Wooseok berjalan dari garasi usai memastikan mobil-mobil Jinhyuk masih terparkir berjejer dengan rapi, tanpa ada yang hilang satupun. Aman, berarti Jinhyuk tidak pergi jam segini.
Tungkainya kembali masuk ke dalam rumah bertanya pada siapapun yang dia temui, pasalnya setelah Jinhyuk makan malam dengan kedua orangtuanya tadi langsung pergi ke kamar. Wooseok sendiri tadi selesai makan langsung ke kamar, dia tadi kebetulan makan dengan beberapa orang keamanan di rumah ini, memang dirinya termasuk yang paling muda dan beruntung mereka semua tidak pernah membeda-bedakannya.
“Mbak, lihat tuan muda?” tanyanya pada salah satu pelayan yang sedang membereskan ruang makan, Wooseok duduk di kursi meja makan sambil memandangnya penuh harap.
“Enggak, di kamar gak ada toh, Mas? biasa sama Mas Wooseok.”
“Habis makan biasanya di kamar, tapi gak ada lho, Mbak. Mobilnya juga ada di garasi dan kata satpam gak ada yang keluar rumah.”
“Waduh.. coba cari di halaman belakang, Mas. Mungkin lagi ngadem.”
Wooseok mengangguk kecil dan berterimakasih, tapi langkahnya justru menuju ke ruang keamanan untuk memastikan lewat cctv.
Dia mengetuk pintu sebelum masuk dan langsung melihat Pak Khun yang sedang ngopi dengan beberapa petugas keamanan yang lain, “Kenapa Wooseok?” tanyanya saat melihat sosok mungil Wooseok yang begitu menggemaskan dengan hoodie berwarna ungu serta kacamata bulatnya. Sangat berbeda jauh dengan tampilan orang-orang yang ada di dalam ruangan ini yang kebanyakan memakai pakaian berwarna gelap.
“Mau nyari tuan muda, Pak. Gak ada di kamarnya.” ujarnya sambil meringis menjawab pertanyaan Pak Khun dan dia melangkah masuk ke dalam menuju layar cctv yang menampilkan beberapa sudut rumah mewah ini. Perkataan Wooseok berhasil mengundang beberapa kekehan orang-orang yang ada disana.
“Bakal kangen sama Wooseok yang suka ngedumel gara-gara tuan muda bandel.” sebuah kalimat berhasil terdengar ke telinga Wooseok dan membuatnya tersenyum lebar, “Haduh, aku juga bakal kangen kalian. Di rumahnya PM kepala keamanannya galak, gak kayak Pak Khun.”
“Hati-hati ya nak Wooseok nanti disana. Pasti bakal kerja extra gak kayak disini yang jadi babysitter tuan muda.”
Wooseok tertawa mendengar candaan yang menyebutnya sebagai seorang babysitter, sambil mengacungkan jempolnya pada salah satu petugas keamanan tersebut Wooseok berujar patuh, “Oke, pak.” katanya.
Setelah itu pandangannya sekarang kembali fokus pada layar-layar monitor di depannya, “Aku mau lihat yang di depan kamarnya Jinhyuk...” pintanya pada salah seorang yang duduk di kursi depan meja lebar berisi layar-layar monitor. Dan petugas itu langsung memperlihatkan rekaman cctv yang terpasang di lorong lantai dua yang mengarah langsung ke depan kamar Jinhyuk.
Tungkai Wooseok melangkah pelan menaiki tangga dengan kedua tangannya yang masing-masing memegang mug berisi cokelat hangat dan masih mengepulkan asap tipis serta tercium aroma menggiurkan yang sangat manis.
Setelah melihat rekaman cctv tadi, Wooseok mengetahui kalau Jinhyuk berjalan menuju taman belakang dan menaiki tangga ke arah rooftop, kebetulan di rooftop pun ada cctv yang memperlihatkan Jinhyuk sedang duduk sendirian sambil memainkan ponselnya.
Begitu Wooseok sampai di rooftop, ternyata Jinhyuk sedang tiduran di atas kursi kayu dengan satu lengan dijadikan bantal untuk kepalanya dan lengan lainnya digunakan untuk menutupi wajahnya.
“Jinhyuk... lo mau demam lagi gara-gara tiduran disini?”
Jinhyuk bergumam pelan saat mendengar suara Wooseok yang perlahan mendekat ke arahnya. Dan dia bisa merasakan Wooseok yang mencoba menggeserkan kaki panjangnya agar bisa duduk di bangku yang sedang di gunakan olehnya.
“Geser... gue mau duduk.”
Sebuah decakan samar berhasil keluar dari bibir Jinhyuk saat Wooseok tidak menyerah untuk duduk dengannya, dia bangun dan menatap kesal pada sosok pria mungil itu, “Apasih, kayak gak ada kursi lain aja.”
“Bawel, nih gue bawain cokelat buat lo. Diminum.”
Walaupun sambil menggerutu, Jinhyuk menerima mug dari tangan Wooseok dan dia membenarkan duduknya agar Wooseok bisa duduk di sampingnya.
“Ngapain sendirian disini?”
Jinhyuk hanya mengangkat bahunya dalam menjawab pertanyaan dari Wooseok, bahkan dia tidak repot-repot menolehkan wajahnya ke samping untuk menatap Wooseok yang menunggu jawabannya, “Kenapa chat gue gak dibales? padahal lo pegang ponsel tadi.”
“Gapapa.”
Jawaban Jinhyuk sesingkat itu sambil menatap ke arah mug yang sedang dipegangnya, belum diminum sama sekali dan tangannya terasa hangat saat menangkup mug tersebut.
Tidak terlalu heran, pasti Wooseok tahu dari rekaman cctv kalau tadi dia memainkan ponsel. Dia memang sedang tidak ingin bertemu dengan Wooseok dan sengaja mengabaikan pesannya. Tiba-tiba Jinhyuk sedikit merutuk, kenapa sih rumahnya banyak banget cctv, memang dasar keluarganya suka sekali over dalam segala-galanya.
“Ngapain lo nyari gua?”
Setelah hening beberapa menit, Jinhyuk akhirnya membuka suara diantara mereka. Telunjuknya memainkan pinggiran mug dan lagi-lagi dia berbicara tanpa menoleh ke arah Wooseok.
“Lo gak ada di kamar, ya gue cari. Siapa tahu diculik kan nanti repot.” melalui sudut matanya Wooseok melihat Jinhyuk yang mendecih saat mendengar jawabannya.
Wooseok menghela napas panjang sambil meletakan mugnya di atas kursi, tepat di tengah-tengah dirinya dan Jinhyuk.
Dia bangun dari duduknya dan berjalan ke depan pagar pembatas setinggi dada orang dewasa, tangannya ditumpu di atas pagar sambil melihat pemandangan lampu-lampu perumahan dari atas sini. Otomatis posisinya itu membelakangi Jinhyuk yang kali ini mengangkat wajah untuk menatap Wooseok.
”...gue bakal kangen pemandangan ini. Daerah rumah lo lebih tinggi dari yang lainnya. Jadi kalau lihat dari sini kayak di atas banget.”
Tiga hari lagi, waktu Wooseok untuk berada di rumah ini.
Kepala Wooseok menoleh ke belakang untuk melihat Jinhyuk yang masih memegang mug dan memperhatikannya, “Jinhyuk gak keluar? gue baru inget ini malam minggu.” tanyanya sambil membenarkan kacamata, “Biasanya lo jalan sama temen lo..”
“Males.”
Mendengar lagi-lagi jawaban singkat yang dikeluarkan oleh Jinhyuk, Wooseok hanya mengangguk kecil sambil membulatkan mulutnya dan kembali menatap ke arah lampu-lampu perumahan.
Jinhyuk tidak berusaha untuk mendekat sama sekali, dia hanya terdiam menatap punggung kecil Wooseok yang terbalut hoodie berwarna ungu. Kalau tidak sedang menggunakan pakaian formal, Jinhyuk cukup sering melihat Wooseok memakai pakaian berwarna ungu, mungkin warna kesukaannya.
Jinhyuk membatin, hal itu membuat Wooseok tampak manis, berbeda jauh dengan perannya sebagai orang keamanan.
“Wooseok... kenapa lo jadi bodyguard?”
Sebuah pertanyaan terlontar begitu saja keluar dari bibir Jinhyuk, pertanyaan yang membuatnya penasaran sejak lama.
Berada di situasi seperti ini, rasanya baru pertama kali mereka berdua mempunyai kesempatan untuk mengobrol santai... mungkin sekaligus untuk yang terakhir. Jadi biarkan Jinhyuk bertanya sesuai keinginannya.
Wooseok menarik samar kedua sudut bibirnya saat mendengar pertanyaan Jinhyuk dan dia berbalik untuk menatap tuan mudanya itu. Tanpa mendekat, dia hanya menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas.
“Karena gue mau.. lo sempat underestimate pas pertama ketemu gue. Emang se gak meyakinkan itu ya gue jadi bodyguard?”
Tanpa berniat berbohong, Jinhyuk mengangguk kecil menjawab pertanyaan Wooseok, dia menampilkan senyum miring yang benar-benar terlihat menyebalkan, “Kayak seratus delapan puluh derajat, kecuali kalau lo lagi masang wajah jutek dan galak. Baru gua percaya.”
“Beda banget? sampai harus seratus delapan puluh derajat?” Wooseok terkekeh kecil sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie. “Harusnya gue yang dijagain? bukan yang ngejagain, gitu?”
Jinhyuk mengangkat bahunya, “Lo lebih keliatan kayak anak manja yang terbiasa dilayani-”
“Kayak lo?” potong Wooseok yang langsung membuat Jinhyuk mendengus keras. Wooseok lagi-lagi terkekeh dan meminta maaf, “Lanjutin..” pintanya.
“Males, udah gak mood ngomong.”
Jinhyuk membalas dengan nada ketus kemudian menyesap minumnya, manis dan hangat. Dia menghela napas melihat Wooseok yang masih menunggu lanjutnya, bodyguard nya itu terlihat sangat menggemaskan. Kan, bukan salah Jinhyuk kalau dulu dia sempat underestimate pada Wooseok.
Siapapun pasti akan tertipu dengan tampangnya yang seperti itu, mirip kitten.
Selama tiga bulan ini, Wooseok mungkin sedikit banyak mulai mengetahui segala hal tentang Jinhyuk, sebaliknya Jinhyuk justru tidak mengatahui apapun tentang kehidupan pribadi Wooseok. Mengetahui dia mempunyai adik saja baru sekitar minggu lalu. Mereka benar-benar tidak pernah berbicara ke arah kehidupan peribadi, mungkin Jinhyuk tepatnya yang tidak terlalu perduli untuk bertanya.
Jinhyuk berdehem sekilas sambil membalas tatapan Wooseok, “Lo aja yang ngomong, gua dengerin...” ujarnya, “..ngomong apa kek terserah.”
Kerutan di kening Wooseok tampak nyata mendengar permintaan Jinhyuk, “Ngomong apa..” gumamnya pelan namun masih bisa terdengar oleh Jinhyuk.
“Ceritain aja kenapa bisa lo kerja jadi bodyguard kayak sekarang. Pasti ada cerita dibalik kemauan lo itu, kan?”
Punggung Wooseok bersandar semakin nyaman di pagar pembatas saat mendengar pertanyaan dari Jinhyuk. Dia menyunggingkan senyum simpul sambil menatap Jinhyuk. Namun, pandangannya sekarang sedikit menerawang menatap langit gelap dengan satu dua bintang yang terlihat begitu samar, “Biasanya.. gue jarang cerita. Tapi karena lo yang minta, gue bakal bagi.” ujarnya.
Jujur, Jinhyuk merasakan jantungnya berdebar saat mendengar ucapan Wooseok, bolehkah dia berharap dengan kata yang baru saja diucapkan oleh Wooseok.
Netranya menatap serius, memperhatikan setiap gerak dari Wooseok yang sekarang terlihat sepenuhnya menerawang dengan kaki yang dimainkan asal.
“Papa gue dari muda udah jadi Master, lo tahu sebutan buat yang ngajar taekwondo. Dia keren banget di mata gue.” mulainya dengan senyum yang tidak hilang sedikitpun sambil membayangkan sosok Papanya.
“Dari kecil gue udah sering dibawa ke tempat latihannya, memang ngajarnya taekwondo, tapi Papa gue juga bisa karate. Tapi gue gak tertarik sama sekali, gue cuma nontonin tanpa ikutan latihan. Bahkan sering banget gue disuruh ikut kelas anak-anak, gue selalu nolak karena gue emang gak mau.”
Wooseok kali ini menatap Jinhyuk sambil tertawa kecil, “Lo bener.. dulu gue memang anak manja.” katanya.
Jinhyuk tidak mencoba untuk berkomentar terlebih dahulu, dia hanya akan mendengarkan.
“Sampai akhirnya, adek gue yang masih lima tahun, dia beneran excited sama hal yang sama kayak Papa. Dia mulai sering diajak latihan, gue selalu ikut tapi selalu nunggu di pinggir, cuma nontonin mereka.” Wooseok mengangkat bahunya, “Orangtua gue gak pernah maksain anaknya, semaunya aja. Gue juga sejak nolak ikut kelas gak pernah dipaksa. Adek gue juga bilang, biar dia aja yang jagain kakaknya.”
“Selang berapa tahun adek gue sering ikut lomba dan kita semua selalu dukung, kita bangga banget sama dia. Medalinya banyak walaupun baru usia tujuh. Gue beda empat tahun sama dia, berarti saat itu gue usia sebelas, kelas lima SD.”
Jinhyuk melihat jelas binar di kedua bola mata Wooseok walaupun terhalang kacamata, dia terlihat begitu bahagia menceritakan tentang keluarganya yang Jinhyuk tidak tahu sedikitpun.
“Tapi, lo sekarang jago bela diri. Lo juga keren, Wooseok.”
Wooseok tersenyum tulus pada Jinhyuk dan berucap terimakasih, “Adek gue atlet nasional. Bulan depan ada olympiade makanya waktu itu gue ketemu dulu sama dia sebelum dia berangkat. Maaf gak izin dulu sama lo, Jinhyuk.” dia mengakhiri kata dengan tersenyum sungkan.
“Harusnya lo bilang, gua pasti ngasih waktu yang lama buat kalian. Gua gak sejahat itu, Wooseok.” Jinhyuk mendengus kecil sedikit merasa bersalah pada Wooseok dan adiknya, namun Wooseok hanya menggumam, “Gapapa, dia ngerti kok.”
“Terus sejak kapan lo belajar bela diri?” pertanyaan Jinhyuk membuat raut wajah Wooseok berubah, tidak ada lagi binar di kedua mata bulatnya dan Jinhyuk melihat jelas perubahan emosinya walaupun sangat samar.
“Sejak kelas enam..” nada suara Wooseok sedikit berat, dia tidak lagi menatap Jinhyuk. Kepalanya menunduk memperhatikan kakinya yang digerakan secara asal. Jinhyuk cukup sadar ada cerita dibaliknya yang mendasari keputusan Wooseok.
“Gue punya temen.. cowok. Waktu itu kita pulang sekolah bareng, kebetulan jalan kaki karena sepeda gue lagi rusak dan dia nemenin gue jalan, baik banget anaknya.” Wooseok menghembuskan napas dalam saat tiba-tiba dadanya merasa sesak.
“Lalu tiba-tiba kita... dirisak sama anak jalanan, sekitar lima orang.”
Wooseok mengeluarkan tawa sumbang dengan berbagai emosi yang terdapat di dalamnya, sedih, kesal, marah, rasa bersalah, kecewa dan kehilangan.
“Kita memang kabur dan sembunyi, tapi temen gue ketangkap. Gak seberapa sebenarnya... mereka cuma minta duit. Tapi, uang jajan kita emang udah habis dan orang-orang itu malah mukulin temen gue.”
Perlahan Wooseok mengangkat wajahnya menatap Jinhyuk yang terdiam masih mendengarkan ceritanya, “Lo tahu hyuk, saat itu gue takut banget. Gue gak bisa ngapa-ngapain dan gue gak boleh keluar sesuai permintaan temen gue.” suara Wooseok sedikit tercekat, “Gue hanya bisa nangis sambil sembunyi.”
“Sampai akhirnya mereka puas dan pergi gitu aja. Mereka juga bukan orang dewasa, mungkin harusnya anak SMP kalau sekolah.”
Jinhyuk bisa melihat jelas emosi yang ditahan oleh Wooseok saat dia memalingkan wajah untuk mengindari tatapannya.
“Temen gue udah babak belur dan gue sambil nangis bawa dia pulang. Dia masuk rumah sakit dan seminggu kemudian... meninggal karena pendarahan di kepalanya.”
Wooseok menengadah saat merasakan ujung matanya menghangat, kenangan itu, kejadian yang benar-benar ingin dilupakannya, rasa bersalahnya terlalu dalam bagi anak usia dua belas tahun hingga bertahun-tahun kemudian sampai detik ini, rasa itu masih tersisa di dalam hatinya.
“Habis itu gue kayak orang gak waras minta sama Papa buat diajarin berantem, gue gak mau kehilangan orang yang gue sayang lagi karena gue gak bisa berbuat apa-apa.”
Wooseok mendengus kecil saat mengusap ujung matanya yang sudah basah. Dia butuh waktu untuk mengambil napas dalam dan mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum melanjutkan ceritanya.
“Sejak itu gue latihan sampai SMA, gue sempat mau jadi atlet kayak adek gue, tapi gue pikir-pikir lagi. Sampai gue iseng nyari info dan setelah lulus SMA gue daftar masuk ke agen pelatihan keamanan terbaik dengan ujian fisik yang beberapa kali sangat sulit hingga gue mau nyerah.”
“Awalnya orangtua gue gak setuju dan nyuruh gue kuliah yang bener, tapi gue keukeuh dan ya lama-lama mereka luluh juga.”
Kali ini Wooseok tersenyum tipis dengan pandangan yang kembali menerawang, “Gue bener-bener digembleng selama dua tahun disana. Dari yang awalnya kerja jadi petugas keamanan di sebuah perusahaan sampai jadi bodyguard anak konglomerat dan dipercaya sama anaknya seorang perdana menteri.”
Wooseok kembali menatap ke arah Jinhyuk yang masih mendengarkannya, “Kalau dipikir... rasa bersalah gue efeknya kuat banget sampai gue bisa berjalan sejauh ini. Tapi, gue gak pernah menyesal sedikitpun.” pungkasnya.
Jinhyuk tidak pernah menyangka sedikitpun dia akan mendengar cerita Wooseok yang seperti ini, banyak sekali perasaan dan emosi yang mendasari ceritanya. Dibalik sosok mungil Wooseok yang menjadi seorang yang tangguh, bahunya penuh rasa bersalah masa lalu.
“Lo udah ngelakuin yang terbaik, Wooseok. Temen lo itu pasti bangga di sana.”
Sebaris kalimat diucapkan oleh Jinhyuk sambil mengulas senyum dan menujuk ke atas, dia menatap Wooseok yang berjalan ke arahnya dan kembali duduk di sampingnya.
“Thanks, Jinhyuk.” ucapnya tulus.
Tangan Wooseok kemudian mengambil mugnya yang sudah dingin, meminumnya sesaat lalu kepalanya menoleh ke arah Jinhyuk yang juga sedang meminum cokelatnya.
“Lo nyuruh gue cerita, jadinya malah kepanjangan. Maaf ya.”
Jinhyuk menggelengkan kepalanya, dia meneleng untuk menatap Wooseok yang matanya sedikit memerah akibat tadi sempat menangis.
Walaupun sedikit ragu, tangan Jinhyuk terulur untuk mengusak puncak kepala Wooseok, “Gapapa, gua jadi tahu lo sekeren itu.” ujarnya sungguh-sungguh sambil menarik tangannya lagi, “Makasih udah mau berbagai cerita sama gua, seok.”
Bibir Wooseok mengerucut sambil merapikan rambutnya yang barusan diacak-acak oleh Jinhyuk, “Iya, tapi gausah bikin rambut gue berantakan, Jinhyuk. Jangan bersikap gak sopan, gini-gini gue dua tahun di atas lo.” katanya yang kemudian disambut decihan oleh Jinhyuk, “Tua aja bangga lo.”
“Biarin.”
Wooseok menatap Jinhyuk dengan senyum tipis kali ini, “Besok gue izin pergi, pagi-pagi ya?” pintanya.
“Kemana? besok kan Minggu.”
“Tadi gue udah ngobrol sama Pak Khun. Dia minta data orang-orang yang gue rekomendasiin buat jadi bodyguard lo. Jadi, gue besok mau ke kantor, kebetulan gue udah bilang dan Minggu ada yang jaga. Gak ada waktu lagi, setidaknya masih ada tiga hari buat Pak Khun milih yang terbaik buat lo.”
Tanpa sadar cengkraman Jinhyuk di mug yang sedang dipegangnya mengerat saat mendengar perkataan Wooseok barusan.
Tangan Wooseok menepuk bahu Jinhyuk sekilas, “Tenang aja, gue pilihin yang gue kenal baik buat lo.” katanya yang berhasil membuat Jinhyuk memalingkan wajah dan berdiri sambil meletakan sembarangan mugnya di atas kursi, nyaris saja jatuh untung tangan Wooseok menahannya dengan cepat, “Jinhyuk, ceroboh!” katanya sedikit kesal.
Namun, Jinhyuk tidak memperdulikannya sama sekali. Dia menghembuskan napas dalam sambil melipat tangannya di depan dada dan berjalan ke arah pagar pembatas, meninggalkan Wooseok yang masih terduduk di atas kursi.
“Lo.. udah beresin barang-barang lo?” Jinhyuk bertanya pelan tanpa membalikkan badannya untuk menatap Wooseok.
“Udah, tapi belum semua sih. Masih sebagian, lagian barang gue gak banyak disini.”
“Nanti lo langsung kerja disana?”
Wooseok menatap Jinhyuk yang masih memunggunginya, bagian belakang rambut Jinhyuk terlihat sedikit bergerak karena terkena angin malam.
“Enggak, gue mau pulang dulu seminggu. Kangen rumah.” jawab Wooseok sambil tersenyum tipis walaupun Jinhyuk tidak melihatnya, Wooseok melihat ponselnya yang berada di dalam saku, sudah pukul sepuluh lebih. Dia menghabiskan minumnya, dan menaruh mugnya di atas kursi, netranya melihat minum Jinhyuk yang belum dihabiskan.
“Jinhyuk titip mug punya gue ya sekalian. Punya lo masih ada. Masih mau dsini? udah jam sepuluh lebih.” Wooseok berbicara sambil berdiri dari duduknya langkahnya mendekati Jinhyuk yang masih terdiam menatap ke depan, “Taro aja nanti gue bawain.” balas Jinhyuk sambil melirik Wooseok yang sudah berdiri di sampingnya.
“Lo masih mau disini?” Wooseok bertanya kembali sambil mengangkat wajahnya menatap Jinhyuk dan Jinhyuk hanya menggumam. Dia mengedikkan kepalanya memberi gestur untuk menyuruh Wooseok pergi duluan.
“Oh... okay. Jangan lama-lama, nanti lo masuk angin. Lo pakai baju pendek.”
Wooseok menepuk lagi bahu Jinhyuk dan Jinhyuk memejamkan matanya saat mendengar langkah kaki Wooseok yang perlahan menjauh.
Di pikirannya saat ini seperti sedang terjadi perang batin yang membuatnya gusar.
“Wooseok...” panggilnya ragu sambil membalikkan badannya, dia menatap Wooseok yang baru saja akan menuruni tangga. Tenggorokan terasa kering dan mulutnya terasa berat saat akan berbicara.
“Iya?” mata bulat Wooseok mengerjap beberapa kali dengan kening berkerut dalam menunggu Jinhyuk yang justru hanya terdiam kaku menatapnya, “Kenapa, Jinhyuk?” tanya sekali lagi.
“G-Gue... boleh meluk lo? ...buat salam perpisahan.”
Wooseok belum sempat menjawab saat Jinhyuk sudah berjalan ke arahnya dan berdiri tepat di depannya. Tuan mudanya itu berdiri dengan cemas menatap kedua mata Wooseok yang sangat indah, walaupun sering memincing sinis tapi tidak menutupi keindahannya.
Bahkan sewaktu-waktu Jinhyuk sering merasa kalau Wooseok menatapnya dengan lembut.
“Boleh... buat salam perpisahan ya.” balas Wooseok sambil tersenyum tipis.
Jinhyuk melangkah maju begitu mendengar ucapan Wooseok yang memberinya izin.
Maka direngkuhnya tubuh mungil Wooseok sambil memejamkan mata dan Jinhyuk tidak bisa menahan senyum saat merasakan tangan Wooseok yang membalas pelukannya, sedikit meremas bagian belakang kaosnya dengan kepala yang bersandar di dadanya.
Jinhyuk merasa lega sekaligus sesak bersamaan.
Tangan Jinhyuk mengusap belakang kepala Wooseok dengan lembut dan menyisir rambutnya yang terasa halus. Dia bahkan menumpu dagunya di atas kepala Wooseok.
“Jinhyuk... makasih. Gue gak bakal lupa pernah kerja sama lo. Jaga diri, dimanapun lo berada.” bisik Wooseok sambil mengelus dan menepuk-nepuk punggung lebar Jinhyuk.
Mendengar perkataan Wooseok, Jinhyuk hanya bisa mengangguk kecil dan mengeratkan pelukannya, dia mencium puncak kepala Wooseok dan menghirup wanginya yang begitu lembut dan manis, sesuai apa yang ada di pikirannya mengenai sosok Wooseok yang tidak sedang berlaku tangguh.
Pelukan mereka hanya berlangsung singkat. Tubuh Jinhyuk yang pertama melepaskan pelukannya, tangannya memegang kedua bahu Wooseok dan dia sedikit menunduk agar wajahnya sejajar dengan Wooseok, agar netranya bisa leluasa menatap keseluruhan paras Wooseok yang sejak pertama kali mereka bertemu sudah berhasil menarik perhatiannya.
“Lo juga.. dimanapun lo, stay safe, Wooseok. Jangan mentang-mentang jago berantem, lo bisa deket-deket sama hal berbahaya.”
Jinhyuk mengulang pesannya untuk Wooseok, mengulang pesan yang pernah diutarakan olehnya beberapa hari lalu saat Wooseok tertidur di kamarnya setelah merawatnya semalaman.
Setidaknya kali ini Jinhyuk berharap Wooseok tahu kalau Jinhyuk ingin Wooseok baik-baik saja, dimanapun dia berada.
Tangan Jinhyuk di bahu Wooseok sedikit mengerat, “Makasih lo udah jagain gua dan maaf kalau gua sering nyari masalah sama lo. Mungkin gua partner yang paling nyebelin buat lo.”
Jinhyuk sedikit terkekeh mengakhiri kalimatnya. Netranya menatap lurus pada Wooseok yang terdiam, dia meneggakkan tubuhnya kembali dan merogoh saku celananya untuk mengeluarkan sepak plaster bergambar hewan seperti untuk anak kecil yang tadi siang dibelinya dan belum sempat diberikan pada Wooseok.
Dia memegang tangan Wooseok dan ditaruhnya plaster itu di atas telapak tangannya sambil menghela napas, “Hadiah dari gua buat tiga bulan lo kerja. Gua bingung mau ngasih apa. Lo disuruh milih sendiri gamau. Yaudah gua beliin ini, memang gak seberapa dan bukan berarti gua mau lo terluka..”
Jinhyuk mengulas senyum yang bertolak belakang dengan tatapan kerasnya, “Gue justru berharap ini gak lo pakai sama sekali, biar bisa lo simpan. Jangan terluka sedikitpun, Kim Wooseok.” katanya sungguh-sungguh.
Tanpa menunggu respon Wooseok, Jinhyuk kemudian memegang kembali bahu Wooseok dan menyuruhnya berbalik serta mendorongnya pelan ke arah tangga, “Gih, udah malem. Gua masih mau disini sebentar lagi.” ujarnya seperti berbisik.
Wooseok menoleh ke arah Jinhyuk saat sudah melangkah turun, “Makasih.. Jinhyuk.” ujarnya sekali lagi dan Jinhyuk hanya mengangguk tanpa berucap apa-apa sebelum kembali berjalan ke arah pagar pembatas, berdiri sendirian dengan segala pikirannya.
Wooseok memegang erat plaster dari Jinhyuk sambil berjalan terburu-buru dari halaman belakang ke kamarnya dan begitu dia masuk ke dalam kamar serta menutup pintu. Wooseok terduduk meluruh sambil mengusap ujung matanya yang sudah basah.
“Bahkan... pesannya masih sama kayak malam itu.” gumamnya lirih sambil memeluk lututnya, “Jinhyuk mau gue stay safe dimanapun gue berada dan sepertinya bukan disini.”
Tatapannya menatap nanar pada barang-barangnya yang sudah dimasukan ke dalam kardus, lalu netranya bergulir ke arah lampu berbentuk anjing yang terlihat lucu, hadiah dari Jinhyuk sebulan lalu.
“Lo gak pernah minta gue untuk stay dan gue gaada alasan untuk tetap disini lagi.”