pas aku tadi bilang ke Papinya. Tiba-tiba aku ngajakin Wooseok serius padahal sebelum-sebelumnya kita gak ada apa-apa. Apa gak makin jantungan kalau misal aku langsung ajak Ayah buat ngobrol.”

“Tapi, nyatanya itu niat kamu ditolak.”

“Iya..” Jinhyuk senyum tipis, dia natap Ibunya, “Aku lebih khawatir sama Wooseok. Padahal udah janji mau bantuin dia, tapi sebisaku sampai sini aja.”

Ibuk menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap rumah Wooseok dengan pandangan menerawang, lalu berbalik lagi menatap putranya, “Mungkin, Papinya Wooseok terlanjur bikin perjodohan itu. Makanya dia nolak kamu.”

Jinhyuk tidak mau banyak berkomentar, itu keputusan Papi Wooseok.

“Kamu marah?” Ibuk kembali bertanya, dan Jinhyuk menggelengkan kepalanya, “Enggak, aku merasa bersalah. Aku udah minta maaf sama Wooseok juga tadi.”

“Kamu pasti sakit hati, ya? kecewa?”

Ibuk ini memang banyak bertanya dan Jinhyuk tidak bisa menyangkal, “Sedikit. Manusiawi, buk. Merasa ditolak dan memang ditolak.”

Ibuk menghela napas panjang, tersenyum lembut dengan kedua matanya, bertanya penuh perhatian, “Kamu rela lihat Wooseok sama yang lain?”

“Kita gak pernah ada apa-apa, buk.” balas Jinhyuk cepat. Namun, Ibuk masih menatapnya, “Nggak ngejawab pertanyaan Ibuk itu.”

Jinhyuk bungkam, dia turut bertanya pada dirinya, apa rela dia melihat Wooseok sama yang lain? apa hatinya masih menganggap Wooseok seorang adik kecil yang dulu menggemaskan dan selalu mengekorinya? apa hanya permintaan Wooseok kemarin yang membuat Jinhyuk begitu ingin membantunya terlepas dari perjodohan itu? apa niat dia seserius itu untuk meminta izin pada Papi Wooseok tadi pagi? dan dasar apa yang membuat dia segampang itu memutuskan untuk melamarnya, membuat tujuan sakral yaitu pernikahan hanya dalam satu malam?

Jinhyuk tidak leluasa menjawab pertanyaannya sendiri, dia takut membawanya pada sebuah kesimpulan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Jinhyuk jelas menyayangi Wooseok, dia tahu itu. Namun, Jinhyuk tidak tahu mungkin sayang itu sudah tumbuh lebih jauh lagi dalam hatinya.

Sebuah kesimpulan yang membuat Jinhyuk merasa kalau dia mencintai Wooseok tanpa disadarinya, entah sejak kapan.

Disclaimer: • ditulis untuk (#)SejutaHarsaUntukWeishin • 5,7k words • angst • ⚠️ // mentioning of blood and syringe! • Segala sesuatu yang ditulis di sini baik yang dilebihkan atau dikurangi murni untuk kebutuhan cerita.


Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang terlihat ceria walaupun ia merasa sakit di sekujur tubuhnya.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang selalu meninggalkannya saat mereka bermain waktu kecil karena harus pergi ke rumah sakit, meninggalkannya seorang diri di depan ayunan dan bak pasir yang ada di taman komplek dekat rumah mereka.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang selalu memaksa menunggunya bermain futsal sepulang sekolah walaupun Jinhyuk tahu ia sudah lelah dan ingin tidur.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang bersikeras ikut persami ketika mereka kelas sepuluh dan berakhir dengan membuat gempar satu sekolah karena pingsan di tengah-tengah kegiatan dan harus dilarikan ke rumah sakit.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok saat ia tidak hadir di hari kelulusannya setelah menempuh perguruan tinggi hanya dalam waktu tiga setengah tahun dengan predikat lulusan terbaik, prestasinya yang ingin dia banggakan. Namun, Wooseok tidak hadir karena ia justru terbaring lemah di rumah sakit.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang merengek ingin pergi malam-malam hanya untuk menghabiskan malam minggu walaupun kakinya sedang bengkak dan susah berjalan.

Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang tidak menjaga tubuhnya sendiri dan berakhir ke rumah sakit entah yang ke berapa kali dalam sebulan.

Lee Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang saat ini sedang meminum berbagai obat dengan santai seolah itu adalah hal yang biasa, memang teramat biasa untuknya, Jinhyuk tidak bisa menampik sebuah kenyataan pahit. Miris.

“Kamu nggak kerja?”

Wooseok meletakan gelasnya di atas meja samping tempat tidur, tepat di sebelah vas bunga berisi lily putih yang tampak cantik berpadu dengan hijau daunnya. Ia membenarkan bantal yang mengganjal punggungnya agar lebih nyaman lagi saat bersandar. Lalu menatap Jinhyuk yang duduk di kursi tepat di samping tempat tidurnya dengan pandangan penuh tanya.

Pagi ini, seperti biasa pemuda dua puluh lima tahun itu tampak rapi dengan setelan jas kerjanya yang berwarna abu tua. Ada sebuah senyum tipis di wajah pucat Wooseok saat melihat dasi yang dikenakan oleh Jinhyuk, itu hadiah ulang tahun darinya bulan lalu.

“Bolos.” jawab Jinhyuk singkat.

Wooseok kembali tersenyum, ia mengambil bantal yang ada di sisi tempat tidur lalu memeluknya, dijadikan alas agar ia bisa menumpu siku dan memanggku dagunya, “Nanti kamu dipecat sama Papaku, loh.” katanya dengan nada geli hingga matanya berkerut samar karena menyipit, masih bisa bercanda rupanya.

“Biarin, bisa nyari kerja lagi di tempat lain.”

“Iya deh Jinhyuk yang pinter.”

Sejujurnya ada banyak kalimat yang terputar di kepala Jinhyuk saat ini, tentang Wooseok yang kemarin terlihat sehat dan hari ini justru terbaring di tempat tidur.

Lee Jinhyuk yang baru saja akan pergi bekerja memang menyempatkan untuk mampir, rutinitas yang dilakukannya sejak lama. Namun, saat apa yang dilihatnya sekarang, jelas dia hanya ingin memilih tinggal bersama Wooseok di sini. Menemaninya.

Biar nanti urusan lainnya dia pikirkan belakangan, setumpuk laporan dan jadwal meeting di kantor masih bisa dia tunda untuk sehari. Bukan sekali dua kali Jinhyuk mangkir dari tugasnya, namun, bagaimana lagi. Entah dia juga secara tidak langsung seperti sudah diberi kartu bebas oleh atasannya yang merupakan Papa Wooseok.

Karena apabila itu tentang Wooseok, Jinhyuk tidak bisa mengabaikannya.

Tidak akan pernah bisa.

Sudut mata Jinhyuk menangkap beberapa memar di dekat siku karena Wooseok masih menggunakan piyama lengan pendek berwarna hitam yang terlihat begitu kontras di kulit putih pucatnya. Adalah hal yang membuat Jinhyuk langsung menghela napas dalam. Di kakinya juga ada, dia berani bertaruh apapun bila menyingkap selimut berwarna gading yang sedang digunakan oleh Wooseok. Mungkin memar, mungkin juga bengkak. Tapi, Jinhyuk memilih diam karena melihatnya hanya akan membuat dia ikut menderita.

Selalu seperti ini, Kim Wooseok yang seperti ini yang Jinhyuk tidak sukai.

Kim Wooseok yang merasa kesakitan dan dia yang tidak bisa berbuat apa-apa untuknya.

“Istirahat lagi.”

Kedua sudut bibir Wooseok ditarik berlawanan, rasanya ia begitu bersyukur Jinhyuk ada di sini, tangan kanannya terulur yang langsung disambut oleh Jinhyuk, “Habis minum obat sedikit ngantuk.”

“Nggak apa-apa, tidur aja aku tungguin.”

Jinhyuk berujar pelan, menggeserkan kursinya agak semakin dekat ke tempat tidur, mengusap lembut punggung tangan Wooseok yang sedang digenggamnya.

“Nggak pulang dulu buat ganti baju kalau nggak jadi kerja?”

“Iya nanti.”

Kepala Wooseok mengangguk kecil, namun, bukannya merebahkan tubuh, ia justru menepuk-nepuk tepi tempat tidur agar Jinhyuk pindah. Tanpa perlu berpikir panjang, pemuda dua puluh lima tahun itu menurut, dan tanpa mengeluarkan kata lagi, Kim Wooseok masuk ke pelukannya.

“Capek tidur terus. Temenin aku ngobrol aja.” bisik Wooseok yang membuat Jinhyuk terkekeh kecil sambil mengusap belakang kepala Wooseok dengan sangat lembut.

“Bahas kerjaanku, mau?”

“Enggak, makasih. Aku nggak ngerti, nanti tambah pusing.”

Dagu Jinhyuk di tumpu di atas kepala Wooseok, kedua tangannya yang memeluk bahu Wooseok sedikit mengerat, dia memejamkan mata dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dadanya, “Perlu ke rumah sakit?” gumamnya yang dijawab gelengan kepala, “Aku nggak apa-apa, Jinhyuk.”

Selalu, nggak apa-apa nya Wooseok adalah kata yang dibenci oleh Jinhyuk.


Ingatan Jinhyuk memutar kembali berbagai kejadian masa lalu. Dia yang selalu berada di samping Wooseok ketika mereka di luar, harus dalam pandangannya, sebisa mungkin.

Wooseok yang dengan keadaanya seperti itu tetap keras kepala untuk bersekolah karena ingin mempunyai teman, katanya ia bosan dengan homeschooling yang dilakukannya selama ini.

Tidak ada yang bisa menghentikannya, baik Jinhyuk maupun Papanya. Bahkan sekalipun itu Dokter Seungwoo, dokter yang merawatnya sedari kecil. Dokter yang paling tahu bagaimana keadaannya.

Kim Wooseok tidak boleh terluka, sedikit pun. Jangan sampai.

Wooseok tidak mengikuti pelajaran olaharaga yang akan menimbulkan benturan fisik di sekolahnya, ia mempunyai jadwal olahraga sendiri. Ia tidak bisa kecapekan karena nanti akan timbul lebam di tubuhnya, lebih parah akan bengkak di persendiannya.

Wooseok tidak bisa makan sembarangan.

Wooseok tidak bisa lepas dari jarum suntik yang menusuk tubuh kurusnya selama hampir dua puluh lima tahun ia hidup.

Intinya, Kim Wooseok tidak bisa bebas beraktivitas dan menjalani hidup layaknya orang normal.

Selama enam tahun bersekolah, Lee Jinhyuk ada di sampingnya. Pergi dan pulang bersama, harus mendapatkan kelas yang sama dan duduk satu meja, selalu mengotrol apapun yang ia lakukan. Melarang ini itu yang sekiranya berbahaya bagi Wooseok.

Melelahkan, terkadang.

Satu sekolah tahu, baik saat mereka SMP atau SMA, Kim Wooseok punya Jinhyuk. Hanya mereka berdua, tanpa terpisahkan.

Semuanya yang terlihat di luar hanyalah Kim Wooseok anak seorang pengusahan kaya raya yang diberikan hak istimewa oleh sekolah karena statusnya, diistimewakan dalam segala hal, dibebaskan dalam berbagai kegiatan. Juga mempunyai Jinhyuk yang tampan, yang pintar, yang selalu ada di sampingnya kemanapun mereka pergi, yang menaruh Wooseok di prioritas teratasnya.

Hidup Wooseok sempurna, kata mereka.

Namun, mereka semua tidak tahu entah sudah berapa puluh kali Jinhyuk berlari pada Wooseok dalam segala situasi saat pemuda itu jauh dari pandangannya. Berlari dengan perasaan gelisah, takut, khawatir yang selalu menghantuinya.

Di saat dia sedang di lapang basket waktu sekolah, di saat dia baru akan tidur di malam hari, di saat dia menghadiri kelas sewaktu kuliah, di saat dia akan mengikuti meeting penting di kantor, dan masih banyak saat-saat lainnya.

Semuanya diabaikan kalau itu menyangkut Wooseok.

Lee Jinhyuk tidak pernah meninggalkan ponselnya, sudah berapa banyak nomor asing yang masuk ke panggilannya untuk mengabari segala sesuatu tentang Wooseok.

Penjaga sekolah yang menemukan Wooseok terduduk lemas di tangga menuju atap, petugas perpusatakaan tempat Wooseok menghabiskan waktu istirahatnya, seorang spg di supermarket saat Wooseok sedang berbelanja untuk kebutuhan mereka yang akan pergi berlibur ke villa milik keluarganya, supir pribadinya yang sangat Jinhyuk kenal baik, yang selalu mengantar Wooseok kemanapun, dan masih banyak lagi nomor-nomor asing yang selalu membuat Jinhyuk gusar bila harus mengangkatnya. Yang paling dan selalu membuatnya mencelos tentu saja panggilan dari rumah sakit yang akan memberitahunya kalau Wooseok di sana.

Ada sebuah kalung yang digunakan oleh Wooseok sejak mereka sekolah dulu, sebuah kalung bertuliskan nama Jinhyuk lengkap dengan nomor pribadinya.

Sebuah kalung yang tidak pernah dilepaskan oleh Wooseok sampai saat ini karena saat ada apapun, Jinhyuk sudah memutuskan sejak mereka kecil, sejak dia paham keadaan Wooseok kalau dia akan menjadi pelindungnya, kalau dia orang pertama yang bisa diandalkan untuk menjaga Wooseok, kalau dia yang meminta percaya dari Papa Wooseok untuk menjaga anak semata wayangnya yang paling berharga.

Bukan hanya Wooseok yang familiar dengan jarum suntik, Lee Jinhyuk sudah belajar lebih dulu, pertolongan pertama yang perlu dia lakukan bila terjadi sesuatu dengan Wooseok. Diajarkan langsung oleh Dokter Seungwoo sewaktu Wooseok masuk ke rumah sakit saat mereka baru saja masuk sekolah selama satu minggu.

Wooseok terjatuh, terdorong oleh segerombolan anak kelas delapan yang berlarian dari kantin. Saat itu Jinhyuk yang baru keluar dari kamar mandi berlari sekuat tenaga ketika melihat kerumunan di dekat perpustakaan, jantungnya berdetak cepat mencoba menjauhkan pikiran buruknya, jangan sampai Wooseok.

Jangan sampai.

Namun, kaki Jinhyuk langsung lemas saat melihat Wooseok yang terduduk di lantai dengan tangan yang bergetar mencoba menutupi lututnya yang berdarah. Dia mendorong beberapa anak yang menghalanginya dengan panik, “Minggir lo semua!”

“Wooseok..” Jinhyuk berlutut, menyobek baju seragamnya untuk menutupi luka tanpa ragu, menyingkirkan tangan Wooseok yang sudah terkena darah.

“Jangan panik.. ya..”

Padahal jelas-jelas di sini Jinhyuk yang terlihat panik, jujur saja. Namun, sebisa mungkin dia mencoba membuat Wooseok agar tetap tenang.

Melihat tingkah Jinhyuk yang seperti itu membuat anak-anak mengerutkan keningnya. Itu hanya luka kecil, dibawa ke UKS dan diperban saja sudah cukup, pikir mereka.

“Kita ke rumah sakit.”

Jinhyuk membungkuk, menggendong Wooseok yang mulai menangis di punggungnya, berlari dengan cepat tanpa mendengarkan guru yang baru datang dan bertanya ada apa. Dia berlari menuju parkiran, menuju mobil Wooseok dan supir yang selalu stand by di sana atas perintah Papanya.

Ada kotak es batu khusus di dalam mobil, Jinhyuk mencoba masih tenang, mengompres luka Wooseok yang masih saja mengeluarkan darah tanpa mau berhenti. Detik itu, Jinhyuk rasanya ingin mengutuk pada siapapun yang membuat jalan karena menuju rumah sakit terasa begitu lama.

“Wooseok.. tahan ya, nggak apa-apa.. ada aku..” bisiknya terus-menerus, menenangkan Wooseok yang mencengkram erat pundaknya, “Jangan digigit bibirnya.” satu tangan Jinhyuk menangkup pipi Wooseok saat tangan yang lain menekan es batu yang dibalut kain ke lututnya.

“Wooseok, jangan gigit bibirnya, lepasin. Nangis aja nggak apa-apa.” perintahnya lagi, menatap Wooseok dengan serius.

Jangan sampai ada luka lain.

“Sakit.. hiks.. Jinhyuk..”

“Iya, sebentar lagi.”

Hemofilia berat tipe B.

Penyakit genetik yang diderita oleh Wooseok sejak kecil. Dimana keadaan darah yang sukar membeku akibat mutasi genetik sehingga menyebabkan perdarahan sulit berhenti atau berlangsung lebih lama.

Sebuah penyakit langka yang hanya menyerang 1 : 50.000 orang. Angka yang begitu mengerikan bagi Jinhyuk saat dia mencari tahu, dan kenapa harus Wooseok, batinnya berkali-kali berteriak.

Di suatu waktu saat mereka kecil, dengan rumah yang bersampingan mereka kerap kali bermain bersama, Wooseok selalu ditemani babysitter walaupun usianya sudah cukup untuk masuk sekolah.

Jinhyuk pernah bertanya, kenapa Wooseok tidak sekolah di tempatnya, di sebuah taman kanak-kanak yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka.

Wooseok hanya menjawab tidak boleh sama Papa, aku sekolah di rumah. Dan mbak yang menemani mereka akan menjelaskan dengan senyum penuh pengertian padanya kalau Wooseok itu spesial.

Jinhyuk juga pernah mengajaknya main ayunan, dan mbak akan cerewet melarangnya. Saat itu Jinhyuk mendengus kesal berpikir si mbak pengasuh ini lebay sekali. Tapi, Wooseok hanya tersenyum tipis dan berkata, kita main pasir aja.

Di saat-saat tertentu Jinhyuk juga bisa melihat tangan dan kaki Wooseok yang lebam, dulu anak enam tahun itu hanya berpikir mungkin Wooseok habis jatuh atau kepentok pintu di rumahnya.

Pernah Jinhyuk membawa jajanan dari sekolah untuk dibagi dengan Wooseok yang sedang jalan-jalan di sore hari bersama mbak ke taman. Namun, dia kembali kecewa saat si mbak pengasuh itu menggelengkan kepalanya, Wooseok nggak boleh makan itu, katanya tegas.

Saat Jinhyuk kelas tiga, dia bermain di rumah Wooseok, dengan nekat pergi ke rumah yang gerbangnya selalu tertutup rapat itu dan memanggil-manggil nama Wooseok kepada Pak Satpam yang asik meminum kopi di posnya.

Di saku celanan Jinhyuk ada mainan yang sengaja dibeli di abang-abang depan sekolah, berbagai gambar tepuk yang berhasil membuat Wooseok tersenyum senang ketika melihatnya dan diajarkan bagaimana cara bermainnya.

Jinhyuk adalah teman satu-satunya yang Wooseok punya. Teman yang selalu membuatnya tertawa dengan segala cerita serunya di sekolah.

Namun, Jinhyuk harus terpaku setelahnya karena beberapa saat kemudian ketika mereka bermain di kamar Wooseok, ada darah yang keluar dari kedua hidungnya, banyak sekali.

Wooseok mimisan.

Yang Jinhyuk ingat, dia ingin menangis saat melihat darah Wooseok, tangannya bergetar saat mencari-cari kotak tisu, dia berteriak memanggil mbak agar cepat-cepat ke kamar. Semua orang kemudian sibuk, katanya Wooseok akan dibawa ke rumah sakit dan selama dua minggu Jinhyuk tidak melihatnya.

Saat itulah, titik awal Lee Jinhyuk yang berusia sembilan tahun menyadari kalau Wooseok berbeda, apa yang selama ini diceritakan oleh mbak pengasuh kalau Wooseok spesial itu memang benar.


Wooseok suka melihat Jinhyuk makan keripik kentang, terdengar renyah ketika digigit dan terlihat enak dengan berbagai rasa yang tercetak di bungkusnya. Ia ingin mencobanya, makanan sederhana seperti itu, sekali saja.

Selama ini, sejak sekolah pun Wooseok selalu membawa bekal, Jinhyuk akan ikut makan dengannya walaupun beberapa teman kelas mereka mengajaknya makan di kantin. Jinhyuk akan menolak, dia memilih menemani Wooseok makan bekal di kelas atau di atap sekolah tanpa banyak bicara.

Lee Jinhyuk memang pendiam, cenderung singkat kalau berbicara sejak mereka beranjak dewasa. Berbeda sekali dengan Jinhyuk kecil yang dulu selalu melucu dan membuatnya tertawa.

“Dihabisin makannya.” Jinhyuk mengingatkan, dia sudah tidak asing dengan makanan Wooseok yang sangat sehat.

Dulu, bahkan dia pernah bertanya, kenapa sudah besar tapi masih makan bubur bayi dan Wooseok hanya menjawab kalau itu enak.

Di ulang tahunnya yang ke tujuh belas, Wooseok pernah meminta kalau ia ingin bebas melakukan apapun satu hari saja.

Saat itu Jinhyuk ke kamarnya membawa sepotong red velvet kesukaannya dan sebuket bunga mawar putih yang diberikannya dengan ragu-ragu.

Wooseok tersenyum senang menerimanya, ia yang duduk di atas tempat tidur menyuruh Jinhyuk untuk duduk di sampingnya.

“Mau makan keripik yang kamu suka makan. Mau ke pantai liat sunset. Mau main ayunan terus kamu dorong sampai tinggi, bocengin aku juga pakai sepeda.”

Jinhyuk berpikir panjang, menatap Wooseok yang memasang tatapan memohon padanya, “Oke.” putusnya kemudian yang membuat Wooseok memekik senang dan langsung memeluk lehernya dengan erat, “Makasih, Jinhyuk.” bisiknya.

“Iya. Selamat ulang tahun.” Jinhyuk membalas pelukannya, berdoa dalam hati semoga Wooseok diberi sehat, dilimpahkan bahagia.

Mereka sudah ada di taman komplek perumahan setelah Wooseok menyelesaikan jadwal makan siangnya. Taman yang dulu saat kecil menjadi tempat main mereka berdua, main pasir ditungguin sama mbak yang masih mengurus Wooseok hingga sekarang.

Jinhyuk mendorong ayunannya dengan pelan, sewaktu kecil dia ingin sekali melakukan hal seperti ini karena tahu pasti Wooseok akan tertawa senang, namun itu tidak pernah terjadi.

Takut Wooseok jatuh, takut Wooseok terluka.

“Kurang kencang.”

Wooseok menoleh ke belakang pada Jinhyuk, merajuk sambil mengeratkan tangannya pada pegangan tali di samping kanan kirinya.

Jinhyuk menurut, mendorong ayunannya lebih kencang lalu dia bisa mendengar tawa bahagia Wooseok, sudut hatinya menghangat. Sederhana, tawa Wooseok tercipta dari hal sederhana yang tidak pernah ia lakukan.

“Main sepedanya besok aja, ya?”

Wooseok tidak bisa mengendarai sepeda, dari kecil ia dilarang oleh Papa karena itu berbahaya baginya.

“Yaudah, besok kamu ke rumah pagi-pagi. Bawa sepeda terus bonceng aku di belakang, kita keliling komplek aja. Habis ini berarti langsung ke pantai, ya?”

Jinhyuk hanya bergumam, dia yang lebih dulu berumur tujuh belas sudah memiliki SIM, sudah jago membawa mobilnya. Setiap ke sekolah pun dia sudah membawa mobil tentu saja dengan Wooseok yang selalu bersamanya.

“Jangan dilepas sepatunya.” perintah Jinhyuk saat Wooseok baru akan melepaskan sepatu karena ingin menginjak pasir putih dengan kaki telanjangnya, “Nanti ada batu karang atau apapun itu yang tajam.” jelas Jinhyuk kemudian saat Wooseok akan merajuk.

Dia hanya ingin melindungi Wooseok dari apapun yang akan membuatnya terluka. Lee Jinhyuk sebisa mungkin tidak ingin melihat Wooseok menangis dan berdarah lagi.

Semua benda tajam pun sangat-sangat dibatasi di rumah Wooseok, tidak ada sudut tajam yang bisa membuatnya terluka, segala sesuatunya sang Papa yang mengurus, memastikan anak semata wayangnya untuk tetap aman, Papa bahkan akan mengomel kalau Wooseok bermain di dapur, apalagi memegang pisau.

Terkadang berlebihan, namun Wooseok tahu, itu lah kasih sayang yang bisa diberikan Papa untuknya yang begitu besar.

Air laut terasa dingin saat Wooseok mengulurkan tangannya, dia bergidik. Lalu memilih menghampiri Jinhyuk yang duduk di pasir pantai menunggunya bermain.

“Mana keripiknya?”

Ada gurat ragu di wajah Jinhyuk saat ini, dia mengambil keripik kentang yang tadi dibelinya di minimarket sebelum mereka kesini. Membuka bungkusnya dengan mudah dan menghela napas panjang menatap Wooseok.

“Jangan, ya?”

Jelas Wooseok langsung menggelengkan kepalanya, ikut mendudukan diri di atas pasir tepat di samping kiri Jinhyuk, ia menangkupkan kedua tangannya memohon, “Satu aja, janji...” katanya pelan, “Aku pingin ngerasain makan ini banget, soalnya kamu suka. Pasti enak.” mengambil bungkus keripik kentang dari tangan Jinhyuk dan terlihat amat senang seperti itu adalah makanan mahal yang baru ditemuinya.

“Pelan-pelan, dikunyah sampai lembut.”

Jinhyuk berkata serius, hatinya sedikit gelisah hanya karena Wooseok memakan sebuah keripik. Dia terkadang bingung dengan tingkahnya sendiri yang selalu berlebihan, seperti Papaku saja, begitu Wooseok selalu menggerutu.

“Ini enak banget, aku-”

“Habisin dulu. Jangan ngomong.”

Wooseok mengangguk, masih mengunyah dengan hati-hati, hari ini dia senang sekali. Ulang tahunnya dihabiskan dengan Jinhyuk seperti tahun-tahun lalu, juga melihat sunset yang begitu indah di depan mereka.

Raut wajah Jinhyuk berubah cepat saat Wooseok terdiam kemudian meminta air padanya, ia berkumur dan Jinhyuk mengusap wajahnya merasa menyesal.

Ada darah dari mulut Wooseok.

“Lihat, sini.”

Tangan Jinhyuk menangkup kedua pipi Wooseok dan Wooseok langsung membuka mulutnya, inilah alasannya kenapa ia tidak bisa makan sembarangan. Kenapa ia masih suka makan bubur bayi kalau malas makan hingga sekarang. Karena tidak semua makanan aman untuknya. Seperti sekarang, makanan itu tajam, keripik yang baru saja ia makan melukai gusinya dan akhirnya mengeluarkan darah.

Jinhyuk dengan cepat merangkul Wooseok dan membawanya ke dalam mobil dengan perasaan gusar.

Wooseok langsung mengambil tisu yang ada di dashboard dan menyumpal gusinya yang terus mengeluarkan darah segar.

Tangan Jinhyuk mengeluarkan kotak yang ada di belakang mobil, ada es batu yang langsung dia berikan pada Wooseok yang sudah berkaca-kaca, “Aku nggak apa-apa..” katanya yang membuat Jinhyuk ingin marah.

Jelas ini karenanya yang membiarkan Wooseok makan sembarangan.

“Maaf.” bisik Jinhyuk yang membuat Wooseok yang sedang mengompres pipinya menggelengkan kepala, “Enggak, aku nggak apa-apa. Jinhyuk. Beneran.” katanya susah payah masih mencoba menghentikan perdarannya, mengganti tisu yang baru.

Bohong, Jinhyuk tahu Wooseok sakit, untuk berbicara pun susah.

Jinhyuk memastikan pertolongan pertama bagi Wooseok, pertolongan dasar yang sudah sangat dia hapal di luar kepala sejak bertahun-tahun lalu, yaitu RICE (Rest, Ice, Compression, and Elevator). Kursinya dia turunkan agar Wooseok bisa istirahat, dia memejamkan matanya sejenak dengan napas berat, sampai kapan Jinhyuk harus melihat Wooseok yang seperti ini.

Ada satu kotak lagi yang berisi P3K serta jarum suntik dan obat Wooseok, kotak yang selalu digunakan oleh Jinhyuk disaat-saat genting.

Kotak yang tidak pernah dikeluarkan dari dalam mobilnya hingga sekarang. Kotak yang selalu Jinhyuk bawa kemanapun.

Luka Wooseok harus disuntik, diinjeksi dengan obat khusus untuk menghentikan perdarahannya, untuk mencegahnya bengkak dengan cepat. Maksimal dua jam setelah terjadinya luka, apabila telat, maka pengobatan intensif harus segera dilakukan.

Sebuah alasan sangat jelas tentang bagaimana Jinhyuk akan sesegera mungkin dalam saat apapun dia berlari pada Wooseok bila terjadi sesuatu. Karena akibatnya akan sangat fatal bagi Wooseok, Jinhyuk bahkan tidak akan pernah sanggup membayangkannya.

Inilah yang sudah diajarkan oleh Dokter Seungwoo sejak Jinhyuk kelas satu SMP, sebuah pengobatan segera atau dikenal on-demand untuk penderita Hemofilia.

“Lakukan ini kalau Wooseok terluka, tenang dan pastikan kamu menyuntiknya dengan tepat.”

Kim Wooseok, selama hidupnya tidak akan bisa jauh dari tajamnya jarum yang menusuk kulitnya, entah di bagian mana lagi bekas jarum yang harus terlihat.

“Kita ke rumah sakit, ya?”

Jinhyuk mengusap pipi Wooseok setelah dia berhasil menyuntik tepat di lukanya. Beruntung belum ada bengkak yang terlihat. Namun, Wooseok menolak, ia hanya berbisik pelan sambil memejamkan matanya dan berkata ingin pulang.

Ada jeda lima detik bagi Jinhyuk untuk berpikir sebelum mengangguk, dia mengusap puncak kepala Wooseok lalu bergegas menuju kursinya, menyalakan mobilnya untuk segera pergi dari sana.

Sejujurnya, Jinhyuk tidak berani menghitung sudah berapa kali dia menusukkan jarum tajam tersebut di tubuh Wooseok hingga saat ini.

Bahkan, di pengalaman pertamanya ketika mereka kelas delapan saat Wooseok terluka di dahinya, diam-diam Jinhyuk menangis sambil menunggu Wooseok yang tertidur di bangku UKS sekolah.


Di sebelah kanan jalan sebelum masuk ke perumahan mereka ada sebuah toko bunga dengan tembok berwarna biru pucat, pemiliknya seorang ibu muda yang memiliki anak berusia tujuh tahun.

Wooseok selalu mampir kesana dua kali dalam seminggu setiap pulang sekolah. Dan Jinhyuk akan memarkir mobilnya mepet ke toko karena sempitnya jalan di depan mereka.

Senyum hangat si pemilik toko sudah menyambut Wooseok dengan Jinhyuk ketika mereka membuka pintu kaca, dua anak SMA itu pasti akan membeli lily putih lagi. Tidak pernah berganti sejak awal.

Jinhyuk pernah bertanya, kenapa lily putih yang selalu dibeli Wooseok untuk mengisi vas bunga di kamarnya.

Dan dengan senyum tipisnya Wooseok menjawab kalau itu adalah bunga kesukaan Mamanya, menurut cerita Papa tentu saja.

Wooseok jelas tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenalnya karena sang Mama meninggal di hari yang sama tepat ia lahir ke dunia ini.

Beliau meninggal karena penyakit yang sama yang sekarang dideritanya. Penyakit yang kemudian diturunkan kepada Wooseok.

Saat itu kata Papa terjadi perdarahan hebat pasca operasi setelah Mama melahirkannya dan beliau hanya mampu bertahan kurang dari satu hari. Bahkan kesempatan untuk menggendong Wooseok kecil pun begitu terbatas.

Wooseok tidak tahu bagaimana rasanya mempunyai Mama, hanya Papa yang ia punya, yang sebisa mungkin selalu berusaha berperan sebagai sosok Ayah dan Ibu sekaligus.

Jinhyuk tahu dua puluh tujuh Oktober adalah hari yang sangat penting bagi Wooseok, hari yang selalu dibagi dengan rasa syukur dan juga rasa sedih.

Suatu malam dia pernah menemani Wooseok yang menangis hebat di hari ulang tahunnya ke lima belas, menangis hingga capek tertidur sambil memeluk foto Mamanya.

Jinhyuk yang saat itu menginap hanya merangkulnya, memeluknya dalam diam, hatinya merasa perih hanya dengan mendengar tangis lirih Wooseok.

Maka dari itu, Wooseok menyukai bunga lily putih. Wooseok juga menyukai musim semi setiap tahunnya. Wooseok menyukai bagaiman taman bunga di halaman rumahnya mulai berbunga.

Atau mungkin taman di rumah sakit bila ia dirawat, yang bisa ia lihat lewat jendela kamarnya. Yang bisa ia kunjungi di sore hari dengan kursi roda yang didorong oleh Jinhyuk.


Jinhyuk banyak membaca semasa sekolahnya dulu, dia juga kerap mendapatkan ranking yang selalu berada di tiga besar. Waktunya di sekolah dia habiskan dengan Wooseok, bermain basket, bermain futsal, dan perpustakaan.

Kata Wooseok, ia suka suasana perpustakaan sekolah mereka, yang tenang, yang bau buku, yang teduh karena dari jendela yang dibuka langsung menghadap ke taman sekolah yang banyak di tanami pepohonan hijau, Wooseok menyukai udara dingin dan angin sejuk yang menerpa wajahnya.

Ketika Jinhyuk ada kegiatan lain, Wooseok akan tinggal di perpusatakaan. Biasanya sendiri atau dengan teman kelas mereka yang hanya satu atau dua orang. Teman yang akrab karena duduk di depan mereka.

Ketika Jinhyuk ikut ke perpustakaan, ada sebuah topik yang selalu dicari tahu olehnya, dari buku ataupun dari internet. Puluhan jurnal telah dibacanya tentang sakit Wooseok. Tenang sebuah kelainan darah bernama Hemofilia.

Dari itu semua, Jinhyuk hanya akan mengutuk ketika lagi-lagi membaca kalau Hemofilia tidak bisa disembuhkan, kalau penderita Hemofilia harus bergantung pada injeksi obat seumur hidupnya seperti yang sudah dilakukan oleh Wooseok selama ini.

Bahkan sampai sekarang, sampai usia mereka bukan tujuh belas lagi, jurnal terbaru yang sudah dibaca oleh Jinhyuk pun masih berkata hal yang sama. Kalau pengobatan yang dilakukan umumnya hanya dapat mengurangi gejala-gejala, serta mengontrol atau mencegah perdarahan berlebih.

Beberapa hari lalu, Wooseok kembali masuk ke rumah sakit dan kemarin akhirnya baru bisa pulang. Jinhyuk belum sempat bertemu lagi, kemarin dia pulang larut sekali dari kantor dan tidak mungkin langsung mengunjungi Wooseok walaupun ingin, dia tidak mau mengganggu waktu istirahatnya.

Jinhyuk mengusap wajahnya sebelum membuka pintu kamar Wooseok, sangat tidak ingin kalau yang dia lihat nanti adalah wajah pucat yang tersenyum lemah menatapnya.

Sudah dibilang kan, Jinhyuk tidak menyukai Wooseok yang kesakitan. Dia tidak menyukai Wooseok yang selalu berkata aku nggak apa-apa, Jinhyuk.

Namun, saat tiba di dalam, Jinhyuk langsung disambut oleh baju yang berserakan di atas tempat tidur, sedangkan si pemilik kamar terlihat sibuk dengan lemarinya.

“Ngapain?”

Wooseok terlonjak kaget saat mendengar suara Jinhyuk yang begitu dekat tepat di belakangnya, ia berbalik dan langsung mendengus keras, “Kamu tuh ngagetin banget sih!” serunya yang hanya dibalas permintaan maaf oleh Jinhyuk.

Tidak lama ia langsung menerjang Jinhyuk dengan sebuah pelukan erat, “Kamu sibuk, ya?” tanyanya pelan, karena kemarin Jinhyuk tidak ke rumah.

Wooseok mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Jinhyuk, menghirup wangi Jinhyuk yang ia rindukan. Beberapa hari ini ia sudah cukup mencium bau rumah sakit yang membuatnya mual. Bosan.

“Selamat ulang tahun, Wooseok.”

Jinhyuk tidak menjawab pertanyaannya, dia justru berbicara hal lain. Hatinya mengucap lega melihat Wooseok yang baik-baik saja, Wooseok yang tidak pucat, Wooseok yang tidak berbaring lemah di atas tempat tidur karena tidak bisa berjalan.

“Terimakasih.”

Wooseok tersenyum lebar, semakin mengeratkan pelukannya pada Jinhyuk saat pemuda itu merengkuh pinggangnya dan menciumi puncak kepalanya.

Kalau boleh memilih, Wooseok tidak mau melepaskan Jinhyuk. Wooseok ingin seperti ini terus. Wooseok ingin Jinhyuk yang selalu ada untuknya.

Hari ini, mereka kembali bertemu dengan dua puluh tujuh Oktober di musim gugur.

“Nggak ada yang aneh, ya? ternyata 25 tahun gini-gini aja.” Wooseok berkata sambil melepaskan pelukannya walaupun tidak rela, ia menatap Jinhyuk yang mengangkat bahunya lalu tersenyum tipis, “Iya, tetap gini. Memang mau jadi Wooseok yang gimana?”

Wooseok tertawa kecil mendengar pertanyaan Jinhyuk, “Ya gimana ya, aku juga gatau.” katanya sambil berjalan ke tempat tidur, menyingkirkan beberapa baju dan dilempar ke arah sofa yang ada di pojok kamar lalu duduk sambil memeluk bantal.

“Hari ini kamu mau ngapain?”

Jinhyuk ikut duduk di atas tempat tidur, bertanya penasaran tentang dua puluh tujuh Oktober kali ini.

Tahun lalu mereka pergi ke makam Mama Wooseok lalu hanya menghabiskan waktu di rumah seharian dengan kue ulang tahun yang Jinhyuk beli saat mereka pulang dan juga film kesukaan Wooseok yang entah sudah berapa kali mereka tonton. Ujung-ujungnya Wooseok tertidur sambil memeluk lengan Jinhyuk yang duduk di sampingnya dan Jinhyuk yang harus menggendongnya dari ruang keluarga ke kamar.

Ada kerutan dalam di kening Wooseok saat ini, ia terlihat berpikir lalu tersenyum lebar, kedua mata indahnya dibalik kacamata bulat itu berbinar menatap Jinhyuk yang terpaku, Kim Wooseok indah.

Kim Wooseok yang hari ini berusia dua puluh lima, Kim Wooseok yang tertawa kecil sambil menjentikan jarinya, Kim Wooseok yang kemudian menangkup kedua pipinya, dan berkata, “Ayo ke pantai!”

“Lagi?”

“Lagi kapan sih, Jinhyuk. Tahun lalu kan enggak.”

“Oh, oke.”

“Aku mau lepas sepatu, aku mau nginjek pasir, aku mau main air sama kamu!”

Jinhyuk mengangkat tangannya untuk mengusap lembut puncak kepala Wooseok, “Semau kamu, hari ini.”

Setelah mereka beranjak dewasa, yang Wooseok tahu kalau ia hanya butuh Jinhyuk di hidupnya, yang bisa mendampinginya bersama sang Papa, satu-satunya orang terkasih yang ia punya.

Wooseok mungkin tidak pernah banyak mengeluh sakit pada Jinhyuk walaupun ia tahu Jinhyuk yang paling banyak melihatnya dalam kondisi terburuk sejak mereka kecil.

Jinhyuk yang menjadi orang pertama untuk dihubungi ketika ada apa-apa dengannya. Jinhyuk yang selalu memberikan pertolongan pertama padanya. Jinhyuk yang tahu banyak bekas luka di tubuhnya, yang tahu dimana saja ia pernah terluka. Jinhyuk yang berkali-kali menggendongnya kalau ia tidak bisa berjalan karena pergelangan kakinya bengkak, Jinhyuk yang akan menenangkannya dan selalu berkata, nggak apa-apa Wooseok, ada aku.

Wooseok menyayanginya begitu besar.

Wooseok menyukainya bagaimana Jinhyuk selalu menjaganya, bagaimana Jinhyuk selalu memperhatikannya dan selalu ada, bagaimana Jinhyuk memastikan yang terbaik untuknya.

Lee Jinhyuk memang pendiam sejak mereka beranjak dewasa, dia hanya akan berbicara seperlunya namun, tatapanya, semua perlakukannya dengan tingkah kecilnya sekalipun selalu bisa menarik perhatian Wooseok.

Musim gugur di bulan Oktober kali ini bersuhu delapan belas derajat di siang hari. Tidak terlalu dingin untuk berjalan di pinggir pantai dengan kaki telanjang.

Jinhyuk menatap tangannya yang digandeng oleh Wooseok yang berjalan di depannya, dia tersenyum tipis melihat bagaimana Wooseok sedikit bergidik saat air laut mengenai kakinya, membasahi celananya yang tidak digulung sempurna.

“Udahan?” tanyanya memastikan.

“Belum.” jawab Wooseok, ia berbalik lalu sedikit membungkuk untuk menyipratkan air padanya dan berhasil mengenai sedikit kemejanya di bagian dada, “Main air yuk, tapi jangan berenang.” tentu saja, siapa pula yang akan mengijinkan Wooseok berenang di sini saat di rumahnya ada fasilitas yang lebih dari cukup.

Wooseok jarang sekali melihat Jinhyuk tertawa saat mereka dewasa, Jinhyuk paling hanya terkekeh kecil atau tersenyum padanya.

Namun, hari ini pengecualian. Jinhyuk tertawa saat Wooseok yang di peluknya berjerit merengek ketika ditarik ke air olehnya.

Jinhyuk tertawa saat Wooseok gantian mendorongnya agar terkena ombak dan berhasil membuat celananya basah hingga betis, sedangkan Wooseok berhasil menghindar berlari menjauh darinya.

Jinhyuk tertawa saat dia berhasil memeluk Wooseok dari belakang dan memangkunya dengan mudah, membuat Wooseok langsung mengalungkan tangannya di pundak Jinhyuk dengan erat, memohon sambil tertawa agar tidak dijatuhkan ke air.

Jinhyuk tertawa saat ombak mengejar Wooseok yang sedang berjongkok untuk melihat seekor kepiting yang memasuki sebuah lubang di dalam pasir.

Dan Jinhyuk tertawa saat Wooseok berjalan ke arahnya lalu memeluknya, diputarnya tubuh kecil Wooseok oleh Jinhyuk hingga ia tertawa senang, bahagia di ulang tahunnya ke dua puluh lima.

“Capek?” Jinhyuk bertanya pelan saat ia menurunkan Wooseok, yang ditanya menggelengkan kepalanya dengan senyum manis tertimpa cahaya matahari kemerahan, “Senang, makasih, Jinhyuk.” katanya.

Tangan Jinhyuk menangkup kedua pipi tirusnya, mengusapnya dengan lembut tulang pipi yang rasanya semakin terlihat. Wooseok kurusan dan lingkar matanya terlihat menghitam.

“Selamat ulang tahun, Kim Wooseok. Semoga Tuhan selalu memberimu bahagia dan sehat.”

Kedua mata Wooseok sudah berkaca-kaca saat Jinhyuk mendekatkan wajahnya dan mengecup keningnya cukup lama, banyak sekali doa yang dipinta oleh Jinhyuk pada Tuhan setiap harinya. Namun, kali ini, dia meminta dengan kesungguhan luar biasa, dia meminta agar Wooseok yang sangat disayanginya ini selalu bersamanya, di sampingnya.

Wooseok kemudian benar-benar menjatuhkan air matanya saat Jinhyuk menurunkan kecupan di keningnya ke kedua pipinya, ke pucuk hidungnya, lalu ke bibirnya.

Ia dicium dengan lembut, di hari ulang tahunnya ke dua puluh lima, di atas pasir yang diinjaknya dengan kaki telanjang, di bawah sinar matahari senja yang terasa hangat dan diiringi suara dari debur ombak yang memenuhi pendengarannya.

Tangan Jinhyuk melingkar sempurna di pinggang kecil Wooseok, dan sepasang kaki tanpa alas itu berjinjit secara perlahan, dengan tangan yang terulur ke belakang pundak Jinhyuk, dengan mata yang masih terpejam, dengan detak jantung yang berkali-kali lebih cepat dan berisik.

“Terimakasih sudah lahir dan bertahan sejauh ini, Wooseok.” bisik Jinhyuk tepat setelah dia menjauhkan wajahnya, menatap dengan pandangan dalam dan kemudian membawa Wooseok ke dalam pelukan hangat.

Wooseok hanya mampu memejamkan matanya, menyadarkan kepalanya di dada bidang Jinhyuk dengan senyum haru yang tergambar di wajah manisnya.

Sebuket mawar putih terlihat tergeletak di atas pasir tepat di samping sandal mereka. Bunga yang tadi saat Wooseok masuk ke mobil Jinhyuk sudah ada di sana, bunga yang sudah dibeli oleh Jinhyuk sebelum dia tadi pagi datang ke rumah.

Selain lily kesukaan Mamanya, Jinhyuk juga tahu Wooseok menyukai mawar putih, sungguh itu cocok dengan Wooseok, sama-sama cantik.

Mereka masih belum pulang, Wooseok yang meminta, ia ingin melihat matahari benar-benar terbenam ke dalam laut, katanya. Maka, Jinhyuk mengizinkan setelah sebelumnya dia pergi ke mobil dulu untuk mengambil jaket miliknya, digunakan agar membalut sweater berwarna baby blue yang dipakai Wooseok saat suhu di sekitar mereka perlahan mulai terasa turun.

Tangan Wooseok melingkar di pinggang Jinhyuk, menyandarkan kepalanya di bahu pemuda tersebut dengan senyum yang belum hilang dari sudut bibirnya.

“Maaf ya, kemarin aku nggak bisa jemput kamu dari rumah sakit.”

Jinhyuk memulai obrolan diantara mereka, tangan kanannya yang merangkul pundak Wooseok sedikit mengerat, dia mendaratkan sebuah kecupan singkat di puncak kepalanya.

“Nggak apa-apa, aku pulang sama Papa.” tentu saja, Jinhyuk mengangguk, jelas dia tahu karena kemarin saat di kantor dia melihat Papa Wooseok yang menunda meeting penting demi menjemput anaknya.

“Jinhyuk... makasih ya. Aku tau kamu suka mampir ke rumah kalau pulang malam sejak dulu kamu sibuk kuliah.”

Tangan Jinhyuk yang kali ini sedang mengelus kepala Wooseok terhenti, di masa kuliahnya dulu banyak sekali waktu mereka yang terbuang, Jinhyuk sibuk dan Wooseok kesepian, “Kamu tau?”

Wooseok terkekeh dan mengangguk, “Tau, Jinhyuk bakal ke kamar, terus mastiin aku nggak apa-apa, ya? paling sering diem deh soalnya aku kan udah tidur.”

Lee Jinhyuk mengeratkan rangkulannya, menumpu dagunya di atas kepala Wooseok, hati kecilnya ingin berteriak.

Tidak, lebih dari itu yang dilakukannya.

Dia kerap kali termenung di tamaramnya suasana kamar Wooseok, memperhatikan si pemilik kamar yang tertidur dengan tenang, memastikannya tidak kesakitan.

Jinhyuk menatap sendu pada tangannya, pada bekas jarum suntik yang entah harus di mana lagi Wooseok dapatkan. Juga pada tangannya yang membiru. Pada bekas botol obat dan jarum suntik yang terkadang belum dibereskan di atas meja, tergeletak begitu saja bila Wooseok selesai melakukan terapinya.

Adalah terapi profilaksis yang dilakukannya sejak kecil mengharuskan ia disuntik minimal satu minggu sekali, tergantung kondisinya, lebih parah bisa satu minggu dua kali secara berturut-turut dalam satu bulan. Sebuah terapi untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan mendadak atau spontan pada pengidap Hemofilia tingkat berat.

Terapi seumur hidup, dua puluh lima tahunnya.

Wooseok sudah terbiasa sejak di bangku sekolah dulu, menanggungnya sendiri, diajarkan menyuntikkan jarum tajam tersebut menembus kulitnya.

Berbeda dengan pengobatan on-demand yang selalu dilakukan orang lain, baik Jinhyuk maupun Papanya bahkan mbak yang sudah merawat Wooseok sejak kecil. Wooseok selalu takut, tangannya akan tremor lebih dulu bila ia harus menyuntik di titik lukannya.

Hal tersebut menyakitkan, Jinhyuk tidak pernah bisa membayangkannya, kenyataan yang membuat hatinya seperti diremas karena lagi-lagi, Jinhyuk tidak bisa melakukan apa-apa untuk Wooseok.

Jinhyuk tahu, tak jarang Wooseok selalu memakai lengan panjang untuk menutupi luka-lukanya, merasa malu, tidak percaya diri di depannya apalagi di depan orang lain. Berulang kali dia berkata tidak apa-apa, maka berulang kali juga Wooseok akan semakin mundur.

Kamu sempurna Wooseok, dengan kamu yang apa adanya sekarang.

Jinhyuk selalu mengatakannya dengan sungguh-sungguh.

Beban psikologi yang diterima Wooseok membuatnya merasa kecil karena berbeda dengan orang di luar sana.

Sang Papa selalu menjadi tempat paling nyaman pertama bagi Wooseok untuk mengeluh dengan bebas, bahkan kerap kali saat ia dulu belum mengerti keadaanya tubuhnya sendiri ia akan menangis, bertanya kenapa hanya bermain seperti biasa saja ia akan mimisan, lengannya membiru, lututnya sakit bahkan kakinya membengkak dan tidak bisa berjalan.

Dengan perlahan dan sabar sang Papa akan menjelaskan kalau ia punya Hemofili, kalau ia terlahir spesial sebagai putranya.

Bagai mutiara yang dijaga agar tidak pecah, begitulah seorang Kim Wooseok.

“Jinhyuk...”

Kesadaran Jinhyuk seperti ditarik kembali, pantulan cahaya kemerahan di ufuk barat tersebut memantul di atas air, berkilauan indah di penglihantannya, dia menunduk menatap Wooseok yang masih di rangkulannya, “Kenapa? Mau pulang?”

Wooseok menggelengkan kepalanya, ia hanya mengeratkan pelukannya di pinggang Jinhyuk. Semakin mengubur tubuhnya dalam pelukan pemuda yang sangat disayanginya itu.

“Terimakasih...” bisik Wooseok, “Untuk selalu ada buatku.” nadanya terdengar lemah dan lirih.

Jinhyuk mencoba tersenyum walaupun itu sangat tipis, kedua sudut bibirnya terasa kaku saat akan membalas ucapan Wooseok, dia terganggu dengan suara Wooseok yang semakin pelan.

Sambil mengeratkan pelukannya dan memejamkan matanya, dia mendaratkan sebuah kecupan ringan di pelipis Wooseok.

Hati kecilnya berbisik kepada Tuhan, tolong kuatkan Wooseok di segala situasi, tolong jangan izinkan ia untuk menyerah.

Kesedihan, kekecewaan dan segala bentuk apapun yang akan membuat Jinu tidak merasa nyaman adalah hal yang paling ingin dihindari oleh Kim Wooseok sejak lima belas tahun lalu, sejak hadirnya sosok tersebut di kehidupannya.

Jinu hadir di saat masa-masa sulitnya harus terbiasa untuk menerima keadaan yang begitu asing bagi kehidupannya yang bahkan belum genap dua puluh tiga tahun. Maka, yang ingin diberikan oleh Wooseok hanyalah bahagia, bahagia dan bahagia, dunia dan seisinya bakal ia beri kalau itu untuk senyum Jinu.

Ingatannya terbang jauh, bagaimana tangis nyaring dari bayi mungil tersebut terdengar memenuhi ruang rawatnya, bagaimana jemari yang begitu kecil itu terlihat sempurna ketika menyentuh ringan ujung jari telunjuknya seakan berkata, ada aku Papa, sekarang ada aku yang akan selalu bersamamu.

Saat pertama kali menggendong malaikat kecilnya merupakan perasaan yang sampai saat ini masih tidak bisa ia lupakan, yang bisa Wooseok lakukan hari itu hanya menangis penuh haru.

Lee Jinwoo adalah anugerah untuknya.

Wooseok meyakininya, sangat.

Setiap ia mengelus lembut pipi tembamnya yang masih berwarna merah, setiap ia mencium kepalanya dengan sayang, setiap ia mendekapnya dengan erat menenangkan bayinya yang menangis. Wooseok akan berucap berulang kali berbisik dalam hatinya penuh rasa syukur, anak Papa terimakasih sudah hadir ke dunia ini, sayang.

Di samping tempat tidurnya ada Seungwoo dan Byungchan yang selalu menemaninya. Mereka yang masih berpacaran tampak kompak akan meluangkan waktunya untuk Wooseok, disaat apapun. Disaat sulitnya, menghiburnya, menemaninya agar tidak merasa tarasing, sendirian.

“Orang tua kamu.. udah datang?”

Seungwoo bertanya ragu setelah menimbang perkataannya dan gerakan tangan Wooseok yang sedang mengelus kepala Jinu terhenti sepersekian detik, ia mengangguk pelan lalu tersenyum samar menatap Seungwoo juga Byungchan, “Udah. Tadi.” bisiknya.

Byungchan ikut tersenyum senang mendengarnya hingga menampilkan lesung di kedua pipinya tanpa ragu lalu duduk di tepi tempat tidur dan memegang tangan mungil si bayi, “Mulai sekarang kamu jadi kesayangannya Om Ucan ya.”

“Keponakanku itu, yang.” sela Seungwoo tidak mau kalah sambil ikut mendekat dan menatap bayi yang ada di gendongan Wooseok.

Han Seungwoo yang merupakan kakak sepupunya itu baik sekali, dia dan Byungchan banyak mengurus apa yang diperlukan oleh Wooseok. Entah harus bagaiman Wooseok mengucap terimakasih, kehadiran mereka sangat berarti bagi dirinya maupun Jinu.

Menjadi satu-satunya keluarga yang mereka punya hingga saat ini.

Namun, apa yang ingin dihindari oleh Wooseok itu justru semakin mengejar seiring Jinu tumbuh besar.

Kehadiraan sosok Ayah yang kerap kali ditanyakannya ketika tiba-tiba teringat atau sering sebelum dia memejamkan matanya di malam hari. Rasa iri melihat teman-temannya yang memiliki keluarga utuh serta cerita seru liburan keluarga mereka. Lee Jinwoo tidak akan merengek padanya untuk meminta, tidak akan, anak itu terlalu baik, terlalu mengerti Wooseok. Hanya saja sebagai orangtuanya Wooseok tahu dia ingin seperti mereka, pasti hal-hal tersebut ada di daftar keinginannya suatu saat nanti.

Selanjutnya Wooseok akan merasa bersalah, ia sadar kalau dirinya tidak bisa menjanjikan hal itu untuk Jinu.

Delapan tahun lalu saat Jinhyuk yang berstatus Ayahnya hadir. Wooseok sangat mengetahui kalau segala kekosongan di hati anak semata wayangnya itu kian terisi. Mimpinya. Keinginan serta pertanyaannya selama ini mengenai sosok sang Ayah terjawab sudah di suatu pagi saat Lee Jinhyuk menampilkan batang hidungnya di depan rumah mereka.

Hari yang masih diingat jelas oleh Wooseok walaupun sudah lama. Hari dimana untuk pertama kalinya Jinu menyebut memanggil sang Ayah di depannya langsung, menangis sambil memeluk erat Jinhyuk.

Ada hal yang tidak bisa diberi oleh Wooseok kepada Jinu sebagaimana pun bahagia yang sudah ia kasih. Ada hal yang harus melengkapi itu semua yang diinginkan lebih oleh sang anak, yaitu Lee Jinhyuk.

Wooseok paham, waktu berjalan tanpa bisa dicegah, berlalu begitu saja saat akhirnya diantara mereka terbiasa ada Jinhyuk yang melengkapi Jinu. Menjadikannya anak paling bahagia yang akhirnya mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya yang utuh.

Menghabiskan waktu yang tidak pernah didapatnya sewaktu kecil dulu, waktu untuk mereka bertiga.

Hal yang sangat mahal yang selalu dia idamkan; mendapatkan sebuah pelukan hangat, bermain bersama menghabiskan sore hari sepulang sekolah, pergi ke suatu tempat baru yang seru seperti cerita liburan teman-temannya, makan satu meja bertiga diselipi cerita panjang tentang hari mereka.

Terimakasih kepada sang waktu, Jinu bisa merasakan itu semua pada akhirnya. Dia bahagia.

Wooseok kerap kali termenung, menatap Jinu yang sedang duduk berdua dengan Jinhyuk di depan televisi yang tidak dilihatnya sama sekali, mereka justru sibuk berbicara banyak hal tentang kegiatan sang anak di sekolah. Tentang tugas matematikanya yang sulit, tentang serunya pelajaran olaharaga ketika berlatih badminton, tentang guru seni rupanya yang kerap kali melucu saat mengajar ataupun tentang kegiatan ekskulnya yang membuat dia terlambat pulang.

Ada binar yang selalu terlihat antusias di mata bulat Jinu ketika menatap Jinhyuk. Melihat bagaimana dia selalu excited ketika diberi tahu kalau Jinhyuk akan datang ke rumah membuat Wooseok merasa Jinu tidak bisa tanpa Jinhyuk lagi.

Tidak akan pernah bisa.

Namun, rutinitas dan kebahagian itu seketika dijeda hingga sekarang. Hingga berbulan-bulan lamanya.

Ada obrolan ia dan Jinhyuk di telepon saat jarum jam menunjukan pukul dua puluh tiga saat Wooseok baru saja akan memejamkan matanya. Ia yang lebih dulu bertanya ada apa saat malam-malam begini Jinhyuk menelepon, tidak biasanya.

Lalu, selanjutnya Wooseok memilih mendengar setiap kata yang akan diucapkan Jinhyuk di sebrang sana karena Jinhyuk justru terdiam hingga beberapa menit,

“Aku izin sama kamu untuk memberitahu Jinwoo besok.”

Yang Wooseok tangkap, suara Jinhyuk terasa berat, ada ragu, gusar juga resah yang terselip di sana.

“Aku nggak bisa nahan lebih lama lagi, Wooseok.”

Jinhyuk terdengar menghela napas panjang membuat sambungan telepon mereka hanya diisi sunyi setelahnya.

“Jinwoo sudah besar dan aku mau hubungan kita. Antara aku, kamu dan Jinwoo lebih jujur.. apalagi kita sebagai orangtuanya.”

Wooseok menggigit bibirnya, tidak menyangka Jinhyuk akan membawa obrolan seperti ini, sudah tiba waktunya ya.

“Aku takut..” bisiknya tanpa bisa dicegah, jelas ia memikirkan perasaan Jinu di atas segalanya. Ia takut menghadapi kekecewaan Jinu nantinya.

Di ujung sana Jinhyuk mengusap wajahnya bingung, ini adalah keputusan yang berat namun tidak dapat mereka hindari. Dia kembali bersuara dengan nada lemah.

“Bohong kalau aku enggak takut, Seok. Tapi, sekarang atau pun nanti sama aja Jinwoo bakal tau gimana aku yang dulu... dan aku juga tau jelas konsekuensinya, Jinwoo pasti membenciku, kan?”

Wooseok tidak ingin menjawab ketika Jinhyuk tertawa kecil yang justru terdengar pedih di pendengarannya. Sebuah tawa yang menutupi perasaan kalutnya. Miris.

“Wooseok.. maaf..”

Wooseok menggumam pelan, memeluk bantal dengan erat karena hatinya terasa sesak saat ini, gelisah tentang bagaimana hari esok bagi mereka.

“Maaf aku membuat anak kita kecewa lagi.”

Di meja makan itu, saat akhirnya Lee Jinhyuk memberi tahu Jinu. Wooseok tidak bisa menahan air matanya saat melihat bagaimana tatapan bingung sang anak mendengar cerita Ayahnya.

Bagaimana dia kemudian menatap Jinhyuk dengan tatapan kecewanya yang terlihat sangat terluka, “Ayah ninggalin aku sama Papa?” bisiknya tidak percaya.

Lalu kemudian dia paham dengan cepat kalau cerita Wooseok selama ini tentang kesibukan Jinhyuk yang pergi jauh untuk bekerja ternyata sebuah kebohongan semata untuk menghibur Jinu kecil yang merindukan Ayahnya.

Karena faktanya Jinhyuk tidak pernah ada sejak awal.

Jinhyuk tidak pernah bersama mereka.

Lee Jinwoo mengepalkan tangannya yang entah sejak kapan terasa dingin. Hati dan pikiran anak remaja itu begitu penuh saat mendengar fakta yang amat mengejutkan di hari yang harusnya bahagia dan seru karena bertemu Ayah.

Sebuah fakta tentang bagaimana sosok Ayahnya yang begitu dia sayangi, yang dia banggakan sebagai om tingginya ternyata tidak sebaik itu.

Lantas, kebahagian yang selama ini untuknya serta kasih sayang yang diberikan Jinhyuk, itu semua adalah upaya mengganti waktu yang hilang, yang tidak pernah Jinhyuk beri lebih awal?

Wooseok mengusap cepat air matanya mencoba terlihat baik-baik saja saat Jinu beralih menatapnya. Tatapan itu berubah, kecewanya sang anak berganti menjadi sedih, membayangkan apa yang Papa rasakan di masa lalu karena kehadiran dirinya.

Gara-gara ada aku, ya.

Jinu berdiri, matanya sudah memerah menahan tangis dengan bibir yang bergetar, napasnya bahkan terdengar memburu penuh sesak seperti ingin meledak. Sedih, kecewa, marah, bingung, semuanya tercampur di pikirannya saat ini.

“Jinwoo, maaf.. Ayah bersalah..” ucap Jinhyuk tidak tega menatap sang anak yang ingin sekali dia peluk. Ketakutannya terbukti sekarang, tatapan Jinu padanya membuat Jinhyuk kembali mengutuk dirinya di masa lalu. Lo brengsek Lee Jinhyuk, lo udah nyakitin orang yang paling berharga yang lo punya!

Parkataan Jinhyuk tidak diindahkannya, dengan jelas diabaikan karena yang Jinu lakukan setelahnya adalah meninggalkan mereka berdua tanpa satu katapun yang terucap, meninggalkan rasa bersalah yang teramat hebat bagi Jinhyuk juga Wooseok sebagai sosok orangtua.

“Jinu..” Wooseok hanya bisa berbisik lirih tanpa berniat mencegah Jinu pergi, dia mengerti, Jinu butuh sendiri, butuh tenang untuk kembali diajak bicara.

Suara pintu kamar yang ditutup dengan keras serta punggung Jinu lah yang terakhir mereka lihat saat itu, bahkan hingga sekarang kalau itu bagi Jinhyuk.

.

Kali ini, Wooseok tidak mau Jinu merasakan kecewa lagi. Jangan sampai. Ia hanya memohon dan berharap Jinhyuk tidak menyakiti hati anak mereka lagi.

Wooseok merasa sesak seperti ada yang menekannya begitu kuat saat Jinu menatapnya dengan tatapan sendu yang sudah lama tidak pernah ia lihat.

“Ayah nggak jadi datang, ya Pa?” bisiknya sedih.

Ia buru-buru menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis lalu mendekati Jinu yang duduk di meja makan masih menatap ponselnya sendiri, menujukan pesan-pesannya yang tidak dibaca oleh Jinhyuk.

“Pasti macet, kan udah janji. Jinu tunggu sebentar lagi aja, ya?” dirangkulnya pundak Jinu dari samping dan ditepuk-tepuk pelan guna menenangkannya, “Ayah Jinu pasti datang.” lanjutnya sambil menumpu dagu di atas kepalanya dan berharap itu benar.

Jinu mengangguk kecil, mengaminkan dalam hatinya semoga ucapan Papa benar. Namun, dia tidak bisa berbohong, dia menggenggam tangan Wooseok yang ada di pundaknya, “Aku takut, Papa..” bisiknya parau pada akhirnya, berbalik menatap Wooseok lalu memeluk pinggangnya dengan erat, memilih menyembunyikan wajahnya di pelukan menenangkan sang Papa, “..takut Ayah pergi.” ungkapnya mencoba jujur.

Apa mungkin gara-gara dia yang kemarin-kemarin tidak ingin bertemu Ayah, makanya Ayah berlaku sama? apa Ayah marah padaku? pikirnya.

“Enggak, sayang. Jinu jangan mikir macem-macem, ya? Jinu tungguin Ayah di kamar aja. Papa mau selesain masak.”

Remaja berusia lima belas itu masih terdiam, mencoba menghilangkan pikiran negatifnya tentang kemungkinan yang terjadi.

Setelah beberapa saat mendapatkan usapan menenangkan dari Wooseok, baru Jinu perlahan melepaskan pelukannya.

“Papa makasih udah masak. Kalau Ayah nggak dateng.. nanti aku yang habisin makanannya.” kalimat tersebut diucapkan Jinu sambil tersenyum tipis menatap Wooseok, “.. kan sayang masakan Papa enak semua.” tambahnya yang membuat Wooseok ingin menangis. Karena demi Tuhan, senyum dan tatapannya sangat bertolak belakang. Ada sorot mata yang redup di kedua bola mata Jinu walaupun sebuah senyum diukir di wajah tampannya.

Wooseok hanya bisa mengangguk, menarik kedua sudut bibirnya susah payah agar kekhawatirannya saat ini tidak terlihat oleh Jinu. Tangannya mengusap puncak kepala sang anak dengan penuh sayang, menangkup kedua pipinya lalu mengucap doa dalam hati bersungguh-sungguh meminta, Ya Tuhan jangan sampai anakku mengalami kecewa lagi, tolong berikan di bahagia yang banyak.

“Tunggu di kamar, ya. Nanti, kalau Ayah udah dateng, Papa panggil Jinu.” pungkasnya karena Wooseok tidak tahan berlama-lama melihat sang anak yang memasang wajah sedih, hatinya hanya akan semakin perih.

Jangan lagi, Lee Jinhyuk.

Tolong.

Aku tidak akan pernah tahu mau sebagaimana lagi Jinu dibuat kecewa kalau hari ini kamu tidak datang.

• from kang kuas universe • 5,2k words • fluff, 🔞 kissing


“Baru bangun, ya?”

Jinhyuk tersenyum malu dengan muka bantalnya, masih pakai boxer dan kaos gombrang warna hitam. Dia membuka pintu kosannya lebih lebar supaya Wooseok yang sekarang sedang berdiri di depan pintu sambil menatapnya itu bisa masuk.

“Iya. Maaf ya aku gak cek hp. Lupa kamu mau kesini. Semalem baru tidur jam 3an.” jawabnya sambil mengucek mata dan menyandarkan kepalanya di kusen pintu. Seperti nyawanya memang benar-benar belum terkumpul.

“Aku ganggu nggak ini jadinya?” Wooseok memastikan dengan kedua alis yang diangkat, sedikit meringis melihat Jinhyuk yang tampak masih mengantuk.

“Enggak atuh, kan udah bilang kemarin. Untung aku bangun pas kamu ketok-ketok pintunya. Masuk yuk.”

Setelah dipersilahkan, Wooseok baru masuk ke dalam kosan Jinhyuk, ia melepaskan sepatunya terlebih dulu dan ditaruh di rak yang ada di luar, membuat sepatu mereka bersisian dengan rapi.

Lalu ditutupnya lagi pintu tersebut ketika Wooseok sudah di dalam, bahkan Jinhyuk sempat melongokan kepalanya keluar melihat suasana kosan yang sepi di pagi hari seperti ini. Begitupun kamar samping kiri dan kanannya yang tertutup rapat.

Tentu saja, ini masih pukul sembilan, kebanyakan orang sedang di kampus untuk menghadiri kelas. Mungkin hanya ada beberapa kamar yang terisi bila dilihat dari motor juga mobil termasuk punya dirinya yang terparkir di halaman yang gerbangnya ditutup.

Dilihatnya Wooseok yang membawa satu totebag selain ransel, terakhir mereka bertemu beberapa hari lalu saat Jinhyuk mengantarnya pulang dari kampus, “Kamu beneran gak ada kelas?” ada nada ragu karena Wooseok terlihat rapi untuk disebut tidak ada kelas, jelas ia memakai kemeja panjang.

“Enggak, Jinhyuk.” jawab Wooseok sambil mendudukan diri di atas karpet tebal berwarna hitam dengan garis abu-abu yang sengaja dipasang tepat di bawah tempat tidur guna menutupi lantai yang dingin, “Hari ini aku kosong, diganti minggu depan kelasnya. Makanya aku kemarin bilang mau kesini pas inget kamu hari ini free.”

“Oh.., di atas deh. Masa duduk di bawah.” Jinhyuk langsung menarik tangan Wooseok untuk pindah, “Kayak baru pertama kali kesini aja.”

Melihat ke sekeliling, kamar kost Jinhyuk yang berada di lantai satu terbilang cukup luas, di dominasi warna monokrom terlihat simpel tanpa banyak warna. Dua buah lukisan kontemporer berukuran masing-masing 25x35cm dan 40x60cm tergantung menghiasi dinding polos berwarna putih bersih itu, karya dirinya sendiri tentu saja.

Terdapat meja belajar penuh buku-buku, alat tulis, laptop, serta sketch book yang berantakan terbuka sana sini. Di depan meja ada satu kursi yang ditaruh tas serta jaket di atasnya entah bekas dipakai kapan.

Ada lemari baju dua pintu di sisi kanan kamar, disampingnya ada tumpukan kanvas dan rak khusus untuk alat lukis miliknya. Keranjang baju kotor yang sudah lumayan penuh belum sempat dilaundry di taruh di dekat pintu kamar mandi. Ada juga meja kecil berisi alat makan seadanya serta dispenser lengkap dengan gelas bekas kopi semalam.

Yang paling penting tentu saja tempat tidur double size yang belum dibereskan terlihat dari bedcover berwarna abu tua yang tergulung dekat tembok yang tadi disingkap terburu-buru oleh Jinhyuk saat mendengar suara Wooseok dan ketukan di pintu kamarnya.

Satu yang bisa disimpulkan, berantakan. Sepertinya Jinhyuk memang belum ada waktu untuk membereskan kamarnya karena banyak tugas minggu ini.

“Aku bawa makan buat kamu sarapan.”

Jinhyuk tersenyum lebar sambil kembali ke tempat tidur, tubuh jangkungnya itu tengkurap dengan kepala menghadap ke arah Wooseok yang kini duduk di pinggir, tangannya memeluk bantal sebagai ganjal kepalanya sendiri, kakinya sedikit meringkuk merasakan udara dingin dari pendingin ruangan yang entah remotnya terselip di mana, “Makasih Wooseok yang paling pengertian.” katanya dengan suara yang jelas masih serak khas bangun tidur.

Hanya gumaman kecil yang diberikan Wooseok untuk membalas ucapan terimakasih. Tangannya lantas terangkat untuk mengusap rambut Jinhyuk yang masih saja memasang senyum sambil menatapnya. Wooseok merapikannya tanpa ragu, rambut yang diwarnai milik Jinhyuk sejak tiga bulan lalu itu terlihat sedikit kusut karena baru bangun tidur.

Bila mengingat kembali, Wooseok berhasil melongo dibuatnya saat Jinhyuk tiba-tiba muncul di depanya dengan tampilan yang tidak biasa, mereka saat itu tengah sibuk dengan tumpukan tugas hingga tidak sempat bertemu hampir dua minggu.

“Rambut kamu bagus, lucu. Biasanya kan hitam.” puji Wooseok ketika Jinhyuk melepaskan topinya, akibat ucapannya itu ia berhasil mendapatkan usapan dari Jinhyuk di atas kepalanya lengkap dengan tawa renyah dan wajah sumringah, “Makasih Wooseok yang jauh lebih lucu.” balasnya.

Dan sungguh Wooseok sama sekali tidak menyangka kalau Lee Jinhyuk dan rambut pirangnya membuat dia semakin tampan apalagi saat rambut yang sedang disisirnya menggunakan tangan itu sudah sedikit panjang melewati telinga seperti sekarang.

“Beneran baru tidur jam 3? Keliatan masih ngantuk.”

“Hmm, lumayan sih ini.”

Menerima usapan tangan Wooseok di atas kepalanya, Jinhyuk memilih memejamkan mata sesaat karena rasanya mau tidur lagi sampai siang kalau dielus-elus begini. Enak banget, di-nina bobo-in. Ditambah dia hari ini juga tidak ada kelas.

“Mandi dulu, habis itu makan. Nanti tidur lagi, hyuk.”

Jinhyuk tidak langsung menjawab, dia menghela napas panjang lalu membuka mata, “Enggak dulu, deadlinenya nanti siang. Masih belum aku cek lagi dari yang semalam.”

Tubuh jangkung itu langsung bangun walaupun malas-malasan, duduk di tempat tidurnya dan menatap Wooseok yang terlihat manis di pagi hari ini. Ditangkupnya kedua pipi tirus tersebut sambil dicubit tanpa ampun.

“Ganteng, cakep, wangi, gemes, manis banget hari ini sumber inspirasiku.” ujarnya diselipi tawa yang langsung membuat Wooseok menepuk-nepuk tangannya, “Jangan dicubit, kamu mah!” protesnya hanya dianggap angin lalu oleh Jinhyuk yang masih tertawa.

“Aku juga bawa kopi.” tambah Wooseok membuat Jinhyuk semangat dan menurunkan tangannya, “Ok. Tunggu ya, aku mandi gak akan lama.” dia langsung bangun tanpa repot-repot membereskan tempat tidurnya, mengusak sekilas puncak kepala Wooseok lalu mengambil satu setel baju bersih dari lemari dan berjalan ke kamar mandi meninggalkan Wooseok yang menatapnya sambil menggelengkan kepala.

“Jinhyuk, aku pinjam beberapa alat lukis, ya?” izinnya yang dibalas oleh Jinhyuk yang sudah di kamar mandi, “Pake aja semau kamu.”

Setelah tugas Jinhyuk semester lalu yang memerlukan Wooseok sebagai sumber inspirasinya, hubungan keduanya jelas semakin bertambah intens.

Terlihat bagaimana pertemuan mereka di luar kepentingan tugas terus berjalan hingga saat ini.

Jalan berdua, makan siang di fakultas masing-masing walaupun seringnya Wooseok yang diculik ke fakultas seni, saling nemenin nugas di kosan atau di perpusatakaan. Diajak Jinhyuk nongkrong di taman sambil sibuk dengan sketch booknya, main ke studio lukis fakultas dan banyak pameran seni, atau cuma ngadem sambil nyender di bawah pohon yang ada di taman kampus, duduk di atas rumput bercanda haha hihi bak pasangan dimabuk asmara.

Oh, bahkan mereka pernah hingga liburan ke Jogja saat libur semester kemarin untuk mengunjungi kakaknya Wooseok yang tinggal di sana, sengaja pakai kereta.

Jinhyuk yang mau ikut waktu dikasih tahu Wooseok mau liburan, “Daripada kamu pergi sendirian mending aku temenin deh.” katanya waktu itu yang tidak langsung diangguki oleh Wooseok, ia terlihat menimbang.

Wooseok sudah terbiasa naik kereta ke Jogja sendirian dan tidak apa-apa.

“Boleh nggak, aku ikut? Tenang aja nanti aku nginep di hotel deket-deket rumah kakak kamu jadinya.”

Tentu saja bukan masalah itunya, rumah kakaknya cukup kalau untuk menampung Jinhyuk. Hanya saja ini berarti akan menjadi perjalanan jauh pertama mereka, liburan pertama Wooseok dengan Jinhyuk, berdua.

Ia menggigit bibirnya menatap Jinhyuk yang menunggu jawaban penuh harap, “Emang kamu nggak pulang ke Jakarta?” Jinhyuk mengangkat bahunya tampak tidak masalah, “Libur dua bulan nggak akan rugi kalau dipakai ke Jogja cuma beberapa hari... sama kamu lagi.”

Ada senyum lebar di ujung kalimatnya yang berhasil membuat Wooseok terdiam sesaat karena mendapatkan jawaban seperti itu, jujur agak kaget. Tapi, akhirnya ia mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, “Boleh, yaudah terserah kamu aja.”

“Ok! aku pesenin tiketnya, ya? Mau pergi kapan?”

Tujuh jam perjalanan kereta Bandung-Jogja dengan Jinhyuk ternyata tidak salah, walaupun dihabiskan dengan tidur karena mereka memilih kereta dengan jadwal malam, Wooseok menikmatinya, tidak membosankan sama sekali.

Ia tidak sendirian, ada Jinhyuk yang sering bertanya sudah sampai stasiun mana kalau kereta mereka berhenti, padahal jelas-jelas terdengar dari pengeras suara, iseng seperti anak kecil saja. Lalu tidak lama dia tertidur pulas sambil menyandarkan kepala di bahu Wooseok yang menepuk-nepuk pahanya.

Dan satu minggu terasa begitu cepat berlalu, dengan kenangan seru, dengan tawa dan moment baru yang diciptakan oleh Jinhyuk. Dengan genggaman tangan dalam beberapa kesempatan, juga pelukan hangat di atas motor dan obrolan sepanjang jalan.

Hiruk pikuknya Malioboro serta titik nol kilometer tempat mereka menghabiskan sore. Ramainya alun-alun kidul di malam hari saat Wooseok dipaksa oleh Jinhyuk untuk menutup matanya melewati pohon beringin kembar dan ditertawakan karena jalannya yang melenceng, namun akhirnya dituntun dengan sabar hingga kemudian berhasil. Ataupun dengan nasi kucing yang mereka makan di angkringan dekat Tugu hingga Jinhyuk nambah berkali-kali karena jauh dari porsinya biasa makan.

Lalu, dengan pemandangan indahnya city light kota Jogja dari puncak bukit bintang yang rela jauh-jauh mereka datangi bermodalkan google maps.

Terakhir, lengkap dengan potret di banyak tempat-tempat yang mereka kunjungi atas usul Jinhyuk si pecinta keindahan dan kekayaan sebuah karya seni.

Semuanya terjadi begitu saja diantara mereka.

Nyaman, nyambung.

Sayangnya hubungan mereka itu kerap kali membuat teman-temannya berdecak sebal ketika bertanya.

“Apaan, yang begini gak pacaran udah pasti dusta! Iya teu guys?

Yuvin berkata tidak habis pikir ketika mereka kabur dari penatnya setelah ujian tengah semester ke salah satu villa di Lembang atas usul sok ide Seungyoun.

Jelas-jelas di depan mereka semua yang datang, Jinhyuk merangkul Wooseok dengan posesif yang sedang asik makan sosis bakar. Atau sikap serta perhatian-perhatian lainnya diantara mereka yang secara nalar lebih dari apa yang dinamakan teman.

Pertanyaan Yuvin itu mengundang anggukan setuju dari yang lain, yaitu teman-teman Wooseok juga teman-teman kosan Jinhyuk yang memang pergi bersama.

Namun, baik Jinhyuk maupun Wooseok tidak ada yang menanggapinya, mereka seakan tidak ambil pusing tentang pandangan orang lain terhadap hubungan keduanya.

Saat itu, Jinhyuk hanya tertawa kecil sambil mengeratkan rangkulannya dan Wooseok yang malah menyuapi Jinhyuk sosis yang sedang dipegangnya.

“Kan kan begini nih kelakuannya!”

Ada lagi sewaktu Seungyoun berkata ketika mereka nongkrong di kamar Kukun yang ada di lantai dua.

“Pelukan, ciuman, kelon tapi cuma temen emang lagi musim, ya? Gak wajar kalo kata aing sih.”

Jinhyuk yang duduk di depannya langsung melempar kacang yang sedang dia makan hingga mengenai hidung Seungyoun, “Bacot, yon.” katanya.

“Aing gak sebut maneh, anjir. Ngerasa ya berarti!!”

Begitulah beberapa bulan ini, baik teman-teman Wooseok maupun Jinhyuk akhirnya sudah biasa apabila melihat hubungan mereka yang katanya nggak ada apa-apa. Terserah lah, toh hubungan juga hubungan mereka. Bukan urusan yang lain, kalau kata Byungchan, orang yang sangat berjasa di sini.

Wooseok mengeluarkan drawing book dari dalam ranselnya. Sejak kenal dengan Jinhyuk dan sering menemaninya, ia juga perlahan mulai tertarik dengan dunia Jinhyuk. Kata Jinhyuk tidak ada yang namanya jelek di dunia seni, gambar apa aja semau kamu, sesuai imajinasi kamu. Toh semuanya juga tergantung interpretasi masing-masing yang melihat. Kata Jinhyuk ya.

Maka, beginilah Kim Wooseok dan kreasinya. Sering merecoki Jinhyuk yang untungnya dia tidak terganggu sama sekali.

Lumayan buat healing, distraksi dari kepenatan rutinitas perkuliahannya.

Lima belas menit kemudian, Jinhyuk baru keluar kamar mandi dengan rambut yang tampak basah sehabis keramas serta handuk kecil yang digunakan untuk mengusap-ngusap rambutnya. Sweater kotak-kotak merahnya tampak begitu cerah dipadukan dengan training berwarna hitam.

“Gambar apa kali ini?”

Tanyanya mendekati Wooseok yang sudah duduk di karpet lagi dengan alat lukis yang berserakan. Dia ikut duduk dan Wooseok langsung bisa mencium wangi sabun serta sampo yang digunakan oleh Jinhyuk. Segar banget, wangi yang semakin familiar di penciumannya.

Wangi Jinhyuk. Ia suka.

“Sketsanya dibuat waktu aku gabut di kelas, cuma view dari jendela kelas ke luar.” jawabnya, menoleh ke arah Jinhyuk sambil tersenyum hingga ke matanya yang tampak menyipit lucu.

Tangannya yang memegang kuas langsung disimpan di atas palet begitu saja. Beralih mengambil totebag miliknya lalu mengeluarkan Tupperware berwarna ungu dan diberikan pada Jinhyuk.

“Tau gak? Pas aku nyiapin ini Mama udah riweuh. Terus komen ini-itu. Udah tau aku bawa ini teh buat kamu.”

Jinhyuk tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar cerita Wooseok, dia sudah duduk sambil bersila, “Terus terus gimana?” tanyanya penasaran sambil membuka tutup Tupperware, ada nasi hangat, ayam serundeng, juga sambal goreng kentang.

Dijamin enak ini sih, masakan Mama Wooseok tidak pernah gagal di lidah Jinhyuk, iya beberapa kali dia pernah diajak makan kalau ke rumah, mulai dari sarapan saat menjemput Wooseok hingga makan malam kalau mengantar Wooseok pulang.

“Itu tambahin nasinya yang banyak. Serundengnya jangan pelit, sekalian ayamnya juga atuh buat makan siang kasian si A Jinhyuk kan anak kost. Sambel goreng juga dek, waktu makan di sini kan dia suka sampai nambah.”

Wooseok berbicara menirukan keriweuhan Mamanya pagi tadi dan Jinhyuk berhasil dibuat tertawa, senang dalam hatinya mendapatkan perhatian sebegitunya. Dia langsung terbayang Mama Wooseok yang baik dan selalu tanpa sungkan menawarinya makan, tahu banget Jinhyuk anak kost.

“Serius? wah bilang nuhun buat Mama mertua. Enak banget deh perut aku bangun tidur dikasih ini.”

Mendengar celetukan Jinhyuk, Wooseok langsung mencubit pinggangnya, “Mertua siapa, enak aja kamu ngaku-ngaku.” katanya yang dibalas ringisan oleh Jinhyuk sambil tertawa meminta ampun dan sibuk berkelit.

“Pedes banget cubitannya, serius.”

“Enggak, cengeng kamu. Udah makan dulu. Nanti nugas lagi.” Wooseok juga mengambil dua cup kopi yang tadi dibelinya. Satu di simpan di depan Jinhyuk, satu lagi memang miliknya.

Selesai dengan agenda makannya, Jinhyuk dibuat sibuk dengan tugasnya lagi yang semalam belum selesai dan Wooseok dengan kreasinya lagi yang sempat terhenti tadi.

“Seok..”

Wooseok yang sedang fokus dengan kuas, palet dan cat akrilik berbagai warna itu hanya menggumam pelan tanpa menoleh pada Jinhyuk yang kini memperhatikannya dari kursi, dia sudah mengalihkan tatapanya dari layar laptop dan malah asik melihat Wooseok yang duduk di karpet.

“Kamu kalau lagi fokus gitu..”

Jinhyuk menggantung kalimatnya, tangannya justru mengambil cup kopi miliknya untuk diminum sebagai jeda guna membasahi tenggorokannya yang terasa kering,

”...indah banget deh, bidadara turun dari mana sih yang begini terus nyasar di kamar aku.”

Tanpa menunggu lama Wooseok terdengar mendengus kecil, ia melirik Jinhyuk lalu mengerucutkan bibirnya, pemuda yang sedang menggunakan kacamata itu terlihat begitu tampan, jarang sekali Wooseok melihatnya. Jinhyuk memakai kacamata hanya saat-saat tertentu kalau dia fokus dengan laptopnya dalam waktu lama.

“Jangan panggil gitu. Kan udah dibilangin kamu mah ngeyel banget. Aku malu kalau di denger yang lain, hyuk.”

“Kan cuma berdua sekarang.”

“Iya sih..” ia terlihat berpikir, tapi langsung menggelengkan kepalanya, “Kebiasaan kamu. Dimana pun juga gitu.” katanya sedikit menggerutu.

Jinhyuk mengangkat bahunya, memamerkan senyum lebarnya pada Wooseok. Beneran dari dulu dia betah banget manggil Wooseok bidadara walaupun anaknya bakal kesel kayak sekarang ini.

Hingga beberapa saat kemudian Jinhyuk bisa meregangkan tubuhnya. Dihabiskannya kopi yang masih ada di meja sebelum beranjak dan menghampiri Wooseok.

“Bagus deh. Kamu emang suka gambar kan, jadi ya boleh juga nih.” komentarnya membuat Wooseok tersenyum bangga dengan kreasinya kali ini.

“Terimakasih. Kamu udah selesai? Mau tidur lagi?”

“Udah dikirim, beres. Aku mau liatin kamu aja.”

Jinhyuk naik ke tempat tidur tapi memilih tengkurap, dia menarik bantal untuk dipeluknya dan memposisikan dirinya tepat di samping kiri Wooseok yang kali ini bersandar di kaki tempat tidur. Deket banget.

“Tidur juga gapapa.”

“Enggak deh, rugi soalnya ada bidadara di sini. Takut kabur ke kayangan kalau ditinggal tidur.”

Kali ini Wooseok terkekeh, ia memiringkan kepalanya untuk menatap Jinhyuk yang tersenyum lebar terlihat menggodanya, matanya dikedip-kedip seperti orang kelilipan! Nyebelin tapi ganteng masih pakai kacamata, gimana ya, ujung-ujungnya juga Wooseok nggak bisa kesel lama-lama.

“Iya deh kumaha kamu.”

“Iya kan kumaha aing.”

“Kebiasaan tuh kalau pake Bahasa Sunda ikut-ikutan yang lain jadinya kasar gitu!”

Jinhyuk tertawa lagi mendengar omelan Wooseok. Emang gitu kalau ngomong Sunda sama teman-temannya, aing-maneh hukumnya wajib deh.

“Kan ini sambil belajar, Wooseok.”

“Tapi, jangan yang kasar juga, Jinhyuk.”

“Muhun siap. Stop gak usah didebat. Panjang nanti.” Jinhyuk mencubit lagi pipi Wooseok hingga ia kembali merenggut minta dilepaskan.

Tapi, beneran deh pagi-pagi ada manusia cakep di sini udah jadi awal yang enak banget buat hari Kamis nya.

Setelah itu, semakin Wooseok fokus pada kreasinya, semakin Jinhyuk tidak bisa mengalihkan tatapanya. Dia menaruh kepalanya di atas bantal dengan nyaman, jadi tiduran pandangannya hanya menatap wajah Wooseok yang serius memulas kuas di atas gambarnya.

Dimanjakan banget mata Jinhyuk kalau saja bisa seperti ini setiap hari. Vitamin A kalah. Adanya vitamin W. Wooseok.

Tapi, saat melihat Wooseok yang sesekali meminum kopinya sambil sibuk dengan kuas dan apalah itu, ada sisa-sisa foam di ujung bibirnya yang berhasil membuat Jinhyuk menelan ludah lalu menggelengkan kepalanya samar. Salah fokus, kacau beneran.

Sadar, Jinhyuk.

Sekali.

Nyebut, Jinhyuk. Inget dosa.

Dua kali.

Cakep pisan. Gak kuat. Gak bisa. Terlalu sayang dilewatkan.

Maka, di tiga kali Wooseok mengulang hal yang sama, Jinhyuk memanggilnya agar ia menoleh dan tanpa tahu malu dia bertanya langsung, “Mau cium kamu boleh nggak?”

Wooseok mengerjap, apa telinganya tidak salah mendengar? keningnya berkerut bingung saat sekarang Jinhyuk justru menunjuk-nunjuk bibirnya, “Ada kopi..” katanya pelan, “Di bibir kamu.”

Muka Wooseok jelas memerah seketika, oh, baru paham. Pipinya semakin merona ketika Jinhyuk mendekatkan wajahnya, “Boleh nggak, hmm?” tanyanya lagi, “Kalau aku cium sekarang?”

Memastikan, Jinhyuk butuh izin walaupun dia udah pengen banget. Greget. Mau ngusap foam di ujung bibirnya Wooseok.

Kemudian ada tawa kecil di kedua sudut bibirnya ketika melihat Wooseok mengangguk samar, sudah jelas artinya apa. Apalagi pas dia makin mendekat Wooseok langsung nutup matanya, rapet banget sambil megangin kuas.

Lucu, lucu banget bidadara yang begini cuma ada satu, di kosan Jinhyuk doang.

“Pasti belinya latte.”

Jinhyuk mengulum senyum lebar, lalu membenarkan posisi tidurnya agar terlentang. Matanya melirik Wooseok yang terlihat memegang bibirnya tampak malu mendapatkan apa yang baru saja dilakukan oleh Jinhyuk, memang bukan yang pertama tapi.. tetap saja.

Efeknya masih sama. Selalu sama.

“Tidur deh, sini.”

Ditepuk-tepuknya bagian kasur yang kosong membuat Wooseok kembali harus mencerna apa yang terjadi. Bibirnya belum sempat protes saat tahu-tahu tangannya ditarik oleh Jinhyuk untuk naik ke atas tempat tidur. Meninggalkan lukisannya begitu saja yang masih belum diwarnai beberapa bagian.

Akhirnya mereka berakhir dengan tidur bersampingan sama-sama menatap langit-langit kamar Jinhyuk. Tidak ada obrolan apa pun yang terjadi hingga lima menit berlalu. Tapi, Wooseok terlihat begitu santai sambil memeluk guling yang ada di sana.

Kosan Jinhyuk memang nyaman, tempat paling sering mereka habiskan berdua sepertinya. Lokasinya lebih jauh dari kosan Byungchan yang kalau dari kampus bisa diakses hanya jalan kaki. Di sini harus membawa kendaraan pribadi kalau tidak ingin terlambat ke kelas. Wooseok juga pernah menginap beberapa kali. Biasanya saat dia ada acara hingga malam Jinhyuk akan menjemputnya ke kampus.

Dulu, kosan Byungchan yang bisa dia andalkan kalau tidak pulang, sekarang ada Jinhyuk.

Wooseok mengangkat tangan yang terkena cat ke udara dan melirik Jinhyuk yang tertidur dengan tangannya sendiri sebagai bantal kepalanya, “Lihat deh bukti kerja kerasku.” ujarnya yang membuat Jinhyuk mengiyakan sambil tersenyum. Kerja keras banget ya, udah sebelas dua belas aja sama Jinhyuk kalau Wooseok lagi fokus ngelukis.

Lalu Jinhyuk memilih memiringkan tubuhnya yang diikuti oleh Wooseok hingga mereka berhadapan dalam jarak yang sangat terbatas.

“Sampai ke pipi segala nih kerja kerasnya.” diusapnya pipi Wooseok yang terdapat noda cat dengan hati-hati, “Untung tetep ganteng, nggak bakal luntur.”

Wooseok kembali mendengus namun dengan hati yang berdebar kencang. Apalagi saat Jinhyuk mempersempit jarak diantara mereka, hanya menggeser sedikit kepalanya tapi berdampak banyak bagi kesehatan jantung Wooseok.

Pemuda jangkung itu terdiam sambil masih mengusap lembut pipi Wooseok walaupun noda cat nya sudah hilang, hanya ada senyum lembut yang dia tampilkan pada Wooseok saat ini, jelas saja yang ditatap semakin berdebar dan memerah.

Lee Jinhyuk, Wooseok tidak menyangka kalau ingat hubungan mereka di awal yang tidak terlalu mulus, membantu tugasnya ternyata bisa membuat mereka hingga sejauh ini.

Selama mengenal Jinhyuk, ada hal yang paling disukai oleh Wooseok.

Satu, bagaimana cara Jinhyuk bercerita tentang hobinya, passionnya di dunia seni, seakan dia benar-benar jatuh cinta dengan hal tersebut. Oh, mungkin memang sangat.

Dua, ketika Jinhyuk sedang menggambar. Wajahnya akan sangat serius dengan alis yang hampir menyatu. Terlihat berkali-kali lebih tampan bonus pensil yang diselipkan di telinganya, atau digigit ketika dia tampak berpikir. Wooseok bersumpah, siapa pun yang melihatnya pasti akan betah, menahan napas dan terpesona secara bersamaan.

Tiga, ketika Jinhyuk memperlakukannya istimewa seakan Wooseok yang paling dia butuhkan, seperti-

“Aku ngantuk.” gumam Jinhyuk yang berhasil dibaca oleh Wooseok yang langsung mengulurkan tangannya.

“Makasih Wooseok yang paling pengertian.”

Jinhyuk langsung masuk ke pelukan Wooseok setelah menyingkirkan guling yang ada di tengah-tengah mereka. Dia lempar ke bawah tempat tidur, pergi sana dasar penghalang, batinnya mencibir.

Jinhyuk menyembunyikan wajahnya di dada Wooseok dan merasakan pundaknya yang dipeluk dengan nyaman, diusap-usap lagi rambutnya, di-nina bobo-in, disayang-sayang.

Satu lagi, Lee Jinhyuk bisa berlaku manja seperti ini. Hal yang benar-benar tidak pernah Wooseok bayangkan sebelumnya!

Belum sampai di alam mimpinya, waktu masih menikmati usapan tangan Wooseok di kepalanya, Jinhyuk dibuat kaget dengan gedoran pintu dari luar disusul suara yang mereka kenal.

“Jinhyuk maneh ada di kosan kan? Aing pinjem mobil lah sebentar.”

Song Yuvin berkata tidak sabar dan terburu-buru terus menggedor pintunya seperti tidak ada hari esok lagi. Jinhyuk mendengus, dia menatap Wooseok yang akan mengeluarkan suara.

“Stt... diem.” bisiknya sambil menaruh jari telunjuknya tepat di atas bibir Wooseok, “Pura-pura gak ada orang aja.” lanjutnya yang diangguki tanpa banyak protes.

Yuvin juga tidak akan bisa buka pintunya, tadi Jinhyuk langsung mengunci pintu saat Wooseok masuk, bukan ada niat apa-apa, cuma memang para penghuni kosannya terbiasa tertutup dan masing-masing. Gitu, sih, mungkin.

“Jinhyuk masih molor maneh jam segini?”

Wooseok menahan senyumnya mendengar Yuvin yang masih mengetuk pintu dan mengoceh, “Jinhyuk.. kasian..” bisiknya pada Jinhyuk yang dibalas gelengan kepala acuh, “Biarin ah, ganggu kita soalnya. Aku baru mau tidur, Seok.”

“Eh, si anjir ini ada sepatu Wooseok??? Aing tau ini lebih kecil sepatunya. Anjir jangan bilang di dalam situ ada Wooseok?!!!”

Jinhyuk masih bungkam dan membiarkan Yuvin mengoceh begitu saja di depan kamarnya. Biarkan saja lah, untung kosan mereka sedang sepi. Kalau tidak sudah jelas Yuvin akan diprotes sana sini.

“Woy kelon kok siang-siang gini? Aing aduin ke pak rt digerebek baru tau rasa. Sumpah!”

“Bodo amat.” gumam Jinhyuk.

Wooseok terkikik geli saat mendengar Yuvin yang sibuk menggerutu di luar sana dan mengetuk pintu, tidak lama dia pergi begitu saja terlihat dari bayangan di balik jendela yang gordennya memang masih tertutup. Yuvin pergi tentu saja setelah mengutuk Jinhyuk karena tidak membukakan pintunya sama sekali.

“Udah pergi. Tidur lagi.”

Bukannya menurut, Lee Jinhyuk malah menatap Wooseok sambil kembali mengulum senyum lembut, lengkap dengan tatapan teduhnya, menatap Wooseok seakan yang paling istimewa, yang paling berharga, yang hanya ada ia di dunia.

Bahaya, jelas ini adalah salah satu hal berbahaya bagi Wooseok. Karena setiap kali Jinhyuk menatapnya dalam. Wooseok akan kalah, semua kata yang ada di otaknya seakan ditarik hilang begitu saja. Menguap, pergi.

“Kenapa..? jangan senyum-senyum gini.”

Wooseok sedikit merajuk karena Jinhyuk tidak bicara apapun, ia nggak bisa lama-lama dalam situasi seperti ini. Jujur. Jinhyuk selalu membuatnya tidak karuan, selalu membuatnya salah tingkah hanya dengan hal-hal sederhana yang pria itu lakukan.

“Jinhyuk, aku pulang nih.”

Jinhyuk akhirnya tertawa mendengar ancaman Wooseok yang menurutnya bohong banget, ia nggak akan pulang kalau Jinhyuk belum balikin. Beneran deh. Pasti begitu. Pengalaman.

“Makasih Wooseok.” bisik Jinhyuk.

Gantian dia yang membawa Wooseok ke dalam pelukannya, menyembunyikan wajah Wooseok di dadanya, memeluk bahunya dengar erat. Dicium sekilas wangi rambut Wooseok yang manis, yang lembut.

“Buat apa?”

“Semuanya.”

“Nggak ngerti.” balas Wooseok sambil menengadah, butuh jawaban pasti dari Jinhyuk. Namun, yang ia lihat hanya dagu pemuda tersebut.

“Jinhyuk apa, aku nggak ngerti.” ulangnya lagi sambil mengangkat tangannya dan menangkup pipi kiri Jinhyuk, “Jawab dulu.” katanya memaksa agar Jinhyuk melihatnya.

“Buat semuanya, Wooseok. Udah dijawab tuh.”

Mengalah, Jinhyuk menunduk, manatap mata bulat Wooseok yang indah, yang ingin dia puji-puji karena mata itu kerap kali berbinar, tampak bahagia walau Jinhyuk hanya menatapnya.

“Buat semuanya, yang udah kamu lakukan. Yang udah bikin aku ngerasa disayang. Kamu yang paling pengertian dan baik banget. Makasih, ya.”

Entah mulai darimana saat pertanyaan kamu ada waktu nggak hari ini berganti menjadi aku jemput ya nanti, atau panggilan saya milik Jinhyuk berubah menjadi aku, atau saat pesan-pesan di chat berubah menjadi panggilan masuk hampir setiap malam sebelum tidur, atau saat pegangan tangan berubah menjadi pelukan hangat yang mendebarkan sekaligus menenangkan dengan bahu yang selalu terbuka untuk saling bersandar nyaman, atau saat tawa sungkan berubah menjadi tawa yang begitu lepas saat mereka bercanda tanpa ragu, berdua.

Pelukan, ciuman, kelon tapi cuma temen.

Selanjutnya Wooseok mengerjap bingung saat Jinhyuk menciumi wajahnya, kedua pipinya, sudut bibirnya, puncak hidungnya, kedua kelopak matanya, juga pelipisnya tidak ketinggalan.

“Aku sayang sama kamu, Wooseok.” ucap Jinhyuk sungguh-sungguh.

Sejujurnya, memang tidak pernah ada kata jadian di antara mereka, namun secara jelas baik Wooseok maupun Jinhyuk seperti sudah memaknai kalau hubungan mereka itu lebih. Wooseok maupun Jinhyuk tidak pernah dekat dengan orang lain lagi, hanya mereka berdua seperti layaknya sebuah pasangan.

Wooseok terpaku, mendengar secara langsung dari Jinhyuk yang diucapkan dalam situasi seperti ini, ia tetap merasa kaget. Lagi gini banget, lagi tidur dan pelukan.

“Aku juga.” balas Wooseok pelan pada akhirnya, menatap Jinhyuk tepat di kedua netranya yang hitam, tampak yakin.

“Apa?”

“Sayang sama kamu.. udah jelas kan..” bisiknya.

Udah jelas, tentu saja.

Jinhyuk mengangguk, dia tahu dan bersyukur banyak, lega. Senyumnya melebar tanpa bisa ditahan, mengusap lembut pipi Wooseok yang kembali memerah menggunakan punggung tangannya, “Suka banget liat pipi kamu ini. Serius. Tambah gemes kalau merah.”

“Hmm.” Wooseok memeluk pinggang Jinhyuk dengan erat, ia tersenyum malu, “Mau ikut tidur di sini.” cicitnya.

“Sampe besok juga boleh, aku sih malah keenakan ada guling hidup begini.”

Wooseok tergelak saat Jinhyuk mengeratkan pelukannya, mengusakan hidung di wajahnya dan kembali meninggalkan beberapa kecupan manis. Menimbulkan tawa yang bercampur, yang terasa hangat hanya dengan mendengarnya. Tawa senang, tawa malu, tawa lepas.

“Makasih sudah jadi sumber inspirasiku, Wooseok.”

“Emangnya masih? kan tugasnya udah beres?”

“Masih.”

Jinhyuk kembali mengulum senyum, kali ini tatapanya melembut, menatap Wooseok yang menunggu jawabannya dengan raut penasaran, ada sisa tawa di wajahnya saat Jinhyuk barusan kembali meninggalkan kecupan dia dagu dan pucuk hidung mancungnya.

“Ada kamu disekitar aku aja udah bikin aku beda, Wooseok. Ada hal di kamu yang selalu narik aku buat nggak jauh.”

“Apa?”

Tangan Jinhyuk mengusap lembut rambut Wooseok yang kali ini tidur di atas tangannya, mata bulat nan indah itu terlihat semakin panasaran, “Apa ih, Jinhyuk?” tanyanya tidak sabar sambil sedikit merajuk, ia mencubiti pinggang Jinhyuk yang sedang dipeluknya hingga Jinhyuk tertawa geli dan membalas dengan mencubit hidungnya.

“Semuanya. Kim Wooseok nya. Kamu nya.”

Wooseok terdiam, kata-kata di pikirannya seperti kembali ditarik hilang begitu saja saat Jinhyuk menatapnya serius, saat Jinhyuk menunduk dan berbisik tepat di depan bibirnya yang hanya menyisakan jarak tipis, sangat tipis hingga Wooseok harus menahan napas dibuatnya, “Mulai hari ini, aku jadi pacar kamu, ya?”

Pacar. Jadian. Ditembak.

Tidak ada yang Wooseok lakukan lagi selain mengangguk diantara terkejutnya mendengar permintaan Jinhyuk, hanya butuh lima detik otak (hampir) kosongnya memproses cepat.

“Boleh..” senyumnya berkali-kali lebih membahagiakan saat mengingat kalau pemuda yang sedang memeluknya ini sekarang bisa disebut miliknya, Jinhyuk nya, pacarnya Wooseok. Utuh. Jelas.

“Terimakasih, Wooseok. Sumber inspirasiku yang paling berharga.”

Selalu, Lee Jinhyuk dan mulut manisnya yang paling bisa membuat luluh, dia berkata lalu mencium pipi Wooseok yang demi Tuhan, sudah semerah tomat. Sengaja ditahannya, dilama-lamain dibikin Wooseok malu, dibikin Wooseok merengek lagi, dibikin Wooseok nggak berkutik di bawah dominasinya.

“Cium lagi boleh nggak?”

“Nggak. Mesum.”

Wooseok nunduk, masuk lagi ke pelukannya, sembunyi, nutupin pipinya yang merah, yang panas habis digodain pacarnya. Manja, bisa gini juga.

“Kok gitu? dikatain mesum. Atuh lah, Wooseok sayang bidadara hatiku. Sekali aja, beneran deh.”

“Sekali? bohong banget kamu mah.”

“Iya sekali, tapi lama.”

Itu ciuman namanya, bukan cium kayak tadi yang cuma ngusap foam di ujung bibirnya doang. Catat.

Habis itu Jinhyuk dicubit lagi, tapi dia malah ketawa, malah meluk Wooseok nya tambah erat, dijadiin guling sama kakinya, dibilang sayang terus, dibilang makasih terus sama sumber inspirasinya itu. Sama kesayangannya yang udah resmi mulai sekarang.

“Sekali, ya?”

Tentu saja, akhirnya Wooseok luluh lebih cepat, ia dan mata bulatnya menatap Jinhyuk yang mengangguk meyakinkannya dengan pasti, “Sekali.” katanya.

Tapi lama. Tetep.

Sepasang mata indah di depan Jinhyuk itu ditutup kembali, bulu mata lentiknya yang tampak panjang terlihat lebih jelas, hebat betapa Jinhyuk tidak akan pernah bosan memuji, saat seperti ini pun Kim Wooseok begitu menarik. Dia tidak akan bisa berpaling. Seribu persen.

Jinhyuk memang tidak tahu rupa sang bidadara yang selalu dia lisankan, tapi untuk Wooseok dia sematkan tanpa ragu, bukan pujian berlebihan karena di mata Jinhyuk, Wooseok lah paling indah.

Jinhyuk bisa merasakan sweater di pinggangnya diremas erat oleh Wooseok bahkan saat dia baru mengusap lembut bibir mungil Wooseok yang berwarna merah muda dengan ibu jarinya, ada seringai geli yang terlihat di wajah Jinhyuk, dasar Kim Wooseok.

Selalu seperti ini.

Sekali, tapi lama. Sesuai janji Jinhyuk.

Wooseok dibuat pening, Wooseok kembali dibuat kehilangan kata-kata di otaknya yang ditarik paksa, Wooseok dibuat merasakan jutaan kupu-kupu yang berterbangan liar diperutnya, Wooseok dilimpahkan afeksi, dan Wooseok dibuat meluluh di bawah dominasi seorang Lee Jinhyuk.

“Wooseok.. breath..”

Tidak, otak Wooseok tidak sempat merespon segala ucapan Jinhyuk, yang ia bisa lakukan hanya mengeratkan pelukannya, menerima semua yang diberikan Jinhyuk dengan penuh kelembutan. Di seluruh wajahnya yang bisa dicium, kembali lagi ke bibirnya, lalu mengecup ringan sekali turun ke bawah, nyobain ke ceruk lehernya dan tulang selangkanya yang putih dan terlihat karena kancing atas kemejanya yang memang terbuka, pelan tapi pasti, Jinhyuk sudah meluluhkannya hingga ke dasar.

Jinhyuk yang paling bisa.

“Jinhyuk..”

Jinhyuk menjauhkan wajahnya, memberi jarak tipis diantara mereka, menatap Wooseok yang entah sejak kapan sudah ada di bawahnya, dalam kungkungan tubuhnya, dengan pipi masih merona, dengan bibirnya yang terbuka sibuk mengambil napas, dengan pandangan yang menatapnya lemah namun berbinar nyata.

Apa-apaan, Lee Jinhyuk jelas lebih pening dihadapkan dengan Wooseok yang begini.

“Ya?” suaranya terdengar dalam dan serak saat menjawab, tangannya menyingkap rambut yang sedikit berantakan di kening Wooseok dengan ringan.

Dengan pandangan yang memuja, kilat netranya menatap keseluruhan Wooseok yang indah, yang cantik di bawahnya.

Cukup. Sekali. Harusnya sudah.

Tapi, Jinhyuk tahu, Wooseok memberikan izin lagi, lewat tatapannya, lewat gestur tangannya yang sekarang berpindah dari pinggangnya terulur ke balik bahunya dan membuat Jinhyuk kembali menunduk.

“Jadi inget yang di Jogja.” bisik Jinhyuk tepat di samping telinga Wooseok membuat ia meremang, mengingat dengan cepat, ciuman pertama mereka, yang manis, yang dalam, yang membuat Wooseok terjaga semalaman sambil memegang bibirnya dan tersenyum tidak percaya, ia dan Jinhyuk melewati batas, tapi ia tidak menyesalinya sama sekali.

Jinhyuk mengunci tatapan Wooseok dengan mudah yang akan berpaling menghindar malu saat dia membawa kenangan lama, satu tangannya menangkup pipi Wooseok, mengusap lembut dengan ibu jarinya, saat tangan yang lain mencoba menahan tubuhnya sendiri yang masih berada di atas dan belum beranjak, atau mungkin tidak berniat dalam waktu dekat, masih mau begini.

“My source of inspiration and happiness, Kim Wooseok.” bisiknya lirih.

Tentu saja, Wooseok berperan penting dalam tugasnya, kala itu. Jinhyuk seperti menemukan apa yang hilang dalam dirinya, dengan Wooseok semua ceritanya berubah, dengan Wooseok, dia selalu tersenyum, selalu merasa penuh. Wooseok yang membuatnya bahagia, membuatnya dicintai, membuatnya ingin terus terikat. Menjalin sebuah hubungan yang benar.

Kalimatnya diucap sungguh-sungguh dengan pandangan lurus menatap Wooseok yang kemudian berkedip lama dan mengangguk kecil dengan muka memanas, “Okay.. i love you, Lee Jinhyuk.” katanya pelan.

Lalu ia perlahan kembali menutup mata sambil tersenyum tipis dan mengeratkan pelukan di pundak Jinhyuk. Memeluk lehernya.

“Oh, dua kali ya.” simpul Jinhyuk.

”...terserah.”

Oke.

Pemuda jangkung itu benar-benar menggelengkan kepalanya dengan tawa kecil, dan tidak percaya, beneran terserah katanya. Serius?

Maka, dikabulkan tentu saja permintaan pacarnya yang manis itu, memang apa lagi yang bisa Jinhyuk lakukan sekarang.

Dia menunduk lagi, menciumnya lagi penuh perasaan, membuat Wooseok kembali kehabisan kata entah yang ke sekian berapa, otaknya kosong cuma diisi sama Jinhyuk, Jinhyuk, Jinhyuk.

Seperti ini saja, sampai Wooseok yang meminta berhenti nanti atau mungkin.. saat Jinhyuk sendiri yang lebih dulu menyerah.

Demi menghindari hal yang mungkin lebih jauh bisa terjadi.

Namun, sialan, sialan, sialan. Hanya ingin mengumpat.

Jinhyuk mau gila rasanya pas Wooseok meremas belakang rambutnya yang sedikit panjang itu, nyuruh nunduk, ngomongnya putus-putus nggak jelas kepotong ciuman mereka yang masih ke dua, tapi lama, lebih lama dari yang pertama.

Kalau begini, mana bisa udahan sampai sini.

terimakasih yang udah baca💗 izin menyisipkan ini yaa aku baru buat hehehe bila berkenan nraktir https://trakteer.id/xxxweishin

Hari Selasa di jam enam belas lebih dua puluh menit, rush hour jelas terlihat di luar bagaimana mobil dan kendaraan lainnya hanya berjalan merayap dilengkapi dengan klakson yang saling bersautan. Tampilan wajah-wajah lelah tergambar di balik orang-orang yang mengendalikan kemudi mereka yang terjebak dalam kemacetan panjang.

Berbanding terbalik dengan mereka di jalan yang berbondong-bondong menuju rumah setelah lelah bekerja. Saat ini aku justru duduk di meja dekat jendela di sebuah kafe di daerah perkantoran dengan seseorang.

Ditemani dua cangkir kopi hangat yang masih mengepulkan asap tipis dan belum disentuh sedikitpun oleh aku maupun dia. Juga dengan suara musik yang mengalun lembut di seluruh penjuru kafe.

Di awal hanya ada sapaan kecil sebagai formalitas saat akhirnya kita bertemu lagi, dia yang duluan datang. Aku hanya sempat meminta maaf karena terlambat akibat pekerjaanku yang sedikit molor di kantor.

Saat aku tanya apa kabar, dia hanya tersenyum tipis. Matanya ikut tersenyum namun terlihat sayu, menatapku dengan pandangan penuh sirat berkata aku tidak baik-baik saja.

Aku rindu kamu, begitu yang bisa aku tafsirkan.

Sayangnya aku memilih diam. Seakan aku tak bisa membacanya, seakan hatiku sudah tidak mengerti dia lagi. Ku selipkan kata maaf dengan lirih saat aku kembali bertanya, bagaimana kehidupannya satu tahun ini, yang berarti tanpa aku, tanpa kita lagi.

Dia yang kali ini membuka suara menjawab dengan suara lirih yang sedikit asing di pendengaranku, tidak biasa untuku yang selalu mendengar nada lembut yang membuatku berdebar dan meluluh karenanya.

“Aku kangen kamu.” katanya.

Senyumku dibuat sebiasa mungkin, mataku sedikit bergetar saat mendengarnya secara langsung. Tanganku yang sejak melangkah masuk ke kafe sudah mendadak terasa dingin, kali ini berkali lipat semakin dingin, maka yang ku lakukan di bawah meja adalah mengusap di atas paha untuk menetralkannya.

Aku juga, kangen kamu yang dulu. Kangen kita, kalau boleh jujur.

Namun, yang keluar dari mulutku hanya oh panjang yang membuatnya mengangguk kecil lalu tersenyum lagi dengan mata yang lebih sipit, “Aku aja ya, kamunya nggak. Maaf.” katanya dengan tangan yang langsung menggaruk pelipis.

Ada nada tidak enak yang bisa aku tangkap, tidak enak karena sudah berani merindukanku yang bukan siapa-siapanya lagi.

Sedikit, balasku cepat. Aku juga kangen. Begitu.

Bukan untuk membayar rasa kecewanya, namun jelas itu suara hatiku yang tidak sepenuhnya benar. Banyak, faktanya aku rindu kamu banyak sekali bukan sedikit.

Dia langsung berhenti tersenyum dan berganti menjadi menatapku dalam diam, membiarkan sunyi disekitar kita diambil alih oleh suara musik yang terdengar semakin samar.

Aku hanya bisa membalas tatapanya, dia yang kini memakai coat berwarna coklat muda untuk melapisi sweater nya tampak sama, aku menyadari tidak banyak yang berubah darinya sejak setahun lalu kita bertemu.

“Aku lega.” bisiknya kemudian, menyelipkan senyum teduh lebih percaya diri, “Makasih sudah nggak lupa pernah ada kita, dulu.”

Giliranku yang mengangguk kecil, tidak tahu harus merespon apa pada lelaki yang kini sedang duduk tepat di depanku. Lelaki yang mengisi hariku dulu dengan penuh tawa, memberikan kenangan manis di masa aku beranjak dewasa.

Jinhyuk, ku panggil namanya dengan gugup setelah kita mati dalam obrolan yang tidak tahu harus mulai darimana lagi. Dan dia hanya menaikan satu alisnya menunggu kalimat lengkapku yang sengaja digantung, kebiasaan lama yang pasti dia tahu.

Ku bilang padanya, usahaku melupakanmu akhirnya gagal hari ini saat aku melihatmu lagi. Kamu masih ada di tempat teristimewa.

Sesungguhnya, pertemuan seperti ini, tentang aku dan dia menjadi yang paling aku tunggu. Sayangnya aku tidak terlalu berani untuk memulai. Berterimakasihlah seharusnya aku atas keberanian dia yang menghubungiku beberapa hari lalu. Berterimakasih padanya yang menyempatkan untuk mengajaku bertemu disela kesibukannya yang mengunjungi lagi kota ini.

Dia terbatuk, kaget mendengar perkataanku. Meminum kopinya dengan terburu lalu mengaduh saat ternyata itu masih cukup panas dan membuat lidahnya sedikit perih.

Aku meringis lalu tertawa kecil, hati-hati ucapku padanya.

Jelas dia masih sama, Jinhyuk yang aku kenal sejak lama. Jinhyuk yang selalu bersikap spontan, mampu memberiku tawa oleh sikap kecilnya sekalipun.

“Mau balik ke tahun lalu? Aku sih mau.” tanyanya kemudian setelah cukup lama menimbang, setelah kita hanya saling menatap dan sibuk dengan susunan kata apa yang sebaiknya diucap.

Dengan ragu dia mengulurkan tangannya di atas meja kepadaku, menunggu aku untuk menyambutnya.

Ternyata, tangannya masih sama, sehangat dulu. Menggenggamku dengan erat begitu aku menyentuhnya.

“Mau gini terus, bisa?” pintanya sambil menatap tangan kita yang sudah bertautan, ibu jarinya mengusap tanganku dengan lembut seperti yang dulu selalu dia lakukan, “Aku nggak pergi, begitu pun kamu.” katanya yang kali ini menatap pada kedua mataku, penuh permohonan, ada harapan yang dia bawa dari sisa-sisa tahun lalu.

Kujawab permintaannya dengan senyum yang langsung menular padanya. Mengangguk pasti, ku bilang aku tidak akan pergi, hanya dengannya akan mengulang apa yang terjadi diantara kita dulu dengan cerita baru tentang masa depan.

“Makasih ya.. sayangku nggak berubah sejak dulu. Cuma kamu, Wooseok.”

Kalimatnya diucap sambil membawa tanganku ke bibirnya, dikecup lembut buku jariku tepat di jari manis olehnya.

Detik itu, aku kembali merasakan debar yang teramat hebat, merasakan jutaan kupu-kupu yang sudah sejak lama minta dilepaskan berterbangan di perutku sehingga menggelitik, aku rindu momen seperti ini.

Hatiku seutuhnya ternyata masih sama sesuai apa yang aku pikirkan, milik Jinhyuk.

Aku rindu, ku bilang lagi padanya dengan pelan, dengan perasaan penuh hingga membuatku ingin menangis.

Rindu segalanya, segala afeksi yang selalu dia berikan kepadaku sejak lama yang setahun belakangan ini terasa begitu kosong tanpanya.

Rindu Jinhyuk.

Dia mengangguk, menatapku dengan lembut, meyakinkanku dengan sangat, “Aku lebih rindu kamu.” ucapnya, “Lebih dari apapun di dunia, Wooseok. Setahun lalu adalah sebuah kebodohan, melepaskanmu, berharap kita bahagia masing-masing. Namun, nihil. Aku tidak bisa. Bahagiaku adalah kamu, Kim Wooseok.”

Tanganku masih digenggamnya dengan erat saat setitik air mata turun di sudut mataku, membuatnya menatap panik lalu menarik kursinya agar mendekat, “Jangan nangis, aku bersalah. Maaf baru datang hari ini.” dia mengusapnya, air mata dan pipiku dengan teramat lembut.

“Maaf, Wooseok. Aku janji, nggak akan ada air mata lagi yang disebabkan olehku. Hari ini dan seterusnya, aku hanya ingin kamu bahagia.”

Hatiku terasa semakin penuh mendengarnya, ucapan Jinhyuk dan janjinya membuat air mataku jatuh lagi.

Dan sesak yang membelengguku selama satu tahun ini meluruh saat aku dibawa ke pelukannya, dibawa bersandar di bahunya. Dibawa ke tempat ternyaman bagiku sejak lama.

“Jinhyuk..” bisiku lirih, “Tolong jangan pergi lagi.. jangan jadi orang asing untuku.”