xxxxweishin

[XXIV]

⚠️ agak 🔞 anak kecil jangan ke sini


Wooseok tidak tahu kapan tepatnya ia tertidur semalam, yang pasti sejak dibawa pulang oleh Jinhyuk ke rumah, ia langsung ke kamar. Mandi air hangat seperti biasa dan Ibu yang langsung membawakannya bubur ayam sebelum ia disuruh minum obat.

Tidak ada drama saat minum obat seperti ketika dirinya sakit kala dirawat oleh Jinhyuk di rumah Yohan beberapa bulan lalu. Wooseok memang tidak menyukai obat, oke siapa juga yang suka obat. Maksudnya, Wooseok bermusuhan dengan bau dan pahitnya obat, sejak kecil.

Tapi, semalam pengecualian, ia minum dengan cepat karena ingin tidur.

Terakhir yang Wooseok ingat, dirinya dipeluk oleh Mas Jinhyuk setelah suaminya itu memijat kepalanya, pundaknya dan lehernya, sebuah usaha dalam membantu Wooseok mengilangkan pusing, katanya.

Wooseok tahu suaminya itu sangat menghawatirkannya. Bahkan bibirnya terus menggumamkan gerutuan kecil kepada Wooseok walaupun perlakuannya begitu lembut.

“Diajak ke dokter kok enggak mau.”

“Bandel, pasti kamu telat makan, ya.”

“Kamu itu kurang istirahat, badan kamu capek, terlalu diforsir.”

“Pasti habis makan sembarangan, kan?”

“Jangan banyak pikiran, kamu stress kayaknya.”

Dan masih banyak lagi, pokoknya semalam Mas Jinhyuk mendadak cerewet sekali. Sisi barunya yang Wooseok tahu, namun ia menyukainya.

Itu tandanya Mas Jinhyuk perhatian, tandanya Mas Jinhyuk sangat menyayangi dirinya.

Sekarang saat Wooseok terbangun, dirinya masih berada di dalam pelukan Mas Jinhyuk.

Punggungnya menempel pada tubuh Jinhyuk yang memeluknya dari belakang. Kedua tangan Jinhyuk memeluk bahunya dengan kaki panjang yang membelit kakinya di bawah selimut yang sudah melorot sebatas pinggang.

Juga, napas teratur Jinhyuk yang tertidur bisa Wooseok rasakan menerpa tengkuknya.

Perlahan Wooseok mencoba berbalik dengan menjauhkan lengan Jinhyuk yang memeluknya erat, “Mau kemana?” suara Jinhyuk yang serak terdengar sangat dalam berbisik di telinganya membuat Wooseok menggumam pelan.

Rupanya pergerakan dari dirinya barusan berhasil membuat Jinhyuk terjaga. Saat tubuhnya sudah berbalik sempurna, ia bisa melihat Jinhyuk yang masih sangat mengantuk dan menatapnya.

Tangannya mengusap sekilas dahi Wooseok, “Masih pusing, hmm?” tanyanya dengan kembali menghadirkan sorot khawatir seperti semalam, terlihat samar karena suasana tamaram di kamar mereka.

Wooseok menggelengkan kepala dengan senyum tipis sebelum menelusupkan wajahnya di dada Jinhyuk. Mau peluk.

Sebuah helaan napas lega terdengar dari kedua bilah bibir Jinhyuk, syukurlah. Suaminya itu sudah tidak pusing lagi. Entah sekhawatir apa dirinya kemarin saat melihat wajah pucat Wooseok.

Satu tangan Jinhyuk mengelus lembut kepalanya membuat Wooseok kembali memejamkan mata.

“Maaf sudah buat Mas Jinhyuk khawatir...” bisiknya lirih. Jinhyuk hanya bergumam sambil mengeratkan pelukannya.

“Tidur lagi, ya. Masih jam tiga.” ucap Jinhyuk setelah sempat melihat jam di ponselnya yang terletak di atas meja di samping tempat tidur. Pukul tiga lewat lima. Pantas saja di luar sana masih terlihat gelap dan belum ada cahaya matahari yang biasanya menerobos masuk melewati celah gorden.

“Laper..” cicit Wooseok pelan yang membuat Jinhyuk mau tidak mau mengulas senyum sambil mengecup gemas puncak kepala Wooseok, random banget sih.

“Kamu tadi malam makannya sedikit kata Ibu. Ya sudah, mas ambilkan roti dulu di dapur, ya?”

Wooseok melepaskan pelukannya dan ikut duduk saat Jinhyuk bangun sambil meregangkan badan, “Ikut..” katanya manja, ia mengulurkan tangannya pada Jinhyuk yang sudah berdiri di samping tempat tidur.

“Aku gak mau roti, lagi mau nasi goreng sama telor ceplok pakai kecap.”

“Jam segini? Kamu tahu kan mas gak bisa masak, lho.” respon Jinhyuk mengingatkan sambil meringis, dia menyempatkan mengusap lembut pipi Wooseok sebelum menyambut uluran tangannya dan membantunya bangun.

Masih teringat masakan super asinnya sebelum dia menikah dan diledek oleh Jinu? Jinhyuk tidak yakin untuk membuatnya lagi, apalagi ini untuk Wooseok.

“Aku yang masak, bukan Mas Jinhyuk.” jelas Wooseok sambil menahan tawa saat melihat wajah Jinhyuk yang meringis malu sekaligus lega mendengar penjelasannya, “Ayo ke dapur.” lanjutannya sambil bergelayut manja di lengan Jinhyuk dan berjalan ke luar kamar.


“Mas Jinhyuk.. aku gak bisa gerak.” Wooseok berkata pelan saat Jinhyuk terus mengekori dirinya dari belakang.

Sejak ia membuka kulkas untuk menyiapkan bahan-bahan masakannya sampai sekarang saat ia berdiri di depan kompor. Jinhyuk memeluk pinggangnya dengan tangan bertautan tepat di depan perutnya yang dibalut kaos gombrong berwarna hitam.

Dagu Jinhyuk ditumpu dengan nyaman di atas bahu kanan Wooseok. Dia seakan tidak mendengar protesan yang keluar dari bibir mungil suaminya sejak tadi.

Tangan Wooseok sibuk dengan alat masaknya sendiri, ia melirik Jinhyuk yang memejamkan mata di bahunya, “Mas, kalau ngantuk nunggu di meja makan aja, biar aku beresin masaknya dulu.” ucapnya pelan.

Namun, si sulung keluarga Lee itu malah semakin erat memeluknya, tanpa menjawab apapun. Bahkan malah berkali-kali mencium pipinya dari samping. Manja banget.

Ini yang sedang sakit dirinya apa Mas Jinhyuk sih, batin Wooseok sibuk mengoceh.

Tapi, diam-diam ia suka juga diperlakukan manis seperti ini. Huhu

“Mas masih kesel sama kamu. Soalnya bandel.” bisik Jinhyuk kemudian sambil menghela napas pendek.

Hidungnya bisa mencium harum dari masakan Wooseok, terlihat enak. Terserah, mau jam tiga dini hari seperti sekarang atau kapan pun ia akan merasa ikut lapar kalau disuguhi masakan Wooseok seperti ini.

Tangan Wooseok mengambil sesendok kecil garam di dalam toples dan menamburkan di atas masakannya, “Kan aku udah minta maaf. Aku cuma pusing, gak harus ke dokter.” katanya lalu menyicip masakannya sendiri.

“Hari ini kamu gak boleh kerja. Mas sudah bilang ke Yuvin semalam.” Jinhyuk berkata dengan nada serius dan Wooseok cukup mengerti untuk tahu bahwa suaminya itu tidak mau dibantah.

Ia hanya mengangguk mengiyakan.

Jinhyuk mengeratkan pelukannya lagi, mengecup pipinya dengan lembut saat Wooseok tidak protes.

“Mas Jinhyuk!” bisik Wooseok beberapa saat kemudian dengan nada tertahan ketika Jinhyuk kali ini bermain-main di tengkuknya, iseng. Dia menyeringai saat melihat reaksi Wooseok yang menurutnya lucu.

Haduh! mana bisa fokus masak kalau diperlakukan seperti ini.

Wooseok melepaskan spatula di tangannya dan dibiarkan di atas teflon yang berisi nasi goreng kecap, kesukaannya dan Mas Jinhyuk.

Begitu Wooseok berbalik, ia langsung bisa melihat senyum samar di sudut bibir Jinhyuk yang kemudian menunduk dengan cepat, dan tanpa perlu repot-repot menghitung detik Jinhyuk langsung menciumnya.

Namun, hal tersebut tidak bertahan lama karena tangan Wooseok menahan bahu Jinhyuk agar menjauh, teringat sesuatu, “..kompor..” bisiknya pelan sebelum beralih dan mematikan kompor dengan cepat, untung apinya sejak tadi kecil, jadi masakannya tidak gosong.

Ia kemudian kembali menatap Jinhyuk lagi yang kali ini menyunggingkan senyum miring di wajahnya.

Mau itu wajah baru bangun tidur seperti sekarang, mau itu wajah lelah sepulang bekerja, mau itu wajah segar sehabis mandi atau bahkan saat mengantuk di malam hari, senyum miring Mas Jinhyuk tidak pernah gagal dalam membuat Wooseok berdebar, selalu membuatnya meleleh dengan kaki yang dibuat seperti jelly.

“Sudah matang kak, nasi gorengnya?” tanyanya kelewat santai seakan barusan tidak terjadi apa-apa.

Wooseok mengerang dalam hatinya. Mas Jinhyuk, sialan.

Ia berjinjit dan mengalungkan tangannya di leher Jinhyuk, “Huhu tanggung jawab...” katanya sedikit merengek tepat di depan bibir Jinhyuk.

Tanpa diperintah, Jinhyuk langsung melingarkan tangannya di pinggang Wooseok dan menaikan satu alisnya, “Apanya, hmm?” dia bermain-main sambil menatap manik coklat milik Wooseok hingga siempunya menyebikan bibir mungilnya ke bawah, “...lagi.” bisiknya dengan bibir nyaris bersentuhan sebelum Jinhyuk terkekeh pelan dan mengabulkan permintaannya dengan senang hati.

Tangan Jinhyuk menahan punggung Wooseok yang menabrak pintu kulkas, beruntung tidak terlalu keras hingga ia mengaduh.

Tanpa melepaskan ciuman mereka, Jinhyuk membuat punggung Wooseok bersandar di tembok tepat di samping lemari pantry. Wooseok tidak sempat protes saat punggungnya merasakan dingin dari tembok yang menembus kaosnya, ia malah semakin erat memeluk leher Jinhyuk agar tubuh jangkung suaminya itu semakin menunduk.

Mengecap candu, menikmatinya.

Tidak hanya ranumnya.

Bagian atas kaos Wooseok yang menampilkan jelas tulang selangka karena baju gombrongnya itu begitu menggoda, membuat Jinhyuk diserang pening, sejak tadi kalau boleh jujur.

Rasanya tidak mengenal waktu, juga tidak mengenal tempat, kali ini.

Sepinya suasana dapur utama kediaman Lee di jam tiga dini hari membuat mereka melupakan sekiranya satu persen probabilitas bahwa tingkah mereka akan ada yang memergoki. Seperti-

“Abang...”

Wooseok mendorong secepat kilat bahu Jinhyuk yang sedang menghirup rakus feromon di ceruk lehernya dengan tangan yang sudah berada di dalam kaosnya.

Keduanya menoleh dengan wajah memerah saat mendapati sosok Jinu dengan gelas kosong di tangannya yang berdiri kaku menatap ke arah mereka.

”...aku mau ngambil minum.” cicitnya susah payah setelah melihat pemandangan yang tidak seharusnya dilihat bocah SMP.

“Oh..” Jinhyuk hanya bisa mengeluarkan suara singkat yang terdengar serak dan Wooseok mengusap wajahnya menahan malu, ia bersembuyi di balik badan tinggi Jinhyuk yang membuatnya tenggelam dari pandangan Jinu.

Si bungsu berjalan mendekat ke arah dispenser tanpa berkata apa-apa lagi, mengisi gelasnya dengan terburu-buru lalu ngacir ke kamar sambil menggerutu dalam hati.

ABANG PUNYA KAMAR KENAPA MALAH DI DAPUR SIH! AKU KAN MASIH UNDERAGE!!!!!!!

Sepeninggalnya Jinu, Jinhyuk mengeluarkan kekehan ringan dan membenarkan baju Wooseok yang atasnya sudah tersingkap dengan bahu polosnya yang seputih susu terlihat jelas.

Wooseok menatapnya dengan bibir yang memerah dan sedikit mengerucut, “Mas Jinhyuk sih..” katanya malu-malu. Jinhyuk kali ini tertawa dengan suara rendah, mengecup pelipisnya sekilas.

“Sudah gapapa. Isi perut kamu dulu, lebih penting sekarang.”

Jinhyuk menyingkir dari depan Wooseok dan berjalan ke meja makan, menunggu Wooseok yang menuang nasi gorengnya ke dalam satu piring yang sudah terdapat dua telor ceplok mata sapi.

“Makan berdua aja ya. Aku kayaknya enggak habis.” katanya begitu menaruh piring tersebut di atas meja.

Ia duduk di samping Jinhyuk dan menggeserkan kursinya agar merapat. Mengambil satu sendok dan diberikan pada Jinhyuk dengan penuh senyum. Menatap Jinhyuk dengan mata bulatnya yang berkedip-kedip lucu.

“Mau disuapin sama Mas Jinhyuk, boleh?” tanyanya kelewat manja.

“Boleh, sayang.”

Senyum Wooseok kian melebar saat Jinhyuk menjawab sambil mengusak gemas puncak kepalanya.

Yang mintanya kayak gini, mana bisa ditolak, sih!

Jinhyuk kemudian menuang kecap ke atas telor ceploknya sebelum menyuapi Wooseok dan dimakan dengan lahap.

“Lapar banget ya, kak?” tanyanya sedikit meledek, lucu melihat Wooseok yang sedang makan.

Wooseok hanya mengangguk sambil sibuk menguyah, “Mas Jinhyuk.. juga makan...” katanya sedikit tidak jelas karena mulutnya penuh.

Tangan Jinhyuk mengusap sudut bibir Wooseok yang terdapat kecap belepotan dan kemudian dia juga menyuap untuk dirinya sendiri.

Jam tiga dini hari makan nasi goreng buatan suami tercinta, makannya sepiring berdua dan suap-suapan pula.

Ini antara indahnya dunia pernikahan atau menderitanya perut keroncongan, ya? ...atau mungkin hanya sebuah jeda atas apa yang tertunda tadi? entahlah, hanya Mas Jinhyuk yang tahu.

Mas Radit

mas radit

Sekilas tentang Radit.

Dia adalah si sulung, anak yang paling bisa diandalkan. Sejak kecil dipanggil mas oleh orangtua dan adik-adiknya. Anak yang penyayang dan juga sering menjadi tempat mengadu. Sifatnya cenderung pendiam daripada yang lain juga pembawaannya lebih serius.

Radit dihormati oleh adik-adiknya walaupun secara harfiah mereka hanya berbeda dalam hitungan menit saja saat dilahirkan dua puluh tujuh tahun lalu.

Pemuda lulusan Manajemen Bisnis salah satu Universitas Negeri itu mulai merintis usaha kecil-kecilan dari kuliah, bersama kedua temannya yaitu Seungyoun dan Jaehwan. Seungyoun yang merupakan wong sugih, dulu yang mengeluarkan modal paling besar diantara mereka, hingga akhirnya usaha mereka bisa sukses seperti sekarang dengan cabang angkirang yang tersebar dimana-mana dan omset yang tentu saja lebih dari “lumayan.”

Terkadang ketiganya sering diundang ke acara seminar sebagai pembicara, entrepreneur muda, katanya. Radit sih tidak sampai yakin dirinya sesukses itu hingga bisa diundang jadi pembicara, namun dia menghormati saja sebagai alumni. Jujur merasa bangga juga.

Sejak kuliah memang dirinya dikenal sebagai mawapres dengan berbagai prestasi, terlebih PKM-PKM nya yang berhasil didanai. Sejak dulu dia memang sudah tertarik di dunia bisnis. Pernah exchange ke Jepang juga selama satu semester.

Pokoknya Radit itu tipikal anak sulung yang membanggakan keluarga. Namun, Bapak sama Ibu tidak pernah yang namanya pilih kasih. Semua anak-anaknya sama rata. Disayangi dan dididik tanpa dibeda-bedakan.


“Dek Ushin mau nambah? saya ambilkan ya?”

Wooseok yang sedang menggigit sate kulit langsung menggelengkan kepalanya, apalagi Radit yang duduk di depannya ini sudah berdiri. Tangannya secara refleks menahan lengan Radit, “Enggak usah, mas. Udah cukup kok ini. Aku kenyang.” katanya sambil menengadah menatap wajah Radit.

“Beneran?”

Kepala Wooseok mengangguk cepat, “Udah, beneran.” katanya meyakinkan. Radit menghela napas kecil lalu kembali duduk di depan Wooseok.

“Ya sudah. Nanti dibungkus saja ya. Buat di rumah.”

“Mas, gak perlu.”

Radit tersenyum simpul menatap Wooseok yang memasang wajah tidak enak, “Gapapa, saya yang mau kok.” pandangannya melirik ke sebelah kanan Wooseok dimana terdapat seseorang yang masih anteng makan.

“Kamu kalau mau nambah ambil saja ya. Gratis.” katanya pada Yohan. Pemuda dua puluh tahun itu menatap Radit dengan mata berbinar, “Nambah sate boleh, mas?” tanyanya yang langsung disikut oleh Wooseok.

“Yoyo.” katanya dengan nada sedikit kesal dan malu. Haduh, di depan Mas Radit masa kayak gini sih!

“Iya boleh, ambil saja. Sama nasinya juga.”

Yohan langsung berdiri dan meninggalkan meja mereka sambil membawa piringnya, tidak lupa bilang makasih terlebih dulu pada Radit.

Sumpah tingkah sepupunya itu membuat Wooseok mendengus kecil. Malu-maluin.

“Maaf ya, Mas Radit.” katanya sambil tersenyum sungkan. Dia kemudian mengelap mulut dan tangannya menggunakan tisu yang ada di atas meja.

“Gapapa, gak perlu minta maaf. Saya kan yang menawarkan.” balasnya dengan senyum tulus.

Tadi saat Wooseok sedang memilih makanan, Radit yang terlihat baru saja datang langsung menghampirinya, alhasil mereka akhirnya makan bertiga di satu meja.

Angkringan Mas Radit ini memang tersedia dua tempat, ada beberapa meja dan ada lesehannya. Kebetulan tadi yang di lesehan itu penuh.

Salah seorang pegawai mengambil piring kotor milik mereka. Yohan tidak balik lagi. Anak itu pindah ke tempat lesehan, makan sendiri karena dia sepertinya cukup peka.

Kayaknya juragan angkringan ini naksir sama Kak Ushin, batinnya berasumsi.

Suasana angkringan milik Radit semakin malam semakin ramai saja, apalagi lokasinya yang ini tidak jauh dari alun-alun kota. Beberapa pengamen jalanan juga terlihat mampir dan meramaikan suasana.

Wooseok menggenggam gelasnya yang berisi susu jahe hangat yang dipesankan oleh Radit. Sedangkan Raditnya sendiri memilih kopi.

“Mas Radit, gak lagi sibuk? Lagi datang ke cabang yang di sini?”

Wooseok sedikit banyak tahu ceritanya dari Koh Uyon saat mereka bertemu terakhir. Ternyata Koh Uyon yang dulu tetangganya saat kecil ini teman kuliah Mas Radit. Sambil menyesap sedikit susu jahe nya, Wooseok bertanya pelan. Menatap Radit yang tampak rapi menggunakan sweater berwarna ungu dengan garis vertikal putih.

“Enggak, dek. Tapi, kalau sepupu kamu ga ketemu Uyon kayaknya kita ga bakal ketemu. Saya tadi awalnya mau ke daerah barat.” jelasnya masih menampilkan senyum yang begitu tampan.

Adem banget, mana pembawaannya tenang, Wooseok membatin.

“Maksudnya? gara-gara aku mau ke sini. Jadinya Mas Radit ke sini juga?” nada suara Wooseok sedikit tidak yakin, dan dia menahan napasnya tanpa sadar saat Radit mengangguk pelan.

“Saya mau bertemu Dek Ushin.” katanya serius dengan senyum yang terlihat samar. Dia memandang Wooseok yang mengerjapkan-ngerjapkan mata bulatnya. Radit tahu, pemuda mungil yang menggunakan hoodie kuning itu jelas terlihat kaget mendengar ucapannya.

Radit meloloskan tawa kecilnya. Suaranya sopan banget masuk ke telinga Wooseok. Seakan suara bising di sekitar mereka menghilang begitu saja.

“Kamu, lucu banget. Saya suka lihatnya.”

[XXIII]

Ini malam minggu, tentu saja. Awalnya Jinhyuk akan mengajak Wooseok jalan sepulang menjemputnya bekerja. Mungkin akan menonton film di bioskop atau sekedar nongkrong di sebuah kafe.

Namun, ajakannya itu langsung ditolak halus oleh Wooseok, “Aku mau pulang aja, mas.” katanya tadi saat Jinhyuk bertanya.

Kalau Wooseok nya saja tidak mau, maka Jinhyuk tidak memaksa sama sekali. Toh tujuannya tadi mengajak Wooseok karena ingin menghiburnya agar suaminya itu tidak jenuh setelah seharian bekerja apalagi dengan mood yang sempat kacau tadi pagi.

Baiklah, biar malam minggunya mereka habiskan di rumah saja.

Mereka memasuki rumah sambil berangkulan, Wooseok yang lebih dulu melingarkan tangannya di pinggang Jinhyuk begitu mereka sama-sama turun dari mobil yang di parkir di garasi rumah. Jinhyuk langsung merangkul bahunya dan tersenyum kecil saat Wooseok semakin ndusel.

Gemes banget sih, Kak Ushin nya.

Begitu melewati ruang tengah mereka melihat Ayah, Ibu dan Jinu yang sedang menonton tv dengan dua kotak martabak yang ada di atas meja, yang satu martabak telur dan satunya martabak manis. Jinu yang duduk di atas karpet tampak sibuk mengunyah dengan mulut yang mengembung. Si bungsu keluarga Lee itu memang hobinya ngemil.

“Loh, kok udah pulang. Gak malam mingguan dulu, bang?”

Ibu bertanya tanpa bisa dicegah begitu melihat putra sulung dan menantu kesayangannya itu. Memang biasanya kalau malam minggu seperti ini Jinhyuk dan Wooseok pulang telat untuk menghabiskan waktu berdua.

Quality time, katanya.

Jinhyuk menggelengkan kepalanya dengan tangan masih merangkul bahu Wooseok, “Mau pacaran halal di rumah aja, iya gak sayang?” dia mengerling dengan alis yang di naik turunkan serta senyum-ganteng-pada Wooseok yang sudah memasang wajah malu di depan mertuanya.

Mas Jinhyuk ih! Wooseok menyubit pelan pinggang Jinhyuk yang hanya dibalas tawa kecil.

“Enggak, bu. Aku memang lagi mau di rumah aja.”

Wooseok menjawab dengan senyum yang seperti biasa tampak manis. Tangan Wooseok memegang sebuah kresek dan diberikannya kresek tersebut kepada Jinu, “Buat adek.” katanya.

“Makasih, Kak Ushin.” balas Jinu kesenangan dikasih stok jajanan oleh Wooseok.

Baik Jinhyuk, Ayah, ataupun Ibu hanya menggelengkan kepala melihatnya. Sudah sering sekali Wooseok memanjakan si bungsu. Walaupun Ayah atau Ibu pernah berkata jangan terlalu sering seperti itu, tapi Wooseok tersenyum simpul sambil berkata tidak apa-apa, ia sudah terlanjur menyayangi bocah SMP itu.

“Uhm.. kalau gitu aku ke kamar dulu, ya. Mau bersih-bersih.” Wooseok berpamitan pada semuanya.

“Istirahat, kak.” ujar sang kepala keluarga kepada menantunya itu yang dibalas anggukan oleh Wooseok.

Itu adalah kata yang sangat sering sekali ia dengar bila pulang bekerja. Semua orang di rumah itu begitu perhatian, Wooseok hanya bisa berterimakasih dengan semuanya.

Jinhyuk sempat-sempatnya mengambil sepotong martabak telur yang ada tepat di depan adiknya sebelum dia berlalu ke dalam kamar dengan Wooseok, “Aku juga ke kamar, ya. Ngantuk mau tidur.” pamitnya ikut-ikutan.

Jinu hanya mencibir kecil melihat tingkah abangnya itu, tangannya langsung sibuk membuka-buka kresek dari Wooseok. Banyak banget jajanannya, enaknya punya kakak ipar baik dan pintar masak seperti Kak Ushin, batinnya serseru senang.


Begitu mereka masuk ke dalam kamar, Jinhyuk langsung mengunci pintunya seperti biasa.

Wooseok merebahkan dirinya sambil tengkurap di atas tempat tidur, ia mendesah lega, rasanya enak banget bisa gogoleran seperti ini.

Apalagi kepalanya yang diusap oleh Jinhyuk, “Mandi dulu, sayang.” katanya mengingatkan sebelum Wooseok benar-benar tertidur.

Bibir mungil Wooseok bergumam pelan sambil terbangun dan duduk berhadapan dengan Jinhyuk yang duduk di tepi tempat tidur sedang menatapnya lembut.

Jinhyuk tersenyum begitu hangat padanya, dan Wooseok tanpa ragu membalas sambil mengecup kilat pipi suaminya itu sebelum ia berlalu kabur ke kamar mandi dan bisa mendengar suara tawa renyah Jinhyuk begitu pintunya ditutup, “Jangan lama, sayang.” tambahnya yang masih terdengar jelas oleh Wooseok.

“Iya, Mas Jinhyuk.”

Air hangat memang obat terbaik bagi Wooseok setiap malam, rasanya ia bisa melepaskan lelah setelah bekerja seharian dengan mandi menggunakan air hangat.

Hanya butuh lima belas menit Wooseok di kamar mandi hingga ia keluar dan tampak segar hanya menggunakan bathrobe berwarna dark gray.

Manik matanya menangkap presensi Mas Jinhyuk yang sudah mengganti pakaiannya, celana jeans dan kaos panjang yang dikenakannya tadi sudah berganti menjadi celana pendek dan kaos polos berwarna hitam, setelan tidurnya selain piyama. Dia sedang duduk di sofa dengan laptop di depannya.

Wooseok berjalan ke arah lemari pakaian terlebih dulu untuk mengambil piyamanya sebelum kembali ke kamar mandi dan memakainya.

Rasanya ia masih merasa malu kalau harus memakainya disini bila ada Jinhyuk. Entahlah, dua bulan berlalu setelah pernikahan mereka, Wooseok kerap kali masih bersikap malu-malu.

Dan menurut Jinhyuk hal tersebut jatuhnya malah sangat menggemaskan. Pandangannya hanya memperhatikan Wooseok yang masuk kembali ke kamar mandi sambil menggelengkan kepala tanpa berkomentar apa-apa.

“Sudah, kak?”

Jinhyuk bertanya singkat saat Wooseok akhirnya keluar kamar mandi menggunakan piyama pendek berwarna hijau tua, suaminya itu mengangguk pelan sambil membawa langkah untuk mendekatinya yang duduk di sofa dan mengulurkan tangan padanya yang disambut dengan senang hati oleh Jinhyuk.

“Mas Jinhyuk, lagi apa?”

Tanya Wooseok pelan lalu mendudukkan dirinya di samping Jinhyuk yang masih memegang laptop di atas paha dengan kaki yang bersila di atas sofa.

Wooseok bahkan melirik layarnya karena merasa penasaran.

“Ini cek email kantor, sayang. Tadi atasan mas nanyain. Malam minggu begini masa minta kerjaan.” jawab Jinhyuk heran sendiri dengan tingkah bosnya.

Wooseok mengangguk kecil dan menyandarkan kepalanya di lengan Jinhyuk. Ia hanya diam sambil memperhatikan Jinhyuk yang mengurus pekerjaannya tanpa berniat mengganggu sama sekali.

Hanya butuh kurang dari sepuluh menit kemudian Jinhyuk menutup laptopnya dan menyimpannya di meja kecil tepat di samping sofa.

Perhatiannya kali ini tercurah kepada Wooseok yang masih menyandarkan kepala padanya sambil memeluk lengannya posesif.

“Capek? mau tidur sekarang?” Jinhyuk bertanya pelan sambil mengusap lembut kepala Wooseok dengan sayang.

Ini sudah pukul sepuluh malam.

Namun, Wooseok tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. Melihat Mas Jinhyuk nya yang sudah tidak sibuk, ia malah mengubah pelukannya.

Wooseok melepaskan pelukannya di lengan Jinhyuk dan mengganti menjadi memeluk lehernya. Kepalanya bersandar di bahu Jinhyuk yang langsung membenarkan duduknya agar Wooseok merasa nyaman.

Dia menurunkan kedua kakinya yang awalnya bersila di atas sofa. Tangannya memegang pinggang kecil Wooseok dan kemudian memeluknya, kadua kaki Wooseok diangkat hingga berada di atas pahanya.

“Pindah ke tempat tidur, mau? biar kamu lebih nyaman istirahat sambil tidur.” tawar Jinhyuk setelah beberapa saat.

Wooseok menggelengkan kepalanya di ceruk leher Jinhyuk tanpa bersuara sedikit pun. Jinhyuk mengecup sekilas bahu Wooseok dan tersenyum kecil dengan tingkah manja suaminya ini.

Wooseok wangi sekali setelah mandi, dan Jinhyuk selalu menyukainya.

Bermenit-menit suasana kamar mereka hanya diisi keheningan, baik Jinhyuk maupun Wooseok tidak ada yang memecah keheningan tersebut.

Mereka hanya menikmatinya.

Saling memeluk satu sama lain.

Wooseok merasakan usapan lembut tangan Jinhyuk di pinggangnya dan sesekali naik ke punggungnya. Rasanya menenangkan, ia bahkan sampai menutup matanya dan semakin erat memeluk Mas Jinhyuk nya ini.

“Kenapa, hmm?” Jinhyuk berbisik pelan saat dia merasakan Wooseok menghela napas. Tumben sekali suaminya ini diam saja. Biasanya sibuk merengek, atau mengoceh bercerita apa saja, “Kak?”

“Gapapa, mas.” Wooseok akhirnya bersuara belum mengubah sedikitpun posisinya, “Mau kayak gini terus, sama Mas Jinhyuk.” lanjutannya dengan nada lirih.

“Tidur juga? di sofa?” tanya Jinhyuk dengan nada geli, sedikit heran dengan perkataan Wooseok yang tiba-tiba. Namun, dia langsung mendengar rengekan dari bibir Wooseok yang membuatnya meloloskan tawa ringan. Akhirnya.

“Ya enggak. Nanti pegel-pegel badan aku.”

“Haha, iya mas ngerti kok maksudnya. Mau pindah ke tempat tidur?” balas Jinhyuk sambil kembali bertanya yang juga kembali mendapatkan penolakan, “Nanti.”

Ya sudah. Jinhyuk kembali mengecup pundaknya sambil menumpu dagu disana. Tangannya masih bergerak pelan mengusap punggung Wooseok.

“Belum ngantuk memangnya?”

“Belum.”

Wooseok melonggarkan pelukannya kali ini hingga akhirnya ia bisa menatap wajah Jinhyuk dengan jarak teramat dekat karena posisinya yang duduk seperti ini. Kakinya masih ditumpu berada di atas paha Jinhyuk dan pinggangnya masih dipeluk.

Senyum teduh Jinhyuk membuatnya kembali berdebar, rasanya setiap afeksi yang ia terima dari Mas Jinhyuk selalu membuatnya seperti ini.

Wooseok merasa sangat istimewa.

Bahkan saat tangan Jinhyuk kali ini menangkup pipinya dan mengusapnya pelan dengan senyum yang masih diulas di paras tampannya.

Jantung Wooseok berdetak cepat juga perutnya yang merasa tergelitik, sensasi yang membuatnya malu-malu.

Setiap harinya, Kim Wooseok seperti dibuat jatuh cinta, dibuat jatuh semakin dalam terhadap pesona seorang Lee Jinhyuk yang berstatus suaminya.

Segala sikap baiknya, sabarnya, pengertiannya. Semuanya benar-benar membuat Wooseok merasa sangat beruntung dipertemukan dengan Jinhyuk.

“Aku gatau kalau nikahnya sama yang bukan Mas Jinhyuk. Gak kebayang, sama sekali.” ujar Wooseok tiba-tiba dengan mata sendu menatap Jinhyuk yang mengerutkan keningnya tidak mengerti.

“Gimana, kak?” tanyanya.

Wooseok menggelengkan kepala, satu tangannya yang melingkar di leher Jinhyuk dilepaskan untuk mengusap lembut rahang suaminya itu.

“Aku sayang pake banget banget banget sama Mas Jinhyuk.” bisiknya sambil kembali mencuri kecupan di pipi seperti tadi sebelum ia kabur ke kamar mandi.

Kali ini Wooseok menahannya cukup lama sebelum ia menarik kembali wajahnya.

Jinhyuk melebarkan senyumnya lalu tekekeh dan ngusak ujung hidung Wooseok menggunakan hidung mancungnya.

“Gemes banget sih kamu.” ujarnya kemudian yang ditanggapi hehe oleh Wooseok lengkap dengan rona malu-malu di pipinya.

Tangan Jinhyuk merapikan rambut Wooseok dengan pandangan yang tidak dilepaskan sedikitpun dari kedua manik mata cokelat milik Wooseok yang juga menatapnya dengan berbinar.

Quality time seperti ini terkadang memang yang paling dibutuhkan. Hanya berdua di kamar alih-alih di tempat ramai dengan banyak orang disekitar mereka.

“Aku manja banget ya, mas?”

Wooseok bertanya pelan sambil menggigit bibir bawahnya, Jinhyuk mengangguk yang langsung membuat Wooseok menghela napas lagi. Ia sedikit menundukkan kepala menghindari tatapan Jinhyuk, “Maaf ya. Terlebih tadi pagi.” ujarnya seperti berbisik.

“Kenapa dibahas lagi, sayang. Yang tadi pagi sudah ya.”

Jinhyuk memegang dagu Wooseok agar kembali menatapnya. Dia mencoba meyakinkan melalui tatapannya saat melihat sedikit gurat sedih di dalam pandangan Wooseok.

Jinhyuk tidak menyukainya.

“Masalah kamu yang manja.. dari awal kan mas memang menerima kamu apa adanya. Manjanya, merengeknya kamu juga punya porsinya masing-masing. Kamu bisa menempatkan diri. Tadi pagi, seperti yang kamu bilang, memang mood kamu saja yang mungkin lagi enggak bagus. Sudah, gapapa ya. Mas mengerti kok, sayang.”

Sebuah senyum menenangkan dihadirkan tanpa ragu oleh Jinhyuk dengan tangan yang mengusap lembut puncak kepala suaminya itu, menyisir rambutnya yang begitu halus.

Jinhyuk berharap Wooseok bisa mengerti. Wooseok tidak semerepotkan itu dengan sikapnya, tidak sampai tahap annoying yang membuatnya pusing karena kesal.

Tidak seperti itu.

Lee Jinhyuk mempunyai definisi pusingnya sendiri saat menghadapi tingkah Wooseok.

Pusing minta disayang dan diunyel-unyel. Dikelonin seharian.

“Lagian, mas juga malah makin gemes sama kamu kalau lagi manja. Jadinya makin sayang sama Kak Ushin, sepi banget kalau sehari gak merengek.” tambahnya sambil menaik turunkan alisnya dan tersenyum semakin lebar.

“Tadi pagi, mungkin tingkatan manja kamu memang kelebihan, sampai gak mau jauh-jauh dari mas.”

Wooseok memajukan bibirnya, ia juga tidak mengerti dengan dirinya sendiri tadi pagi. Kok bisa-bisanya sampai seperti itu?

Wooseok lalu memeluk Jinhyuk lagi dengan perasaan lega.

“Huhu Mas Jinhyuk baik banget. Suami terbaik sedunia.” kata Wooseok dengan nada khas dirinya.

Hal itu berhasil membuat Jinhyuk tergelak mendengar ucapannya yang kembali aneh-aneh, biasanya paling wangi sedunia.

Lihat kan? kalau Wooseok nya manja begini siapa yang tidak akan luluh. Sejak awal, Kim Wooseok sudah berhasil mencuri hatinya.

“Iya, sedunia ya. Kak Ushin juga paling gemes sedunia kalau begitu.”

Balas Jinhyuk yang membuat Wooseok terkikik geli dan menjauhkan wajahnya, menatap Jinhyuk dengan mata bulatnya yang semakin berbinar teramat bahagia.

Kehadiran Lee Jinhyuk yang begitu mencintainya adalah salah satu hal terbaik di hidup Wooseok.

Kali ini Jinhyuk yang mencuri kecupan di ranum Wooseok yang sedang mengulas senyum manis.

Berkali-kali.

Tangannya bahkan sudah menangkup kedua pipi Wooseok, ia akan mengecupnya ringan ketika Wooseok merengek malu. Tanpa benar-benar menciumnya, hanya menempelkan bibir mereka.

“Enggak mau bilang stop?” bisik Jinhyuk dengan senyum samar di sudut bibirnya.

Demi Tuhan, Wooseok sudah misuh-misuh dalam hatinya.

GANTENG BANGET HUHUHU MANA MAU KALAU DISURUH UDAHAN

“Lagi...” cicitnya kemudian dengan malu-malu saat Jinhyuk menatapnya sambil menunggu dengan satu alisnya yang terangkat.

Lemah. Wooseok terlalu lemah berhadapan dengan sikap suaminya ini.

Dan Mas Jinhyuk nya itu kembali tergelak apalagi melihat pipi Wooseok yang sudah memerah, lucu banget.

Tawa Jinhyuk menular hingga Wooseok ikut tertawa kecil merasa malu sendiri dengan permintaannya.

Namun, tidak lama ia mengulas sebuah senyum yang sangat manis saat merasakan Mas Jinhyuk mencium keningnya sebelum memeluknya erat.

“Mas juga mau terus seperti ini, sampai lama. Sampai kita tua.” bisiknya, “Bahagia sama kamu dan anak-anak kita kelak.”

Dan Wooseok tanpa sadar menahan napas dengan hati yang berdesir saat mendengarnya.

perkenalan

mas radit-anak sulung

mas radit – anak sulung

wei

wei – anak ke dua

sungjoon

sungjoon – anak ke tiga

jinhyuk

jinhyuk – si bungsu

mas radit

Jinhyuk memainkan sedotan yang ada di gelasnya secara asal, banana smoothie yang dipesannya itu sudah tinggal setengah gelas lagi. Dan walaupun tangannya memainkan sedotan disana, tapi tatapannya tidak lepas untuk mengekori setiap gerik dari manusia yang sedang duduk di hadapannya.

Bibir Jinhyuk sedikit mencebik ke bawah saat melihat Wooseok yang sibuk dengan ponselnya, kekasihnya itu terlihat menunduk dan menatap layar ponselnya dengan serius dilengkapi berbagai ekspresi. Jemarinya dengan lincah bergerak terus-menerus saat berbalas pesan.

Chatting sama siapa sih? serius banget.”

Rasa penasaran seorang Lee Jinhyuk tidak bisa dibendung lagi, bisa-bisa dia meledak karena kesal sekaligus penasaran melihat kekasihnya yang terlihat sibuk sendiri dengan ponselnya.

Wooseok mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis menatap Jinhyuk yang mulai terlihat kesal, “Sebentar ya, ini adek gue, Jinhyuk. Lagi ngomong di grup keluarga.” katanya meminta pengertian.

Mendengar perkataan Wooseok, Jinhyuk akhirnya mengangguk paham dan dia kembali memainkan sedotannya sambil menunggu. Kalau memang itu urusan keluarga ya Jinhyuk tidak bisa protes lebih banyak.

Wooseok punya kehidupan pribadi yang tidak boleh Jinhyuk campuri. Jinhyuk cukup mengetahui dimana batasannya.

Hingga akhirnya tidak sampai lima menit kemudian Wooseok menyimpan ponselnya di atas meja dan menatap Jinhyuk dengan senyum tidak enak, “Maaf, ya..” katanya pelan.

“Gapapa, kok. Penting banget kayaknya?”

Wooseok mengangguk pasti lalu mengambil minumnya, segelas latte macchiatho yang tadi baru diminum sedikit, “Tiga hari lagi adek gue tanding, final. Jadi grup keluarga rame banget. Papa sih yang riweuh.” ujarnya sebelum minum.

Ucapannya barusan berhasil membuat Jinhyuk terlihat antusias, dia bahkan sampai menumpu kedua sikunya di atas meja dan menatap Wooseok dengan penasaran.

“Lo mau pulang? dukung adek lo?”

“Maunya. Emang dibolehin?”

Wooseok balik bertanya kepada Jinhyuk dan Jinhyuk langsung mengangguk tanpa ragu. Si tuan mudanya itu menampilkan senyum samar yang membuat Wooseok waspada.

“Tentu aja boleh. Asal gua ikut. Gua kan mau dukung adek pacar gua sendiri, gak salah dong?”

Nah kan!

Wooseok meringis sambil mengggaruk pelipisnya yang tidak gatal sama sekali. Kalau sudah seperti ini, Lee Jinhyuk akan susah untuk dibantah. Belum lagi Yohan yang memintanya untuk datang, Wooseok tentu saja juga ingin mendukung adiknya itu.

“Gimana? Deal?” Jinhyuk bahkan sampai mengulurkan tangannya kepada Wooseok dan Wooseok menghela napas panjang lalu menjabat tangan tersebut, “Deal.”

“Gua gak pernah nonton pertandingan taekwondo. Pasti seru banget!”

Oke tidak ada salahnya juga mengajak Jinhyuk kalau anaknya memang mau dan sepertinya bukan pilihan yang salah melihat dia yang begitu antusias seperti ini.

“Jinhyuk... tadi lo nonton film nya gak sih? gue liat lo ketiduran.”

Wooseok kembali membuka suara beberapa menit kemudian sambil memotong waffle dengan topping potongan buah berry dan kacang almond di atasnya serta ice cream vanilla yang terlihat menggugah selera, lalu dia menyuapkan ke dalam mulutnya dengan potongan kecil.

“Enggak, gua emang tadi tidur.”

Jawaban Jinhyuk membuat Wooseok mengerutkan keningnya, “Kalau numpang tidur doang, kenapa kita gak pulang aja. Kan lo yang ngajakin nonton pulang kuliah tadi.”

Jinhyuk mengangkat bahunya sambil memperhatikan Wooseok yang sedang sibuk mengunyah, lucu banget sekaligus menggemaskan dengan kacamata bulatnya yang ditaruh di atas kepala. Dirinya sendiri hanya menyuap sedikit cheese cake yang secara asal dipesannya tadi.

“Gua cuma mau ngajak lo jalan. Biar kita gak buru-buru pulang.”

Memang setelah keluar dari bioskop Jinhyuk seakan melanjutkan aksi gak buru-buru pulangnya dengan mengajak Wooseok mampir ke sebuah kafe yang masih berada di sekitar Mall tempat mereka nonton.

“Dasar.”

Wooseok membalas ringan sambil menghabiskan wafflenya dan Jinhyuk hanya meloloskan tawa kecil.

Sejak dua minggu lalu kembalinya Wooseok bekerja dengan Jinhyuk memang tidak banyak yang berubah diantara mereka, tidak terlalu kentara juga. Mereka masih seperti biasanya, hanya saja Jinhyuk sedikit bersikap lebih manis walaupun dengan caranya yang terkadang menyebalkan.

Wooseok masih ingat saat pertama mereka bertemu ketika dia kembali bekerja. Saat itu Jinhyuk pulang dari kampus dan langsung mengetuk kamarnya dalam agenda “gak sabar mau lihat pacar gua.”

Si tuan muda itu bahkan rela membantu Wooseok yang sedang membereskan barang-barangnya, cenderung menganggu malah karena dia terlalu banyak berbicara dan berkomentar ini itu.

Sungguh bukan Jinhyuk sekali.

Saat Wooseok tanya kenapa, dia cuma menjawab, “Anggap aja ucapan selamat datang spesial dari gua.” sambil tangannya sibuk mengeluarkan barang-barang Wooseok dari dalam box.

Atau beberapa kali saat Wooseok menelpon untuk membangunkannya pagi-pagi. Jinhyuk dengan sengaja tidak menjawab hingga akhirnya Wooseok datang untuk membangunkan secara langsung ke kamarnya.

Dan betapa menyebalkannya senyum seorang Lee Jinhyuk saat Wooseok membuka pintu, tuan mudanya itu sebenarnya sudah bangun dan sudah terduduk di atas tempat tidur.

“Gua mau lihat lo pagi-pagi.” katanya yang membuat Wooseok berhasil mengeluarkan dengusan kecil dengan tingkah kekanakan Jinhyuk.

“Bangong aja, mikirin apasih?” suara Jinhyuk menarik kembali perhatian Wooseok yang sempat hilang sesaat. Dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis pada Jinhyuk.

“Gapapa... lo udah? mau pulang sekarang?”

Jinhyuk terlihat berpikir sambil mendorong piringnya ke tengah meja, bahkan makanannya tidak dihabiskan sama sekali dan dia menatap jam di layar ponsel pintar miliknya. Sudah jam tujuh malam.

“Lo gak mau kemana lagi gitu, seok?” tanyanya pada Wooseok yang langsung dibalas gelengan kepala, “Yaudah, pulang aja.”

Wooseok mengiyakan, dia bangun dari duduknya begitupun dengan Jinhyuk, mereka berdua berjalan bersisian keluar kafe. Dan Wooseok menolehkan wajahnya saat tangannya digenggam oleh Jinhyuk kemudian pemuda jangkung itu menautkan jari mereka sambil tetap berjalan, bahkan Jinhyuk seakan berpura-pura tidak melihat Wooseok yang menatapnya.

Sebuah senyum simpul terlihat di kedua sudut bibir Wooseok saat melihat tingkah Jinhyuk dan yang bisa dilakukannya adalah membalas dengan mengeratkan genggamannya tanpa ragu.

“Gua yang nyetir ya?”

“Kenapa? gue aja, Jinhyuk.”

“Udah deh, nurut aja. Jangan banyak protes. Kita lagi pacaran, dan lo bukan lagi kerja.”


Suara langkah panjang yang terdengar buru-buru mengiringi tuan muda kediaman Lee tersebut. Dia berjalan ke arah taman belakang dan langsung menaiki tangga menuju rooftop.

Helaan napas lega langsung keluar dari bibirnya disertai rasa kesal begitu melihat punggung Wooseok yang dibalut kaos berwarna hitam yang sedang berdiri sendirian di sana.

“Kim Wooseok!” ujarnya dengan nada sedikit berat dan cemas.

Wooseok menoleh dengan cepat saat mendengar suara Jinhyuk dan rautnya memasang wajah heran menatap Jinhyuk yang terlihat kesal, bahkan penampilannya masih terlihat rapi dengan blazer berwarna hitam yang melapisi sweater merahnya, “Kenapa, Jinhyuk?” tanyanya pelan.

Langkah Jinhyuk mendekat dan berdiri di hadapan Wooseok, tanpa berkata apapun si tuan muda itu langsung memeluknya dengan erat. Bahkan Wooseok bisa merasakan jantung Jinhyuk berdetak dengan cepat saat kepalanya bersandar di dada Jinhyuk.

“Jinhyuk, kenapa?” bisiknya bingung sambil membalas pelukan Jinhyuk dan mengusap punggung lebarnya agar sedikit menenangkan. Jinhyuk tidak langsung menjawabnya membuat Wooseok berkali-kali bertanya dengan lembut sambil tidak elat mengelus punggungnya.

Jinhyuk menenangkan dirinya sambil menghirup wangi dari rambut Wooseok yang selalu lembut dan wangi sebelum dia berbicara dengan pelan.

“Gua kira lo pergi.. ponsel lo gak aktif. Terus gak ada di kamar. Gua udah cari kemana-mana sampai akhirnya gua liat lo ada disini.”

Wooseok tidak mengerti dengan ucapan Jinhyuk, dia baru saja akan melepaskan pelukannya, namun Jinhyuk bergeming tidak memberinya kesempatan. Pemuda Lee itu malah semakin erat memeluknya dan Wooseok merasakannya puncak kepalanya yang dikecup terus menerus.

Jinhyuk begitu panik saat pulang dari acara makan malam teman orangtuanya di luar, dirinya tidak mendapati Wooseok di manapun. Mulai dari kamarnya bahkan dia bulak balik ke ruang baca lalu ke dapur, ke halaman depan, mengecek mobilnya hingga ke ruang keamanan untuk bertanya.

“Jinhyuk.. dengerin gue. Gue gak kemana-mana. Oke? Gue cuma lagi suntuk aja makanya kesini. Ponsel gue di kamar kok. Mungkin batrenya habis...”

Sebuah erangan frustasi terdengar dari bibir Jinhyuk, dia melonggarkan pelukannya dan menatap Wooseok dengan cemas.

“Pastiin selalu bawa ponsel lo. Gua takut banget lo pergi...” bisiknya lirih.

Senyum hangat tergambar jelas di paras Wooseok saat mendengar ucapan Jinhyuk barusan. Tangannya terulur untuk mengusap pelan pipi Jinhyuk dengan lembut, “Gue gak kemana-mana, Jinhyuk. Gue disini.” katanya dengan tenang.

Jinhyuk mengangguk pelan sambil memejamkan matanya, memegang tangan Wooseok yang berada di pipinya mencoba untuk menenangkan kepanikan dan dia mengecup singkat jemari lentik milik kekasihnya itu, tingkahnya membuat Wooseok terkekeh kecil dengan mata bulat yang berbinar menatapnya.

Kali ini Wooseok yang kembali memeluk Jinhyuk, melingarkan tangannya di tubuh jangkung kekasihnya itu. Kepalanya disandarkan di dada bidang Jinhyuk dengan nyaman. Mendengar setiap detak jantungnya yang masih saja derdetak cepat sambil memejamkan mata. Merasakan setiap usapan lembut di kepalanya.

Rasanya menenangkan, Wooseok bisa merasakan Jinhyuk yang begitu menyayanginya kalau sedang bersikap manis seperti ini.

“Jinhyuk.. makasih udah sayang sama gue.”

Ucapan Wooseok hanya dibalas dengan gumaman pelan, Jinhyuk juga terlihat menikmati waktu mereka saat itu. Setelah kecemasannya tadi dia benar-benar merasa lega saat ini.

Wooseok masih disini, ada di dekapannya.

“Ngapain sih malem-malem sendirian di sini?” tanya Jinhyuk.

“Gue kangen lihat view dari sini...” jawab Wooseok pelan sambil menengadah untuk menatap wajah Jinhyuk dan Jinhyuk langsung menundukkan wajahnya, pandangannya dimanjakan dengan begitu manisnya paras Wooseok malam ini yang sedang tidak memakai kacamata.

“Gue masih gak percaya bisa lihat view dari rumah lo lagi. Gue kira pas malam itu beneran yang terakhir...” ucapan Wooseok diakhiri dengan senyum sedih yang membuat Jinhyuk mengulas senyum tipis.

Tangannya terulur untuk merapikan rambut Wooseok yang sedikit berantakan. Tidak ada protesan sama sekali, satu tangannya bahkan masih memeluk pinggang kecil Wooseok dan tangan Wooseok pun masih belum terlepas memeluknya.

Mereka cukup lama mempertahankan posisi seperti itu ditemani dengan keheningan.

Memang momen seperti ini bisa dihitung jari bahkan jarang sekali mereka bersikap manis sampai seperti ini walaupun sudah berpacaran. Di rumah ini sikap mereka berdua seperti sebelumnya, selalu saja ada gerutuan yang membuat sebagian orang yang melihatnya tidak tampak curiga sedikitpun bahwa hubungan bodyguard dan tuan muda itu lebih dari yang mereka tahu.

“Kok udah pulang?” tanya Wooseok sambil menaikan alisnya. Jinhyuk berdecak pelan lalu mulai melepaskan pelukannya, dia menatap Wooseok yang masih menunggu jawabannya.

“Udah daritadi. Lo berapa lama sih di sini? Ini udah mau jam setengah sepuluh, Wooseok.” balas Jinhyuk sambil membuka blazer yang dikenakannya dan memakaikannya pada Wooseok yang hanya menggunakan kaos pendek.

Harum wangi khas Jinhyuk langsung bisa Wooseok rasakan seperti menyelimutinya.

“Gue keasikan kayaknya.” Wooseok menjawab sambil tersenyum kecil menatap Jinhyuk yang kali ini hanya menggunakan sweater merahnya.

Mereka kemudian berdiri bersisian melihat pemandangan lampu-lampu perumahan, seperti de javu.

“Besok kita pergi jam berapa?”

Jinhyuk memecah kehingan diantara mereka sambil sudut matanya melirik Wooseok yang sedang menumpu dagu dengan tangan yang berada di atas pagar pembatas.

“Jam tujuh.”

“Pagi banget buset! Gua baru bangun dong, Wooseok.” ujar Jinhyuk keberatan dengan perkataan Wooseok dan berhasil membuat Wooseok menatapnya sebal.

“Katanya mau ikut, pertandingan adek gue pagi-pagi, Jinhyuk. Buat apa kalau datengnya telat.” jelasnya yang membuat Jinhyuk meringis kecil lalu mengangguk paham.

“Oke. Bangunin aja kalau gitu.” pintanya, “Gua deg-degan ketemu adek lo. Ketemu Papa lo juga dong, seok? Gua kan baru ketemu Mama lo.”

Mendengar perkataan Jinhyuk, Wooseok tertawa dan menatapnya sambil menyipitkan mata, “Lo takut?” tanya langsung dan membuat Jinhyuk mendengus keras, “Enggak lah, ngapain takut. Gua kan dateng bukan mau nyari masalah. Gua mau ngasih support malah. Cuma ya- lo tahu. Takut awkward aja sama keluarga lo.” ujar Jinhyuk tanpa berbohong.

Wooseok menyikutnya pelan mencoba membuatnya santai, “Biasa aja, Jinhyuk. Gak usah ngenalin jadi pacar juga bisa. Bilang aja temen gue kalau lo takut kagok. Mereka juga tahu lo itu orang yang gue jagain.”

“Iya gimana besok.”

“Tapi, hyuk.. harusnya lo lebih takut sama gue lho. Papa sama Yohan sih cuma jago bela diri. Sedangkan gue...” Wooseok menatap Jinhyuk yang terlihat penasaran menunggu lanjutannya, dia seperti sengaja menjeda begitu lama agar pemuda di depannya semakin penasaran.

“Lo apa?”

Jari telunjuk dan jempol Wooseok teracung tepat di depan wajah tampan Jinhyuk, dia menyipitkan matanya seperti sedang membidik sasarannya, kepalanya memiring sedikit lalu, “Pyung...” katanya pelan sambil tersenyum miring kepada Jinhyuk yang terlihat dingin serta mengerikan di wajah manisnya.

“Gue bisa pakai pistol dan gua cukup jago nembak jarak jauh.”

Sialan! too much information banget. Jinhyuk bergidik, dia memang tahu kalau seorang bodyguard dengan track record diakui seperti Wooseok pasti mempunyai kemampuan semacam itu.

Hanya saja sekarang dia kan pacarnya juga.

“Begini banget anjir pacaran sama bodyguard.” gerutunya yang berhasil membuat Wooseok kembali meloloskan tawa yang terdengar begitu renyah di telinga Jinhyuk.

Jinhyuk kemudian menarik tangan Wooseok untuk duduk di sebuah kursi kayu yang ada di sana, “Duduk deh, gua capek berdiri.” dan Wooseok hanya menurut untuk duduk bersampingan dengan Jinhyuk.

Kepala Jinhyuk menengadah menatap langit malam yang sebagian tertutup awan gelap karena tadi sore sempat hujan. Udara di sini juga cukup dingin.

Tangannya tiba-tiba terangkat untuk menunjuk satu bintang yang terlihat begitu kecil di atas sana sehingga Wooseok ikut mengikuti arah telunjuknya, “Lo tahu gak itu bintang apaan, seok?” tanyanya sambil menoleh ke arah Wooseok.

Pemuda mungil itu mengerutkan keningnya dan menggelengkan kepalanya, dia menatap penasaran kepada Jinhyuk dengan mata bulatnya yang berkedip lucu membuat Jinhyuk seperti terkena serangan jantung akibat diserang the duality dari seorang Kim Wooseok.

“Emang itu bintang apa, Jinhyuk?” tanyanya kemudian.

“Bintang di langit lah, masa bintang di laut.” jawab Jinhyuk sambil nyengir yang membuat Wooseok seperti mengeluarkan asap panas dari kepalanya. Jinhyuk tertawa puas melihat wajah sebal Wooseok serta bibirnya yang merenggut lucu.

“Gajelas lo! Dasar gemini bau!”

“Bodo.”

Suara tawa Jinhyuk masih berderai mengisi kesunyian diantara mereka, tapi Wooseok tidak perduli, dia sangat menyebalkan.

Wooseok malah memainkan blazer Jinhyuk yang sedang dikenakannya, tampak kebesaran tentu saja di tubuh mungilnya. Tapi, Wooseok menyukainya. Ini seperti secara tidak langsung Jinhyuk sedang memeluknya.

“Ngapain lo senyum-senyum?”

Jinhyuk menaruh punggung tangannya untuk memegang kening Wooseok yang langsung ditepis oleh Wooseok sambil mendelik padanya, “Gua kira lo demam, kesambet.” katanya tanpa dosa.

Sungguh kalau dipikir, kenapa Wooseok mau pacaran dengan orang semenyebalkan Lee Jinhyuk!

Wooseok menatap kakinya yang berselonjor, memainkan sandalnya dengan asal saat keheningan kembali terjadi di antara mereka bahkan lebih lama dari sebelumnya.

“Jinhyuk... uhm.. kenapa tadi lo bisa kepikiran kalau gue pergi?”

Fokus Jinhyuk yang sedang menatap langit malam yang tertutup awan itu sedikit pecah saat mendengar suara Wooseok yang bertanya pelan cenderung ragu kepadanya.

Jinhyuk terlihat menghela napas dalam sambil tersenyum kecil masih dengan mentap ke atas sana, sedangkan Wooseok sudah sepenuhnya memberikan perhatian kepada tuan muda sekaligus yang berstatus kekasihnya itu sejak hampir tiga minggu lalu.

“Gatau.. gua cuma ngerasa perasaan lo belum sepenuhnya buat gua. Tapi, at least lo tetep disini pun gua udah seneng banget, Wooseok. Gua udah bisa lihat lo tiap hari aja gua udah bersyukur.”

Suara Jinhyuk terdengar mengambang tidak yakin, dia membalas tatapan Wooseok yang terlihat kaget menatapnya.

“Kok bisa mikir kayak gitu?” tanya Wooseok langsung dengan nada tertahan.

“Gua bilang.. gua gatau.” jawabnya pelan.

Ada gurat kecewa di wajah manis Wooseok saat ini. Dia mengepalkan tangannya tanpa sadar dan mencoba untuk mengambil napas panjang dan melepaskannya secara perlahan, mencoba untuk tenang. Dia tidak tahu darimana Jinhyuk mendapatkan pikiran seperti itu.

“Jinhyuk... mungkin awalnya gue ragu, tapi seperti yang lo bilang pas di rumah gue waktu itu. Gue sadar, gue mau jagain orang yang gue sayang... dan dengan gue gak mau pergi dari sisi lo...”

Wooseok menjeda sambil menatap Jinhyuk yang menatapnya dalam,

“Harusnya itu udah ngebuktiin kalau gue beneran sayang sama lo. Gue udah percayakan hati gue sama lo, Jinhyuk. Sejak lama.”

Jinhyuk tertawa pelan sambil mengusap wajahnya dan menumpu kedua tanganya di atas paha, dia terlihat sedikit kalut, “Maaf...” bisiknya merasa bersalah kepada Wooseok. Jinhyuk bahkan memilih menunduk tidak berani menatap wajah manis kekasihnya yang terlihat sedikit kecewa padanya.

Namun, alih-alih ditinggalkan sendirian di sana karena Jinhyuk menyangka Wooseok akan marah atau pergi. Jinhyuk justru merasakan tangan Wooseok yang secara perlahan memeluk lehernya dari samping dan dia mengecup lembut pipinya sebelum menyandarkan kepala dengan nyaman di atas bahu lebarnya.

Tangan Wooseok menepuk-nepuk dengan lembut bahu Jinhyuk sambil berbisik menenangkan.

“It's okay.. Jinhyuk. Maaf.. memang harusnya aku bilang lebih jelas. Kamu harus tahu... aku juga sayang sama kamu, Jinhyuk. Aku gak akan kemana-mana.”

Wooseok mengulas senyum sambil mengeratkan pelukannya, “Jinhyuk, Aku stay karena kamu minta dan aku juga mau stay atas keinginan aku sendiri.”

Jinhyuk menegakan tubuhnya dan memiringkan duduknya agar menatap sepenuhnya pada Wooseok yang masih tersenyum dengan sangat indah sambil melonggarkan pelukannya hingga kedua tanganya hanya bertumpu di bahu Jinhyuk.

“Makasih, Wooseok.” bisiknya serak penuh rasa terimakasih yang dalam. Wooseok mengangguk kecil dengan senyum yang tidak lepas dari parasnya.

Netra Jinhyuk kembali menatap dalam ke arah mata bulat Wooseok yang terlihat berbinar, saat ini jantungnya berdegup kencang seperti tadi. Tapi karena alasan yang berbeda tentu saja, bila tadi Jinhyuk begitu mencemaskan Wooseok pergi lagi dari hidupnya. Maka kali ini, alasannya karena ungkapan Wooseok barusan.

Hatinya menghangat, terasa lega karena ketakutannya memang salah. Ketakutan yang Jinhyuk sendiri tidak tahu berasal dari mana.

Namun yang pasti sekarang, Jinhyuk tahu bahwa Wooseok mempunyai rasa yang sama dengannya.

Perlahan dengan sedikit ragu, Jinhyuk menundukan wajahnya dan mata Wooseok mengerjap cepat sambil mengertakan pegangannya pada bahu Jinhyuk lalu dia memilih memejamkan mata saat merasakan napas hangat Jinhyuk menerpa wajahnya.

Wooseok menahan napas saat dia mulai merasakan hangat di sudut bibirnya. Jinhyuk mengecupnya disana dengan sangat lembut dan menahannya beberapa detik, kemudian Wooseok merasakan kecupan Jinhyuk yang beralih ke pelipisnya sebelum merengkuhnya dengan erat dan kembali berbisik terimakasih.

Diperlakukan selembut itu oleh seorang Lee Jinhyuk yang dikenalnya membuat Wooseok tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya saat ini sambil menyembunyikan wajahnya yang merona di dada bidang kekasihnya itu.


maybe this night, or maybe not for a hundred others, you will find that you are loved, you have always been, and you will find me waiting.

The hardest goodbye is when you have to, but you don't want to.


“Nyesel gua gak pake supir. Jauh banget sih rumah Wooseok.”

Jinhyuk menggerutu sambil mengemudikan mobilnya, fokusnya terbagi dari melihat jalan di depan dengan melirik ponselnya yang menunjukkan arah navigasi menuju sebuah alamat, itu alamat rumah Wooseok. Sesekali sebuah suara khas juga akan terdengar menyuruhnya untuk berbelok atau lurus sesuai maps.

Tidak lama setelah tadi Pak Khun mengirim alamat rumah Wooseok padanya, Jinhyuk langsung bersiap dan mandi bahkan sarapan terburu-buru karena dia baru bangun tidur cukup siang.

Butuh empat hari dirinya meyakinkan diri sejak Wooseok pergi dari rumahnya. Dan hari ini Jinhyuk memutuskan untuk bertemu Wooseok, dia benar-benar menyusulnya.

Sudah dua jam lebih Jinhyuk mengemudi dan sudah sejak setengah jam lalu bibirnya sibuk menggerutu alih-alih mengikuti lirik dari sebuah lagu yang sengaja diputar di dalam mobilnya untuk mengisi kesunyian. Pantas saja Jinhyuk menggerutu, selain karena cukup jauh tentu saja karena ini weekend dan sudah dipastikan beberapa kali dia terjebak kemacetan.

Hingga kemudian jemari panjangnya mengetuk-ngetuk ringan di atas kemudi, kepalanya berputar dan melongok ke depan sekedar untuk memastikan sebuah gerbang perumahan yang ada di depannya ini sesuai dengan yang tertera di layar ponsel pintar miliknya.

“Udahlah masuk dulu, awas aja kalau nyasar. Gua balik beneran, sumpah. Demi Wooseok, jauh-jauh juga gua jabanin.”

Gampangnya Jinhyuk bisa bertanya langsung kepada si pemilik rumah mengenai detail alamatnya, namun si tuan muda ini malah mencari repot sendiri. Hidupnya benar-benar dibikin ribet.

Dia memang tidak memberitahu Wooseok bahwa dirinya akan datang. Bahkan, bodohnya dia tidak pernah berbalas pesan lagi dengan Wooseok di Whatsapp sejak pertanyaan mengenai kepulangan Wooseok tempo hari hanya karena “gua gatau mau ngomongin apa.”

Hanya saja semalam pengecualian, terjadi obrolan singkat di direct message Twitter, itu pun karena Wooseok duluan yang seperti membuka jalan.

Mereka benar-benar seakan selesai dan tidak ada lagi yang perlu untuk dibicarakan, hubungan bodyguard dan tuan muda itu seperti kelar sampai disana.

Sesekali Jinhyuk melihat status yang dipasang Wooseok baik di Whatsapp maupun Twitter dan Wooseok terlihat menikmati hari liburnya, oh bonus dua hari ini yang membuatnya panas hati tentang foto seseorang yang diposting oleh Wooseok.

Tentu kepergian Jinhyuk ke sini tidak dalam keadaan mentah begitu saja, sejak kemarin Jinhyuk mencari informasi dari Seungyoun, bodyguard teman karibnya.

Jinhyuk berharap Seungyoun mengetahui sedikit saja sesuatu tentang Wooseok karena setahunya mereka cukup dekat walaupun belum kenal lama, baik Jinhyuk maupun Hangyul memang tidak mengetahui bahwa bodyguard-bodyguard mereka berasal dari intansi yang sama.

“Gue gatau apa-apa soal Wooseok. Tapi kalau lo nanya dia udah taken kontrak sama anak pm atau belum, setahu gue belum.”

Jinhyuk mengingat jelas ucapan Seungyoun kemarin saat mereka bertemu di kampus. Ucapan Seungyoun sedikit banyak membuat harapannya yang sempat berada di titik terendahnya perlahan kembali naik.

Semoga Seungyoun benar, semoga Wooseok belum memutuskan keputusannya dan Jinhyuk masih mempunyai kesempatan.

Rencananya tentu saja Jinhyuk akan meminta Wooseok untuk stay, untuk tetap berada di sisinya, untuk tetap menemaninya. Empat hari ini rasanya begitu sepi, Jinhyuk begitu kerasan ditinggalkan oleh Wooseok.

Jinhyuk merindukan Wooseok. Tuan muda songong ini merindukan bodyguard kiciw nya.

Mobil Jinhyuk berhenti di depan pagar setinggi hampir dua meter berwarna hitam yang tertutup rapat, dia memastikan nomor rumah yang terpasang di tembok sampingnya sebelum benar-benar mematikan mesin mobilnya.

Jinhyuk tidak bisa menahan dengusan kecil sambil membenarkan rambut dan pakaiannya lewat kaca spion agar penampilannya terlihat rapi. Jujur saja dia sedikit merasa geli dengan kesungguhannya kali ini yang rela jauh-jauh ke rumah Wooseok, bukan Jinhyuk sekali yang berjuang-berjuang seperti ini tuh.

Namun, hatinya tidak bisa berbohong, dia butuh Wooseok dan sudah cukup bergalau-galaunya beberapa hari ini.

Bagaikan pecundang yang selama ini bersembunyi dibalik kata gensi, Jinhyuk akhirnya menelan sendiri akibatnya. Wooseok pergi begitu saja dengan mudah dari hidupnya dan dia merana kehilangan. Maka, kali ini Jinhyuk akan memastikan Wooseok untuk kembali padanya.

Semoga belum terlambat, harapnya sungguh-sungguh.

Jantung Jinhyuk berdegup kencang dan telapak tangannya sedikit berkeringat ketika sudah berdiri di depan gerbang. Tangannya terulur untuk memencet bel dan disetiap detiknya saat menunggu, Jinhyuk seakan bisa mendengar dekat jantungnya sendiri.

Dengan sedikit menahan napas, Jinhyuk melihat gerbang yang dibuka dan menampilkan sosok seorang wanita dewasa, mungkin itu Mamanya Wooseok walaupun Jinhyuk belum pernah melihat fotonya sekalipun.

Bakal malu banget kalau ternyata dia salah rumah.

“Mau cari siapa ya?” tanyanya dengan raut wajah bingung saat melihat sosok jangkung di depannya dan Jinhyuk langsung mengulas senyum sungkan, “Maaf, ini rumah nya Kim Wooseok?” tanyanya sopan.

“Iya, temannya Wooseok?”

Jinhyuk mengangguk semangat dengan hati lega dan langsung mengulurkan tangannya tanpa ragu, “Saya Jinhyuk tante, Lee Jinhyuk.”

Raut wajah wanita di depannya sedikit kaget saat mendengar nama Jinhyuk, rupanya dia tahu, “Oh.. Lee Jinhyuk yang dijagain Wooseok?” tanyanya memastikan sambil menyambut uluran tangan Jinhyuk, yang lebih muda hanya mengangguk kecil.

“Saya Mamanya Wooseok. Masuk dulu, Jinhyuk.” beliau berujar memperkenalkan diri dan mengajak Jinhyuk untuk masuk.

Kemudian gerbang itu dibuka dan Jinhyuk hanya mengekori langkah dari wanita di depannya yang memasuki rumah, ternyata tebakannya memang benar, itu Mamanya Wooseok.

“Tunggu sebentar gapapa ya, nak Jinhyuk? Wooseok lagi di tempat Papanya, sebentar lagi juga pulang.”

Jinhyuk lagi-lagi mengangguk kecilnya dan dia berterimakasih saat dipersilahkan untuk duduk di sofa ruang tamu.

Mama Wooseok ikut duduk di sofa depan Jinhyuk dan menatap si mantan tuan muda putranya dengan senyum ramah, “Wooseok tidak bilang kalau kamu mau datang. Lagian tahu kamu bakal ke sini kok Wooseok malah pergi.” ucapnya heran dan Jinhyuk hanya meringis kecil.

“Wooseok gak tahu saya kesini, tante. Saya memang gak bilang dulu sama Wooseok. Tante juga gak perlu minta Wooseok cepat pulang. Saya nunggu saja.” jelasnya yang membuat kerutan di kening wanita dewasa itu tampak samar, namun rupanya yang bisa dilakukan ibu dua anak itu hanya mengangguk dan tidak bertanya lebih.

Biarkan saja urusan anak muda, batinnya.

“Tante tinggal ambil minum dulu, ya.” pamitnya sambil berjalan ke dalam rumah.

Jinhyuk menghambuskan napas lega saat Mama Wooseok meninggalkannya sendirian, dia langsung menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Kepalanya mengedar untuk menatap keseluruhan ruang tamu rumah ini.

Sebuah foto keluarga cukup besar yang terpasang di dinding berhasil menarik perhatian Jinhyuk. Kalau kebanyakan rumah mungkin akan memasang foto formal keluarga-seperti di rumahnya-, berbeda dengan di rumah Wooseok.

Jinhyuk sedikit menarik kedua sudut bibirnya, foto itu diambil seperti setelah Yohan memenangkan sebuah lomba, dia berdiri masih menggunakan seragam taekwondo sambil memegang sebuah piala dan menggigit medali dengan Wooseok dan kedua orangtuanya yang tersenyum lebar dan merangkulnya, sungguh potret yang begitu hangat dan membanggakan sekaligus.

Serta semua itu terlihat semakin membanggakan saat pandangan Jinhyuk menangkap sebuah lemari kaca di sudut ruangan yang berisi berbagai piala dan medali juga berbagai piagam penghargaan.

Jinhyuk sedikit membatin sambil meringis, kalau nyari masalah sama keluarga Wooseok, bisa-bisa langsung jadi daging cincang. Ayah sama anak-anaknya jago bela diri semua.


Diantara semua kemungkinan yang akan dilakukan oleh seorang Lee Jinhyuk yang dikenalnya, Wooseok tidak menyangka sama sekali kalau dia akan melihat sosok Jinhyuk sedang mengobrol dengan Mamanya dan duduk santai di ruang tamu rumahnya.

Jadi mobil di depan itu mobil Jinhyuk? Wooseok tadi tidak begitu memperhatikan, dia pikir mobil yang hanya numpang diparkir disana.

Gila? mau ngapain? terus Jinhyuk tahu darimana rumahnya?

Berbagai pertanyaan tergambar jelas di wajah manis Wooseok begitu dia memasuki rumahnya.

“Wooseok..” dan suara Jinhyuk seakan memperjelas keterkejutan Wooseok.

“Ngapain?” ujarnya penasaran tanpa bisa ditahan. Mata bulatnya menatap sosok tinggi yang memakai kemeja putih dengan dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka begitu saja sehingga memperlihatkan kaos di dalamnya yang berwarna senada dan penampilannya itu dilengkapi dengan celana jeans hitam yang terlihat begitu kontras.

Saat ini Wooseok bahkan seperti melupakan presensi Mamanya yang masih berada di sana yang kemudian berdiri dari duduknya untuk menghampiri putra sulungnya itu.

“Kak, ini lho Jinhyuk nungguin kamu pulang daritadi. Katanya Mama gak boleh ngasih tahu kamu biar cepat pulang. Mungkin mau ngasih suprise.”

Wooseok hanya meringis mendengar penjelasan Mamanya, dia kemudian melangkah ke arah Jinhyuk yang sudah berdiri sejak melihatnya.

“Mama ke dalam dulu deh. Jinhyuk, tante tinggal, ya.”

Jinhyuk membalas dengan sopan sambil menatap punggung Mama Wooseok yang masuk ke dalam rumah. Netranya kemudian beralih cepat pada sosok mungil yang dirindukannya beberapa hari ini.

“Hi..” sapanya seperti orang bodoh sambil nyengir.

“Kok bisa lo disini? sejak kapan? tahu rumah gue darimana? mau ngapain?”

Jinhyuk memutar bola matanya sambil mendengus kecil mendengar rentetan pertanyaan dari Wooseok untuknya, namun di dalam hatinya dia tersenyum karena begitu merindukan kebawelan Wooseok.

“Gua tamu, oke? Gak bisa apa disuruh duduk lagi?”

Oh, Wooseok langsung menyuruh Jinhyuk duduk lagi dan dia sendiri mendudukkan dirinya di sofa yang tadi ditempati oleh Mamanya.

“Jawab dulu, Jinhyuk.”

Jinhyuk memajukan duduknya dan memasang tampang serius. Pandangan mereka bertubrukan dan Wooseok diam-diam merasa gugup dengan kedatangan Jinhyuk yang terlalu mendadak ini, apa-apaan sih, tadi malam saja dia tidak bilang apa-apa. Sekarang kok tiba-tiba ada di rumahnya.

“Gua tahu alamat rumah lo dari CV yang masih ada di Pak Khun.”

Penjelasan Jinhyuk membuat Wooseok mengangguk paham, wajar saja kalau Jinhyuk tahu.

“Rumah lo jauh banget anjir. Gua capek banget nyetir sendirian. Nyesel gua gapake supir.”

Lee Jinhyuk tetap saja Lee Jinhyuk yang songong dan menyebalkan, Wooseok mendelik tajam menatapnya, “Ya udah tahu jauh. Ngapain kesini.” balasnya tajam.

Jinhyuk memajukan bibirnya mendengar ucapan tajam Wooseok kepadanya. Sambil mengembusakan napas pelan dia menatap Wooseok yang menatapnya penasaran, Jinhyuk bisa melihat jelas di paras manisnya.

“Gua mau aja kesini. Emang gak boleh?”

Sungguh, Wooseok dibuat bingung dengan ucapan Jinhyuk barusan, “Bukannya gak boleh, Jinhyuk. Tapi ngapain lo jauh-jauh ke rumah gue?” tanyanya dengan sabar, pandangannya mencoba menelisik untuk membaca maksud kedatangan -mantan- tuan mudanya itu dan dia mendapati sebuah keraguan saat Jinhyuk akan berbicara.

Wooseok jadi kembali mengingat pesan dari Seungyoun semalam, “tuan muda lo itu cupunya udah gak ketaker, Wooseok.” Dan Wooseok kemudian sedikit menarik sudut bibirnya, dia mengakui memang gengsi manusia di depannya ini setinggi Himalaya.

“Ikut gue.”

Wooseok berdecak melihat Jinhyuk yang diam saja, dia menarik tangan kurus Jinhyuk agar berdiri dari duduknya dan kemudian menariknya masuk ke dalam rumah untuk menaiki tangga, “Eh lo mau bawa gua kemana ini? Lo jangan macem-macem ya mentang-mentang ini di wilayah kekuasaan lo.” Jinhyuk menggerutu dan memperhatikan tangannya yang di genggaman oleh Wooseok.

“Berisik, diem aja deh.”

Kepala Wooseok menoleh ke balakang sambil memasang wajah galak menatap Jinhyuk, “Di dalam rumah gue memang gak ada cctv kayak di rumah lo, tuan muda yang terhormat. Tapi, biar lebih aman kita ke kamar gue aja.”

Gila, Jinhyuk melotot sempurna mendengar perkataan Wooseok dan protesannya hanya sampai di tenggorokan saat Wooseok membuka sebuah pintu berwarna cokelat kayu dan manariknya masuk tanpa menutup seluruh pintunya lagi.

Pandangan Jinhyuk menatap sekelilingnya begitu dia masuk. Kamar Wooseok tampak nyaman dengan cat tembok berwarna ungu pastel walaupun berukuran tidak terlalu luas seperti kamarnya yang mewah.. juga wanginya lembut dan manis khas Wooseok sekali. Tidak ada sofa panjang seperti miliknya yang biasa digunakan untuk menonton tv, disini hanya ada sebuah kursi di depan meja yang terdapat beberapa buku disusun rapi dan jantung Jinhyuk berdegup saat melihat sebuah lampu berbentuk anjing pemberian darinya ada di sana.

Wooseok masih menyimpannya dan hati Jinhyuk menghangat.

Suara berdecit dari pintu balkon yang dibuka membuat Jinhyuk mengalihkan tatapannya kembali pada sosok mungil yang kali ini menatapnya tidak segalak tadi.

“Kita ngobrol disini aja, Jinhyuk.” ucapnya pelan, Jinhyuk kemudian melangkahkan tungkainya untuk mendekat ke arah Wooseok yang sudah berdiri di balkon sambil punggungnya bersandar di jendela.

Beberapa menit pandangan mereka hanya saling menatap, Wooseok menatap sambil menunggu Jinhyuk berbicara sedangkan Jinhyuk menatap sambil mencoba menyusun apa yang akan diucapkannya. Apa yang beberapa hari ini sangat mengganjal di perasaan dan pikirannya. Semuanya karena satu nama dan satu orang, dia yang berdiri di depannya saat ini.

“Jinhyuk?”

Wooseok memanggil lembut dan Jinhyuk mendesah frustasi sambil mengacak rambutnya, dia melangkah ke tepi balkon sambil bersandar di besi balkon kamar Wooseok yang hanya setinggi pinggangnya. Kali ini mereka berdiri berhadapan dengan jarak kurang dari dua meter.

“Lo ngapain kesini gue tanya.” ulang Wooseok sambil menatap lekat pada Jinhyuk yang rambutnya tidak serapi tadi akibat tingkahnya barusan, beberapa helai anak rambutnya jatuh di dahi membuat Wooseok gregetan ingin membenarkannya.

“Gua mau ketemu sama lo...”

Jinhyuk akhirnya membuka suara dengan nada berat, dia menghembusakan napas dalam sambil mengusap wajahnya. Pandangannya membalas tatapan lekat dari kedua bola mata bulat milik Wooseok yang tidak terhalang kacamata.

“Gua kangen sama lo, Kim Wooseok.”

Sebaris kalimat yang diucapkan oleh Jinhyuk berhasil membuat Wooseok berdebar, kalau dia tidak menyangka akan kedatangan Jinhyuk ke rumahnya. Maka, kalimat tersebut lebih lebih sangat tidak disangka olehnya bisa keluar dari bibir Jinhyuk.

Mereka memang baru berpisah empat hari, namun rutinitas dan kebiasaan selama tiga bulan ini yang membuat mereka bersama setiap hari sedikit banyak membuat keduanya merasa hampa dan kehilangan.

Bagi Jinhyuk, tidak ada lagi Wooseok yang membangunkan paginya dan mengurus segalanya hingga menemaninya makan dan segala perhatian kecilnya. Dan bagi Wooseok, tidak ada lagi ocehan tuan muda yang menyebalkan atau tingkah kekanakannya, namun hal itu membuatnya merasa senang dengan hanya berada di sisinya.

“Kenapa?” bisik Wooseok lirih.

Jinhyuk mengangkat bahunya ringan sambil menarik kedua sudut bibirnya untuk membuat senyum simpul, “Gua kangen sama lo, Wooseok. Makanya gua datang kesini. Gua mau lihat lo dan... gua nyesel banget kehilangan lo.” katanya.

“Wooseok.. maaf udah buat lo pergi gitu aja.”

Sebelum melanjutkan ucapannya Jinhyuk berdehem kecil, kemudian tungkainya melangkah pelan mendekati Wooseok, menatap lebih dekat sosok mungil itu yang sedang manatapnya tidak mengerti.

Jinhyuk menunduk sedikit dan manatap lurus pada kedua bola mata Wooseok yang sangat indah menurutnya.

“Kalau gua minta lo buat stay, apa lo bisa? Karena sekarang gua mau lo stay. Jangan pergi, Wooseok.”

Pertanyaan dan permintaan itu diucapnya dengan pelan, dia melembutkan tatapannya yang mungkin baru pertama kali Wooseok lihat dari seorang Lee Jinhyuk.

Sungguh, tidak ada nada dan tatapan menyebalkan khas Jinhyuk sama sekali, sedikitpun. Mirisnya justru terdengar sedikit putus asa.

Jinhyuk meminta dengan serius, Jinhyuk meminta dengan paling tulus kepada Wooseok.

Jangan pergi Wooseok, jangan pergi dari sisinya.

Setiap helanya seperti meminta kepada Wooseok yang masih terdiam tidak percaya dan belum memberikan respon.

Tidak sampai dua menit kemudian tubuh Jinhyuk sedikit terhuyung ke belakang saat Wooseok memeluknya dan menyembunyikan wajahnya di dada Jinhyuk. Kedua tangannya memeluk erat tubuh jangkung Jinhyuk dan meremas bagian belakang kemejanya. Jujur saja Jinhyuk kaget dengan tingkah Wooseok, namun dia langsung membalas pelukannya.

Jinhyuk membawa tubuh Wooseok kembali ke dalam rengkuhannya untuk yang kedua kali.

Sebuah isakan berhasil terdengar oleh Jinhyuk dan otomatis membuatnya panik, “Kenapa malah nangis?” tanyanya sambil mengusap-ngusap punggung sempit Wooseok yang dibalut kemeja berwarna pastel yang tampak begitu menggemaskan sejak tadi pertama Jinhyuk melihatnya di ruang tamu.

Sebuah gelengan pelan dari Wooseok dan remasan di punggungnya membuat Jinhyuk menghela napas kecil dan mengulas senyum tipis. Dia mengecup lama puncak kepala Wooseok dan mengelusnya dengan sangat lembut tanpa berkata apapun.

“Jinhyuk...” bisik Wooseok sambil terisak pelan dengan suara yang teredam di dada bidang Jinhyuk. “Hmm?” tangan Jinhyuk masih mengelus rambut Wooseok yang memang begitu halus dan wangi.

“Makasih udah minta gue buat stay. Gue... jadi punya alasannya buat tetap sama lo. Lo gak tahu sulitnya gue yang harus pamit buat pergi...” lanjutnya susah payah dengan suara tercekat di tenggorokan dan kembali terisak pelan dengan bahu yang bergetar.

Hati Jinhyuk mencelos mendengarnya. Dia merasa sedikit sesak, dia sangat tidak menyangka Wooseok ternyata sama sepertinya. Pemuda mungil ini juga sama merasa sulit mengucap perpisahan yang tidak dinginkannya, bisakah Jinhyuk simpulkan begitu?

Jinhyuk mengangguk cepat dan mengeratkan pelukannya, berkali-kali menggumamkan kata maaf karena sudah terlambat untuk meminta.

“Gua gak mau lo pergi, seok. Jangan pergi, gue mau sama lo, dengan waktu yang lama. Gak sesingkat ini.”

Kalau ditelaah, baik perkataan Jinhyuk ataupun Wooseok bukan sewajarnya hubungan dari seorang bodyguard dan tuan mudanya, tentu saja siapa pun tahu hati mereka seakan meminta lebih, tanpa sadar.

Wooseok melonggarkan pelukannya setelah beberapa saat sambil mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata serta menyisakan isakan kecil yang keluar dari bibir mungilnya. Di bagian depan kemeja Jinhyuk tercetak jelas basah bekas air matanya.

Saat ini Wooseok tidak bisa membohongi perasaannya, dia sungguh merasa lega saat mendengar langsung dari Jinhyuk yang memintanya untuk tinggal. Itu adalah satu-satunya keinginannya saat ini. Sebaris kalimat yang meyakinkanya untuk tidak pergi karena Wooseok masih ingin tinggal.

Tanpa melangkah sedikitpun dari sisi seorang Lee Jinhyuk.

Tangan Jinhyuk terulur untuk menangkup kedua pipi Wooseok dan menghapus air matanya dengan begitu hati-hati seperti takut sedikit saja dia sembarangan maka bisa membuat Wooseok merasa sakit. Ini pertama kalinya Jinhyuk memegang wajah Wooseok dan pipinya begitu lembut serta halus, “Jangan nangis, please.” bisiknya.

Wooseok tidak malu menangis di depan Jinhyuk karena ini bukan pertama kalinya, dia juga sedang tidak berusaha bersikap tangguh di depan Jinhyuk kali ini, toh Jinhyuk mengetahui cerita dibalik segala sikapnya.

Cerita yang tidak Wooseok bagi ke sembarang orang, jauh di dalam hatinya berarti Wooseok sudah menaruh percaya kepada Jinhyuk.

“Jinhyuk.. makasih.” bisiknya tulus dengan mata yang masih berkaca-kaca menatap Jinhyuk dengan senyum hangat walaupun habis menangis dan tangan Jinhyuk masih berada di kedua pipinya.

“Gua yang harusnya bilang makasih, Wooseok.”

Wooseok merasakan begitu lembutnya kedua ibu jari Jinhyuk yang mengusap kedua pipinya, “Makasih udah mau kembali. Makasih udah mau tetap di sisi gua.” bisiknya kemudian.

“Eh, bentar dulu. Cowok tadi siapa sih? gebetan lo?”

Wooseok sedikit tertawa mendengar nada Jinhyuk yang tiba-tiba berubah ketus sambil menurunkan tangannya dari kedua pipi Wooseok.

“Namanya Jaehyun. Kenapa emangnya, Jinhyuk? kata Uyon lo kemarin kayak cacing kepanasan pas gue upload foto dia.”

Jinhyuk mendecih sebal mendengar perkataan Wooseok, batinnya memaki Seungyoun tanpa tahu malu, “Uyon sialan, ember bocor.” gumamnya yang langsung membuat Wooseok mencubit pinggangnya dan membuat Jinhyuk mengaduh keras.

“Jangan kayak gitu sama Uyon. Lo harusnya berterimakasih sama dia. Dia udah bantuin lo.” katanya dan membuat kening Jinhyuk berkerut dalam, “Bantuin gua gimana?”

“Bantuin dengan cara dia, udah lo gak perlu tahu. Intinya Uyon baik.” Jinhyuk malas berdebat dan dia hanya mengangguk singkat, “Nanti gua bilang makasih.” ujarnya lalu netranya kembali menatap Wooseok sambil menyipit tajam.

“Jadi si Jaehyun itu beneran gebetan lo?”

“Kepo banget. Kenapa? lo cemburu?”

Tangan Jinhyuk diangkat kembali untuk memegang bahu Wooseok dan sedikit meremasnya, “Iya gua cemburu. Lo gak boleh deket-deket sama dia!” katanya tanpa ragu sambil menatap Wooseok sungguh-sungguh. Namun, Wooseok hanya menghela napas terlihat santai sekali mendengar ucapan Jinhyuk.

“Lo inget, kita itu cuma bodyguard dan tuan muda... jadi lo gak berhak ngatur-ngatur kehidupan-”

“Yaudah kita pacaran aja sekalian.” potong Jinhyuk yang berhasil membuat Wooseok mengerjapkan matanya dan merapatkan bibirnya.

“Lo gak nyadar? kita ini kayak pasangan putus yang baru balikan, pake segala nangis-nangisan terus gua mohon-mohon sama lo buat balik ke gua.”

Wooseok menggigit bibirnya dan sedikit membenarkan ucapan Jinhyuk barusan.

“Emang lo suka sama gue?” Wooseok berisik pelan sambil menatap Jinhyuk ragu, “Lo suka sama gua, kan?” Jinhyuk balik bertanya pada Wooseok yang membuat Wooseok menepis tangan Jinhyuk di bahunya. Dia berdecak sebal dan menjauh dari hadapan Jinhyuk untuk berjalan ke tepi balkon, meninggalkan Jinhyuk yang mengekorinya lewat pandangan. Ditanya kok malah nanya balik!

“Gatau.. tapi gue gak mau ninggalin lo. Gue mau jagain lo, Jinhyuk.” jawabnya sambil membelakangi Jinhyuk yang menatap punggungnya.

“Lo pernah bilang, lo mau jagain orang yang lo sayang.” balas Jinhyuk, “Gua terlanjur nyaman sama lo, seok. Gua minta lo balik gak cuma buat jagain gua. Gua mau lo di sisi gua karena gua sayang sama lo.”

Wooseok berbalik dan menatap Jinhyuk dengan senyum tipis tanpa mengatakan apapun, hatinya terasa tersentuh mendengar perkataan Jinhyuk. Perutnya seperti tergelitik penuh kupu-kupu dengan debar yang tidak bisa dihindarinnya.

Jinhyuk kembali melangkah untuk mendekati Wooseok, selama ini dia hanya diam di tempat dan tertinggal jauh oleh ego nya sendiri yang selalu menang. Biar kan kali ini hatinya yang memimpin, untuk kebahagiaannya, untuk perasaannya kepada Wooseok.

Diambilnya tangan lentik Wooseok dan ditautkan jemarinya mereka untuk saling mengisi, sungguh terasa hangat dan pas. Senyum Jinhyuk terlihat saat menatap tangan mereka dan menunjukkan kepada Wooseok.

“Kata orang kalau pas kayak gini tandanya jodoh.”

Tidak bisa ditahan, Wooseok memutar bola matanya mendengar ucapan ngaco Jinhyuk, “Ngawur!” katanya yang dibalas kekehan ringan oleh Jinhyuk. Walaupun berbicara seperti itu, tapi toh Wooseok tidak ada usaha sedikitpun untuk melepaskannya. Dia menikmatinya.

Jinhyuk tersenyum tipis dan memajukan wajahnya untuk mengecup lembut kening Wooseok, “Yang kali ini lo lagi bangun dan gak pura-pura tidur saat gue cium.” katanya sambil menjauhkan wajah dan berhasil membuat Wooseok tersipu dengan pipi yang secara samar menampilkan rona kemerahan.

“I know people are temporary. But please just this once, be my permanent.”

Jinhyuk berucap lirih menatap Wooseok yang terdiam cukup lama sambil membalas tatapannya. Dia seperti sedang mencari kesungguhan di setiap kata dan sorot mata Jinhyuk.

Hingga kemudian lengkungan senyum indah di paras manis Wooseok serta genggaman erat di tangannya berhasil membuat Jinhyuk menarik kedua sudut bibirnya.


In the end, we all just want someone that chooses us. Over everyone else. Under any circumstances.

Wooseok berjalan dari garasi usai memastikan mobil-mobil Jinhyuk masih terparkir berjejer dengan rapi, tanpa ada yang hilang satupun. Aman, berarti Jinhyuk tidak pergi jam segini.

Tungkainya kembali masuk ke dalam rumah bertanya pada siapapun yang dia temui, pasalnya setelah Jinhyuk makan malam dengan kedua orangtuanya tadi langsung pergi ke kamar. Wooseok sendiri tadi selesai makan langsung ke kamar, dia tadi kebetulan makan dengan beberapa orang keamanan di rumah ini, memang dirinya termasuk yang paling muda dan beruntung mereka semua tidak pernah membeda-bedakannya.

“Mbak, lihat tuan muda?” tanyanya pada salah satu pelayan yang sedang membereskan ruang makan, Wooseok duduk di kursi meja makan sambil memandangnya penuh harap.

“Enggak, di kamar gak ada toh, Mas? biasa sama Mas Wooseok.”

“Habis makan biasanya di kamar, tapi gak ada lho, Mbak. Mobilnya juga ada di garasi dan kata satpam gak ada yang keluar rumah.”

“Waduh.. coba cari di halaman belakang, Mas. Mungkin lagi ngadem.”

Wooseok mengangguk kecil dan berterimakasih, tapi langkahnya justru menuju ke ruang keamanan untuk memastikan lewat cctv.

Dia mengetuk pintu sebelum masuk dan langsung melihat Pak Khun yang sedang ngopi dengan beberapa petugas keamanan yang lain, “Kenapa Wooseok?” tanyanya saat melihat sosok mungil Wooseok yang begitu menggemaskan dengan hoodie berwarna ungu serta kacamata bulatnya. Sangat berbeda jauh dengan tampilan orang-orang yang ada di dalam ruangan ini yang kebanyakan memakai pakaian berwarna gelap.

“Mau nyari tuan muda, Pak. Gak ada di kamarnya.” ujarnya sambil meringis menjawab pertanyaan Pak Khun dan dia melangkah masuk ke dalam menuju layar cctv yang menampilkan beberapa sudut rumah mewah ini. Perkataan Wooseok berhasil mengundang beberapa kekehan orang-orang yang ada disana.

“Bakal kangen sama Wooseok yang suka ngedumel gara-gara tuan muda bandel.” sebuah kalimat berhasil terdengar ke telinga Wooseok dan membuatnya tersenyum lebar, “Haduh, aku juga bakal kangen kalian. Di rumahnya PM kepala keamanannya galak, gak kayak Pak Khun.”

“Hati-hati ya nak Wooseok nanti disana. Pasti bakal kerja extra gak kayak disini yang jadi babysitter tuan muda.”

Wooseok tertawa mendengar candaan yang menyebutnya sebagai seorang babysitter, sambil mengacungkan jempolnya pada salah satu petugas keamanan tersebut Wooseok berujar patuh, “Oke, pak.” katanya.

Setelah itu pandangannya sekarang kembali fokus pada layar-layar monitor di depannya, “Aku mau lihat yang di depan kamarnya Jinhyuk...” pintanya pada salah seorang yang duduk di kursi depan meja lebar berisi layar-layar monitor. Dan petugas itu langsung memperlihatkan rekaman cctv yang terpasang di lorong lantai dua yang mengarah langsung ke depan kamar Jinhyuk.


Tungkai Wooseok melangkah pelan menaiki tangga dengan kedua tangannya yang masing-masing memegang mug berisi cokelat hangat dan masih mengepulkan asap tipis serta tercium aroma menggiurkan yang sangat manis.

Setelah melihat rekaman cctv tadi, Wooseok mengetahui kalau Jinhyuk berjalan menuju taman belakang dan menaiki tangga ke arah rooftop, kebetulan di rooftop pun ada cctv yang memperlihatkan Jinhyuk sedang duduk sendirian sambil memainkan ponselnya.

Begitu Wooseok sampai di rooftop, ternyata Jinhyuk sedang tiduran di atas kursi kayu dengan satu lengan dijadikan bantal untuk kepalanya dan lengan lainnya digunakan untuk menutupi wajahnya.

“Jinhyuk... lo mau demam lagi gara-gara tiduran disini?”

Jinhyuk bergumam pelan saat mendengar suara Wooseok yang perlahan mendekat ke arahnya. Dan dia bisa merasakan Wooseok yang mencoba menggeserkan kaki panjangnya agar bisa duduk di bangku yang sedang di gunakan olehnya.

“Geser... gue mau duduk.”

Sebuah decakan samar berhasil keluar dari bibir Jinhyuk saat Wooseok tidak menyerah untuk duduk dengannya, dia bangun dan menatap kesal pada sosok pria mungil itu, “Apasih, kayak gak ada kursi lain aja.”

“Bawel, nih gue bawain cokelat buat lo. Diminum.”

Walaupun sambil menggerutu, Jinhyuk menerima mug dari tangan Wooseok dan dia membenarkan duduknya agar Wooseok bisa duduk di sampingnya.

“Ngapain sendirian disini?”

Jinhyuk hanya mengangkat bahunya dalam menjawab pertanyaan dari Wooseok, bahkan dia tidak repot-repot menolehkan wajahnya ke samping untuk menatap Wooseok yang menunggu jawabannya, “Kenapa chat gue gak dibales? padahal lo pegang ponsel tadi.”

“Gapapa.”

Jawaban Jinhyuk sesingkat itu sambil menatap ke arah mug yang sedang dipegangnya, belum diminum sama sekali dan tangannya terasa hangat saat menangkup mug tersebut.

Tidak terlalu heran, pasti Wooseok tahu dari rekaman cctv kalau tadi dia memainkan ponsel. Dia memang sedang tidak ingin bertemu dengan Wooseok dan sengaja mengabaikan pesannya. Tiba-tiba Jinhyuk sedikit merutuk, kenapa sih rumahnya banyak banget cctv, memang dasar keluarganya suka sekali over dalam segala-galanya.

“Ngapain lo nyari gua?”

Setelah hening beberapa menit, Jinhyuk akhirnya membuka suara diantara mereka. Telunjuknya memainkan pinggiran mug dan lagi-lagi dia berbicara tanpa menoleh ke arah Wooseok.

“Lo gak ada di kamar, ya gue cari. Siapa tahu diculik kan nanti repot.” melalui sudut matanya Wooseok melihat Jinhyuk yang mendecih saat mendengar jawabannya.

Wooseok menghela napas panjang sambil meletakan mugnya di atas kursi, tepat di tengah-tengah dirinya dan Jinhyuk.

Dia bangun dari duduknya dan berjalan ke depan pagar pembatas setinggi dada orang dewasa, tangannya ditumpu di atas pagar sambil melihat pemandangan lampu-lampu perumahan dari atas sini. Otomatis posisinya itu membelakangi Jinhyuk yang kali ini mengangkat wajah untuk menatap Wooseok.

”...gue bakal kangen pemandangan ini. Daerah rumah lo lebih tinggi dari yang lainnya. Jadi kalau lihat dari sini kayak di atas banget.”

Tiga hari lagi, waktu Wooseok untuk berada di rumah ini.

Kepala Wooseok menoleh ke belakang untuk melihat Jinhyuk yang masih memegang mug dan memperhatikannya, “Jinhyuk gak keluar? gue baru inget ini malam minggu.” tanyanya sambil membenarkan kacamata, “Biasanya lo jalan sama temen lo..”

“Males.”

Mendengar lagi-lagi jawaban singkat yang dikeluarkan oleh Jinhyuk, Wooseok hanya mengangguk kecil sambil membulatkan mulutnya dan kembali menatap ke arah lampu-lampu perumahan.

Jinhyuk tidak berusaha untuk mendekat sama sekali, dia hanya terdiam menatap punggung kecil Wooseok yang terbalut hoodie berwarna ungu. Kalau tidak sedang menggunakan pakaian formal, Jinhyuk cukup sering melihat Wooseok memakai pakaian berwarna ungu, mungkin warna kesukaannya.

Jinhyuk membatin, hal itu membuat Wooseok tampak manis, berbeda jauh dengan perannya sebagai orang keamanan.

“Wooseok... kenapa lo jadi bodyguard?”

Sebuah pertanyaan terlontar begitu saja keluar dari bibir Jinhyuk, pertanyaan yang membuatnya penasaran sejak lama.

Berada di situasi seperti ini, rasanya baru pertama kali mereka berdua mempunyai kesempatan untuk mengobrol santai... mungkin sekaligus untuk yang terakhir. Jadi biarkan Jinhyuk bertanya sesuai keinginannya.

Wooseok menarik samar kedua sudut bibirnya saat mendengar pertanyaan Jinhyuk dan dia berbalik untuk menatap tuan mudanya itu. Tanpa mendekat, dia hanya menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas.

“Karena gue mau.. lo sempat underestimate pas pertama ketemu gue. Emang se gak meyakinkan itu ya gue jadi bodyguard?”

Tanpa berniat berbohong, Jinhyuk mengangguk kecil menjawab pertanyaan Wooseok, dia menampilkan senyum miring yang benar-benar terlihat menyebalkan, “Kayak seratus delapan puluh derajat, kecuali kalau lo lagi masang wajah jutek dan galak. Baru gua percaya.”

“Beda banget? sampai harus seratus delapan puluh derajat?” Wooseok terkekeh kecil sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie. “Harusnya gue yang dijagain? bukan yang ngejagain, gitu?”

Jinhyuk mengangkat bahunya, “Lo lebih keliatan kayak anak manja yang terbiasa dilayani-”

“Kayak lo?” potong Wooseok yang langsung membuat Jinhyuk mendengus keras. Wooseok lagi-lagi terkekeh dan meminta maaf, “Lanjutin..” pintanya.

“Males, udah gak mood ngomong.”

Jinhyuk membalas dengan nada ketus kemudian menyesap minumnya, manis dan hangat. Dia menghela napas melihat Wooseok yang masih menunggu lanjutnya, bodyguard nya itu terlihat sangat menggemaskan. Kan, bukan salah Jinhyuk kalau dulu dia sempat underestimate pada Wooseok.

Siapapun pasti akan tertipu dengan tampangnya yang seperti itu, mirip kitten.

Selama tiga bulan ini, Wooseok mungkin sedikit banyak mulai mengetahui segala hal tentang Jinhyuk, sebaliknya Jinhyuk justru tidak mengatahui apapun tentang kehidupan pribadi Wooseok. Mengetahui dia mempunyai adik saja baru sekitar minggu lalu. Mereka benar-benar tidak pernah berbicara ke arah kehidupan peribadi, mungkin Jinhyuk tepatnya yang tidak terlalu perduli untuk bertanya.

Jinhyuk berdehem sekilas sambil membalas tatapan Wooseok, “Lo aja yang ngomong, gua dengerin...” ujarnya, “..ngomong apa kek terserah.”

Kerutan di kening Wooseok tampak nyata mendengar permintaan Jinhyuk, “Ngomong apa..” gumamnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Jinhyuk.

“Ceritain aja kenapa bisa lo kerja jadi bodyguard kayak sekarang. Pasti ada cerita dibalik kemauan lo itu, kan?”

Punggung Wooseok bersandar semakin nyaman di pagar pembatas saat mendengar pertanyaan dari Jinhyuk. Dia menyunggingkan senyum simpul sambil menatap Jinhyuk. Namun, pandangannya sekarang sedikit menerawang menatap langit gelap dengan satu dua bintang yang terlihat begitu samar, “Biasanya.. gue jarang cerita. Tapi karena lo yang minta, gue bakal bagi.” ujarnya.

Jujur, Jinhyuk merasakan jantungnya berdebar saat mendengar ucapan Wooseok, bolehkah dia berharap dengan kata yang baru saja diucapkan oleh Wooseok.

Netranya menatap serius, memperhatikan setiap gerak dari Wooseok yang sekarang terlihat sepenuhnya menerawang dengan kaki yang dimainkan asal.

“Papa gue dari muda udah jadi Master, lo tahu sebutan buat yang ngajar taekwondo. Dia keren banget di mata gue.” mulainya dengan senyum yang tidak hilang sedikitpun sambil membayangkan sosok Papanya.

“Dari kecil gue udah sering dibawa ke tempat latihannya, memang ngajarnya taekwondo, tapi Papa gue juga bisa karate. Tapi gue gak tertarik sama sekali, gue cuma nontonin tanpa ikutan latihan. Bahkan sering banget gue disuruh ikut kelas anak-anak, gue selalu nolak karena gue emang gak mau.”

Wooseok kali ini menatap Jinhyuk sambil tertawa kecil, “Lo bener.. dulu gue memang anak manja.” katanya.

Jinhyuk tidak mencoba untuk berkomentar terlebih dahulu, dia hanya akan mendengarkan.

“Sampai akhirnya, adek gue yang masih lima tahun, dia beneran excited sama hal yang sama kayak Papa. Dia mulai sering diajak latihan, gue selalu ikut tapi selalu nunggu di pinggir, cuma nontonin mereka.” Wooseok mengangkat bahunya, “Orangtua gue gak pernah maksain anaknya, semaunya aja. Gue juga sejak nolak ikut kelas gak pernah dipaksa. Adek gue juga bilang, biar dia aja yang jagain kakaknya.”

“Selang berapa tahun adek gue sering ikut lomba dan kita semua selalu dukung, kita bangga banget sama dia. Medalinya banyak walaupun baru usia tujuh. Gue beda empat tahun sama dia, berarti saat itu gue usia sebelas, kelas lima SD.”

Jinhyuk melihat jelas binar di kedua bola mata Wooseok walaupun terhalang kacamata, dia terlihat begitu bahagia menceritakan tentang keluarganya yang Jinhyuk tidak tahu sedikitpun.

“Tapi, lo sekarang jago bela diri. Lo juga keren, Wooseok.”

Wooseok tersenyum tulus pada Jinhyuk dan berucap terimakasih, “Adek gue atlet nasional. Bulan depan ada olympiade makanya waktu itu gue ketemu dulu sama dia sebelum dia berangkat. Maaf gak izin dulu sama lo, Jinhyuk.” dia mengakhiri kata dengan tersenyum sungkan.

“Harusnya lo bilang, gua pasti ngasih waktu yang lama buat kalian. Gua gak sejahat itu, Wooseok.” Jinhyuk mendengus kecil sedikit merasa bersalah pada Wooseok dan adiknya, namun Wooseok hanya menggumam, “Gapapa, dia ngerti kok.”

“Terus sejak kapan lo belajar bela diri?” pertanyaan Jinhyuk membuat raut wajah Wooseok berubah, tidak ada lagi binar di kedua mata bulatnya dan Jinhyuk melihat jelas perubahan emosinya walaupun sangat samar.

“Sejak kelas enam..” nada suara Wooseok sedikit berat, dia tidak lagi menatap Jinhyuk. Kepalanya menunduk memperhatikan kakinya yang digerakan secara asal. Jinhyuk cukup sadar ada cerita dibaliknya yang mendasari keputusan Wooseok.

“Gue punya temen.. cowok. Waktu itu kita pulang sekolah bareng, kebetulan jalan kaki karena sepeda gue lagi rusak dan dia nemenin gue jalan, baik banget anaknya.” Wooseok menghembuskan napas dalam saat tiba-tiba dadanya merasa sesak.

“Lalu tiba-tiba kita... dirisak sama anak jalanan, sekitar lima orang.”

Wooseok mengeluarkan tawa sumbang dengan berbagai emosi yang terdapat di dalamnya, sedih, kesal, marah, rasa bersalah, kecewa dan kehilangan.

“Kita memang kabur dan sembunyi, tapi temen gue ketangkap. Gak seberapa sebenarnya... mereka cuma minta duit. Tapi, uang jajan kita emang udah habis dan orang-orang itu malah mukulin temen gue.”

Perlahan Wooseok mengangkat wajahnya menatap Jinhyuk yang terdiam masih mendengarkan ceritanya, “Lo tahu hyuk, saat itu gue takut banget. Gue gak bisa ngapa-ngapain dan gue gak boleh keluar sesuai permintaan temen gue.” suara Wooseok sedikit tercekat, “Gue hanya bisa nangis sambil sembunyi.”

“Sampai akhirnya mereka puas dan pergi gitu aja. Mereka juga bukan orang dewasa, mungkin harusnya anak SMP kalau sekolah.”

Jinhyuk bisa melihat jelas emosi yang ditahan oleh Wooseok saat dia memalingkan wajah untuk mengindari tatapannya.

“Temen gue udah babak belur dan gue sambil nangis bawa dia pulang. Dia masuk rumah sakit dan seminggu kemudian... meninggal karena pendarahan di kepalanya.”

Wooseok menengadah saat merasakan ujung matanya menghangat, kenangan itu, kejadian yang benar-benar ingin dilupakannya, rasa bersalahnya terlalu dalam bagi anak usia dua belas tahun hingga bertahun-tahun kemudian sampai detik ini, rasa itu masih tersisa di dalam hatinya.

“Habis itu gue kayak orang gak waras minta sama Papa buat diajarin berantem, gue gak mau kehilangan orang yang gue sayang lagi karena gue gak bisa berbuat apa-apa.”

Wooseok mendengus kecil saat mengusap ujung matanya yang sudah basah. Dia butuh waktu untuk mengambil napas dalam dan mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan ceritanya.

“Sejak itu gue latihan sampai SMA, gue sempat mau jadi atlet kayak adek gue, tapi gue pikir-pikir lagi. Sampai gue iseng nyari info dan setelah lulus SMA gue daftar masuk ke agen pelatihan keamanan terbaik dengan ujian fisik yang beberapa kali sangat sulit hingga gue mau nyerah.”

“Awalnya orangtua gue gak setuju dan nyuruh gue kuliah yang bener, tapi gue keukeuh dan ya lama-lama mereka luluh juga.”

Kali ini Wooseok tersenyum tipis dengan pandangan yang kembali menerawang, “Gue bener-bener digembleng selama dua tahun disana. Dari yang awalnya kerja jadi petugas keamanan di sebuah perusahaan sampai jadi bodyguard anak konglomerat dan dipercaya sama anaknya seorang perdana menteri.”

Wooseok kembali menatap ke arah Jinhyuk yang masih mendengarkannya, “Kalau dipikir... rasa bersalah gue efeknya kuat banget sampai gue bisa berjalan sejauh ini. Tapi, gue gak pernah menyesal sedikitpun.” pungkasnya.

Jinhyuk tidak pernah menyangka sedikitpun dia akan mendengar cerita Wooseok yang seperti ini, banyak sekali perasaan dan emosi yang mendasari ceritanya. Dibalik sosok mungil Wooseok yang menjadi seorang yang tangguh, bahunya penuh rasa bersalah masa lalu.

“Lo udah ngelakuin yang terbaik, Wooseok. Temen lo itu pasti bangga di sana.”

Sebaris kalimat diucapkan oleh Jinhyuk sambil mengulas senyum dan menujuk ke atas, dia menatap Wooseok yang berjalan ke arahnya dan kembali duduk di sampingnya.

“Thanks, Jinhyuk.” ucapnya tulus.

Tangan Wooseok kemudian mengambil mugnya yang sudah dingin, meminumnya sesaat lalu kepalanya menoleh ke arah Jinhyuk yang juga sedang meminum cokelatnya.

“Lo nyuruh gue cerita, jadinya malah kepanjangan. Maaf ya.”

Jinhyuk menggelengkan kepalanya, dia meneleng untuk menatap Wooseok yang matanya sedikit memerah akibat tadi sempat menangis.

Walaupun sedikit ragu, tangan Jinhyuk terulur untuk mengusak puncak kepala Wooseok, “Gapapa, gua jadi tahu lo sekeren itu.” ujarnya sungguh-sungguh sambil menarik tangannya lagi, “Makasih udah mau berbagai cerita sama gua, seok.”

Bibir Wooseok mengerucut sambil merapikan rambutnya yang barusan diacak-acak oleh Jinhyuk, “Iya, tapi gausah bikin rambut gue berantakan, Jinhyuk. Jangan bersikap gak sopan, gini-gini gue dua tahun di atas lo.” katanya yang kemudian disambut decihan oleh Jinhyuk, “Tua aja bangga lo.”

“Biarin.”

Wooseok menatap Jinhyuk dengan senyum tipis kali ini, “Besok gue izin pergi, pagi-pagi ya?” pintanya.

“Kemana? besok kan Minggu.”

“Tadi gue udah ngobrol sama Pak Khun. Dia minta data orang-orang yang gue rekomendasiin buat jadi bodyguard lo. Jadi, gue besok mau ke kantor, kebetulan gue udah bilang dan Minggu ada yang jaga. Gak ada waktu lagi, setidaknya masih ada tiga hari buat Pak Khun milih yang terbaik buat lo.”

Tanpa sadar cengkraman Jinhyuk di mug yang sedang dipegangnya mengerat saat mendengar perkataan Wooseok barusan.

Tangan Wooseok menepuk bahu Jinhyuk sekilas, “Tenang aja, gue pilihin yang gue kenal baik buat lo.” katanya yang berhasil membuat Jinhyuk memalingkan wajah dan berdiri sambil meletakan sembarangan mugnya di atas kursi, nyaris saja jatuh untung tangan Wooseok menahannya dengan cepat, “Jinhyuk, ceroboh!” katanya sedikit kesal.

Namun, Jinhyuk tidak memperdulikannya sama sekali. Dia menghembuskan napas dalam sambil melipat tangannya di depan dada dan berjalan ke arah pagar pembatas, meninggalkan Wooseok yang masih terduduk di atas kursi.

“Lo.. udah beresin barang-barang lo?” Jinhyuk bertanya pelan tanpa membalikkan badannya untuk menatap Wooseok.

“Udah, tapi belum semua sih. Masih sebagian, lagian barang gue gak banyak disini.”

“Nanti lo langsung kerja disana?”

Wooseok menatap Jinhyuk yang masih memunggunginya, bagian belakang rambut Jinhyuk terlihat sedikit bergerak karena terkena angin malam.

“Enggak, gue mau pulang dulu seminggu. Kangen rumah.” jawab Wooseok sambil tersenyum tipis walaupun Jinhyuk tidak melihatnya, Wooseok melihat ponselnya yang berada di dalam saku, sudah pukul sepuluh lebih. Dia menghabiskan minumnya, dan menaruh mugnya di atas kursi, netranya melihat minum Jinhyuk yang belum dihabiskan.

“Jinhyuk titip mug punya gue ya sekalian. Punya lo masih ada. Masih mau dsini? udah jam sepuluh lebih.” Wooseok berbicara sambil berdiri dari duduknya langkahnya mendekati Jinhyuk yang masih terdiam menatap ke depan, “Taro aja nanti gue bawain.” balas Jinhyuk sambil melirik Wooseok yang sudah berdiri di sampingnya.

“Lo masih mau disini?” Wooseok bertanya kembali sambil mengangkat wajahnya menatap Jinhyuk dan Jinhyuk hanya menggumam. Dia mengedikkan kepalanya memberi gestur untuk menyuruh Wooseok pergi duluan.

“Oh... okay. Jangan lama-lama, nanti lo masuk angin. Lo pakai baju pendek.”

Wooseok menepuk lagi bahu Jinhyuk dan Jinhyuk memejamkan matanya saat mendengar langkah kaki Wooseok yang perlahan menjauh.

Di pikirannya saat ini seperti sedang terjadi perang batin yang membuatnya gusar.

“Wooseok...” panggilnya ragu sambil membalikkan badannya, dia menatap Wooseok yang baru saja akan menuruni tangga. Tenggorokan terasa kering dan mulutnya terasa berat saat akan berbicara.

“Iya?” mata bulat Wooseok mengerjap beberapa kali dengan kening berkerut dalam menunggu Jinhyuk yang justru hanya terdiam kaku menatapnya, “Kenapa, Jinhyuk?” tanya sekali lagi.

“G-Gue... boleh meluk lo? ...buat salam perpisahan.”

Wooseok belum sempat menjawab saat Jinhyuk sudah berjalan ke arahnya dan berdiri tepat di depannya. Tuan mudanya itu berdiri dengan cemas menatap kedua mata Wooseok yang sangat indah, walaupun sering memincing sinis tapi tidak menutupi keindahannya.

Bahkan sewaktu-waktu Jinhyuk sering merasa kalau Wooseok menatapnya dengan lembut.

“Boleh... buat salam perpisahan ya.” balas Wooseok sambil tersenyum tipis.

Jinhyuk melangkah maju begitu mendengar ucapan Wooseok yang memberinya izin.

Maka direngkuhnya tubuh mungil Wooseok sambil memejamkan mata dan Jinhyuk tidak bisa menahan senyum saat merasakan tangan Wooseok yang membalas pelukannya, sedikit meremas bagian belakang kaosnya dengan kepala yang bersandar di dadanya.

Jinhyuk merasa lega sekaligus sesak bersamaan.

Tangan Jinhyuk mengusap belakang kepala Wooseok dengan lembut dan menyisir rambutnya yang terasa halus. Dia bahkan menumpu dagunya di atas kepala Wooseok.

“Jinhyuk... makasih. Gue gak bakal lupa pernah kerja sama lo. Jaga diri, dimanapun lo berada.” bisik Wooseok sambil mengelus dan menepuk-nepuk punggung lebar Jinhyuk.

Mendengar perkataan Wooseok, Jinhyuk hanya bisa mengangguk kecil dan mengeratkan pelukannya, dia mencium puncak kepala Wooseok dan menghirup wanginya yang begitu lembut dan manis, sesuai apa yang ada di pikirannya mengenai sosok Wooseok yang tidak sedang berlaku tangguh.

Pelukan mereka hanya berlangsung singkat. Tubuh Jinhyuk yang pertama melepaskan pelukannya, tangannya memegang kedua bahu Wooseok dan dia sedikit menunduk agar wajahnya sejajar dengan Wooseok, agar netranya bisa leluasa menatap keseluruhan paras Wooseok yang sejak pertama kali mereka bertemu sudah berhasil menarik perhatiannya.

“Lo juga.. dimanapun lo, stay safe, Wooseok. Jangan mentang-mentang jago berantem, lo bisa deket-deket sama hal berbahaya.”

Jinhyuk mengulang pesannya untuk Wooseok, mengulang pesan yang pernah diutarakan olehnya beberapa hari lalu saat Wooseok tertidur di kamarnya setelah merawatnya semalaman.

Setidaknya kali ini Jinhyuk berharap Wooseok tahu kalau Jinhyuk ingin Wooseok baik-baik saja, dimanapun dia berada.

Tangan Jinhyuk di bahu Wooseok sedikit mengerat, “Makasih lo udah jagain gua dan maaf kalau gua sering nyari masalah sama lo. Mungkin gua partner yang paling nyebelin buat lo.”

Jinhyuk sedikit terkekeh mengakhiri kalimatnya. Netranya menatap lurus pada Wooseok yang terdiam, dia meneggakkan tubuhnya kembali dan merogoh saku celananya untuk mengeluarkan sepak plaster bergambar hewan seperti untuk anak kecil yang tadi siang dibelinya dan belum sempat diberikan pada Wooseok.

Dia memegang tangan Wooseok dan ditaruhnya plaster itu di atas telapak tangannya sambil menghela napas, “Hadiah dari gua buat tiga bulan lo kerja. Gua bingung mau ngasih apa. Lo disuruh milih sendiri gamau. Yaudah gua beliin ini, memang gak seberapa dan bukan berarti gua mau lo terluka..”

Jinhyuk mengulas senyum yang bertolak belakang dengan tatapan kerasnya, “Gue justru berharap ini gak lo pakai sama sekali, biar bisa lo simpan. Jangan terluka sedikitpun, Kim Wooseok.” katanya sungguh-sungguh.

Tanpa menunggu respon Wooseok, Jinhyuk kemudian memegang kembali bahu Wooseok dan menyuruhnya berbalik serta mendorongnya pelan ke arah tangga, “Gih, udah malem. Gua masih mau disini sebentar lagi.” ujarnya seperti berbisik.

Wooseok menoleh ke arah Jinhyuk saat sudah melangkah turun, “Makasih.. Jinhyuk.” ujarnya sekali lagi dan Jinhyuk hanya mengangguk tanpa berucap apa-apa sebelum kembali berjalan ke arah pagar pembatas, berdiri sendirian dengan segala pikirannya.

Wooseok memegang erat plaster dari Jinhyuk sambil berjalan terburu-buru dari halaman belakang ke kamarnya dan begitu dia masuk ke dalam kamar serta menutup pintu. Wooseok terduduk meluruh sambil mengusap ujung matanya yang sudah basah.

“Bahkan... pesannya masih sama kayak malam itu.” gumamnya lirih sambil memeluk lututnya, “Jinhyuk mau gue stay safe dimanapun gue berada dan sepertinya bukan disini.”

Tatapannya menatap nanar pada barang-barangnya yang sudah dimasukan ke dalam kardus, lalu netranya bergulir ke arah lampu berbentuk anjing yang terlihat lucu, hadiah dari Jinhyuk sebulan lalu.

“Lo gak pernah minta gue untuk stay dan gue gaada alasan untuk tetap disini lagi.”

“Jinhyuk..?”

Wooseok mengetuk pintu kamar Jinhyuk beberapa kali, namun tidak ada tanggapan sama sekali. Tangannya memegang handle pintu dan mencoba membukanya, namun tidak bisa. Masih dikunci seperti tadi pagi. Dia melihat jam di tangan kanannya, sudah lewat jam makan siang, tapi tuan mudanya ini tidak juga keluar kamar.

“Jinhyuk? Lo harus makan. Lee Jinhyuk???”

Kali ini Wooseok bukan lagi mengetuk tapi menggedor pintu kamarnya sambil berdecak. Jinhyuk ini selalu bisa membuat Wooseok pusing, segala adat dan tingkah lakunya memang menggambarkan sekali anak tunggal orang kaya yang suka seenaknya dan songong.

“Gue buka, ya? Gue ambil kunci kamar lo dulu.”

Telinga Wooseok sengaja menempel pada daun pintu untuk mendengar respon dari dalam, namun hanya hening. Dengan sedikit mengerutkan dahinya, Wooseok berjalan menuruni tangga akan menuju ruang keamanan rumah mewah ini untuk meminjam kunci kamar Jinhyuk. Dia berpapasan dengan pelayan senior, seperti kepala pelayannya lah kira-kira. Jangan heran, namanya juga orang kaya.

“Bu, Jinhyuk belum keluar kamar kan dari pagi?” tanyanya langsung untuk memastikan.

“Belum, saya belum lihat tuan muda turun. Biasa makan sama Mas Wooseok, kan?”

Wooseok mengangguk kecil lalu bahunya terkulai lemas membuat pelayan berusia lebih setengah abad itu tersenyum kecil menatapnya, “Dibawa ke kamar aja makanannya, Mas.” ujarnya lembut.

“Ini aku mau ngambil kunci kamarnya dulu, kamarnya di kunci, bu. Aku ke Pak Khun dulu.” pamitnya sambil membalas senyum, Wooseok menyukainya sejak pertama kali bekerja di rumah ini, beliau orang yang sangat lembut dan perhatian, bahkan katanya sudah bekerja di keluarga Lee sejak kedua orangtua Jinhyuk belum menikah.

“Tuan muda Lee Jinhyuk....” Wooseok kembali mengetuk pintu kamarnya, “Gue masuk ya? Gue udah pegang kunci kamar lo.” ujarnya sekali lagi.

Tanpa menunggu jawaban yang tak kunjung didengar, Wooseok membuka pintu kamar Jinhyuk. Beruntung tidak ada kunci yang tergantung dari dalam hingga dengan mudah langsung terbuka.

Bola mata Wooseok membulat sempurna saat memasuki kamar tuan mudanya. Sampah bekas berbagai jenis chiki serta kaleng soda berserakan di atas meja, bahkan beberapa tergelak sembarangan di atas karpet. Belum lagi, gorden berwarna abu tua yang menutupi pintu serta jendela ke arah balkon masih tertutup rapat hingga kamar ini masih gelap.

Dan sosok yang membuat Wooseok pusing itu sedang menutup matanya di atas tempat tidur berukuran king size sambil tengkurap memperlihatkan punggungnya yang polos tanpa memakai baju, selimut berwarna senada dengan gorden itu sudah melorot hingga sebatas pinggang. Wooseok sampai heran, tidur sendiri kok sampai berantakan banget. Emang bar-bar segala-galanya.

Dalam sekali tarikan, Wooseok membuka gorden kamar sehingga cahaya matahari langsung menerobos masuk dan membuat sedikit pergerakan dari Jinhyuk.

“Bangun, Lee Jinhyuk.”

Jinhyuk menutup kepalanya menggunakan bantal saat mendengar suara yang sangat dihapalnya, “Brisik lo.” balasnya samar-samar.

“Mandi, makan. Lo bolos kuliah gara-gara mau tidur sampai siang dan kayak gini?”

Wooseok bergidik memandang sampah-sampah itu, biar nanti dia minta pelayan untuk membereskannya saat Jinhyuk keluar kamar. Dasar jorok!

“Gua bilang jangan masuk kamar, Wooseokkkkk!!!” geram Jinhyuk di bawah bantal dan dia langsung berjengit saat tangan Wooseok menepuk kulit punggungnya, anjing baru inget gapake baju.

“Bangun lo, kenapa malah masuk ke dalam selimut lagi sih!!!”

Tangan Wooseok menarik selimut yang menutupi tubuh Jinyuk, dan Jinhyuk sudah bilang kan kalau tenaga Wooseok itu kayak samson! mereka malah main tarik-tarikan selimut.

“Lee Jinhyuk, mau gue banting atau pelintir lagi tangan lo?”

“BODYGUARD JAHAT EMANG LO!!”

“Iya udah emang gue jahat, makanya lo nurut sama gue!” Wooseok menarik kuat selimut Jinhyuk hingga terlepas dari tangan pemiliknya. Sambil menggerutu Jinhyuk duduk dan menatap Wooseok sinis.

“Apasih gausah sok perduli sama gua, mau gua bangun siang kek, bolos kuliah kek, gak makan siang kek, serah gua.”

“Jangan caper, orangtua lo lagi gak ada.”

Wooseok membalas dengan tenang, sambil mengulas senyum tipis, menghadapi Jinhyuk selama ini dia sedikit banyak paham dengan segala tundak tanduk anak tunggal yang selalu ditinggal orangtuanya bekerja.

“Nanti kalau lo kena masalah, gue dulu yang ditanya. Gue yang dikasih tanggung jawab buat jagain lo.”

Jinhyuk berdecak sambil memalingkan wajahnya menatap sembarangan ke arah sampah-sampah bekas makanya semalam.

“Lo pucat, mandi dulu terus makan.” kali ini Wooseok melembutkan nadanya sambil duduk di tepi tempat tidur Jinhyuk. Dia menatap Jinhyuk yang terlihat berantakan, lalu memegang kening pemuda itu menggunakan punggung tangannya, namun hanya beberapa detik langsung ditepis oleh Jinhyuk, “Apasih, pegang-pegang.” katanya.

“Lo gak enak badan? masuk angin? siapa suruh tidur gak bajuan sambil ac nya segini sih. Minum soda berapa kaleng lagi.” Wooseok berdecak sambil bangun dari duduknya dan mencari remote ac untuk mengganti suhunya.

“Mandi air hangat, habis itu gue bawain makan ke sini.”

Jinhyuk melengos sambil sudut matanya memperhatikan Wooseok yang sedang menyetel ulang suhu kamarnya, “Gua males makan, lidah gua pahit.” gumamnya.

“Gue bawain bubur kalau gitu. Buruan mandi dulu, jangan lama-lama. Gue ke dapur dulu minta bikinin bubur.” Wooseok berujar sambil berjalan ke arah pintu, dan dia menatap Jinhyuk sambil mengacungkan telunjuknya, “Awas kalau dikunci lagi, gue dobrak beneran.” dengan serius Wooseok memberikan peringatan dan begitu pintu kamarnya ditutup Jinhyuk sibuk mengerang sambil meracau.

“Pergi aja lo, bodyguard bawel, ngeselin, seenaknya, galak. Muka sama kelakuannya beda banget anjir.”

“Gue denger ya, tuan muda yang terhormat.”

Dan Jinhyuk semakin meracau saat mendengar suara Wooseok di depan pintu kamarnya.


“Jinhyuk, hidup lo jangan dibawa ribet deh. Tinggal pake doang apa susahnya sih?”

Wooseok berucap frustasi sekaligus gregetan menghadapi Lee Jinhyuk, pemuda berusia dua puluh satu tahun yang sedang menghindarinya dengan terus berjalan menjauh darinya berputar-putar di dalam kamar.

“Gua gak mau mau pake begituan, gua bukan bayi ya anjir.. uhuk...” katanya sambil terbatuk dan tangannya menunjuk-nunjuk sesuatu di tangan Wooseok, bye-bye fever.

“Lo demam dan ini bukan buat bayi. Buat orang dewasa juga ada.”

Wooseok menatap galak pada Jinhyuk yang berdiri di dekat pintu balkon sedangkan dia sendiri berdiri di samping tempat tidur. Semakin sore hingga sekarang malam hari, demam Jinhyuk semakin tinggi malah ditambah batuk. Bahkan saat tadi makan malam pun beberapa kali anak itu mengeluh pusing, kepalanya berat.

“Kalau kayak gini, gue tuh berasa bukan aspri apalagi bodyguard. Gue tuh kayak babysitter tahu gak?!” helaan napas panjang terdengar jelas keluar dari bilah bibir Wooseok, dia menatap Jinhyuk kemudian melemparkan sembarangan bye-bye fever nya, “Udalah dikompres pake air es aja kalau gitu.” telunjuknya kembali terangkat ke arah Jinhyuk, “Lo duduk di tempat tidur pas nanti gue balik kesini. Gak ada nolak!” ucapnya.

“Iya.. uhuk.. udah sana. Gua juga capek mau tidur.”

Wooseok hanya melengos sambil keluar kamar dan bergumam pelan, “Besok-besok gua banting setir aja jadi babysitter.

Tidak sampai sepuluh menit, Wooseok kembali masuk ke dalam kamar Jinhyuk sambil membawa wadah berisi air es dan handuk kecil dan si tuan muda itu sudah tiduran di atas tempat tidur sambil menutupi wajah dengan satu tangannya.

“Jinhyuk, lo tidur?” Wooseok bertanya sambil duduk di tepi tempat tidur, dia meletakan wadah berisi air es nya di meja nakas tepat di samping tempat tidur dengan menyingkirkan dulu barang-barang Jinhyuk yang ada di sana ke dalam laci.

“Enggak..”

Suara Jinhyuk terdengar semakin serak, Wooseok menyingkirkan tangan Jinhyuk yang menutupi wajahnya. Bahkan tangannya pun terasa panas di kulit Wooseok.

Dengan cekatan, Wooseok mengompres kening Jinhyuk menggunakan handuk yang sudah dimasukan ke dalam air es, dia sedikit meringis saat Jinhyuk berjengit karena merasakan dingin yang menyapa kulit wajahnya. Tangannya mengambil tisu dan mengelap sisi wajah Jinhyuk yang terkena tetesan air dari handuk di atas keningnya.

“Lo tidur aja, pasti tadi obatnya bikin ngantuk. Besok pagi lo ke dokter.”

Jinhyuk terbatuk kembali dan Wooseok langsung memberinya air putih, “Minum dulu.” dengan sedikit mengangkat kepalanya Jinhyuk minum dengan gelas yang dipegangi oleh tangan Wooseok.

Selama hampir tiga bulan Wooseok bekerja dengan Jinhyuk, memang baru kali ini tuan muda songong ini sakit dan Wooseok cukup heran dengan segala tingkah manja dan kekanakan yang bisa dia lihat dari seorang Lee Jinhyuk.

Tadi pas di dapur dia memang sempat diberitahu, biasanya kalau tidak ada Maminya yang mengurus itu Ibu kepala pelayan, beliau sudah terbiasa mengurus Jinhyuk sejak bayi.

”...besok gua ke dokter nya sama lo?” tanya Jinhyuk pelan sambil menatap Wooseok dengan kening yang masih terpasang handuk, lagi-lagi dia terbatuk.

“Bebas atau lo mau sama Pak Khun?” Wooseok balik bertanya membuat Jinhyuk mendengus disela pusingnya, “Tau ah, rese lo.” ujarnya.

“Iya sama gue aja, Jinhyuk. Lagian gue udah dikasih tahu dokter keluarga lo dimana.” jelas Wooseok sedikit tersenyum saat mendengar nada kesal khas Jinhyuk. Tangannya mengambil handuk di kening Jinhyuk dan kembali dimasukan ke dalam wadah, diperas lalu diletakan lagi di kening Jinhyuk.

Mata bulat dibalik kacamata Wooseok menatap Jinhyuk yang kali ini memejamkan matanya, “Perlu gue telepon orangtua lo?” tanyanya sedikit ragu. Namun, dia langsung melihat Jinhyuk yang menggeleng pelan, “Gausah, biarin aja. Besok juga gua sembuh. Mereka balik tiga hari lagi.”

“Oh... okay.”


Jinhyuk mengerang pelan sambil memijat keningnya, oh sudah tidak ada kompres lagi ternyata. Tangannya meraba ke bawal bantal untuk mencari ponselnya, matanya menyipit saat layar ponselnya dinyalakan karena cukup silau di keadaan kamar yang tamaram.

Pukul tiga dini hari.

Dia melihat wadah berisi air di atas meja nakas lengkap dengan handuknya serta sebuah termometer. Jinhyuk tidak ingat kapan dia tidur, yang pasti tidak lama saat Wooseok mengompresnya, dibawah pukul sepuluh malam karena tidak lama setelah jam makan malamnya.

Jinhyuk menyingkap selimutnya dan memakai sandal rumah serta berjalan ke kamar mandi. Begitu keluar kamar mandi, mata Jinhyuk menyipit memperhatikan pergerakan di atas sofa di sisi kamarnya, Wooseok? batinnya.

Langkah lebar Jinhyuk berjalan pelan karena kepalanya masih terasa berat.

Kim Wooseok tertidur sambil memeluk bantal sofa, kening Jinhyuk mengerut dalam menatapnya, kenapa dia tidur disini? mana tidak pakai selimut dan untungnya sofa kamar Jinhyuk itu lebar serta panjang, cukup untuk ukuran badan kiciw Wooseok hingga tidak harus menekuk kakinya.

Tangan Jinhyuk belum sampai menyentuh pundak Wooseok langsung diurungkan saat melihat Wooseok yang tertidur pulas dengan bibir mungilnya yang sedikit terbuka, “Lo tidur kayak gini biar apasih, nanti sakit kan repot!” Jinhyuk bergumam sambil berjalan mencari selimut di dalam lemarinya.

Setelah dapat, dengan pelan dan hati-hati, Jinhyuk menyelimuti Wooseok yang untungnya memakai sweater bukan kaos pendek.

Dia menghela napas dalam sambil duduk di atas karpet tepat di bawah sofa, memperhatikan wajah Wooseok yang tidak terganggu sama sekali saat Jinhyuk memakaikannya selimut.

“Dua minggu lagi, ya.” bisiknya sambil menumpu dagu dengan tangannya, “Apa gua harus minta lo tetap sama gua, seok?”

Sebuah lengkung dari sudut bibir Jinhyuk terlihat saat Wooseok mengguman dalam tidurnya seperti sedang merespon ucapannya, “Lo.. manis banget kalau lagi tidur. Sayang banget gua baru lihat pas sekarang lo udah mau pergi..”

Jinhyuk menatap tangannya sebelum tangan itu bergerak dengan ragu ke atas kepala Wooseok, kemudian mengusap pelan rambut Wooseok yang terasa sangat halus di telapak tangannya, “Maaf ya, kalau gua suka bikin lo pusing atau mara-mara.” ujarnya sungguh-sungguh.

“Makasih udah ngerawat gua semalam dan lo repot-repot tidur disini.”

Sejak pertama kali bertemu, Kim Wooseok begitu menarik perhatian dengan wajah manisnya dan Jinhyuk tidak pernah menyangkalnya sama sekali.

Dia memang pernah underestimate saat melihat Wooseok yang dikenalkan sebagai bodyguard barunya oleh Pak Khun, kepala keamanan rumah ini. Namun, sejak hari itu juga tangan Jinhyuk dipelintir dan dia yakin Wooseok memang kompeten di bidangnya. Apalagi setelah tahu dia pernah menjaga anak bungsu seorang perdana menteri, pasti sudah benar-benar diakui.

Jinhyuk memang tidak lama mengenal Wooseok, bahkan di keseharian mereka lebih banyak gerutuan dan ketidakakuran lainnya daripada kedamaian.

Namun, Jinhyuk tidak bisa berbohong kalau dia merasa nyaman dengan sosok Wooseok, bukan hanya karena pertama kali memiliki bodyguard yang tidak berbeda jauh usianya. Tapi, mungkin karena hal lain yang tidak Jinhyuk sadari, dia... perlahan menginginkan Wooseok terus berada di sisinya, menemani harinya.

Ditambah Jinhyuk sangat tidak nyaman melihat Wooseok yang terlihat akrab dengan Seungyoun maupun anak perdana menteri itu yang menurutnya songong. Jujur saja dia sedikit iri melihatnya karena tidak bisa segamblang seperti mereka saat bersikap kepada Wooseok.

Kembali meragu, Jinhyuk menggigit bibir bawahnya sebelum memajukan wajah dan mengecup lembut kening Wooseok.

“Dimanapun lo, stay safe. Jangan mentang-mentang jago berantem, lo bisa deket-deket sama hal berbahaya.” bisiknya lirih sebelum menjauhkan wajahnya dan berjalan kembali ke tempat tidur.

Desember, 2012

“Wooseok... kangen...”

Wooseok mengulas senyum lebar sambil menyambut pelukan Sejin begitu pintu terbuka, kemudian si tuan rumah itu bergelayut manja memegang lengan Wooseok dan membawanya masuk ke dalam, tepatnya ke ruang keluarga dimana ada Seungyoun yang sedang tiduran di atas sofa.

“Gabut bener lo gogoleran begini.” ujar Wooseok dengan nada meledek sambil mendudukkan dirinya di sofa yang berbeda.

Seungyoun yang sedang menonton tv hanya mendengus kecil sambil melihat Sejin yang sudah gelendotan sama Wooseok.

“Sejin ngidam aneh banget, masa minta ketemu buat gelendotan sama lo bukannya sama gue. Sumpah.. gak paham gue sama bawaan orok, bukan sama bapaknya malah sama orang lain.”

Wooseok tidak bisa menahan tawanya mendengar gerutuan Seungyoun yang terdengar sangat iri dengan dirinya. Sedangkan Sejin hanya mengangkat bahu sambil memeluk lengan Wooseok dan menyandarkan kepalanya pada bahu yang berstatus sahabat suaminya dari orok itu.

Iya seorang Cho Seungyoun nikah muda! Gila, Wooseok sampai mau pingsan pas dengar pertama kali.

Tiba-tiba setelah wisuda bulan Juli kemarin Seungyoun langsung melamar Sejin, pacarnya sejak semester tiga, kemudian selang dua bulan mereka menikah dan sekarang Sejin sedang hamil tiga minggu.

Wooseok mengenal baik Sejin sejak dikenalkan pas mereka masih awal-awal berpacaran, tapi memang akhirnya jarang bertemu soalnya Sejin beda kampus.

Menurut cerita heboh Seungyoun, dia bertemu Sejin di kafe pas Seungyoun lagi ikut-ikutan manggung sama teman-temannya. Jadi ya begitu saja kenalan terus pacaran awet sampai dua tahun lebih. Seungyoun memang kalau pacaran suka awet, tapi Wooseok cukup kaget juga pas tahu mereka memutuskan buat menikah di usia baru dua puluh dua. Kalau masalah kerjaan sih tidak usah pusing, Seungyoun anak sultan tinggal kerja di salah satu usaha Papinya juga bisa, rumah-mewah-saja sudah dikasih sebagai hadiah pernikahan mereka.

“Wooseok nginep aja, ya?”

Seungyoun semakin memajukkan bibirnya mendengar permintaan Sejin yang semakin aneh kepada Wooseok, “Gaboleh.. nanti kamu malah tidur sama Wooseok.” ujarnya keberatan.

Wooseok juga menggelengkan kepalanya sambil menepuk-nepuk tangan Sejin yang memeluk lengannya, “Gak bisa kalau sekarang. Nanti deh kapan-kapan lagi ya, Sej. Semoga dedeknya ngerti.” dia berkata cukup geli diakhir kalimatnya, membayangkan Seungyoun menjadi seorang bapak benar-benar bakal aneh menurutnya.

Helaan napas pendek terdengar jelas oleh Wooseok keluar dari bibir Sejin, namun dia mengangguk kecil, “Pulang malam aja, ya? aku mau makan sama kamu dulu.” untuk kali ini Wooseok mengangguk setuju sambil mengulas senyum, “Oke, aku makan malam disini. Udah lama gak main juga, kalian sibuk liburan terus.”

“Honeymoon gue mah tiap hari, seok. Diem di rumah juga berasa honeymoon, iya gak beb?” Seungyoun berkata sambil mengerling pada Sejin dengan senyum yang membuat Wooseok bergidik, sangat mengerti apa yang dimaksud sahabatnya itu.

“Tolong dong hargain gue sebagai kaum jomblo disini.”

Sejin tertawa kecil yang terdengar begitu halus di kuping Wooseok. Anak itu memang lemah lembut, Wooseok menyukai pribadi Sejin yang begitu ramah sejak mereka bertemu. Pokoknya bisaan banget Seungyoun dapetin yang modelan kayak Sejin begini.

Tanpa ragu Seungyoun langsung mencibir mendengar perkataan Wooseok yang membawa-bawa status percintaannya.

“Lagian elo, orang tuh pas lulus lanjut ke tahap lebih serius bukan malah putus, aneh banget.”

“Lo kan tahu, gue gak bisa LDR. Mantan gue anak rantau, habis lulus dia balik. Masa gue ditinggal gitu aja disini, ogah lah. Mendingan gue nyari yang lain.”

“Halah, tapi sampai sekarang masih gak dapet-dapet. Kasian. Beb, temen kampus kamu kasih ke Wooseok coba satu, biar dia gak jomblo lagi.”

Wooseok mendengus sambil melemparkan bantal sofa yang ada di sampingnya ke arah Seungyoun, sayang lemparannya langsung ditangkis sambil dia menjulurkan lidah untuk meledek. Ngeselin.

Melihatnya, Sejin hanya bisa menggelengkan kepala, sudah tidak aneh dengan tingkah kedua sahabat ini, “Mau aku kenalin tapi Wooseok nya enggak mau, ada teman aku anaknya baik padahal, ngemong banget.”

“Tuh kan, lo nya aja yang menolak datangnya jodoh, seok.”

“Gue gak nolak, Cho Seungyoun. Memang lagi gak ada waktu ketemunya. Gue sibuk.” sanggah Wooseok cepat sambil menyandarkan tubuhnya dan membuat Sejin kembali menyamankan posisinya yang sedang bersandar di pundak Wooseok.

“Nanti kalau udah enggak sibuk kasih tahu aku. Nanti aku atur biar kalian ketemu. Mau ya, Wooseok?”

Sejin menoleh ke arah Wooseok dengan senyum yang begitu hangat dan mata penuh harap. Tidak tega menolak, akhirnya Wooseok mengangguk kecil dan tersenyum tipis, “Tapi dia gak bakal ngajak nikah muda kan, Sej? Sumpah, aku gak siap kalau kayak kalian begini.” ucapnya sambil bergidik, “Berumah tangga terus nanti ngurus anak, duh enggak dulu deh. Gak kebayang.” lanjutnya.

Sejin kembali meloloskan tawa kecil melihat tingkah Wooseok yang berlebihan, “Bisa diatur, seok.” katanya.

“Enak tahu seok, nikah muda kayak gue sama Sejin, ada yang nemenin tiap hari.” sambar Seungyoun sambil berdiri dari sofa dan menghampiri Sejin yang sedang menyandar padanya, dia duduk di bantalan sofa dan tangannya mampir di atas kepala Sejin untuk mengelusnya penuh kasih sayang yang dibalas senyum hangat oleh Sejin.

Memang ini hawa pengantin baru terasa sekali penuh hal-hal manis yang berterbaran. Apalagi saat ini Seungyoun yang selalu siap siaga dengan segala permintaan aneh-aneh Sejin.

Dia kemudian melirik Wooseok, “By the way, lo agak rapi, ya? mau main ke sini doang tumben amat.” tanyanya sambil menelisik penampilan Wooseok yang tidak seperti biasanya hanya memakai kaos dan jeans atau sweater kegedean.

Kali ini Wooseok memang terlihat sedikit rapi dengan atasan kemeja berwarna baby blue yang dimasukan ke dalam celana berwarna khaki.

“Oh, nanti malem ada acara.. makanya gue gak bisa nginep, tapi kalau makan doang sih bisa disini. Asal gak lewat jam tujuh, ya?”

Sejin mengangguk setuju, lagipula sekarang masih pukul empat sore. Masih banyak waktu, tentu saja tinggal pesan makanan dari luar. Sejin tidak bisa masak, apalagi Seungyoun, bisa hancur dapur rumah mereka. Memang ada pelayan, tapi tidak datang setiap hari dan tidak menginap, itu adalah permintaan Seungyoun.

“Acara apaan malam minggu? wah jangan-jangan lo diem-diem udah punya pacar? temen kerja lo?” tebak Seungyoun sambil menyipitkan matanya menatap penuh curiga.

“Bukan, ada lah gue diajakin temen. Ulang tahun sepupunya.” jelas Wooseok tidak bisa menahan dengusan di awal kalimatnya.

Seungyoun dan Sejin hanya membulatkan mulutnya, namun si pemuda Cho itu kembali menatap curiga, “Di mana? jangan bilang bar?”

Tidak mau berbohong, Wooseok hanya mengangguk kecil dan kemudian mengangkat tangan untuk menghentikan Seungyoun yang akan membuka mulut, “Gue tahu. Gue bawa mobil dan gue gak akan minum! Stop, jangan ngoceh. Gue cuma nemenin dia doang, youn.”

Seakan mengerti, Sejin langsung memegang lengan Seungyoun dan mengelusnya. Sejin tidak pernah cemburu dengan kedekatan Seungyoun dan Wooseok karena mereka jauh sudah saling mengenal sejak kecil. Dan Sejin juga mengetahui kalau Seungyoun mencintainya.

Seungyoun hanya menghawatirkan Wooseok sewajarnya seorang teman.

Wooseok langsung menoleh pada Sejin sambil tersenyum dan berbisik keras sengaja agar Seungyoun mendengar, “Sejin kok kamu mau nikah sama Seungyoun sih? Pasti posesif ya?”

“Iya, dia emang posesif banget, Wooseok.”

“Ck, udalah gue mau ke kamar aja. Ngomongin orang kok depan wajahnya sih. Suami sama temen sama aja.” gerutuan Seungyoun yang berjalan meninggalkan mereka membuat Wooseok dan Sejin tertawa kecil, dasar baperan.

“Hati-hati lo ya, seok. Awas kalau gue denger yang aneh-aneh.”


Wooseok saat ini sudah berdiri di depan mobilnya di parkiran, dia sedang menunggu temannya yang belum datang juga setelah kedatangannya hampir sepuluh menit lalu.

Mereka memang tadi memutuskan untuk janjian di sini saja. Sebelumnya Wooseok bersikeras untuk membawa mobil sendiri karena memang dia akan berangkat dari rumah Seungyoun, padahal sudah ditawari untuk dijemput, tapi Wooseok merasa tidak enak karena rumah Seungyoun cukup jauh dari sini.

“Apa gue masuk sendiri aja?” gumam Wooseok tidak yakin kepada dirinya sendiri. Masalahnya dia tidak tahu yang berulang tahun itu yang mana orangnya, kan dia cuma diajak. Wooseok tidak mau seperti anak hilang nanti pas sudah di dalam.

Lima menit kemudian dia melihat sebuah mobil yang diparkir tepat di samping mobilnya. Wooseok yang sedang menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di kap mobil mendesah kecewa saat yang keluar dari pintu kemudi bukanlah temannya, melainkan seorang pemuda dengan kaos putih polos yang dilapisi jaket jeans berwana hitam.

Hanya sepersekian detik saja pandangan mereka sempat bertemu saat si orang itu turun dan menutup pintu mobilnya, Wooseok bisa melihat alis tegasnya yang terangkat sambil menatapnya sekilas sebelum berlalu melewatinya begitu saja.

Sorry.. lo baru pertama kali ke sini?”

Wooseok yang sedang kembali menunduk untuk memainkan sepatu sambil menunggu temannya itu menoleh ke belakang saat ada suara yang menggema, dia langsung mengangkat kepalanya.

Oh orang tadi? dia mengajaknya bicara? batin Wooseok tidak yakin saat itu.

Walaupun bingung, Wooseok mengangguk pelan dan dia bisa melihat senyum samar di ujung bibirnya.

“Jangan sendirian di basement, kalau mau nunggu orang di dalam mobil aja atau masuk sekalian, nunggunya di dalam.”

Orang itu memberitahunya sambil membenarkan rambutnya sendiri-bahkan cenderung seperti diacak-acak-sehingga beberapa helai anak rambut jatuh berantakan di atas dahinya. Dia kemudian memasukan kedua tangan di saku jaket saat melihat wajah bingung Wooseok, “Takut aja ada yang aneh-aneh, soalnya lo sendirian gitu.” lanjutnya menjelaskan.

Kepala Wooseok mengedar cepat pendengar penjelasan orang itu, memang benar basement ini sepi sekali, dia kembali menatap orang di depannya, “..oh.. oke, makasih.” balas Wooseok pelan.

Orang itu mengangguk singkat dan kembali mengulas senyum samar, “Sama-sama.. gue duluan.” pamitnya sebelum melangkah pergi.

“Lagian anak kecil kok nyasar ke sini.”

Wooseok melotot, dia masih bisa mendengar ucapan orang tadi yang bergumam sambil berlalu mengatainya.

“Gue bukan anak kecil!”

Dikatain seperti itu Wooseok membalas dengan nada tidak terima, yang benar saja, dia itu sudah 22 tahun-baru dua bulan lalu sih-, sudah lulus kuliah juga dan yang paling penting sudah bekerja-walaupun masih anak magang-masa dikatain anak kecil yang nyasar.

Namun, orang itu tampaknya tidak mendengar protesannya. Wooseok hanya menatap punggung lebar yang perlahan meninggalkan basement tersebut dengan tatapan kesal.

Walaupun begitu, toh Wooseok kemudian menuruti ucapan masuk akalnya untuk masuk kembali ke dalam mobil dan kemudian dia sibuk menelpon temannya berkali-kali sambil menggerutu.

Suara lagu anak-anak masih terdengar dari tv walaupun dengan volume yang dipasang hanya di angka dua. Penampilan dari hewan-hewan animasi yang sedang bernyanyi dan berjoget merupakan hal yang sangat tidak familiar bagi Jinhyuk saat ini, bagi pria dewasa berusia tiga puluh dua tahun tepatnya.

Jinhyuk duduk di atas karpet dengan punggung yang bersandar pada sofa, kakinya dibuat berselonjor dengan ujungnya yang hampir menyentuh lantai melewati panjang karpet. Tangan kanannya digunakan untuk menepuk-nepuk pelan punggung sang anak dan tangan kiri mengusap lembut kepalanya. Sesekali dia akan menunduk untuk mengecup puncak kepalanya dan mencium harum rambutnya yang terasa seperti wangi buah-buahan.

Dia tampak tidak terganggu sama sekali saat bagian bahu dari kemeja berwarna hitam yang sedang dikenakannya terlihat lecek dan basah bekas air mata Jinu yang tadi menangis saat digendong olehnya. Bahkan wangi segar kayu putih yang berasal dari Jinu juga menempel lekat pada bagian depan kemejanya.

Jinu memang sudah tidak menangis lagi, anak itu sudah tenang dan sekarang sedang duduk di pangkuan Jinhyuk sambil memakan lollipop rasa cokelat. Tubuh dan kepalanya bersandar di dada Jinhyuk dengan nyaman seperti menikmati setiap tepukan dan usapan dari tangan sang Ayah di punggungnya.

Butuh hampir lima belas menit sejak Jinu memakai baju hingga akhirnya bisa tenang seperti sekarang ini, hingga sesegukannya benar-benar berhenti. Wajah dan bibirnya sudah memerah karena tangisnya yang cukup lama, Jinhyuk merasa kasihan melihatnya, pasti capek.

Sebuah helaan napas kecil keluar dari bibir Jinhyuk saat menatap pintu yang tertutup rapat, beberapa menit lalu Wooseok berdalih akan membereskan kamar mainan Jinu dan dia meninggalkan mereka begitu saja saat dirasa Jinu sudah tenang. Namun, Jinhyuk tidak bisa dibohongi, Jinhyuk tahu Wooseok sedang membutuhkan waktu sendiri.

Jinhyuk hanya membiarkan tanpa bisa berbuat apa-apa, yang bisa dilakukannya hanya menjaga Jinu saat ini.

Perhatian Jinhyuk kembali pada Jinu yang masih anteng memakan lollipop, dikecupnya lagi puncak kepala Jinu, “Jinwoo.. mau buka mainan dari Ayah sekarang?”

Mendengar kata mainan, anak tujuh tahun itu mengangkat kepalanya agar bisa menatap wajah Ayahnya dan dia mengangguk pelan dengan lollipop yang berada di dalam mulut.

Jinhyuk tidak bisa menahan senyumnya saat melihat pipi Jinu yang mengembung lucu. Anaknya tumbuh dengan begitu menggemaskan, Jinhyuk merasa tersentil dengan fakta tersebut. Dia sudah sangat telat bertemu Jinu di usia saat ini, dia melewatkan begitu banyak waktu, melewatkan pertumbuhan Jinu dari bayi hingga menjadi anak yang pintar seperti sekarang.

Menyesal? tentu saja. Jinhyuk memang bodoh, goblok, brengsek dan apapun itu segala makian yang bisa kalian sebut untuk menggambrakan prilakunya.

“Jinwoo suka cokelat, ya? nanti Ayah beliin ya sayang.”

Lagi-lagi Jinu mengangguk mengiyakan pertanyaan Ayahnya.

Sebelum berdiri, Jinhyuk menurunkan Jinu terlebih dahulu dan dia berjalan untuk mengambil paper bag yang tadi dibawanya. Lucu, saat Jinhyuk duduk kembali di atas karpet, Jinu langsung beringsut mendekat membuat Jinhyuk langsung memangkunya lagi sambil mengulas senyum.

“Mobilnya besar.”

Jinu berucap saat melihat kotak kardus yang dikeluarkan oleh Jinhyuk dari dalam paper bag. Senyum Jinhyuk melebar saat Jinu terlihat antusias, “Jinwoo suka?” tanyanya.

“Suka! Sama kayak punya Dodo, om.”

Namun, mendengar Jinu yang memanggilnya om lagi, senyum Jinhyuk berubah menjadi senyum tipis sambil tangannya mengusak rambut Jinu. Padahal tadi saat menangis jelas-jelas Jinhyuk mendengar Jinu yang memanggilnya Ayah, mungkin anak itu tadi berucap tanpa sadar.

“Bisa mainnya? Mau Ayah ajarin?”

Jinu menggangguk semakin antusias saat dia memegang remote control dan kemudian anak itu mendengarkan dengan serius saat Jinhyuk menjelaskan cara menggunakannya. Diam-diam Jinhyuk merasa bersyukur pilihannya tidak salah saat membeli mobil-mobilan ini, tadi dia tentu saja sempat bertanya dulu saat di toko mainan, buat anak cowok usia tujuh tahun.

Lee Jinhyuk memang bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang anak-anak.

Sambil sibuk dengan mainannya, Jinu menyandarkan punggungnya pada Jinhyuk. Mobil yang dikendalikannya beberapa kali menabrak tembok dan dia berseru kecewa. Jinhyuk terkekeh kecil mendengarnya, tangannya kembali mengusap-ngusap kepala Jinu, sesekali membantu menunjuk tombol mana yang harus dipencet.

“Nanti mainnya di luar aja, biar luas dan gak nabrak-nabrak.” beritahunya dengan lembut, “Maksud Ayah sore, jangan sekarang. Di luar panas, nanti Jinwoo pusing. Sekarang mainnya di rumah aja, ya.” tambah Jinhyuk langsung saat Jinu akan beranjak dari pangkuannya.

“Iya, om.” Jinu menurut dan kembali memainkan mainannya.

“Jinwoo punya banyak mainan, ya?”

Jinhyuk bertanya sambil menumpu dagunya di atas kepala Jinu. Setelah memperhatikan, Jinhyuk tahu kalau hanya ada dua kamar di rumah ini, satu untuk kamar tidur dan satu dijadikan kamar mainan. Sebanyak itukah mainan Jinu?

“Banyak! Kata Papa, Papa kerja buat beli mainan buat Jinu. Dari Om Seungwoo juga banyak, Jinu dikasih Spiderman.”

“Oh ya? Jinu suka Spiderman?

“Suka! Mainan dari Om Woo ada di kamar. Om tinggi mau lihat?” Jinu menolehkan kepalanya dan menatap Jinhyuk dengan wajah berseri-seri, lollipopnya masih diemut di dalam mulut.

Sebelum Jinhyuk menjawab, Jinu sudah bangun dari duduknya kemudian menyimpan remote control yang sedang dipegangnya di atas karpet begitu saja. Dia berlari ke dalam kamar, kentara sekali akan pamer khas anak-anak.

Tidak butuh waktu lama Jinu sudah kembali dengan memegang kardus berukuran tidak terlalu besar. Dia berdiri di depan Jinhyuk yang sudah bersila, “Ini dari Om Woo. Dodo gak punya, cuma Jinu yang dikasih pas ulang tahun.” ceritanya penuh semangat sambil menunjukkan action figure yang terlihat dari luar kotak.

Lagi-lagi sebelum Jinhyuk berbicara, anaknya itu pergi. Jinhyuk sempat mengerutkan keningnya saat Jinu berlari ke arah dapur dan kembali lagi dengan lollipop yang sudah tidak ada. Oh, habis buang sampah batin Jinhyuk sedikit lucu dengan tingkah anaknya.

Senyum Jinhyuk tidak bisa disembunyikan saat mendengar Jinu yang bercerita lagi dengan begitu antusias tentang hadiah ulang tahun dari Om nya itu.

“Om tinggi, mainan yang dulu boleh Jinu buka?”

Setelah sibuk mengoceh, tiba-tiba Jinu menatap Jinhyuk dengan mata bulatnya yang penuh harap, Jinhyuk terdiam sebentar untuk memahami maksud anaknya. Kemudian, dia tersenyum miris saat menyadarinya, sedikit tidak percaya.

“Jinu belum buka mainan dari Ayah yang waktu itu? yang Ayah kasih di sekolah?”

“Belum. Mau Jinu balikin, tapi om nya gak ke sekolah lagi.”

Dibalikin? Jinhyuk cukup terkejut mendengar ucapan Jinu dan sedikit merasa tertolak, “Kenapa dibalikin? kan itu Ayah beli buat Jinwoo, sayang. Maaf ya kalau enggak sebagus mainan dari Om Seungwoo. Ayah belum tahu kalau Jinwoo sukanya Spiderman.

Sekali lagi, Jinhyuk bukan hanya tidak tahu apa-apa tentang anak-anak. Lee Jinhyuk tidak tahu apapun tentang anaknya!

Jinhyuk melihat Jinu yang menggelengkan kepalanya dengan bibir yang maju beberapa senti, “Dulu om tinggi bukan Ayah Jinu, jadi gak boleh diterima kalau gak kenal.” cicitnya.

Tangan Jinhyuk memegang kedua bahu Jinu yang berdiri di depannya, dia tersenyum simpul menatap anak semata wayangnya itu dengan perasaan hangat, “Berarti sekarang artinya om itu Ayah Jinu?”

Jinu mengangguk, “Iya kata Papa tadi.”

“Boleh gak Jinu manggilnya Ayah? jangan manggil om lagi?”

Jinhyuk meminta, dia menatap Jinwoo sambil berharap banyak. Walaupun terdengar sangat tidak tahu diri, tapi jauh di dalam hatinya Jinhyuk ingin sekali dipanggil Ayah oleh anaknya sendiri. Pasti akan sangat menyenangkan ada yang memanggilnya Ayah, sesederhana itu inginnya saat ini.

“Om tinggi.”

Lagi, Jinhyuk hanya bisa tersenyum tipis mendengar panggilan Jinu untuknya, dia mencium keningnya sesaat, “Gapapa, Ayah bakal nunggu. Sampai kapan pun, sampai Jinwoo mau manggil Ayah.”

Jinhyuk tersenyum sekilas sambil kemudian mengerutkan keningnya dan memasang wajah penasaran, “Tapi kenapa Jinwoo manggilnya om tinggi? Ayah jadi penasaran.”

Jinu mengangkat tangan mungilnya hingga setinggi yang dia bisa, “Seginiiii, om tinggiiii bangettt, lebih tinggi dari Papa.” serunya bahkan sambil berjinjit untuk menunjukkan betapa tingginya sosok Jinhyuk di mata dia.

Tawa kecil berhasil lolos dari bibir Jinhyuk saat mendengar penjelasan dari anaknya yang sangat bocah sekali, dia berdehem sebentar dan kembali bertanya, “Jinwoo tahu nama Ayah siapa?”

Anak itu mengangguk pasti dengan tatapan yakin saat mendengar pertanyaan Jinhyuk, “...tahu, namanya Lee Jinhyuk.”

Ditariknya kedua sudut bibir Jinhyuk, dia merasa lega saat Jinu tahu siapa nama Ayahnya. Pandangannya kembali melembut, “Sekali saja, panggil Ayah Jinhyuk..” Jinhyuk mengangkat satu jarinya di depan Jinu seakan menyakinkan kalau dia hanya minta satu kali, “Hmm? satu kali aja. Ayah mau dengar.”

Jinu terlihat menimbang seakan permintaan Jinhyuk adalah hal yang teramat sulit baginya, butuh hingga satu menit untuk Jinhyuk dibuat menunggu agar permintaannya pada sang anak dikabulkan, “Satu kali?” tanya Jinu kemudian.

“Iya satu kali.” Jinhyuk mengangguk sambil mencubit pipinya karena merasa gemas dengan tingkah Jinu yang seperti sedang mengerjainya.

“mmhm... Ayah Jinhyuk?”

Semuanya begitu cepat, Jinhyuk tidak sempat merespon karena Jinu yang langsung kabur ke ruang tamu sambil tertawa, sepertinya anak itu malu hingga menghindari Ayahnya.

Satu yang pasti, Jinhyuk teramat bahagia mendengarnya.

Dia berdiri dari duduknya dan langsung menyusul Jinu hingga berhasil memegang lengannya dan langsung berjongkok di depannya.

“Ayah peluk lagi boleh?”

Mendengar permintaan Ayahnya, kali ini Jinu mengangguk dan Jinhyuk kembali membawa Jinu kedalam pelukan seorang Ayah yang menenangkan, tanpa ragu kedua lengan mungil Jinu juga langsung melingkari leher Jinhyuk.

“Jinwoo... Lee Jinwoo anak baik.” gumamnya sambil mengelus belakang kepala Jinu, “Terimakasih sudah jadi anak Ayah dan Papa. Terimakasih sudah tumbuh sehat hingga sebesar ini. Terimakasih sudah mau bertemu dengan Ayah, sayang.”

Jinhyuk mengusap ujung matanya lagi yang kembali basah, sampai kapanpun rasa bersalahnya tidak akan pernah hilang. Jinhyuk berjuta kali merasa bersalah pada Jinu yang belum mengerti apapun, mungkin bila usia Jinu sudah agak besar dan mengerti dia akan marah atau menolaknya.

Namun, Jinu terlalu kecil dan anak itu terlalu polos saat begitu mudah menerimanya.

“Om nangis?” Jinu bertanya saat melihat Jinhyuk yang sudah melepaskan pelukannya, mata bulat itu memperhatikan wajah Ayahnya dengan serius.

Jinhyuk buru-buru tersenyum sambil mengusap ujung matanya yang masih basah, “Enggak, Ayah gak nangis. Ayah lagi seneng soalnya bisa ketemu sama Jinwoo. Jinwoo seneng gak ketemu Ayah?” diusapnya pipi tembam Jinu sambil menunggu jawabannya.

“Om kerjanya lama.” Alih-alih menjawab pertanyaan Ayahnya, Jinu justru menjawab dengan sedikit merajuk.

“Jinwoo nungguin Ayah pulang?”

“Iya, Jinu nungguin. Pas Jinu ulang tahun om juga gak bisa pulang.”

Jinhyuk memejamkan matanya sesaat dan dadanya kembali terasa sesak, tangannya menggenggam erat tangan Jinu yang begitu kecil untuknya, “Ayah minta maaf sama Jinwoo... nanti ya, Ayah kasih kado yang banyak.”

“Jinu gamau kado. Jinu mau kayak Dodo, jalan-jalan sama Papi sama Papanya..”

Permintaannya sungguh sederhana, anak baik itu hanya ingin bersama kedua orangtuanya. Sudah begitu lama dia bertanya-tanya, kenapa Ayah gak pernah pulang? bahkan saat Jinu ulang tahun.. atau setidaknya saat libur sekolah. Dia hanya bisa mendengar Dodo yang bercerita tentang liburan serunya dengan Papi dan Papanya. Bukan berarti dia tidak pernah liburan bersama sang Papa, namun anak itu tetap saja berharap dia akan bertemu Ayahnya dan mereka bisa bermain bersama.

Jinhyuk lagi-lagi mengusap ujung matanya yang kembali basah, merasa teramat bersalah, “Iya, nanti kita jalan-jalan ya, Jinwoo, Papa sama Ayah. Nanti Jinwoo yang pilih tempatnya.”

“Beneran?” mini Wooseok ini benar-benar pandai memasang wajah menelisik, persis seperti Papanya.

“Ayah janji. Sekarang kalau Jinu mau apa-apa bilang sama Ayah juga. Jangan cuma sama Papa.”

Obrolan Ayah dan anak itu terhenti saat suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian keduanya. Terlihat Wooseok yang baru saja keluar dari kamar mainan dengan raut wajah yang dibuat sebiasa mungkin.

“Papa!” Jinu berseru sambil berlari meninggalkan Jinyuk dan langsung memeluk kaki Wooseok dari depan.

“Papa, Jinu punya mobil dari om tinggi.” adunya sambil menunjuk mobil-mobilan yang berada di dekat lemari tv, Wooseok mengangguk dan mengusap puncak kepalanya, ada sedikit senyum saat melihat Jinu yang terlihat senang.

“Sudah bilang makasih?”

Ditanya seperti itu oleh Papanya, Jinu menggelengkan kepala. Dia lupa. Pandangannya langsung menatap Jinhyuk yang masih di ruang tamu, “Makasih mainannya, om.”

“Sama-sama, sayang.”

Jinhyuk tersenyum dan berdiri untuk menghampiri anaknya yang masih bergelayut manja pada Wooseok. Tangannya tidak bisa ditahan untuk kembali mengusap puncak kepala Jinu.

Walaupun melirik sekilas, Jinhyuk melihat jelas hidung dan mata Wooseok yang memerah saat jarak mereka dekat seperti ini, Wooseok pasti habis menangis.

“Papa bikin makan siang dulu, ya? Waktunya Jinu makan siang.”

Jam yang terpasang tepat di atas tv memang sudah menunjukkan hampir pukul dua belas, itu artinya sudah hampir dua jam juga Jinhyuk berada di rumah sederhana ini.

Jinhyuk kembali berjongkok di depan Jinu dan memegang kedua tangannya, “Jinwoo.. Ayah pulang dulu ya?” izinnya pada sang anak.

Wooseok menunduk dan menatap khawatir pada Jinu yang masih bergelayut padanya. Anaknya itu menatap Jinhyuk dengan mulut yang dibuat merapat, tidak mengiyakan tapi juga tidak melarangnya. Wooseok tahu betul apa yang selanjutnya akan terjadi, dia sangat mengenal sifat anaknya.

“Jinu.. sayang. Besok lagi ya main sama Ayahnya. Ayah harus pulang.” sambil mengusap punggung Jinu, Wooseok berbicara dengan lembut berharap anaknya itu akan mengerti.

Jinu terlihat bingung dengan obrolan kedua orangtuanya. Katanya Ayahnya sudah gak kerja jauh dan sudah pulang, tapi kenapa dia berkata akan pulang? bukan kah kalau pulang itu ke rumah? rumah Jinu kan disini.

Dia justru berlari untuk masuk ke dalam kamar, “Jinu gak mau makan kalau om tinggi gak ada!!!” serunya dengan nada kesal sambil naik ke tempat tidur.

Jinhyuk terdiam cukup kaget mendengar ucapan Jinu barusan dan dia bisa mendengar Wooseok yang mendesah frustasi sambil menatapnya.

“Jinu ngambek.. untuk pertama kalinya tolong temani Jinu makan. Aku gak akan minta banyak, kak. Aku cuma minta jangan buat Jinu kecewa. Jangan jatuhin harapannya lagi setelah tadi kamu mengaku sebagai Ayahnya.”

Jinhyuk menghela napas kemudian menggelengkan kepala sambil berdiri di depan Wooseok saat dirasa Wooseok salah paham akan alasannya untuk pulang, “Aku gak bermaksud begitu sama Jinwoo... aku justru takut kamu gak nyaman karena aku disini, Wooseok.”

“Bukan masalah akunya, kamu gak perlu mikirin aku.” Wooseok menatap Jinhyuk dengan serius, “Buat aku kebahagian Jinu yang utama. Aku gak mau kamu ngehancurin harapannya yang bahkan baru aja tumbuh... harapannya buat merasakan kasih sayang dari seorang Ayah yang gak pernah dia dapat bahkan sejak dia hadir. Kasih sayang dari kamu, Ayahnya.”

“Wooseok.. aku sungguh minta maaf.” tangan Jinhyuk memegang lengan Wooseok yang akan beranjak, dia menatap Wooseok yang sekarang justru mencoba mengalihkan tatapannya namun tidak berusaha menyingkirkan tangan Jinhyuk di lengannya dan Jinhyuk bersyukur Wooseok tidak menghindar.

“Aku bakal bayar kesalahan aku yang sangat brengsek selama ini. Aku bakal ganti waktu aku yang hilang dengan Jinwoo. Aku ingin dekat dengan anak aku...” Jinhyuk menjilat bibirnya yang mendadak kering dan dia berucap dengan pelan mengutarakan apa yang tiba-tiba terbersit di pikirannya, “...tolong izinin Jinwoo tinggal denganku.”

Ya Tuhan, apa lagi ini. Wooseok rasanya ingin memaki mendengar permintaan manusia di depannya. Dia menatap tidak percaya pada sosok Jinhyuk dengan mata yang sudah bergetar, walaupun ketakutan itu sempat hadir sejak sebulan lalu, tapi Wooseok tidak menyangka Jinhyuk benar-benar akan mengatakannya.

“Kamu baru dateng, lho. Kamu baru dateng sejak bertahun-tahun, Lee Jinhyuk. Terus sekarang kamu mau bawa Jinu dari aku?” tanyanya tidak habis pikir dengan seorang Lee Jinhyuk, hilang sudah sikap sopannya dalam memanggil Jinhyuk.

Sorot kecewa dan lelah jelas terlihat di kedua bola mata Wooseok untuk Jinhyuk, dia mengambil napas dalam mencoba untuk tenang.

“Aku juga mau kamu tanggung jawab buat ganti waktu kamu yang hilang dengan Jinu, buat ngasih kasih sayang kamu sebagai Ayah untuknya karena itu kewajiban kamu. Tapi bukan dengan cara seperti itu, bukan dengan ngambil Jinu dari aku.” nadanya terdengar melemah karena di dekat mereka ada Jinu yang bisa saja mendengar pembicaraan ini.

“Kamu egois! Mungkin harusnya tadi aku usir kamu sekalian.” bisik Wooseok dengan penuh kekecewaan sambil tubuhnya meluruh hingga merosot dan membuat Jinhyuk kaget langsung menahan lengannya.

“Aku gak punya siapa-siapa lagi, selain Jinu. Kalau Kak Jinhyuk masih punya hati tolong mengerti...” kali ini Wooseok berucap sangat lirih dengan pandangan paling memohon dan mata yang berkaca-kaca menatap Jinhyuk, dia menggigit bibirnya seperti menahan tangis.

Ucapan Wooseok cukup membuat Jinhyuk menahan napas dan merasakan ulu hatinya yang seperti dipalu kembali.

Sejujurnya ada yang ingin ditanyakan sejak pertama kali Jinhyuk mengetahui rumah Wooseok, kedua netranya menatap serius wajah Wooseok yang sangat terlihat putus asa, “Sejak kapan kalian tinggal berdua disini? Dimana orangtua kamu, Seok?” tanyanya pelan.

Kedua bahu Wooseok justru perlahan bergetar saat mendengar pertanyaan dari Jinhyuk dan dia menutupi wajah dengan kedua tangannya memilih untuk bungkam.

“Jawab aku, Kim Wooseok kamu pergi dari rumah?”

Jinhyuk bertanya lagi sambil memegang kedua bahu Wooseok dan meremasnya. Namun, Jinhyuk tidak mendapatkan jawaban selain dari tangisan pilu Wooseok.