xxxxweishin

Kiss me, out of the bearded barley Nightly, beside the green, green grass

Kiss me, beneath the milky twilight Lead me out on the moonlit floor Lift your open hand Strike up the band and make the fireflies dance Silver moon's sparkling

So kiss me


“Jinhyuk, ini mau kemana sih?”

Wooseok bertanya sambil bingung pas tangannya dituntun menuju samping rumah, terus jalan dibawa menyusuri taman belakang dan berakhir di sebuah halaman luas dengan rumput hijau.

“Mau bawa kamu kabur sebentar, deh.”

Serius, ada senyum kecil di wajah Wooseok saat mendengar jawaban Jinhyuk barusan, pacarnya itu suka sekali bawa dia kabur diwaktu-waktu tidak terduga, kayak sekarang ini udah mau malem tiba-tiba ngetuk jendela kamarnya terus nyuruh keluar. Pernah satu waktu juga jam lima subuh, cuma buat minta nemenin workout di teras depan rumahnya sendiri yang cuma beda satu blok.

Langkah keduanya berhenti di samping rumah pohon yang dulu sering mereka kunjungi saat kecil, rumah pohon yang udah gak digunain lagi. Dulu ini sengaja dibuat oleh Ayah Jinhyuk untuk anaknya. Dibawahnya masih ada ayunan yang ditali ke pohon, masih bisa digunain karena talinya masih kokoh buat berat badan dewasa kayak mereka.

“Peluk, deh.” kata Jinhyuk, “Udah sepi gak ada orang.”

Kayaknya gak perlu nunggu lama-lama buat Wooseok langsung berjinjit terus memeluk leher Jinhyuk, naruh dagu di pundaknya dengan nyaman, “Cium juga, gak?” tanyanya pelan sambil menahan tawa setalah mereka diem-dieman.

“Mau.” jawab Jinhyuk cepat, yakali nolak kalau ditanya begitu.

Wooseok mengendurkan pelukannya, menatap Jinhyuk dengan mata berbinar, lalu mengecup bibirnya kilat.

“Sekali aja, ya.”

Melihat tingkah menggemaskan Wooseok yang menggodanya ngebuat Jinhyuk menggelengkan kepala, mengeratkan pelukannya di pinggang si sayang, “Langitnya bagus deh, senja warna oren. Cocok buat ciuman. Kayak ada manis-manisnya gitu.”

“Gak nyambung, Jinhyuk.” Wooseok dibuat ketawa sekaligus geli denger ucapan Jinhyuk. Tapi dia nurut, nutup matanya. Nunggu Jinhyuk yang gerak buat nunduk.

“Takut gelap, lampunya minim banget di sini.” ngejauhin wajahnya, Wooseok natap Jinhyuk yang masih senyum setelah mereka ciuman barusan.

Mukanya tengil, tapi ganteng. Wooseok suka, nggak, udah bucin.

“Gapapa, ada kunang-kunang. Terus ada bulan juga.” Jinhyuk jawab sambil ngecup pipi kanan Wooseok yang keliatan sedikit merah, ditahan cukup lama soalnya gemes, “Ada aku juga, sayang.”

Tangan Wooseok yang tadi udah turun keangkat buat meluk leher Jinhyuk lagi, ditatap penuh sayang sama Jinhyuk udah jadi hal yang selalu dia sukai.

“Cakep banget. Kim Wooseok, sayangku.”

Jinhyuk dan segala sikap yang selalu menyanjungnya, membuat dirinya merasa yang paling paling di muka bumi. Dibikin bahagia terus, disayang terus, dibikin jatuh cinta terus, semuanya.

“Sayang banget deh sama Jinhyuk.” bisik Wooseok, Jinhyuk ngangguk lalu ngeratin lagi pelukannya, “Sama. Sayang banget sama kamu.” disentilnya puncak hidung Wooseok pake ujung hidung mancungnya.

Dibawah langit senja, dipeluk kesayangan, dicium lembut, terus ketawa berdua gara-gara jokes mereka sendiri.

Seru banget hari ini.

Besok juga, Jinhyuk mikir tempat dulu, mau kemana lagi dia nyulik Wooseok.

Suara pembicara di depan dengan segala topik tentang entrepreneurnya sama sekali tidak membuat Wooseok fokus untuk menyimak. Entah itu tanya jawab dengan para peserta, ataupun segala macam kiat-kiat yang dibeberkan oleh salah seorang owner dari brand makanan kenamaan.

Fokus Wooseok sudah hilang sejak sepuluh menit Lee Jinhyuk duduk di samping kirinya. Kehadiran Jinhyuk saja sudah benar-benar diluar dugaan, apalagi saat Wooseok tahu anak itu akan kesini dan entah apa yang terjadi Jinhyuk mengirimi dia pesan!

Langka, jelas. Kapan lagi hal seperti ini akan terjadi.

Suasana auditorium cukup dingin karena Wooseok memilih row kedua dari atas dan kursi di paling pinggir mepet dengan tembok yang jelas-jelas terpasang pendingin ruangan di atasnya. Beruntung hari ini ia melapisi kaos putihnya dengan kemeja berwarna mint yang membuatnya tidak telalu kedinginan walaupun berlama-lama duduk di situ, agak sedikit menyesal juga tidak membawa cardigan yang biasanya selalu ada di dalam tas. Wooseok memang tidak bisa terlalu lama di tempat dingin, AC kamarnya saja sering digunakan hanya sebagai pajangan.

Ini bukan tempat yang startegis sebenarnya karena jelas-jelas matanya harus bekerja ekstra untuk bisa melihat layar di depan. Namun, saat tadi ia masuk kesini, hampir sebagian kursi telah terisi penuh karena ini adalah seminar gratis dengan modal hanya mengisi form di depan, bisa dapat ilmu, snack, e-setifikat, juga notes lengkap dengan bolpoinnya.

Mata kucing Wooseok dibalik kacamata bulatnya melirik Jinhyuk yang tampak fokus menyimak ke depan. Bisa-bisanya dia tidak terganggu dengan beberapa pasang mata yang bahkan dari row depan rela menoleh hanya untuk menatapnya.

Wooseok menyandarkan punggungnya pada kursi (yang untungnya empuk) dengan cukup keras. Dia sudah merasa tidak nyaman dengan tatapan orang-orang yang melihat Jinhyuk, namun juga ikut-ikutan menatapnya penuh ingin tahu.

Oh mungkin mereka sedang bertanya-tanya siapa gerangan orang beruntung itu yang bisa duduk di samping seorang Lee Jinhyuk?

Tiba-tiba rasa ingin sombong Wooseok meningkat sedikit kalau seperti ini.

Walaupun suasananya begini, Wooseok rasa keluar di tengah-tengah acara bukan pilihan yang tepat. Seperti yang tadi ia bilang pada Seungwoo, tidak mungkin juga ia mengajak Jinhyuk.

Mahasiswa semester dua yang sejak masa ospek sudah menarik perhatian orang-orang itu akhirnya menoleh dengan satu alisnya yang terangkat, “Kenapa kamu?” tanyanya pelan saat mendengar dengusan dari samping kanannya.

Wooseok menggelengkan kepalanya, memasang senyum lembut lalu membatin betapa dalamnya suara Jinhyuk. Kesalnya langsung berkurang banyak hanya dengan mendengar suaranya saja.

Kim Wooseok benar-benar sudah tersihir oleh apapun tentang Lee Jinhyuk.

Sedikit bergeser mendekat pada Jinhyuk, Wooseok lalu menutup mulutnya agar bisa berbicara lebih leluasa walaupun harus bisik-bisik, “Kamu gak risih, dek? diliatin orang?” tanyanya.

“Udah biasa.”

Harusnya Wooseok bisa menebak ini dengan jelas, lahir dari pasangan selebritis yang perannya wara-wiri di layar bioskop juga dirinya sendiri yang terjun di dunia modeling sejak kecil, maka mendapatkan perhatian orang bukan hal baru bagi seorang Lee Jinhyuk. Itu adalah dia dan dunianya.

Wooseok seperti ditampar kenyaatan lagi kalau mengingat tentang siapa orang di sampingnya ini.

Unreachable, memang.

Ia mengenal Jinhyuk sejak setahun lalu, yang dengan heroiknya membantu ketika dirinya hampir pingsan saat harus menjadi salah satu pendamping kelompok untuk mahasiswa baru yang mengikuti ospek universitas di tengah panasnya stadion kampus.

Jinhyuk yang sejak datang sudah mendapatkan kasak-kusuk baik dari sesama mahasiswa baru maupun kakak tingkat (mereka berbicara tentang anaknya Lee Dong Wook yang masuk sini) itu tanpa ragu keluar dari barisan dan langsung merangkul Wooseok yang berdiri di sisi kanan dengan wajah pucat dan juga limbung.

Dia dibantu oleh petugas medik langsung membawa Wooseok ke tenda kesehatan yang berada di belakang barisan, “Panitianya gimana sih! Orang sakit ngapain ikut panas-panasan segala.” katanya pada beberapa orang yang ada di sana.

Lantas aksinya saat itu membuat Jinhyuk semakin menarik perhatian banyak orang.

Selang beberapa lama, setelah segala macam ospek dan tek-tek bengeknya sampai tingkat jurusan selesai, Wooseok baru sempat menemui Jinhyuk lagi.

Pemuda tinggi itu hanya menatapnya lalu membulatkan mulut saat Wooseok berkata ia lah orang yang ditolong Jinhyuk waktu itu, “Oh, yaudah.” respon Jinhyuk begitu singkat sambil berlalu. Hampir saja Wooseok memaki kalau tidak ada Seungwoo yang segera menariknya dari depan kelas tempat mereka menemukan Jinhyuk.

Rupanya, karma berjalan sebagaimana mestinya, rasa kesal Wooseok karena sikap Jinhyuk justru membuatnya semakin ingin tahu tentang anak pasangan selebritis itu. Maka, semakin dalam menggali, ia justru mendapati dirinya yang malah menyukai sosok tersebut. Mengetahui beberapa hal tentang dirinya yang tertuang dalam berbagai wawancara majalah membuat Wooseok berpikir kalau Jinhyuk tidak seburuk itu.

Cerita sedikit, memang benar adanya kalau ia tidak pernah dilirik oleh Jinhyuk. Anak itu terlanjur melabelinya aneh karena selalu bertingkah tanpa ragu.

Bagaimana, ya? Wooseok seperti ini saja Jinhyuk masih bersikap dingin, apalagi kalau Wooseok diam saja? selesai sudah semuanya. Namun, ada rasa sedikit beruntung bagi Wooseok karena Jinhyuk masih suka meresponnya ketika di Twitter.

“Dek..” Wooseok kembali mendekatnya dirinya saat memanggil Jinhyuk, “Mau di sini sampai kelar?”

“Kenapa? kamu udah nggak betah?” Jinhyuk justru balik bertanya, sejak dulu dia memang tidak pernah menambahkan embel-embel Kakak saat memanggil Wooseok.

“Bukan gitu.. eh masih lama gak sih ini?”

“Masih.”

Mendengar jawaban Jinhyuk, Wooseok hanya mengangguk lesu dan kembali memberi jarak diantara mereka, ia menyandarkan punggungnya lagi lalu mencorat-coret asal notes yang ada di tangannya. Kebanyakan tulisannya yang bisa dibaca jelas cuma Lee Jinhyuk ganteng.

“Yaudah.. aku di sini sampai selesai.” gumamnya, “Gapapa lama kalau ada kamu mah.” kali ini berhasil membuat Jinhyuk mendengus kecil sambil meliriknya, “Tambah aneh, ngapain ngikutin saya?”

“Gapapa, mau aja. Kapan lagi aku duduk di samping kamu.”

Satu hal lain yang membuat Wooseok sedikit bersyukur juga heran sejak lama. Jinhyuk selalu berbicara saya dan kamu kepadanya, dengan orang lain juga sih walaupun tidak banyak yang ia tahu karena Wooseok juga cukup sering mendengar Jinhyuk berbicara lugas dengan teman-temannya.

“Dek, tangan kamu beneran ganteng deh. Serius, ngerti gak sih. Tuhan gak adil banget ya, masa kalau tentang kamu bagus-bagus semua.”

Celetukan Wooseok kali ini benar-benar membuat Jinhyuk menghala napas kecil sebelum dia memiringkan tubuhnya untuk menatap Wooseok. Kedua manik mata hitam itu menatap tepat ke arah Wooseok dengan begitu tenang, “Mau keluar?” tanyanya pelan.

“Hah?”

Si kaka tingkat yang selalu merecokinya itu justru memasang wajah blank mambuat Jinhyuk langsung mendekatkan wajahnya, memposisikan bibirnya tepat di samping telinga Wooseok, “Saya mau pulang, kalau kamu mau pulang ayo.” bisiknya.

Blushing.

Jelas Jinhyuk bisa melihat pipi Wooseok yang memerah secara perlahan saat dia menjauhkan wajahnya.

“Ayo.” ucapnya lagi sambil memasukan notes miliknya yang ada di atas paha ke dalam tas lalu kembali menatap Wooseok yang masih linglung, “Wooseok, mau pulang nggak kamu?”

“M-Mau. Bentar, dek.”

Mahasiswa semester empat itu sedikit tergagap lalu secepat mungkin membereskan tasnya. Ia terlalu syok mendapatkan perlakuan seperti itu dari seorang Lee Jinhyuk.

Gila aja, mimpi apa semalam?

Terus kemana suasana dingin yang sejak tadi dirasakannya? Kenapa jadi panas sampai ke muka segala.

Dan kagetnya semakin menjadi saat tangan Jinhyuk menariknya begitu mereka berdiri lalu berjalan sambil berucap permisi pada orang-orang yang duduk satu row dengan mereka agar bisa keluar dari sana.

Mengabaikan tatapan penasaran dari setiap pasang mata yang menatap ingin tahu pada tangan yang kali ini saling bertautan.

Wooseok rasanya ingin memekik kegirangan. Jelas tangan ganteng milik Jinhyuk yang ingin sekali ia pegang itu saat ini justru menggenggamnya dengan lembut, melingkupi jarinya. Hangat.

Beneran mimpi kali ya ini???!

Setelah keluar auditorium, Jinhyuk berjalan di depannya saat mereka menuruni tangga, dan pandangan Wooseok masih terpaku menatap tangan dia yang menggenggam tangannya.

“Dek-”

“Dek, dek, dek. Saya bukan adik kamu.” Jinhyuk dengan cepat menyela ucapan Wooseok tanpa menoleh sedikit pun.

“Tapi kamu adik tingkat..” cicitnya, “Udah kebiasaan.”

“Berarti jangan dibiasain.”

“Aku kekenyangan, tadi kakaknya nyuruh aku makan yang banyak, Massss...”

Jinhyuk mendengus kecil sambil melirik sekilas ke arah kursi belakang melalui kaca spion untuk menatap adiknya yang mengadu, kedua tangannya sibuk memutar kemudi sambil memasuki lahan parkir di sebuah kedai gelato yang tidak terlalu jauh dari Trampoline Park yang tadi mereka kunjungi.

“Makan banyak gimana? itu kan memang biasa juga segitu porsinya, dek.” sahut Jinhyuk saat mendengar ocehan adiknya.

Ada-ada saja.

Sedangkan Kim Wooseok yang duduk di samping Jinhyuk langsung meringis kecil. Merasa sadar kalau dialah si kakak yang dimaksud oleh anak tersebut.

Oke, ini semua bermula saat tadi mereka makan dulu sebelum ke sini.

“Iya, maaf ya Jinu. Kakak kan cuma ngasih tahu, kalau makan itu baiknya dihabiskan.”

Selama di jalan, Wooseok tahu Jinu beberapa kali mengusap-ngusap perutnya dan terus mencicit perutku jadi besar karena aku kenyang!

Kelakuannya itu berbanding terbalik dengan keponakannya yang anteng memegang sebuah mainan dari Happy Meal yang tadi dia dapat.

Sambil sedikit memiringkan duduknya agar bisa melihat wajah merenggut anak lima tahun itu, Wooseok mencoba menjelaskan maksudnya tadi.

“Kak Wooseok padahal tadi gak maksa, loh. Jinu di sekolah juga diajarkan, ya? kalau makan harus dihabiskan. Terus kamu juga belum makan, dek. Memang nggak lapar? Win aja tadi makannya habis. Iya kan, Win?”

Pandangan Wooseok beralih pada keponakannya untuk meminta pesertujuan atas ucapannya barusan, beruntung anak itu bisa diajak bekerja sama karena langsung mengangguk setuju, “Iya Jinu.. makanku habis.” katanya pelan seraya menatap Jinu yang ada di sampingnya.

Jinu tidak membantah, dia hanya bisa memajukan bibirnya tanda masih ingin protes pada yang lebih dewasa. Jangankan Wooseok, Ibu atau Ayah di rumah pun selalu bilang begitu padanya. Namun, kesalnya dia ditambah saat meminta bantuan untuk menghabiskan makanannya, Jinhyuk hanya mengangkat bahu sambil bilang,

“Habisin, kasian cacing kamu minta makan tuh habis diajak loncat-loncat.”

Padahal, mereka ini kan mau makan es krim, dia jadi kekenyangan sekarang gara-gara Kak Wooseok dan juga Mas Jinhyuk.

Maunya dia tidak usah makan dulu, langsung saja makan es krim! Gitu.

Mesin mobil dimatikan saat Jinhyuk sudah parkir tepat di ujung dekat benteng yang membatasi lahan parkir dengan sebuah bangunan di luar, terpaksa di ujung karena lahannya cukup penuh dengan sepeda motor.

Dia membuka sabuk pengamannya diikuti oleh Wooseok yang melakukan hal yang sama. Kepalanya menoleh cepat untuk menatap sang adik, “Kalau kenyang, kamu nggak usah ikut makan es krim deh. Cukup liatin Mas, Kak Wooseok sama Win makan aja.”

Wooseok menaikan satu alisnya tidak habis pikir sambil menatap Jinhyuk, kok malah dibilang gitu. Nanti makin ngambek bisa-bisa.

“Gak mau.. aku mau makan es krimmm...”

Kan.

Rengekan Jinu kemudian memenuhi pendengaran mereka berempat yang masih belum beranjak sama sekali dari dalam mobil.

“Yaudah, jangan ngambek sama Kak Wooseok. Kamu kan udah diajakin main. Harusnya bilang terimakasih, sama Win juga. Kalau tadi gak makan dulu, Mas juga gak akan ngasih kamu makan es krim. Kata Ibu gak boleh, mending kita pulang aja.”

“Aku mau es krimmmm. Mas Jinhyuk pelit!!”

Wooseok tidak bisa menahan gelengan kepalanya saat melihat perdebatan kakak adik yang terpaut lebih dari sepuluh tahun itu, “Jinhyuk..” gumamnya yang dibalas lirikan oleh Jinhyuk seakan berkata, udah lo tenang aja urusan gua nih.

“Makanya jangan ngambek, nanti ditinggal di mobil.” senjata andalannya keluar.

Kemudian, Wooseok mengerjap bingung saat Jinu buru-buru mengulurkan jari kelingking tepat ke arahnya setelah mendengar ancaman Jinhyuk.

Tanda baikan.

“Maafin Jinu kak..” ucapnya cepat, “Kak Wooseok sama Win makasih udah ngajak main...”

Segampang itu?

Problem solved dengan Wooseok yang mengaitkan jarinya dengan kelingking Jinu, “Okay.. maaf ya kalau perut kamu jadi besar gara-gara Kakak.” balasnya sambil menahan tawa. Lucu banget sih tingkahnya.

“Nah gitu. Yaudah, ayo turun keburu malam.”

Ajakan Jinhyuk langsung disetujui yang lain. Bahkan, Win yang sejak tadi menjadi penonton drama teman barunya itu sampai bersorak hore.

Diam-diam, Jinhyuk tersenyum puas melihat adiknya yang langsung menurut. Jinu itu senang sekali merengek, heran. Apa karena perbedaan usia mereka yang sangat jauh? Tapi, walaupun begitu, Jinhyuk masih bersyukur dia masih mau mendengarkan ucapan kakaknya.

Mereka berjalan dari parkiran menuju pintu utama. Tempatnya tentu cukup ramai, wajar saja ini weekend, banyak orang menghabiskan waktu di luar, sebagaimana yang sedang mereka lakukan.

“Udah sering ke sini?”

Jinhyuk bertanya sambil melirik Wooseok yang berjalan di samping kanannya. Di tengah-tengah mereka ada Win yang sedang digandeng oleh Wooseok. Belum sempat pertanyaannya dijawab, dia menarik lengan Wooseok agar mendekat padanya saat ada sepeda motor yang akan keluar, “Awas.” ujarnya yang membuat Wooseok langsung bergeser lalu menatapnya sambil meringis, “Gak keliatan. Eh, tadi tanya apa, Jinhyuk?”

“Sering ke sini?”

“Oh, lumayan.. biasanya ke kedai yang tadi aku tunjukin loh. Tapi, penuh banget kayaknya. Makanya aku pilih ke gelato aja yang agak mendingan. Kasian anak-anak kalau rame banget malah gak nyaman apalagi harus antri buat duduk.”

Jinhyuk hanya mengangguk paham, memang tadi Wooseok sempat menujukan satu tempat yang dilewati mereka.

“Win, mau rasa apa?”

Wooseok bertanya sambil menggoyangkan tangannya yang menggenggam lengan sang keponakan, “Mau oreo sama dragon fruit, gak mau di cone, kak. Nanti tumpah lagi.”

Mendengar permintaan keponakannya, Wooseok jadi mengigat kejadian minggu lalu saat Win menumpahkan es krim yang bahkan belum dimakan, kemudian ngambek sendiri padahal dia yang tidak hati-hati, “Okay, nanti pakai cup aja ya.”

Wooseok kemudian menatap Jinu yang berjalan dua langkah di depan mereka dengan semangat. Anak itu benar-benar punya banyak energi berlebih, batin Wooseok.

“Semangat banget adik kamu mau makan es krim.”

“Biarin aja semaunya dia, Seok. Batrenya baru diisi kan tadi.”

Mendengar candaan Jinhyuk tentang adiknya sendiri membuat Wooseok terkekeh sambil menatapnya, “Memang adik kamu robot diisi batre.”

“Jinu, mau rasa apa? nanti biar Kakak yang pesenin.” tanyanya yang langsung mendapatkan gelengan tanda penolakan dari bocah lima tahun itu, “Gak mau! Aku mau pilih sendiri rasanya.”

Oke, terserah.

Begitu sampai di depan pintu kaca depan yang ditutup, Jinhyuk langsung mendorongnya agar terbuka lebar dan menahannya hingga mereka semua bisa masuk lebih dulu.

Perlakuannya itu berhasil mendapatkan ucapan terimakasih dari Wooseok, bonus dengan senyum lembut yang membuat Jinhyuk mematung sesaat sambil mencengkram pegangan pintu.

Cakep banget, Kim Wooseok. Demi Tuhan!

Suasana di dalam memang sudah cukup ramai begitu Wooseok mengedarkan pandangannya, “Di lantai dua, aja. Gapapa kan, Jinhyuk? Biasanya lebih sepi.” tanpa banyak bicara Jinhyuk langsung menyetujuinya, gimana Wooseok saja, dia ngikut.

Jinhyuk secara alami menggandeng tangan Jinu untuk menuntunnya berjalan memasuki dalam kedai dan menaiki tangga menuju lantai dua saat dilihatnya beberapa orang sibuk berlalu lalang mengambil pesanan, “Hilang nanti kamu.” katanya yang bisa di dengar oleh Wooseok yang berjalan tepat di belakang mereka.

Walaupun terlihat lebih sering menjahili adiknya seperti tadi. Tapi, Wooseok tahu kalau Jinhyuk tidak pernah melepaskan pandangannya pada Jinu saat bermain. Dia selalu menjaganya, dengan pandangan seorang kakak yang memastikan adiknya aman, simpul Wooseok tentang Jinhyuk hari ini.

Benar kata Wooseok, suasana di lantai atas tidak terlalu ramai. Mereka memilih meja yang berada di depan tembok dengan berbagai bingkai foto yang tersusun rapi, lengkap dengan pilih-pilihan kursi oleh anak-anak, aku mau di sini, aku mau di sana kata mereka yang membuat Jinhyuk membatin, tinggal duduk ribet amat, dasar bocah.

“Milih rasanya di bawah tadi, rame kan keliatan? Jinu mau tetap milih sendiri?”

Wooseok bertanya pasti pada Jinu yang sudah duduk di kursi samping Jinhyuk yang tepat di depannya, anak itu berhadapan dengan Win. Namun, walaupun sudah melihat keramaian tadi, Jinu tetap kekeh dengan pendiriannya, mau milih sendiri, gak mau tau.

“Ya sudah, kita pilih berdua ya...” Wooseok menggantung ucapnya sambil melirik keponakannya yang sudah duduk manis, mengulas senyum lembut sebelum ia berbicara, “Win, Kakak gak akan lama, tunggu sama Kak Jinhyuk dulu gapapa ya, sayang?”

“Iya Kakak. Aku nunggu sama Mas nya Jinu.”

Jinhyuk menggelengkan kepalanya disertai tawa kecil saat lagi-lagi mendengar keponakan Wooseok yang memanggilnya ikutan-ikutan sang adik dari tadi, sejak mereka main di Trampoline Park.

Mas nya Jinu. Lucu juga.

“Udah, pesen aja sama Jinu. Biar Win di sini sama gua. Aman.”

Wooseok menyempatkan mengusap puncak kepala Win saat anak itu mengiyakan ucapan Jinhyuk, memang nurut banget keponakan kesayangannya ini. Ia yang kali ini sudah berdiri kembali beralih menatap Jinhyuk, “Kamu mau yang apa?”

“Apa aja bebas.”

”..Oh-okay..”

Wooseok menjeda terlihat menimbang sambil membenarkan kacamatanya sebelum dia kembali bertanya dengan ragu.

“Coklat? it's okay? atau mau yang aneh, kemangi misalnya?”

“Yakali, Seok. Jangan aneh-aneh. Nggak mau gua. Coklat aja udah paling bener. Sama apa aja bebas asal yang wajar.”

Wooseok terkekeh kecil sambil mengangguk, “Kali aja kamu mau gitu.”

“Aku juga coklat sama kayak Mas!”

Jinu buru-buru turun dari kursi dan menyambut tangan Wooseok yang terulur padanya.

“Ayo, kak. Mas aku mau banyak boleh?”

“Gak habis awas aja nanti. Katanya kenyang, kamu gimana sih, dek?”

“Mas Jinhyuk pelit!!!!”

Ya Tuhan.

Jinhyuk lagi-lagi mendengus saat mendengar gerutuan adiknya itu, tapi ia menatap punggung Jinu dan Wooseok yang perlahan menjauh lalu hilang saat mereka menuruni tangga dengan perasaan senang.

Tidak pernah terpikirkan sedikit pun kalau mereka bisa jalan bersama, dengan Jinu yang terlihat antusias menarik tangan Wooseok agar cepat-cepat.

Pandangannya lalu beralih pada anak seusia sang adik yang duduk di depannya saat ini, kedua tangannya sibuk memainkan mainan yang daritadi dibawanya. Sudut bibir Jinhyuk ditarik sedikit sebelum membuka suara, “Win.. senang main sama Jinu?” tanyanya yang jelas-jelas dijawab dengan anggukan semangat olehnya, “Huum!”

“Nanti kalau Jinu ngajak Win main lagi, mau nggak?”

“Mau! nanti aku mau main sama Jinu lagi. Boleh ya Mas nya Jinu?”

Jinhyuk akhirnya tergelak, semakin sering dia mendengar panggilan itu, anak di depannya ini terlihat semakin lucu. Dan kalau diperhatikan, dia jelas-jelas mirip banget dengan Wooseok. Plek banget, kayak Wooseok versi bocah.

“Boleh dong. Win, kamu inget gak kita pernah ketemu? Di rumah waktu itu? yang aku kasih kamu lolipop.”

“Tau, yang sama Koko Uyon. Itu Mas nya Jinu. Teman Kakak banyak yang ke rumah.”

Jinhyuk tampak mengulas senyum lebih lebar, lalu memajukan duduknya agar bisa mengusak gemas puncak kepala Win.

“Temenan sama Jinu ya sampai besar.”


“Kan, Mas bilang juga apa pasti gak habis.”

Jinhyuk berujar saat Jinu memberikan es krim miliknya yang masih banyak, satu cone gelato dengan warna warni serta rasa campur aduk green tea, oreo juga mix berry sudah berpindah tangan padanya, si anak hanya mengangkat bahunya tanpa merasa bersalah,

“Kan aku kenyangggg habis makan chicken tadi. Buat Mas aja, aku baik.”

Apa-apaan. Untung saja miliknya yang tadi dipesankan oleh Wooseok sudah habis. Dia melirik Wooseok yang menatapnya kemudian juga menunjuk ke depannya sendiri dimana ada cup milik Win yang juga masih banyak.

“Ini punya Win juga gak habis, dikasih ke aku.” katanya ikut merasakan nasib Jinhyuk.

Jinhyuk menggelengkan kepala benar-benar heran, “Dasar bocah-bocah ini.” katanya.

Meja mereka terbilang cukup ramai dengan celotehan kedua anak lima tahun itu. Terutama Jinu yang saat ini sedang melakukan video call dengan Ibunya dan memperkenalkan Win yang sekarang sudah duduk di sampingnya dengan menarik kursinya sendiri. Anak itu juga mengadu banyak hal tentang Jinhyuk selama mereka pergi.

Mas Jinhyuk ini.. Mas Jinhyuk itu.. Mas Jinhyuk pelit..

Semuanya dia beberkan pada sang Ibu yang membuat Jinhyuk memutar bola matanya tak mau ambil pusing, biarkan saja.

“Aku baru tahu kamu punya adik baru-baru ini loh..”

Wooseok membuka pembicaraan diantara mereka, membiarkan kedua anak-anak itu sibuk dengan dunianya. Ia menatap Jinhyuk yang juga kali ini memfokuskan diri pada percakapan mereka.

“Iya ngapain, gua juga gak pernah bilang-bilang kan?”

Tidak merasa tersinggung sedikit pun, Jinhyuk justru tertawa kecil sambil mengangkat bahunya, membuat Wooseok mengangguk singkat.

“Tapi lucu sih.. bedanya jauh banget kamu sama Jinu.” katanya sambil mengambil tisu dan mengusap tangannya yang terkena sedikit es krim dari sendok milik Win.

“Aneh ya?”

“Nggak, kan aku bilang lucu bukan aneh. Gimana sih, Jinhyuk..”

“Oh, kirain.” sahut Jinhyuk saat melihat wajah Wooseok yang siap protes karena maksudnya bukan seperti itu.

Setelah beberapa saat mereka terdiam kembali dan sibuk dengan es krim masing-masing, Jinhyuk kembali berbicara,

“Seok, makasih ya udah ngajakin gua sama Jinu pergi.”

Jinhyuk tidak pernah pergi berdua dengan Wooseok, sama sekali. Karena memang mereka tidak pernah punya kepentingan yang mengharuskan keduanya jalan barsama.

Hanya dia dan Wooseok maksudnya.

Kalaupun iya, mereka biasa ramai-ramai di tempat makan, itu pun Seungyoun yang mengajak.

Karena kalau boleh jujur, Jinhyuk bisa berteman dengan Wooseok adalah jasa dari Cho Seungyoun. Dia berteman dengan Seungyoun dan Seungyoun sudah mengenal Wooseok sejak mereka sama-sama mahasiswa baru.

Baru semester ini Jinhyuk satu kelas dengan mereka. Sebelumnya, dia dan Wooseok hanya teman satu angkatan yang jarang sekali berbicara. Mungkin bisa dihitung jari.

Wooseok sekedar tahu Jinhyuk yang aktif di banyak kepanitiaan.

Dan Jinhyuk tahu Wooseok.. yang sudah menarik perhatiannya sejak mereka sama-sama bertemu di aula saat menghadiri kelas bersama, kala itu.

Bagaimana sosok Wooseok yang duduk di baris ke dua dan terlihat fokus menyimak materi di depan justru membuat Jinhyuk terfokus padanya.

Mengabaikan hal lain, materi kelas hari itu jelas sia-sia bagi Jinhyuk karena hanya penuh dengan Wooseok yang menarik perhatiannya selama empat puluh lima menit mereka di sana.

“Jinhyuk...”

“Hmm?”

Jinhyuk menaikan satu alisnya sambil memindahkan es krim dari cone milik Jinu ke dalam cup miliknya yang sudah kosong, karena ini benar-benar merepotkan apalagi sudah meleleh sana sini dan tisu yang ada di meja mereka tinggal sedikit.

“Kenapa, Seok?” ulangnya saat dilihat Wooseok hanya memangku dagu dengan tangannya tanpa melanjutkan ucapannya lagi, hanya menatapnya ragu-ragu.

Sesungguhnya, ditatap seperti itu membuat Jinhyuk mati-matian memasang poker face, kalau saja ini sedang dalam dunia chatting, dipastikan dia sudah memakai caps lock tanpa bisa dikontrol.

Wooseok terlihat menggigit bibirnya sebelum berbicara, ia meringis dan menggumam cukup pelan, “Aku juga baru tau kalau kamu dipanggil Mas..” bukan hanya oleh adiknya, tapi oleh Ibunya juga yang bisa Wooseok dengar dari video call yang sedang dilakukan oleh Jinu.

“Hah? kenapa?”

“Eh.. enggak... lupain aja.”

Wooseok buru-buru menunduk, menghindari tatapan Jinhyuk dengan memfokuskan dirinya mengaduk cup es krim milik Win.

“Mas ganteng?” tanya Jinhyuk tiba-tiba, “Lo ngira gua si mas genteng itu?”

Tangan Wooseok yang akan menyuap berhenti di udara, ia menatap Jinhyuk sambil menelan ludahnya sendiri, kenapa tenggorokannya mendadak terasa kering.

“Enggak gitu...” bisiknya, “Sorry, kalau kamu gak nyaman. Lupain aja.”

Wooseok melanjutkan suapannya lagi, lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, mulutnya merasakan rasa dragon fruit yang terasa segar. Ia tersenyum tipis, “Aku juga nunggu dia nya kok. Mau denger langsung aja nanti.”

“Sepenasaran itu, ya?”

“Iya.”

Pandangan Jinhyuk yang tiba-tiba begitu lurus menatap kedua manik matanya membuat Wooseok sedikit gugup. Ia membenarkan kacamatanya yang sama sekali tidak melorot sedikit pun, “Jinhyuk.. ngapain sih..” ujarnya yang langsung membuat Jinhyuk tersadar, dia berdehem sebentar lalu memalingkan pandangannya pada anak-anak yang kali ini sudah sibuk main games di ponselnya.

“Gapapa.” ucap Jinhyuk pelan, “Habis ini langsung gua anterin pulang.”

Kerutan di kening Wooseok cukup dalam saat melihat Jinhyuk yang tampak sedikit gelisah namun berusaha ditutupi. Kenapa?

Dengan jelas, pesan Sejin kembali teringat lagi, tapi kamu curiga, kan?

Boleh kan Wooseok menjawab iya, sekarang.

Masih menatap Jinhyuk, pikiran Wooseok mencoba menebak lagi, ia masih tidak mengerti, benarkah dia di balik akun mas ganteng itu? Haruskah seperti itu? seorang Lee Jinhyuk? Buat apa?

Wooseok memang tidak terlalu dekat dengan Jinhyuk, secara personal. Mereka hanya teman satu kelas dan sedikit lebih dari yang lain mungkin karena dia selalu bersama Seungyoun yang bisa dibilang sahabatnya selain Sejin.

Hubungan mereka hanya sebatas itu, dan mau dipikir bagaimana pun Wooseok tidak pernah mendapati Jinhyuk yang berlaku berlebihan padanya atau pun seperti Hangyul yang kemarin terang-terangan mengajaknya keluar.

Bukan iseng, kata si mas ganteng.

Wooseok menggigit bibirnya, terpikirkan hal yang membuatnya langsung mengetuk kepalanya sendiri. Masa sih?

“Jinhyuk..” panggilnya, ia memajukan duduknya dan menatap Jinhyuk yang langsung memberikan perhatian padanya lagi.

“Ya?”

“Menurut kamu, si mas ganteng itu kenapa kayak gitu?”

Wooseok kembali mengulum senyum tipis saat melihat Jinhyuk yang menaikan alisnya sambil menyuap es krim, “Kayak gitu gimana?”

“Ya gitu... bikin akun terus aneh suka posting-posting fotoku. Aku bingung sebenernya nganggap dia iseng tapi dia nya kekeh pernah bilang kalau enggak iseng. Berlebihan banget kalau mau jahilin aku.”

Seluruh raut yang tergambar di wajah Jinhyuk coba dipetakan olehnya, sejujurnya ia tidak pernah berharap apa-apa tentang siapa di balik akun tersebut, murni hanya sebuah rasa penasaran. Entah itu Jinhyuk atau siapa pun teman sekelasnya, Wooseok hanya ingin tahu.

“Kepedean nggak sih, tiba-tiba aku kepikiran kalau ngira dia kayak gitu beneran suka sama aku?”

Batuk.

Lee Jinhyuk tersedak es krim yang ada di mulutnya detik itu juga.

I hope I'll meet you in a story some day,

and the ending won't be this sad.


Ia terbang bebas di atas langit yang berwarna jingga, terlihat begitu ringan bagai kapas yang tertiup oleh angin, figurnya tampak indah dengan cahaya yang melewati celah di setiap kepak sayap berwarna putih bersihnya yang senada dengan pakaian yang dikenakannya.

Ia adalah paras akan apa yang selama ini kita bayangkan tentang sebuah wujud bernama malaikat, yaitu Kim Wooseok.

Namun, di wajahnya saat ini hanya menyiratkan sebuah gelisah dan khawatir, mata bulatnya menatap dengan penuh fokus ke arah lalu lalang di bawah pandangannya, ia yang kini melayang di atas sebuah gedung yang berada di persimpangan jalan itu terus menggumamkan satu kalimat yang diulang,

“Jinhyuk dimana, ya?”

Lalu, satu kepakan kuat dari sayap indahnya itu berhasil membuat ia pindah dari sana dengan mudah, untuk mencari apa yang bisa ia cari, untuk mencari apa yang ingin ia temukan saat ini.

Di sana, di atap sebuah gedung rumah sakit ia akhirnya bisa melihat sosok yang sedang berdiri tegap di tepi gedung. Pakaian dan sayap hitam pekatnya terlihat sangat kontras dengan suasana hangat dari sang mentari yang akan kembali ke paraduannya.

“Lee Jinhyuk.”

Panggilnya mendekat, turun dengan perlahan untuk memijak lantai semen berwarna hijau pudar tepat di belakang Jinhyuk.

“Aku mencarimu.”

Beritahunya sambil berjalan agar berdiri di samping Jinhyuk yang sudah berbalik untuk menatapnya dengan senyum tipis, rambutnya yang sedikit panjang melewati telinga terkibas angin dan membuatnya menjadi sedikit berantakan.

Tangan yang daritadi tersimpan rapat di dalam saku celana Jinhyuk akhirnya keluar dan terulur, “Duduk di sini, Wooseok. Bersamaku.” ajaknya tanpa ragu yang disambut senyum senang oleh Wooseok.

Ia menyukainya, tangan yang bertauan dengan Jinhyuk selalu terasa hangat.

Kedua sayap di punggung mereka masing-masing memudar secara perlahan, menghilang seperti ditelan asap yang entah dari mana, ajaib, memang seperti itu.

Terkadang, ada hal-hal di luar nalar yang tidak bisa dijangkau oleh manusia.

Keduanya duduk di tepi gedung dengan kaki terucang, tanpa merasa ngeri sedikitpun karena terbang dan melihat dari ketinggian adalah hal yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka.

Sayap adalah kehidupan.

Kehidupan kedua yang mereka miliki.

Manusia di bawah sana tampak sangat sibuk, berlalu lalang dengan berbagai raut yang tergambar; duka kehilangan, tangis kebahagian, cemas yang menghantui dan sebuah senyum hangat yang juga tidak bisa ditampik.

Juga, suara sirine ambulan yang terdengar bagai pelengkap mengingat dimana mereka berada sekarang.

Wooseok menoleh ke arah Jinhyuk, ia menatap wajah yang tertimpa sinar mentari hangat itu dengan penasaran, “Tugas hari ini?” tanyanya, “Lancar?”

Yang ditanya mengangguk tanpa membalas tatapan Wooseok, pandangannya justru menatap jauh ke depan untuk menerawang, dia menjeda cukup lama hingga rambutnya kembali tersibak angin membuat Wooseok ingin sekali membenarkannya.

“Seorang Nenek yang menjadi satu-satunya keluarga anak kecil usia sembilan tahun.” jawab Jinhyuk sedikit berbisik.

Kemudian, genggaman jemarinya sedikit mengerat membuat Wooseok menunduk untuk menatap tangan mereka yang masih belum dilepaskan oleh Jinhyuk bahkan saat kini ia sudah duduk di sampingnya.

Selalu seperti ini, sejak awal.

Dia adalah Lee Jinhyuk yang selalu merasa terbebani sewaktu-waktu dengan tugasnya, persetan saat dia harus mencabut nyawa seorang brengsek yang pantas mati menurutnya. Namun, dia akan selalu merasa bersalah saat harus merenggut nyawa yang lemah.

Menyaksikan tangis orang-orang yang ditinggalkan, menimbulkan duka mendalam bagi mereka membuat Jinhyuk kerap kali termenung sesaat di tempatnya.

Dia, telah mengambil bahagia orang lain.

Dia, Lee Jinhyuk yang dikutuk dengan tugas berat ini.

Hari ini, Jinhyuk harus menyaksikan seorang anak sembilan tahun yang meringkuk sambil menangisi jasad Neneknya. Dia menangis dengan suara yang sangat lirih sambil kebingungan saat yang dipanggilnya tidak menjawab, dan tangisnya semakin pilu terasa menyesakan saat seorang suster akhirnya menutup keseluruhan tubuh sang Nenek dengan kain putih.

“Nenekmu sudah meninggal, Nak.”

Suara tangis anak kecil itu adalah suara tangis yang akan selalu Jinhyuk dengar di malam-malam sepinya... suara dari tangisan orang-orang yang kehilangan.

Dan Wooseok yang ada di sampingnya akan tersenyum tipis, mengeratkan genggaman tangan mereka agar Jinhyuk merasa lebih baik.

“They're headed for a better place, it's okay.” katanya selalu seperti itu.

Jinhyuk mengambil napas panjang, selalu berterimakasih kepada Wooseok yang selalu ada di sampingnya, sejak awal. Sejak dia datang ke dunia yang tidak dia mengerti semasa hidup.

“Terimakasih, Wooseok.” ucap Jinhyuk yang kembali mengulum senyum tipis, menatap Wooseok dengan tangan yang kembali mengerat, mau seperti apa dia tanpa sosok di depannya ini.

Hitam dan putih.

Lambang keburukan dan kebaikan.

Keduanya terlalu mencolok untuk duduk bersama. Untuk saling menautkan jari, untuk berbagi senyum, untuk bercerita banyak tentang tugas masing-masing, bahkan untuk saling menatap dengan binar yang memancarkan rasa.

Namun, siapa perduli?

Tidak akan ada yang melihat dan bukan ranah manusia untuk menghardik mereka karena bersama.

Kecuali di mata yang di atas.


“Aku membawa dosa besar, dikutuklah aku menjadi seperti ini. Turun ke bumi dengan sebuah tugas.”

Apa itu after life? atau bagaimana di sana? seperti apa indahnya surga dan semengerikan apa yang disebut neraka?

Entah apa yang Jinhyuk dulu bayangkan saat dia masih hidup dan bahagia di dunia ketika memikirkan pertanyaan tersebut.

Namun, tidak sekalipun Jinhyuk pernah membayangkan kalau dia akan mempunyai sayap hitam legam di belakang punggung lebarnya.

Atau membayangkan kalau dia akan dikutuk karena dosanya.

Dosa besar yang membuatnya tenggelam dalam sebuah sumur penyesalan tanpa dasar.

Tidak sekalipun dia pernah membayangkan kalau dia sekarang adalah seorang malaikat kematian.

Jinhyuk mengingat jelas, dia menangis hebat di tugas pertamanya saat dimana dia mulai merasakan kutukan yang begitu sangat berat dan jahat untuknya.

Dia harus mengambil nyawa seorang anak kecil yang tidak bersalah, anak yang akan selalu dia ingat, anak yang sangat Jinhyuk sayangi bahkan sebelum lahir ke dunia.

Dia adalah adiknya, adik kesayangannya.

Anak yang menatapnya dengan senyum polos lalu berkata dengan suara yang terdengar lugu,

“Kak Jinhyuk jemput aku? Aku nggak sakit lagi sekarang, ya?”

Lalu anak itu bangun dari tempat tidurnya, kaki kecilnya berjalan untuk menghampiri Jinhyuk yang berdiri di sisi ruangan. Dia meninggalkan tubuhnya sendiri yang masih terbaring di atas ranjang dengan berbagai selang yang masih terpasang.

“Tapi kasihan Mama jadi nangis kalau aku tinggal.”

Jinhyuk mengusap pipinya yang basah sejaj dia memasuki ruangan ini, beginikah cara seseorang meninggal? dan itu adalah tugasnya mulai sekarang?

Dia menatap nanar seorang Ibu yang meluruh di lantai sebuah kamar rawat, menangis, meraung sambil mamanggil nama anak bungsunya yang begitu dia sayangi, yang dia rawat sekuat tenaga, yang dia temani di semua saat-saat sulitnya melewati kemoterapi untuk melawan penyakitnya.

Itu adalah Ibu, yang bahkan belum genap satu bulan lalu kehilangan Jinhyuk, anak sulungnya.

Takdirnya sangat kejam, begitu tega hingga Jinhyuk tidak akan pernah tertidur nyenyak setelahnya.

Pada akhirnya, anak kecil itu harus pergi meninggalkan Ibunya yang malang sendirian, dia telah dijemput oleh sang kakak yang kini berjalan menuntunnya dengan erat.

“Jinu sekarang nggak akan sakit lagi. Jagoannya Kakak.”

Selanjutnya, kehidupan kedua Lee Jinhyuk berlangsung seperti itu, tidak terelakan, tidak bisa menolak.

Melihat kematian adalah harga yang harus ia tebus untuk pengampunannya.


“Lalu bertemu aku?” tanyanya.

Adalah Wooseok yang datang menyambutnya pertama kali sejak dia dibawa oleh malaikat kematian kala itu, yang katanya ditugaskan untuk menuntun Jinhyuk menuju gerbang penghakiman.

Kim Wooseok yang selalu membuatnya berpikir, dunia di sini tidak terlalu buruk hanya karena kehadirannya.

“Wooseok, ini terlalu berat..”

Hanya kepada Wooseok lah Jinhyuk akan melepaskan semua beban di pundaknya atas kutukan yang tidak pernah sekalipun dia terbiasa olehnya walaupun sudah berapa ratus nyawa yang dia ambil.

Satu hari di dunia ini, terasa begitu lama untuk dilalui, terasa beratus-ratus kali lebih sulit bagi Jinhyuk.

Wooseok berbeda, dia bukan yang dikutuk, dia adalah yang ditugaskan dengan hormat, dia yang melindungi banyak orang yang kesulitan, bukan seperti dirinya.

Tidak pernah sekalipun Wooseok akan keberatan dengan segala keluh kesahnya, Wooseok dengan pembawaannya yang selalu menenangkan berhasil membuatnya kembali memiliki sedikit harapan di sudut hatinya.

“Apa mungkin reinkarnasi itu ada?”

Suatu hari Jinhyuk bertanya pada Wooseok yang duduk di taman dengan jemari lentiknya yang sedang merangkai bunga, tampak cantik seperti Wooseok.

Sebuah flower crown itu setelah jadi dipakainya di atas kepalanya sendiri dan Jinhyuk tersenyum lembut.

Malaikat yang ada di depannya ini tidak pernah salah sudah menyandang nama tersebut.

“Ada, Jinhyuk..” jawabnya, “Bagus kah?” pertanyaan itu jelas untuk flower crown di atas kepalanya.

“Cantik dan bagus.” Jinhyuk menjawab sambil membenarkan sedikit letaknya yang miring.

“Thank you.”

“Kamu mau, reinkarnasi?”

Jinhyuk kembali melontarkan pertanyaannya dan kali ini Wooseok langsung menjawab dengan pasti, ada sebuah senyum penuh harapan yang tergambar di wajahnya,

“Mau, mau jadi anaknya orangtuaku lagi yang sangat baik, masih banyak hal yang belum pernah aku lakukan dulu.”

“Sedangkan, dosaku tidak terampuni, Wooseok. Terlalu besar, aku akan terjebak selamanya di sini.”

Kepala Wooseok menggeleng pelan, dia menatap ke dalam mata Jinhyuk yang selalu terlihat sendu. Kedua tangannya terangkat untuk menangkup pipi Jinhyuk yang terlihat semakin tirus sejak dulu mereka pertama bertemu.

“Minta ampun, Jinhyuk. Kamu sedang melakukannya. Sepuluh tahu, seratus tahun bahkan seribu tahun, kamu harus meminta dengan tulus.”

“Nyawa-nyawa tidak berdosa yang aku hilangkan akan menahanku disini.” nada suara Jinhyuk selalu tercekat di tenggorokan bila mengingatnya.

“Ada Ibu dari seorang anak yang ditinggalkan, Ayah sang kepala keluarga yang ditunggu keluarganya di rumah sepulang bekerja, anak kecil yang masih suka bermain pasir dengan teman sekolahnya.. anak SMA yang mimpinya begitu tinggi untuk masuk ke Universitas..”

Dan, pundak sang malaikat kematian itu perlahan bergetar saat Wooseok membawa kepalanya untuk bersandar padanya. Wooseok selalu menawarkan sebuah bahu yang sangat dibutuhkan oleh Jinhyuk untuk melepaskan semua sakit melalui tangis yang kerap kali ditahannya.

”...seorang Kakek pencari nafkah dengan dagangan yang ada disana, supir taxi yang berada tepat di depan mobilku.. anak yang baru saja lulus—”

“Jinhyuk, sudah..”

Wooseok memotongnya, ia tidak sanggup mendengar seluruh cerita Jinhyuk yang memang sudah diketahuinya.

Tangannya meremas pundak Jinhyuk dan ikut menangis, ia bisa merasakan betapa beratnya pundak Jinhyuk saat ini.

Menanggung dosa besar yang di maksudnya sebagai penyebab dari sebuah kecelakaan beruntun yang menewaskan banyak nyawa tidak bersalah.


“Iya, lalu aku kembali berdosa. Karena jatuh cinta padamu adalah hal yang dilarang.”

Jinhyuk memang tidak tahu malu, Jinhyuk memang sudah berbuat lancang, Jinhyuk memang egois karena disaat seperti ini pun dia menginginkan Kim Wooseok.

“Masih sempat untuk bermain-main, Lee Jinhyuk?”

Salah seorang yang begitu dihormati akan statusnya “di sana,” bertanya pada Jinhyuk saat dia baru saja meyelesaikan tugasnya untuk mengantarkan seorang nyawa yang diambilnya hari ini menjelang fajar.

Awalnya Jinhyuk tidak paham sama sekali apa maksud pembicaraan orang tua tersebut, dengan janggut panjang dan jubah putihnya yang menyapu lantai, dia menatap lurus tepat pada kedua manik Jinhyuk.

“Kim Wooseok.”

Sebuah nama diucapkannya dengan dalam saat Jinhyuk tidak menangkap maksudnya, dan hati Jinhyuk merasa diremas seketika.

Akhirnya dia paham, kemana arah pertanyaan itu, apa itu yang dimaksudkan dengan kata “bermain-main”.

Dia telah melanggar ketentuan mutlak yang ada di sini.

Itu adalah kenyataan yang baru saja Jinhyuk tahu ketika tidak sengaja mendengar dua malaikat yang lewat di depannya kala itu, mereka yang waktu itu jelas sedang membicarakan salah satu kasus beratus-ratus tahun lalu berhasil menarik perhatian dirinya yang berjalan tepat dibelakang keduanya.

“Serius? dia masih bertugas di the deepest hell?”

“Tidak ada yang tahu, itu rahasia. Namun, intinya kau akan abadi di sini saat melanggar perintah yang di atas.”

“Melanggar dalam hal apa?”

“Jelas saja menjalin hubungan, jatuh cinta, dasar bodoh!”

Lalu, status Lee Jinhyuk detik itu bertambah, dia adalah malaikat kematian yang telah berdosa karena berani-beraninya mencintai Kim Wooseok.

“Jinhyuk?”

Ada Wooseok dengan pakaian putihnya yang seperti biasa, dengan senyum cantiknya yang indah, dengan tatapan teduhnya yang tidak pernah gagal membawa ketenangan bagi Jinhyuk ditengah runyamnya segala dosa bersalah yang dia tanggung.

“Kenapa?”

Jinhyuk menarik napas panjang, mengulas senyum tipis untuk menyambut datangnya Wooseok.

“Tidak, aku hanya... merenung.”

Sorot mata Jinhyuk terasa lebih gelap saat ini, Wooseok menyadarinya dengan sangat jelas, “Apa tugasnya sulit hari ini?”

“Tidak, aku hanya mengambil nyawa seorang pencuri yang ditembak mati polisi.” ceritanya, “Kamu bagaiman?”

Senyum Wooseok terlihat lebih lebar, dia yang kini sudah duduk di depan Jinhyuk mulai memangku dagunya siap bercerita, ada binar bahagia yang bisa Jinhyuk lihat dengan jelas, dia menyukainya.

Semua tentang malaikat di depannya ini, Lee Jinhyuk sangat menyukainya.

“Tadi aku di rumah sakit, di ruangan bayi.” mulainya, “Kelahiran hari ini sangat mengharukan, aku sampai menangis karenanya.” caranya menyampaikan cerita yang selalu antusias membuat Jinhyuk ingin mendengar lebih banyak lagi yang keluar dari bibir mungil Wooseok.

Setiap hari, setiap waktu, hanya suara Wooseok yang paling menenangkan di sini.

“Anaknya kembar, laki-laki dan perempuan.”

“Lalu apanya yang mengharukan?”

Seluruh atensi Jinhyuk sudah beralih saat ini hanya untuk Wooseok yang sekarang menatapnya dengan mata bulat yang berkedip lucu.

“Bayinya?” jawabnya tidak yakin, “Bayinya yang lucu dan kembar, Lee Jinhyuk.”

“Katanya semua bayi itu lucu? kamu pernah bilang waktu itu?”

Bahu Wooseok terangkat pelan, dia membenarkan pertanyaan Jinhyuk, namun, yang kali ini seperti berbeda.

“Mungkin karena Ayahnya? tadi aku lihat tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan Istri dan anak-anaknya. Setelah ke ruangan bayi, dia menangis bahagia sampai tersedu-sedu dan berterimakasih kepada anak-anaknya karena sudah lahir dengan selamat.”

Pandangan Wooseok sedikit menerawang untuk mengingat lagi kejadian hari ini,

“Hatiku jadi menghangat melihatnya. Sebuah kelahiran selalu membawa cerita dan kehidupan yang baru, sebuah keluarga akhirnya terbentuk, dan itu sangat indah, Jinhyuk.”

Kim Wooseok dan ceritanya adalah hal yang menyenangkan, penuh kebahagian yang terkandung di dalamnya, hal yang berbeda sangat jauh dengan dirinya yang hanya berisi cerita kematian.

Jinhyuk menunduk dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, dia mengambil tangan Wooseok dan digenggamnya dengan lembut, tangan ajaib ini lah yang selalu menguatkannya, yang selalu menyalurkan ketenangan di setiap genggamannya.

“Wooseok..” ucapannya pelan, dan Wooseok langsung menatapnya bingung, “Kenapa?”

Senyum tipis Jinhyuk terlihat jauh berkali-kali lebih tampan kala dia mengangkat kembali wajahnya, menatap setiap detail dari paras Wooseok yang ada di depannya, yang akan sangat dia rindukan.

Mengunci pandangannya, Jinhyuk bersitatap dengan mata bulat yang selalu berbinar penuh kehangatan itu.

“Kamu harus terlahir kembali, ya? Mau jadi anaknya orangtuamu lagi, 'kan? Mau melakukan banyak hal yang dulu belum sempat, mimpi kamu itu banyak sekali.”

Hati Wooseok terasa sesak, senyum tipis Jinhyuk seperti bukan untuk hal yang bagus. Bukan pula untuk kata-kata yang akan mambuatnya tersenyum dan merasakan jutaan kupu-kupu yang menari seperti menggelitik di perutnya.

Yang diucapkan selanjutnya adalah yang paling ditakuti oleh Wooseok.

“Aku jatuh cinta padamu, tapi aku tidak mau menahanmu di sini, Wooseok.”

Jinhyuk mengelus punggung tangan Wooseok yang mulai terasa dingin.

Sekarang dosanya bertambah. Dia telah membuat malaikat paling baik yang dia kenal itu menangis.

“Aku tidak akan pernah menahanmu. Biarkan aku di sini sendirian untuk melakukan penebusan dosa.”

“Kamu sudah terlalu lama di sini, Wooseok. Jauh sebelum aku datang. Kebaikan yang kamu lakukan sudah lebih dari cukup untuk membayar kehidupan yang baru.”

Mau jadi apa Jinhyuk tanpa Wooseok? sehari, sepuluh tahu, seratus tahun, atau seribu tahun dia di sini pasti akan terasa semakin menyiksa.

Namun, membawa Wooseok tenggelam dalam sumur penyesalan tanpa dasar miliknya adalah hal yang tidak akan pernah Jinhyuk lakukan.

Dia bersumpah, karena Jinhyuk sangat mencintainya.

“Kita bertemu lagi, ya? kalau pengampunanku sudah selesai, kalau kutukanku sudah patah, kalau semua dosa dari nyawa-nyawa yang aku hilangkan sudah diangkat.”

Sudah tidak ada lagi segan yang dirasa saat melihat Wooseok menangis, Jinhyuk hanya bisa membawa tubuh yang bergetar hebat itu kedalam pelukannya.

Begini, tiba saatnya dia yang menggantikan peran Wooseok yang selalu memberinya bahu kala dia membutuhkan sandaran.

“Nanti kamu akan bertemu Jinhyuk yang baru, yang tidak menyedihkan kerena penuh dosa di pundaknya.”

Jinhyuk berbisik, mengeratkan pelukannya untuk mengecup pelipis Wooseok dengan lembut,

“Percayalah dia masih Jinhyuk yang akan sama mencintaimu seperti saat ini, aku bersumpah, Wooseok.”

Hanya butuh waktu kurang dari lima belas menit bagi Jinhyuk untuk menjalankan mobilnya dari rumah hingga memasuki sebuah lingkungan apartemen di kawasan Permata Hijau yang merupakan tempat tinggal para kontestan atau yang biasa mereka sebut dorm.

Setelah memarkirkan mobilnya, Jinhyuk berjalan dengan langkah lebar ke arah kolam berenang yang berada di bagian selatan bangunan utama, barusan saat di jalan dia sempat menelepon—yang untungnya dijawab katanya Wooseok ada disana sejak tadi.

Benar saja, begitu sampai sana pandangan Jinhyuk bisa langsung menangkap sebuah punggung berbalut kaos pendek berwarna putih yang sedang duduk di kursi yang menghadap ke kolam. Sendirian.

“Wooseok..”

Ia memanggilnya saat mendekat dan berdiri disamping Wooseok yang langsung mendongak untuk menatapnya kemudian berkata pelan, “Chef...”

Ada sebuah senyum tipis yang bisa Jinhyuk lihat saat ini di wajah manis Wooseok, namun jelas itu terlihat sendu dengan mata dan hidung yang sedikit memerah.

Tanpa bertanya pun, Jinhyuk sudah melihat tadi saat mereka syuting, Wooseok jelas-jelas menangis saat melepas appron hitamnya karena harus meninggalkan galeri.

Sudah berapa lama dia disini sendirian? Kata Byungchan, bahkan dia belum melihat Wooseok sejak tadi.

“Ayo..”

Jinhyuk berujar hingga Wooseok akhirnya berdiri, dia mengangguk dan mulai berjalan dengan langkah pelan di depan Jinhyuk.

Melihat pundak lesu Wooseok yang merosot seperti itu membuat Jinhyuk menghela napas, kegagalan dalam sebuah kompetisi adalah hal yang biasa, ada yang menang pasti ada yang kalah, kan?

Hanya saja sebuah kegagalan merupakan tahap yang membuat siapa saja jelas akan merasa kecewa dan putus asa. Namun, itu bukan akhir dari segalanya. Yang diperlukan hanya bangkit lalu mencoba lagi dan lagi dengan usaha yang lebih keras.

Begitulah hidup, sejatinya.

Langkah Wooseok terhenti karena tertegun saat pundak kirinya merasakan tepukan dari samping, dari Jinhyuk yang mencoba mengatakan,

“Gak papa, You have came this far. You did well, Wooseok.”

Wooseok menunduk tanpa benar-benar menatap Jinhyuk yang sekarang sudah berpindah berdiri di depannya, ia bertanya dengan suara yang terdengar lebih lembut dari biasanya, “Kamu ngapain disini daritadi?”

Cukup lama sebelum Wooseok membuka suara dan membiarkan hening yang mengambil alih, “Engga ngapa-ngapain...” katanya sambil menghindari tatapan Jinhyuk, “Aku.. pingin sendiri aja, gak enak di dorm, orang lain lagi pada senang masuk Top 10.... aku ngga bisa ikutan..” namun, semakin banyak Wooseok berbicara, suaranya terdengar semakin berbisik terbawa angin, terasa begitu lirih di pendengaran Jinhyuk.

Wooseok sedang tidak baik-baik saja, Jinhyuk tahu jelas itu.

“Gak harus di acara ini, kamu bisa belajar darimana aja. Jangan pernah berkecil hati gitu dong, jangan menyerah sama mimpi kamu.”

Mendengar nasihat dari Jinhyuk, Wooseok perlahan mengangkat wajahnya. Kedua netranya menatap paras Chef yang terkadang selalu membuatnya kesal karena komentar pedasnya yang diucapkan tanpa segan.

Lee Jinhyuk yang dikenalnya ini, sewaktu-waktu terasa seperti orang yang berbeda. Ada sisi-sisi lain Lee Jinhyuk yang hanya sebatas image luar yang diketahui publik, namun ada pula sisi hangat yang tanpa ragu akan hadir, terasa tulus lewat perhatian-perhatian kecilnya.

Seperti halnya malam ini.

Seperti caranya yang memandang Wooseok dengan tatapan yang jelas tersirat sebuah rasa khawatir.

Juga, diantara banyak pilihan yang lainnya, kenapa saat seperti ini Wooseok justru ingin bertemu dengan Jinhyuk?

Kenapa harus Jinhyuk yang pertama dia izinkan untuk bertemu dengan rasa sedih dan kecewanya sekarang?

“Chef..” suara Wooseok tiba-tiba tercekat di tenggorokan dan paras Jinhyuk yang teriluminasi cahaya dari lampu disekitar mereka mulai memburam di pandangannya, ia merasa berat saat akan kembali melanjutkan kata, “Aku boleh nangis... gak sih?” bisiknya parau.

Jinhyuk membatu sesaat ketika mendengar pertanyaan Wooseok, ia hanya perlu maju satu langkah kecil agar Wooseok bisa menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah, “Sini, gak ada yang melarang kamu.” jawabnya.

Tangan kanannya secara perlahan melingkar di punggung Wooseok yang mulai bergetar, menepuk-nepuknya dengan lembut tanpa banyak berbicara, meminjamkan bahunya untuk Wooseok yang saat ini justru merasa bersyukur karena ia seperti mempunyai satu tempat untuk mengadu di sini, disaat ia benar-benar sendirian.

“Mamaku... ngga marah pas aku cerita kalau aku keluar...”

Jinhyuk tersenyum kecil beberapa saat kemudian mendengar cerita Wooseok yang terbata karena masih menangis, ia masih menepuk-nepuk punggungnya seakan mengatakan semuanya akan baik-baik saja, tentang kekecewaannya maupun kesedihnya saat ini.

“Yang ada pasti Mama kamu bangga, anaknya hebat banget bisa masuk MasterChef gara-gara mix vegetables salad with peanut sauce and hard boiled eggs.”

Ucapan Jinhyuk terasa menyebalkan menurut Wooseok karena membuatnya mengingat lagi kejadian waktu itu. Asal tahu saja, ia waktu itu membuat dish lain yang enak menurut Chef Ponyo, makanya ia bisa lolos. Tapi, Jinhyuk selalu menyinggung hanya bagian itu saja seperti meledeknya.

Namun, kali ini bukannya rasa kesal seperti biasanya, Wooseok malah menangis dibuatnya, ia semakin mengubur wajahnya di bahu Jinhyuk dan membuat Jinhyuk sedikit bingung mendapatkan respon seperti itu.

“Iya maaf maaf, Wooseok. Justru audisi kamu yang paling saya ingat. Lihat kan? kamu sudah sejauh ini, ngalahin ribuan orang yang daftar, kamu sudah berkembang banyak dari Wooseok yang waktu itu.”

Wooseok hanya merespon dengan gumaman pelan disela tangisnya.

Sebelum berbicara lagi, Jinhyuk mengambil napas panjang, ia hanya bisa menatap puncak kepala Wooseok yang menguarkan wangi harum dari rambut kecoklatannya yang juga tearasa halus saat menggelitik dagunya.

“Saya tahu kamu pasti merasa kecewa hari ini dan gak ada yang salah tentang itu.”

Iya percuma berbohong, siapa pun yang ada diposisi Wooseok akan merasakan hal yang sama dengannya, dan satu anggukan yang Wooseok berikan cukup bagi Jinhyuk untuk mengusap kepalanya dengan lembut.

“Gak papa, Wooseok. It's okay, asal jangan berlarut-larut.”

“Pertama kali masuk pressure test, tapi aku langsung keluar.... Minggu lalu.. padahal udah dipuji sama Chef Seungwoo...”

Wooseok kembali berbicara dengan suara terbata, jelas ia kecewa pada dirinya sendiri. Hanya selangkah lagi untuk masuk ke Top 10 tapi ia justru harus pulang.

Time management yang pernah disinggung Jinhyuk adalah masalah utamanya tadi, ada satu komponen yang kurang di atas piring yang harus ia bawa ke depan juri karena gagal ia selesaikan.

Satu kesalahan fatal yang berhasil membuatnya berada di urutan paling bawah diantara empat kontestan yang masuk ke pressure test dan sudah jelas itu merupakan hari terakhirnya di galeri.

“Acara ini cuma batu loncatan buat semuanya, Wooseok. Selesai dari sini, itu justru yang harus dipertimbangkan menurut saya. Mau tetap dibidang ini atau kembali ke pekerjaan mereka sebelumnya dan hanya menjadikan pengalaman disini sebagai bagian dari cerita hidup.”

Wooseok mengerti apa yang dibicarakan oleh Jinhyuk, karena ia pun masih belum tahu mau apa setelah ini.

“Kamu sudah belajar banyak, saya tahu. Gak ada yang akan sia-sia untuk apa yang sudah kamu lakukan.”

Mendapatkan usapan lembut di kepalanya, tepukan halus yang menenangkan di punggungnya, serta ucapan yang terus menerus menghiburnya membuat Wooseok merasa lebih baik.

Adalah pilihan yang tepat untuknya bertemu dengan Jinhyuk malam ini, jauh lebih baik daripada yang ia bayangkan.

Perlahan, Wooseok mengangkat kepalanya untuk menjauh dari bahu Jinhyuk. Ia menarik napas panjang agar tangisnya segera berhenti. Tangannya mengusap kedua pipinya yang basah hingga sebuah sapu tangan terulur di depannya.

Dua kali Wooseok menangis di depan Jinhyuk dengan alasan yang berbeda, dulu karena komentar pedasnya yang membuat ia sakit hati, sekarang karena kegagalannya dan secara ajaib justru Jinhyuk juga lah yang menenangkannya.

“Sudah mendingan?”

Jinhyuk bertanya sambil melepasakan cardigan yang sedang digunakanya dan langsung dipasangkan di pundak Wooseok yang hanya menggunakan atasan kaos pendek.

“Pake.” katanya saat Wooseok akan menolak, apalagi ia menatap tidak enak pada Jinhyuk yang sekarang hanya memakai kaos pendek berwarna hitam.

Terasa hangat juga lembut, Wooseok memegang cardigan berwarna khaki yang ada di pundaknya tersebut, bahkan wangi parfum Jinhyuk tercium jelas olehnya sekarang, “Makasih, Chef..” bisiknya. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus bilang apa saat sikap baik Jinhyuk yang diberikan kepadanya sebanyak ini.

“Ayo keburu malam nanti.” tangan Jinhyuk kembali berada di punggung Wooseok dan mengajaknya beranjak dari sana.

“Bebas pilih apapun dessert yang kamu mau.” tawarnya kemudian yang berhasil membuat Wooseok menarik kedua sudut bibirnya walaupun tipis.

“Resto nya masih buka, Chef?”

Mereka berjalan menuju mobil Jinhyuk yang ada di parkiran, Jinhyuk tidak langsung menjawab, ia melihat jam yang terpasang di pergelangan tangan kirinya lebih dulu.

“Masih, tapi khusus malam ini sepertinya tutup sedikit telat.” jawab Jinhyuk yang dibalas pertanyaan lagi yang terdengar sedikit tidak yakin, “...apa gara-gara aku?”

Wooseok saat ini menatapnya dengan mata sembab yang penasaran, kasihan sekali dia, tapi malah terlihat lucu karena hidung mungilnya masih memerah.

Sambil mengusak pelan rambutnya, Jinhyuk tanpa ragu mengiyakan.

“Kita makan yang manis-manis sampai mood kamu bagus lagi.”

Dan detik itu, Wooseok tidak tahu kalau Jinhyuk akan bersikap sebegitunya hanya untuk menghibur dirinya yang mungkin terlihat menyedihkan bagi dia.

Bukankah terlalu berlebihan bagi orang yang baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun..

Hari ini benar-benar berantakan menurutku. Rupanya sebuah ungkapan yang sering dilontarkan kebanyakan orang tentang “I hate Monday!” memang benar adanya. Namun, bukan karena harus menghadapi Senin dengan setumpuk jadwal kelas dari pagi sampai sore atau rentetan rapat kepanitiaan yang aku ikuti, bukan itu.

Pagi ini, saat aku tiba-tiba bertengkar dadakan dengan Papi menjadi asal mula aku tidak menyukai Senin minggu ini. Dampaknya, seharian ini mood ku tidak jelas, bahkan aku tidak bisa benar-benar fokus saat mengikuti kelas ditambah kuis dadakan yang membuat kepalaku rasanya ingin pecah.

Ini bukan pertama kali aku tidak sepaham dengan Papi, sudah sejak lama dalam beberapa hal kita memang selalu bertolak belakang. Papi yang selalu punya plan dari A hingga Z tentang semua hidup aku dengan alasan yang selalu sama,

“Semua buat kebaikan kamu, Jinwoo.”

Dan kemudian aku yang akhirnya hanya akan menurut tanpa bisa berkomentar banyak. Kulakukan itu karena aku menghormati Papi, orangtuaku.

Dimulai dari masuk SMA dan segudang jadwal les lainnya, hingga aku harus pintar-pintar mengatur waktu untuk mencoba hal-hal yang aku sukai tanpa Papi tahu. Lalu, belajar mati-matian untuk masuk ke perguruan tinggi yang Papi pilih bahkan dengan jurusan yang tentu saja Papi juga yang memilihkan.

Lagi-lagi, “semua untuk Jinwoo”, katanya.

Semakin aku mulai dewasa sejak masuk ke perguruan tinggi, aku merasa Papi selalu mengekang kebebasanku dan membatasi segalanya seakan Lee Jinwoo harus selalu menjadi anak manis yang penurut. Ditambah dengan adanya Jang Wonyoung, gadis pindahan dari Surabaya yang merupakan anak dari sahabat Ayah yang selalu sukses menambah daftar masalahku di mata Papi hingga semuanya semakin terasa nyata.

Mungkin kalau masih ada Ayah pasti tidak akan seperti ini.

Adalah ucapan yang entah sudah berapa kali aku sebut disetiap aku lelah dan merindukannya, atau disisa lamunanku setiap malam sebelum aku akhirnya bisa tidur.

Hanya mungkin dan mungkin karena faktanya itu hanya sebuah semoga yang tidak akan pernah terjadi.

Ayah sudah tidak ada dan aku tidak bisa menyangkalnya, kenyataan perih yang harus aku telan dan terima saat menginjak usia empat belas.

Sekarang hanya tinggal aku dan Papi, sudah sejak empat tahun lalu.

Walaupun rasanya baru kemarin aku masih bisa melihat Ayah yang sibuk mencuci mobil di halaman rumah saat hari libur dengan Papi yang akan mengomel karena membuat semuanya menjadi becek. Atau Ayah yang sering mengajakku bersepeda di sore yang tidak terlalu melelahkan sepulang ia bekerja. Ayah juga yang lebih sering masuk ke dalam kamarku dan mendengar semua cerita seruku di sekolah.

Semua tentang Ayah masih membekas dengan sangat jelas dalam ingatanku dan sulit aku lupakan.

Kalau boleh jujur, diantara keduanya memang dari kecil aku merasa lebih dekat dengan Ayah. Ayah yang paling bisa membuatku untuk selalu terbuka kepadanya dengan sangat nyaman, mendengar seluruh ceritaku dengan antusias seakan itu adalah dongeng paling menarik yang ia dengar. Ayah yang menjadi penengah saat Papi yang terkadang keras kepala selalu memaksakan kehendaknya. Ayah yang selalu memberiku kebebasan untuk memilih tanpa benar-benar melepasakan sepenuhnya.

Cara yang sangat berbeda dengan apa yang Papi lakukan belakangan ini. Aku menyayangi Papi sama banyaknya dengan Ayah, namun, sedikit jarak yang aku punya dengan Papi justru terasa semakin renggang dan menyesakan, aku benci jarak itu karena saat ini satu-satunya yang aku punya hanya Papi.

Begitu selesai kelas, aku tidak memutuskan untuk langsung pulang, aku butuh waktu sendiri walaupun aku tahu pasti di rumah tidak ada siapa-siapa, Papi mungkin pulang malam lagi karena kesibukannya di rumah sakit.

Aku sedang tidak ingin pulang ke rumah, rumah yang sejak empat tahun ini terasa sangat berbeda tanpa adanya sosok sang kepala keluarga.

Suasanya rumah yang teramat sepi bahkan dingin membuatku terkadang tidak nyaman karena merasa sangat kosong. Menatap nanar setiap sudut rumah dengan penuh kenangan kita bertiga membuatku tak jarang termenung sendirian, merasakan hati yang sangat ingin kembali ke moment bahagia tersebut.

Sekarang, di rumah itu hanya ada aku dan juga Papi dengan intensitas pertemuan yang seperti disetting sesingkat mungkin. Pagi hari saat sarapan, sore menjelang malam kalau beruntung aku atau pun Papi pulang tepat waktu, dan saat makan malam yang sering kali aku lewatkan tanpa minat saat harus menyuap nasi sendirian di ruang makan yang hampa.

Tanpa banyak komunikasi, tanpa banyak cerita di malam hari, tanpa banyak tawa lepas serta tanpa suasana hangat yang sejak lama aku rindukan.

Lagi-lagi sekarang aku membatin dengan dada sesak, kalau saja Ayah masih ada, kalau saja Ayah tidak meninggalkan kita secepat itu.

Saat ini aku benar-benar tidak punya tempat tujuan, dengan perut lapar dan uang yang masih cukup, aku memutuskan untuk mampir ke sebuah tempat makan fastfood yang ada disekitar kampus, mungkin sekalian aku akan memikirkan harus tidur dimana malam ini kalau aku tidak benar-benar pulang.

Belum genap pukul sembilan, pesan dari Papi yang bertanya tentang aku yang belum pulang mulai bermunculan, disusul pesan-pesan lainnya serta panggilan telepon yang sengaja aku abaikan. Maaf.

Lalu kemudian aku lihat pesan dari Om Yohan, adik sepupu Papi yang sejak dulu sering berkunjung ke rumah yang juga berprofesi sama seperti Papi sebagai dokter adalah orang yang paling sering menasehatiku lebih seperti seorang kakak yang tidak pernah aku punya.

Aku terdiam sejenak membaca pesannya, dan aku ingat betul dia pernah bilang saat aku kelas satu SMA, saat aku dengan bodohnya terlibat perkelahian hingga wajahku babak belur dan Papi dipanggil ke sekolah,

“Om itu tempat cerita buat Papi kamu sejak dulu. Bahkan sejak orangtua kamu belum pacaran. Jadi, kalau kamu bikin masalah, om yang akan tahu gimana sedihnya Papi kamu, Jinwoo.”

Aku mengusap wajah dengan kedua tangan lalu mengacak sedikit rembutku, rasanya semakin tidak karuan saat perasaanku tidak jelas seperti ini, aku meletakan ponsel diatas meja begitu saja setelah membalas pesan Om Yohan tanpa benar-benar berani membuka pesan dari Papi.

Setiap aku berselisih paham dengan Papi, jauh di dalam hati yang aku rasakan selalu rasa bersalah, aku tidak akan berani lama berhadapan dengan Papi saat itu karena kekesalanku justru berbalik membuatku ingin menangis.

Meyayangkan kenapa hal seperti ini harus terjadi saat yang kita punya hanya satu sama lain.

Hatiku selalu mencelos saat Papi bilang merasa tidak mampu untuk mengurusku dibandingkan Ayah, bukan maksudku seperti itu. Sungguh.

Yang kita perlukan mungkin hanya saling mengerti satu sama lain. Berbicara dari hati ke hati selayaknya orangtua dan anak, mengesampingkan ego kita masing-masing. Membuat semuanya lebih baik lagi bukan hanya untuk kebahagiaan aku dan Papi, tapi juga Ayah yang diatas sana sedang melihat kita.

Bagus, rasa bersalahku sekarang bercampur malu.

Maafin Jinwoo, Ayah.

Maaf, Jinwoo belum jadi anak yang baik buat Ayah sama Papi.

Maaf, Jinwoo malah buat Papi nangis di sini.

Detik itu, aku memutuskan untuk pulang, teringat kata Om Yohan tentang Papi yang pasti belum sempat istirahat sepulang kerja dan ia justru harus mengurusi tingkah anaknya ini yang hanya bisa membuatnya sedih.

Aku harus meminta maaf secara langsung kepada Papi dan mungkin walaupun sedikit malu aku akan memeluknya dengan erat. Aku ingin merasakan lagi lengan hangat yang memberikan tepukan halus dipunggungku hingga membuatku merasa tenang, membuatku merasakan kalau aku tidak sendirian.

Membuatku tersadar kalau masih ada Papi yang aku punya.

Bayangan kecanggungan yang mungkin nanti akan terjadi membuatku tidak bisa menahan kekehan sepanjang jalan, entah kapan terakhir kali aku bersikap seperti anak kecil yang minta disayang dan dimanjakan olehnya.

Atau beberapa tahun lalu kurasa kalau aku tidak salah menebak, saat kita sama-sama terpuruk ketika Ayah pergi, saat Papi masih belum menyibukan dirinya tenggelam dalam pekerjaan dan lambat laun membuatku tertinggal jauh di belakangnya, sendirian.

Namun, bayangan itu secara cepat direnggut seketika ketika sebuah sorot lampu yang sangat menyilaukan dari arah depan menghalangi pandanganku tanpa sempat aku menarik rem dan memalingkan motorku.

Lalu aku teringat pernah mendengar, katanya saat kita akan meninggal, kita bisa melihat kilas balik kehidupan kita di depan mata.

Anehnya, saat ini aku seakan melihat potongan ingatan dimana aku, Ayah dan Papi melakukan kemping saat ulang tahunku yang ke-sembilan.

Lalu, potongan bayangan itu secara cepat berganti dengan aku yang masih kecil dibantu Papi yang sedang menggambar kumis di wajah Ayah yang tertidur di ruang tengah dengan sebuah spidol berwarna sambil tertawa pelan agar ia tidak terbangun.

Aku bisa melihat hari terakhir saat aku bisa memeluk Ayah yang akan pergi keluar kota karena pekerjaannya, saat ia tersenyum dan melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan rumah untuk selamanya.

Dadaku tiba-tiba merasa sesak saat yang kemudian aku lihat adalah pusaran Ayah yang baru saja ditaburi bunga segar dengan aku sendiri yang menangis dipelukan Papi yang hanya memandang kosong. Baru aku lihat Papi yang tampak sangat menyedihkan, membayangkan ketika belahan jiwanya yang tadi pagi masih tersenyum hangat, dengan teganya di sore hari sudah terbujur kaku dengan banyak luka akibat kecelakaan beruntun yang dialaminya.

Aku ingin memejamkan mata, tidak sanggup bila harus melihat semua itu, yang aku katakan sebelumnya kepada Papi kalau aku sangat ingin bertemu dengan Ayah walaupun sekali, apakah ini waktu yang tepat?

Lalu, sebelum pandanganku benar-benar gelap dan semua tubuhku yang bahkan tidak bisa aku rasakan untuk bergerak karena sakit yang teramat sangat.

Aku membawa satu hal penyesalan dengan air mata yang entah sejak kapan keluar dari sudut mataku yang kemudian bercampur dengan bau anyir yang mengalir dari kepalaku, yaitu sebuah permintaan maafku kepada Papi secara langsung yang belum sempat aku lakukan.

Kalau memang Jinwoo harus pergi. Jinwoo minta maaf, Papi.

Byungchan sebelumnya tidak bilang sama sekali kalau di kosannya sekarang ada Lee Jinhyuk. Wooseok kira anak itu hanya menyuruhnya datang karena benar-benar butuh bantuan untuk mengerjakan tugasnya. Namun, apa yang terjadi sekarang? Wooseok benar-benar tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan Jinhyuk di sini.

Setelah pertemuan tidak sengaja di tangga tadi, Byungchan yang lebih dulu berinisiatif menyairkan suasana. Dia langsung memperkenalkan mereka masing-masing walaupun faktanya mereka sudah saling mengenal di chat.

“Kak Wooseok, ini Bang Jinhyuk. Bang Jinhyuk, ini Kak Wooseok.”

Jinhyuk yang masih berdiri di tangga teratas perlahan menuruni anak tangga hingga akhirnya dia berdiri sejajar dengan Byungchan, netranya menatap Wooseok yang masih terdiam di belakang adik tingkatnya itu.

Deheman kecil terdengar dari bibir Jinhyuk sebelum dia mengulurkan tangannya kepada Wooseok. Wooseok menatap sebentar tangan yang terulur di hadapannya lalu ia menyambutnya masih sambil menunduk hingga akhirnya mereka menyebutkan nama masing-masing dengan lirih.

“Udah kenalannya? ayo Kak Wooseok ganti baju dulu yang paling penting. Nanti kalau sakit kan repot.”

Begitu kedua tangan di depannya terlepas, Byungchan kemudian menarik tangan Wooseok untuk menaiki tangga melewati Jinhyuk, mereka menuju kamarnya dan meninggalkan Jinhyuk yang masih belum beranjak.

Sebelum masuk ke dalam kamar, Wooseok bisa mendengar jelas Byungchan yang berpesan pada Jinhyuk agar jangan dulu pulang dan menyuruhnya menunggu di bawah.


Kali ini Wooseok sudah berganti pakaian menggunakan sweater milik Byungchan yang cukup kebesaran di tubuhnya. Ia juga dipinjami celana panjang yang lagi-lagi kebesaran untuknya. Byungchan memang bertubuh bongsor yang mana sangat bertolak belakang dengan tubuh mungilnya. Tapi tidak apa-apa, daripada ia sakit karena menggunakan baju basah, lebih baik seperti ini.

Tangannya menutup buku yang baru saja selesai ia keringkan menggunakan hairdryer milik si empunya kamar. Wooseok menyimpannya ke tempat semula di laci dan menaruh bukunya di atas meja belajar Byungchan, tas nya masih sedikit basah jadi biarkan saja di sana lebih dulu.

Sesaat, pandangan Wooseok mengedar memperhatikan kamar Byungchan yang bukan pertama kalinya tentu saja ia kunjungi.

Tadi, Jinhyuk keluar dari sini?

Wooseok tidak tahu kalau hubungan mereka sedekat itu. Padahal ia sudah cukup lama mengenal Byungchan yang notabennya pacar Seungwoo, temannya sejak di bangku SMA. Namun, ia sebelumnya tidak pernah sama sekali mendengar nama Jinhyuk.

Omong-omong soal Jinhyuk, apa dia benar-benar masih di sini dan belum pulang?

Tadi sesudah memilihkan baju yang akan dipinjam olehnya, Byungchan langsung turun ke bawah meninggalkannya sendirian di kamar, pasti mau menemui Jinhyuk.

Sebuah helaan napas panjang terdengar dari bibir mungil Wooseok ketika ia melihat pantulan dirinya sendiri di depan cermin lebar yang terpasang di sisi kamar Byungchan. Ia mendadak gusar.

He doesn't know how to face Jinhyuk.

Wooseok bisa melihat Subin yang masih berada di sofa depan televisi sedang duduk sendirian ketika ia menuruni tangga. Langkahnya semakin melambat saat akan mendekati anak itu karena ia tidak melihat Byungchan di sana.

“Kak Wooseok.”

Panggilan Byungchan dari arah lain membuat Wooseok menolehkan kepalanya untuk mencari sumber suara dan ia bisa melihat jelas presensi Byungchan dan juga Jinhyuk yang sedang duduk di meja makan dan mereka menatap ke arahnya.

“Sini, minum teh anget.”

Byungchan menarik kursi di sampingnya saat Wooseok mendekat, dia sedikit meringis melihat baju kebesarannya yang berada di tubuh Wooseok.

Entah sengaja atau tidak, tapi saat ini kursi yang diduduki oleh Wooseok berada tepat di depan Jinhyuk yang dari tadi belum membuka suara.

Byungchan melirik keduanya kemudian dia hanya bisa mengangkat bahu saat merasakan suasana awkward diantara mereka. Kalau dipikir, ini adalah ide sok tahunya yang mempertemukan mereka dalam kesempatan ini.

Mau bagaimana lagi kayaknya Bang Jinhyuk lagi pusing gara-gara tugasnya itu.

“Mau pake gula? atau teh aja, kak?” dia bertanya sambil berdiri dari duduknya dan berjalan menuju dispenser, tangannya mengambil mug di dalam lemari dan juga teh celup di dalam kardus kecil berwarna biru.

“Pakai sedikit aja, maaf ngerepotin.” jawab Wooseok.

“Enggak repot, bikin teh doang juga.” balas Byungchan sambil melirik Wooseok, “Kakak juga ujan-ujanan kan gara-gara Chan gak bukain gerbang depan.” lanjutnya pelan.

Tangan Wooseok memegang mug berwarna putih yang disimpan oleh Byungchan di depannya ketika anak itu selesai membuatkan teh manis hangat untuknya, “Makasih.” ucap Wooseok yang diangguki oleh Byungchan.

Setelah duduk lagi di kursinya, Byungchan kali ini menatap Jinhyuk yang masih belum membuka suara sejak kedatangan Wooseok di meja makan, berbeda sekali dengan tadi saat hanya ada dirinya Jinhyuk sibuk bertanya ini itu kenapa bisa tiba-tiba ada Wooseok di sini.

Apasih geli banget, masa seorang Bang Jinhyuk kicep berhadapan dengan Wooseok? terlalu terpesona atau gimana deh?

Byungchan tidak tahu kalau sejujurnya, Lee Jinhyuk sama kagetnya dengan Wooseok yang tidak menyangka kalau mereka akan bertemu seperti ini. Siapa sangka saat tiba-tiba lagi pusing lalu ketiduran di kosan temannya, bangun-bangun dia langsung melihat sosok Wooseok di depannya alhasil otaknya sedikit melambat sekarang.

Kening Byungchan tidak bisa ditahan untuk tidak mengerut saat beberapa menit kemudian meja makan itu tetap sepi tanpa sepatah kata pun. Mereka bertiga hanya bisa mendengar suara hujan yang masih saja mengguyur Kota Bandung lengkap dengan suara guntur yang samar-samar saling bersautan.

Kaki Byungchan yang berada di bawah meja dengan kurang ajar menendang kaki Jinhyuk, dia yang sedang sibuk bermain ponsel itu langsung mendelik tajam, “Apasih lo?” tanyanya dengan suara mendesis kepada Byungchan.

Wooseok yang daritadi hanya memainkan jarinya di atas mug akhirnya mengangkat kepala saat mendengar suara Jinhyuk.

“Bang Jinhyuk mendadak sariawan kayaknya?” sindiran Byungchan membuat Wooseok ikut menatap Jinhyuk yang masih meringis kecil sambil memegang tulang keringnya.

“Ngaco.”

“Oh, lagian daritadi diem-diem bae.”

Jinhyuk melirik Wooseok sekilas yang masih menatapnya, dia menghela napas pendek lalu menyimpan ponselnya di saku jaket, tangannya beralih mengangkat mug dan menyesap teh manisnya, “Orang kaliannya juga diem aja. Masa gue ngomong sendiri.” ujarnya sambil meletakan kembali mug tersebut di atas meja.

“Iya nih Kak Wooseok juga, kenapa diem aja sih.”

Byungchan menyahut seenaknya membuat Wooseok menatap dirinya tidak terima saat ia ikut disalahkan, “Kok jadi aku?” gerutunya.

“Percuma banget jadinya. Masa udah ketemu malah diem-diem gini.”

Si tuan rumah itu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan tingkah kedua kakak tingkatnya ini, pantas saja waktu itu tidak jadi bertemu, kalau bertemu pun Byungchan yakin tidak akan beda jauh seperti sekarang.

Suara dering dari ponsel Byungchan berhasil membuat kedua lesung pipi yang tampak dalam itu terlihat jelas, dia merasa bersyukur seperti diselamatkan saat melihat nama Seungwoo-lengkap dengan emot love-di layar ponselnya.

“Maaf nih, mas pacar telpon.”

Byungchan berkata sambil memamerkan layar ponsel miliknya kepada Jinhyuk dan Wooseok, dia menatap keduanya tanpa rasa bersalah sambil berdiri, “Mau ke kamar dulu. Kalian berdua aja ya.” lanjutnya sambil meninggalkan ruang makan.

Meninggalkan dua orang yang sama-sama mendengus jengkel dalam hatinya, pacaran terus!

Sepeninggal Byungchan, meja makan itu justru terasa semakin sepi. Baik Jinhyuk maupun Wooseok hanya memainkan mug mereka masing-masing dengan sesekali meminumnya karena tidak tahu harus berbuat apa.

Kalau saja tidak ada kejadian beberapa hari lalu, pasti kecanggungan ini bisa dihindari. Wooseok menggigit bibirnya tanpa sadar, lagi-lagi ia merasa bersalah walaupun sudah meminta maaf kepada Jinhyuk.

Sudut matanya melirik drawing tube milik Jinhyuk yang diletakan di atas meja, ia mengambil napas panjang sebelum akhirnya membuka suara diantara mereka.

”...tugas kamu gimana?”

Jinhyuk yang sedang memainkan jarinya di pinggiran mug langsung mengangkat kepala saat mendengar suara pelan Wooseok yang bertanya padanya.

Untuk pertama kalinya, mereka menahan pandangan cukup lama.

Wooseok bisa melihat jelas wajah Jinhyuk karena saat ini dia tidak menggunakan topi seperti tadi, topi hitamnya diletakan begitu saja di samping drawing tube di atas meja. Dan Lee Jinhyuk lagi-lagi harus berdeham saat merasakan tenggorokannya mendadak kering ketika Wooseok menatapnya.

“Belum.” jawabnya singkat.

“Oh..”

Wooseok mengangguk kecil sambil merutuk dalam hatinya, kenapa justru semakin canggung setelah ia membuka suara!

Suara guntur yang menggelegar membuat Jinhyuk menoleh untuk menatap ke arah jendela, hujannya masih saja belum berhenti justru semakin deras dan udara di sekitar mereka semakin dingin. Dia juga melihat Subin yang mematikan televisi dan beranjak ke kamarnya.

Sekarang hanya ada mereka berdua, lengkap sudah kecanggungan ini.

“Maaf...”

Pandangan Jinhyuk kembali pada sosok di depannya, dia menaikan kedua alisnya dan menatap bingung pada Wooseok yang menatapnya tidak enak.

“Buat?”

“Yang waktu itu, sekali lagi maaf.”

Jinhyuk menghela napas lalu menyandarkan punggungnya pada kursi dan jemarinya mengetuk-ngetuk di atas meja makan, “Kan udah minta maaf.” ujarnya pelan, dia mempertahankan tatapannya, “Udah dimaafin juga.”

“Waktu itu aku pulang karena ada perlu... aku gak bermaksud sama sekali buat kamu nunggu selama itu.” tanpa diminta, Wooseok menjelaskan alasannya dengan suara pelan.

Ia hanya berharap kalau Jinhyuk tidak salah paham mengenai tingkahnya tempo hari.

“Syukurlah.”

Saat mendengar penjelasan Wooseok, jujur saja hal itu membuat Jinhyuk bisa bernapas dengan lega. Kali ini dia menegakkan duduknya dan menatap Wooseok serius.

“Dengan kamu bilang begitu setidaknya saya jadi gak berpikir kalau kamu memang sengaja buat ngerjain saya.” ujarnya dengan diakhiri sebuah senyum kecil di sudut bibirnya.

Sengaja? ngerjain?

Wooseok menggelengkan kepalanya, “Enggak, aku gak ada niat buat kayak gitu sama sekali ke kamu. Aku beneran langsung pulang bahkan gak sempat bilang sama yang lain.” jelasnya dengan cepat, “...urusan keluarga.”

Kim Wooseok benar-benar tidak suka kalau orang lain salah paham terhadap dirinya. Dan entah mengapa, ia lebih tidak suka kalau Jinhyuk menyangkanya seperti itu.

Setelah hari sejak hari ganti pertemuan mereka tidak bisa karena terhalang jadwal kuliah, keduanya memang tidak pernah saling berhubungan lagi. Wooseok kira, Jinhyuk sudah menyelesaikan tugasnya, namun saat tadi pemuda jangkung itu menjawab belum, Wooseok tanpa berpikir panjang sudah memutuskan.

“Aku masih mau bantuin kamu kalau dibolehin.”

Sebaris kalimat yang masuk ke pandengaran Jinhyuk barusan terdengar lebih indah dari apapun. Dia menatap Wooseok yang mengangguk sungguh-sungguh, “Aku serius, Jinhyuk.” katanya.

Katakanlah Jinhyuk sekarang bagai orang bodoh yang mati-matian bersikap cool di depan Wooseok. Dia harus menjaga harga dirinya. Lagi, lagi dan lagi dia berdehem untuk sekuat tenaga menahan senyum lebarnya, yang bisa dilakukannya hanya diam-diam berseru kencang dalam hatinya.

Tidak ada yang tahu, rasa senangnya itu karena memikirkan tugasnya yang akan semakin mudah bila ada Wooseok atau mungkin karena alasan lain.

Dia merogoh dompetnya di dalam saku celana karena ada hal yang paling penting. Tangannya mengeluarkan sebuah tiket dan menaruhnya di atas meja, “Hari Sabtu, jam 10 pagi.” lalu dia mendorong tiket tersebut ke depan Wooseok, “Mau kan temani saya?”

Yang bisa dilakukan Lee Jinhyuk sekarang hanya menatap harap-harap cemas saat Wooseok mengambil tiket tersebut dan membacanya.

Bandung Art Month 2020

Itu adalah tiket yang sudah dibelinya sejak berhari-hari lalu. Sebagai anak seni, mana mungkin dia melewatkan pameran yang dihelat setahun sekali tersebut.

Entah takdir sebercanda itu atau bagaimana. Tapi baru saja dia berniat menawarkan satu tiket miliknya kepada salah satu temannya termasuk Sakura dan Sejeong kalau-kalau mereka tidak ada acara minggu ini.

Namun, sekarang dia justru mendapati Kim Wooseok yang mengangguk kecil sambil tersenyum tipis padanya.

“Boleh. Aku tahu tempatnya kok.”

Jinhyuk tidak pernah salah kalau dulu dia sempat mengatakan Wooseok cakep banget walaupun dilihat dari foto, kayak Bidadara celetuknya waktu itu. Karena faktanya sekarang saat dia melihat langsung, saat Wooseok berada tepat di depannya dan tersenyum, Jinhyuk berani bertaruh Kim Wooseok berkali-kali lebih indah.

Sumber inspirasinya telah datang.

“Biar saya aja yang jemput kamu nanti. Rumah kamu di mana?”

Jinhyuk tidak pernah menyangka kalau berkunjung ke sebuah kebun binatang dan akuarium bisa membuatnya teramat bahagia. Itu adalah hal yang sama sekali tidak pernah terlintas dibenaknya selama ini, sungguh.

Satu yang pasti, alasannya tentu saja karena sosok kecil yang terlihat sangat antusias baik ketika memberi makan hewan-hewan tadi saat mereka di kebun binatang hingga saat ini ketika melihat akuarium super besar yang berisi berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya.

Lee Jinwoo, anak berusia tujuh itu tidak henti-hentinya tersenyum lebar.

Tangan mungilnya menggandeng tangan Wooseok sambil sibuk melihat-lihat ikan di balik akuarium dan bertanya ini itu sejak pertama kali mereka menginjakkan kaki di sini. Sedangkan di samping kanannya Jinhyuk berjalan pelan sambil sesekali mengusak rambut halusnya atau dia akan ikut menimpali kalau-kalau Jinu bertanya padanya.

Pegangan tangan Jinu dengan sang Papa seketika dilepas saat dia melihat ikan-ikan yang sedang diberi makan oleh salah seorang penyelam yang akan melambaikan tangannya pada pengunjung.

Jinu berlari mendekat ke arah sana walaupun tidak terlalu dekat tapi tetap terlihat jauh lebih jelas dari posisinya tadi saat bersama kedua orangtuanya, anak itu bergabung dengan beberapa anak-anak lain yang sama antusiasnya untuk menyaksikan Feeding Show.

Baik Wooseok maupun Jinhyuk ikut berjalan ke arah sana, namun masih memberi jarak. Mereka membiarkan Jinu menikmati atraksi tersebut. Beruntung suasana di sini tidak terlalu ramai sehingga masih bisa dipantau oleh keduanya dari belakang.

Bermenit-menit berlalu tidak ada yang berniat membuka suara terlebih dulu diantara Jinhyuk maupun Wooseok kendati mereka berdiri bersisian.

Benteng samar itu masih ada, jelas saja.

Keduanya memilih sama-sama sibuk mengawasi Jinu yang kali ini tampak bertepuk tangan saat satu potong daging segar berhasil disantap oleh sang predator.

“Sudah?”

Jinhyuk bertanya lebih dulu saat Jinu kembali mendekat ke arah mereka sambil berlarian beberapa menit kemudian, anak itu mengangguk antusias kepada Ayahnya dengan senyum yang begitu lebar hingga mata bulatnya berbinar senang.

“Sudah! Ada ikan hiu, dia makan banyak soalnya dia itu daddy shark, om!”

Si kecil menjawab sambil terkikik lucu, tangannya membentuk bulatan besar untuk menggambarkan sebanyak apa yang dimaksud. Kepalanya menengadah menatap sang Ayah yang begitu tinggi menurutnya. Nada suaranya terdengar renyah kentara sekali dia begitu senang.

Melihatnya, Jinhyuk terkekeh sambil mengangguk-ngangguk mengiyakan apa yang baru saja diceritakan oleh Jinu.

Dia bahagia, sekali lagi dia bahagia bisa melihat sebuah senyum senang tercetak jelas di wajah putra satu-satunya itu.

“Kita lihat yang lain lagi yuk.”

Kemudian Jinhyuk menggandeng tangan kecil Jinu dan mereka kembali melanjutkan langkah sesuai inginnya Jinu mau lihat yang mana, telunjuk kecil itu sibuk menujuk sana sini tentu saja Jinhyuk dengan senang hati menurutinya.

Sadar ada yang-sedikit-ganjil, Jinu kemudian mencari sosok sang Papa yang ternyata berjalan di belakang mereka, dia sempat lupa karena Jinhyuk yang terus menjawab pertanyaan-pertanyaan ingin tahunya.

“Papa..”

Sepasang kaki kecil itu menghentikan langkahnya, kemudian tangannya terulur untuk menggenggam jemari Wooseok hingga mereka bertiga berjalan bersisian, “Jangan jauh-jauh, nanti Papa hilang.” katanya dengan wajah serius menatap Wooseok.

Wooseok tidak bisa menahan geli mendengar ucapan putranya, “Gak salah Jinu bilang gitu ke Papa?”

“Enggak, Jinu takut Papa hilang kan di sini banyak orang.” jawabnya.

“Yang ada kamu yang hilang kalau jalan-jalan sendiri. Masa Papa sih, sayang.”

Jinu tidak membalas lagi ucapan Wooseok, yang dia lakukan hanya tersenyum dan mengeratkan genggaman tangannya, baik pada Wooseok maupun pada Jinhyuk.

Semua kejadian barusan tidak luput dari penglihatan Jinhyuk sedikit pun, dia menatap mereka sambil menarik sedikit sudut bibirnya.

Akhirnya Jinhyuk semakin paham kalau Jinu tidak bisa tanpa Wooseok, begitupun sebaliknya.

Jinhyuk diam-diam membatin, Jinu terlihat senang sekali saat dia akhirnya berjalan dengannya dan Wooseok yang sama-sama menggandeng kedua tangannya seperti ini hingga dia berada di tengah-tengah kedua orangtuanya.

Apa ini yang dia inginkan dari tadi? Memikirkannya saja sudah membuat hati Jinhyuk miris.

Ini adalah hal pertama baginya, hal sederhana yang seharusnya bukan hal sulit yang dia dapatkan untuk menghabiskan waktu dengan kedua orangtuanya.

Namun, balik lagi, karena siapa semua itu terjadi?

Tentu saja Jinhyuk hanya bisa kembali mengutuk dirinya ketika menjawab pertanyaan itu. Jinu tumbuh tanpa sosok Ayah dan semua itu karena ulah tidak bertanggung jawabnya selama ini.

Jinu menoleh saat merasakan genggaman tangan Jinhyuk mengerat padanya, dia menatap bingung sang Ayah, namun langsung tersenyum lebar saat Jinhyuk mengusap puncak kepalanya sambil tersenyum hangat dan berbisik lirih.

“Ayah sayang banget sama Jinwoo.”

Jujur saja, saat ini mereka terlihat seperti keluarga kecil yang sedang menikmati hari libur penuh kebahagiaan dengan tawa dan senyum Jinu yang terlihat jelas.

Dan apa Jinhyuk pantas bila dia membayangkannya sebentar saja? ...bila mungkin suatu saat nanti mereka akan seperti itu?

Jinhyuk takut, permintaannya terlalu muluk.

“Ayah, Jinu mau digendong...”

Jinu dengan sadar memanggil Jinhyuk dengan sebutan Ayah saat mereka akan melewati Antasena, sepertinya dia tidak berpikir panjang sambil mengulurkan tangannya tidak sabar karena terlalu antusias saat akan berjalan di bawah terowongan kaca dengan berbagai satwa laut yang berenang di atas kepalanya.

Baik Jinhyuk maupun Wooseok sempat tertegun sesaat ketika mendengarnya. Jujur saja Jinhyuk bisa merasakan perasaannya yang kembali menghangat, jarang sekali Jinu memanggilnya seperti ini. Sedangkan Wooseok mulai menyadari, lambat laun Jinu pasti mulai terbiasa memanggil Jinhyuk Ayah karena seharusnya memang seperti itu.

Jinu langsung tersenyum senang saat Jinhyuk mengabulkan permintaannya dan tidak lama dia sudah larut dalam gumaman-gumaman khas anak kecil begitu mereka melewati terowongan.

Tangan mungil itu memeluk leher Jinhyuk dan pandangannya terus bergerak menatap takjub ikan-ikan di atas kepalanya.

“Itu ikan apa yang besar? Jinu lupa namanya.”

Jinhyuk melihat telunjuk mungil Jinu yang sibuk menujuk-nujuk, “Itu ikan pari, sayang.”

Mendengar jawaban dari Ayahnya, Jinu langsung menoleh pada Wooseok yang berjalan di samping Jinhyuk. Mata bulatnya masih berbinar senang dan ucapan selanjutnya sukses membuat Wooseok menghela napas sambil berucap sabar dalam hatinya.

“Papa.. Jinu mau ikan pari buat dipelihara di rumah.”

Jinhyuk tidak bisa menahan tawa saat mendengar permintaan polos putranya. Dia ikut melirik Wooseok yang langsung menggelengkan kepalanya dengan tegas.

“Ikannya bukan untuk dipelihara di rumah, sayang.”

“Kenapa?” anak itu kali ini menatap Jinhyuk untuk meminta penjelasan, “Karena bukan tempatnya..” Jinhyuk sedikit bingung menjelaskannya agar Jinu paham, “Ikan pari terlalu besar dan mereka tinggalnya di laut. Rumah Jinwoo gak ada air laut, nanti ikannya mati.”

Bibir mungil Jinu mengerucut menatap kedua orangtuanya itu ketika mendengar penjelasan seadanya dari Jinhyuk, masa sih begitu?

Tidak tega saat melihat wajah kecewa sang anak, Jinhyuk langsung menghiburnya, “Jinwoo mau pelihara ikan? nanti Ayah belikan akuarium terus kita isi ikan nemo, mau?”

Dia tidak bisa menahan untuk mengusak puncak kepala Jinu karena merasa gemas sekali saat Jinu mengangguk antusias mendengar tawarannya.

“Nemo? Mau mau! Jinu mau punya akuarium.”

“Enggak usah, Jinu belum bisa jagain peliharaan. Waktu itu aja punya kelinci enggak mau ngasih makan.”

Wooseok menimpali sambil menggelengkan kepalanya dan Jinhyuk menatap Wooseok yang berdiri di sampingnya.

“Papa.. tapi Jinu mau ikan.” anak itu merengek saat sang Papa justru menolak permintaannya, maka kali ini dia menatap Jinhyuk dengan penuh harap.

“Jinu mau pelihara ikan, yah.” bisiknya sedih dan hati Jinhyuk kembali menghangat mendengar panggilan Jinu kepadanya.

Mana mungkin dia tega menolak permintaan putranya yang begitu menggemaskan ini begitu saja.

“Iya, nanti Ayah yang bilang ke Papa.” katanya yang disambut sorakan senang oleh Jinu dan dengusan kecil dari Wooseok.


Wooseok kira setelah keluar dari sea world mereka akan langsung pulang, namun nyatanya tidak sama sekali karena sekarang dia justru terduduk di tepi pantai sambil mengawasi Jinu yang sedang sibuk membuat rumah pasir.

Tadi, Jinu bilang mau ke pantai, dia mau main pasir dan sudah bisa dipastikan kemauannya itu langsung dituruti oleh Jinhyuk.

Sekarang, anak tujuh tahun itu tampak fokus tanpa menghiraukan Papanya, bajunya penuh pasir dan dia hanya menggunakan sempak saja karena celana panjangnya sudah basah sejak tadi bermain air.

Wooseok hanya duduk sendirian karena tidak ada Jinhyuk di sana, dia tadi pamit untuk ke kamar mandi dan belum kembali lagi.

Suara kresek berisi minuman kaleng yang diletakan di sampingnya membuat Wooseok menoleh dan ia bisa menemukan sosok Jinhyuk yang baru saja kembali.

“Aku beli minum dan makanan dulu.” beritahunya sambil ikut mendudukan diri di atas pasir di samping Wooseok tanpa repot-repot mencari alas duduk, dia memilih membiarkan celananya kotor.

Wooseok hanya bergumam pelan dalam memberi respon, ekor matanya melirik Jinhyuk yang kali ini terdiam sambil menatap Jinu dengan raut bahagia. Ia bisa melihatnya dengan sangat jelas bagaimana raut wajah tersebut perlahan berbinar saat Jinu menatap ke arah mereka.

“Jinwoo kelihatan senang hari ini dan aku sangat bersyukur...”

Jinhyuk akhirnya kembali membuka suara, debur ombak yang terdengar jelas membuat Wooseok harus benar-benar memasang telinganya.

”...melihat senyum Jinwoo membuatku merasa lebih bahagia dari dirinya sendiri.”

Wooseok memeluk lututnya dan pandangannya kembali memperhatikan Jinu, hatinya membenarkan apa yang barusan diucapkan oleh Jinhyuk karena dia merasakan hal yang sama sebagai orang tua, senyum Jinu adalah kebahagiaan yang tak ternilai baginya.

”...namun, rasa bersalahku justru semakin besar. Aku gak pernah bisa ngasih kebahagiaan yang harusnya bisa Jinwoo dapatkan sejak kecil.”

Suara Jinhyuk sedikit serak seperti tercekat di tenggorokan, sesak itu kembali mengambil alih bukan hanya bagi Jinhyuk karena Wooseok ikut merasakannya, dia merasa bersalah untuk Jinu, putranya.

“Aku harus siap kalau suatu saat nanti Jinwoo sudah mengerti dan dia akan kecewa padaku.”

Tapi Jinu tahunya kamu cuma kerja yang jauh. Aku gak pernah menjelek-jelekan kamu pada Jinu.

Wooseok tidak benar-benar mengucapkannya, dia memilih menelan lagi kalimat tersebut. Biarkan saja.

“Sebelum waktu itu datang.. aku mau menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya dengan Jinwoo sebagai sosok Ayahnya. Tepatnya... sebelum nanti Jinwoo mungkin menatapku dengan tatapan kecewa karena punya Ayah brengsek.”

Mendengar setiap kalimat putus asa Jinhyuk membuat Wooseok mengeratkan pelukan di lututnya. Wooseok akhirnya tidak berkomentar apa-apa karena dia juga tidak bisa menebak apa yang nantinya akan terjadi bila Jinu sudah besar.

Namun, Jinhyuk harus tahu betapa Jinu yang selalu antusias bila dia datang ke rumah.

Jinhyuk harus tahu kalau sejak kecil Jinu selalu menunggunya di rumah.

Jinhyuk harus tahu betapa Jinu sangat merindukan sosok Ayahnya.

Dan Jinhyuk harus tahu kalau saat ini bagi Jinu kehadiranya adalah yang paling menyenangkan karena akhirnya Jinu bisa bertemu Ayah.

Jinhyuk kembali menyunggingkan senyum tipis saat Jinu menatap mereka. Biarkan kemungkinan-kemungkinan itu nanti dia pikirkan lagi, untuk saat ini sebisa mungkin Jinhyuk akan memastikan apa yang seharusnya Jinu dapat sejak kecil, waktu dan kasih sayang dari dirinya sebagai seorang Ayah.

Dia kemudian menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku, membuka sepatu serta menggulung celananya hingga setengah betis.

Tangannya mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celana lalu memberikannya pada Wooseok, “Bisa minta tolong? fotoin Jinwoo dan aku?” pintanya.

Netra Wooseok jatuh ke ponsel yang disodorkan oleh Jinhyuk, dia menghela napas kemudian mengambilnya, “Sini.” katanya.

Jinhyuk tersenyum tipis saat Wooseok mau membantunya. Dia kemudian berdiri dan berjalan mendekati Jinu yang sedang sibuk sendiri dengan tumpukan-tumpukan pasir.

“Ambil sebanyak mungkin, Seok.” pinta Jinhyuk.

Karena sebanyak apapun, Jinhyuk tahu itu semua tidak akan mengalahkan semua potret yang Wooseok punya dengan Jinu. Dia tidak akan pernah bisa mengalahkan kebersamaan mereka disetiap moment-moment penting Jinu.

Namun, setidaknya di kesempatan ini, setelah pulang nanti Jinhyuk akan punya kenang-kenangan yang bisa dia lihat lagi setiap saat.

Jinhyuk akan punya foto kebersaaman mereka yang akan dia pajang di dinding rumah dan di meja kerjanya.

Wooseok tidak banyak bicara, ia kemudian mengarahkan kameranya ke arah Ayah dan anak itu. Jinu tampak senang saat Jinhyuk bergabung dengannya, dia tersenyum sangat lebar ketika Jinhyuk mengusap kepalanya sebelum ikut berjongkok di sampingnya.

Tanpa membuang waktu, Wooseok langsung mengabadikan moment-moment tersebut.

Sepuluh, dua puluh, atau mungkin tiga puluh? entah sebanyak apa Wooseok mengambil foto mereka, ia hanya melakukan apa yang dipinta oleh Jinhyuk.

Wooseok masih memegang ponsel Jinhyuk, ia melihat-lihat hasil jepretannya sambil tersenyum tipis. Jinu sepertinya memang senang sekali hari ini, semuanya tergambar jelas di layar ponsel Jinhyuk.

Tanpa sengaja foto-foto itu bergulir kesebelumnya. Jemari Wooseok dengan ragu terus menggesernya dan ia mendapati beberapa foto yang diambil hari ini saat mereka di kebun binatang serta saat di sea world, itu semua foto-foto Jinu, namun Wooseok menggigit bibirnya saat beberapa foto juga ikut menampilkan figur dirinya.

Jelas sekali Jinhyuk memfotonya diam-diam dari belakang, ketika mereka memberi makan rusa dan gajah, saat dia berjalan sambil menggandeng Jinu, saat mereka istirahat sambil makan ice cream karena Jinu capek terus-terusan jalan, belum lagi saat mereka fokus menatap ke akuarium besar yang menjadi latar.

Jinhyuk memfoto semuanya.

Tangan Wooseok mendadak kaku saat ini, ia buru-buru menutup ponsel Jinhyuk dan menyimpannya di atas tas Jinu yang diletakan di atas pasir begitu saja.

Wooseok mengambil napas panjang sebelum mengusap wajahnya dengan berbagai perasaan yang berkecamuk, semuanya tampak membingungkan saat ini.

Pandangan Wooseok dibawa untuk menatap Jinu dan Jinhyuk yang kali ini sedang bermain air. Jinu tampak berlarian menghindari ombak yang mengejarnya dan Jinhyuk ada disampingnya, dia memegang tangannya erat sambil tertawa, “Jinwoo gak usah takut, kan dipegangin sama Ayah.” katanya yang masih bisa terdengar oleh Wooseok.

“Papaaaa..”

Panggilan Jinu membuat Wooseok tersenyum dan melambaikan tangannya, netra Wooseok sempat bertemu pandang dengan Jinhyuk yang juga menatapnya sebelum dia kembali memperhatikan Jinu yang manarik tangannya untuk kembali bermain air.

Sinar matahari hangat yang berwarna orange menjadi latar keseruan Jinu dan Jinhyuk, serta Wooseok yang memperhatikan keduanya.

“Capek, nak?” Wooseok bertanya begitu Jinu dan Jinhyuk menghampirinya.

“Capek, ombaknya ngejar Jinu terus, Papa. Tapi Jinu diajakin lari sama om tinggi biar gak kena.” jawaban antusias Jinu membuat Wooseok tersenyum, dia mengambil tisu basah di dalam tas kemudian mengelap keringat di dahi sang anak juga di tangannya yang banyak pasir menempel.

“Nanti ganti baju ya, kita ke kamar mandi dulu sebelum pulang.”

Jinu hanya mengangguk-ngangguk mendengar ucapan Papanya. Wooseok memang selalu membawa perlengkapan Jinu lengkap dengan baju ganti karena anaknya itu sangat tidak betah bila berkeringat.

Jinhyuk duduk kembali di samping Wooseok, dia mengambil minum dari kresek salah satu minimarket yang tadi didatanginya, membuka botol minum air mineral dan memberikannya pada Jinu yang berdiri di depan Wooseok yang sedang membersihkannya.

“Minum dulu, Jinwoo nya.”

Jinu menurut, ia meminum air dari Jinhyuk dengan kehausan, capek sudah lari-larian.

Seseru itu main sama Ayah.

Jinhyuk tersenyum lebar melihatnya. Tangannya mengusak rambut basah Jinu, “Jinwoo senang gak hari ini?” tanyanya penasaran.

Jinhwoo mengangguk semangat ditanya seperti itu. Tentu saja. Dia memeluk botol minumnya dengan satu tangan karena tangan yang lain masih dibersihkan oleh Wooseok.

“Senang, bisa jalan-jalan bertiga sama Papa sama Om tinggi.” jawabnya, mata bulat itu tertimpa sinar matahari dan terlihat semakin berbinar menatap Jinhyuk maupun Wooseok yang kali ini sudah selesai membersihkan tangannya.

Wooseok menatap Jinu yang berdiri di depannya, senyum Jinu membuat segala kegelisahnya yang menghantuinya sejak pagi menjadi menghilang begitu saja.

“Kapan-kapan kita main lagi ya, Pa?”

Pertanyaan Jinu membuat Wooseok terdiam sesaat, kapan-kapan? Wooseok tidak tahu harus merespon seperti apa selain anggukan.

“Iya, nanti kita main lagi.” belum sempat Wooseok berpikir panjang, Jinhyuk sudah menyela hingga Jinu meloncat-loncat senang mendengar ucapan Ayahnya.

“Jinu mau liburan!!!”

Jinhyuk kembali mengusak rambut Jinu saat anaknya itu terlihat begitu antusias. Dia juga sempat melirik Wooseok yang hanya tersenyum tipis.

“Sini deh, duduk sama Ayah.”

Jinhyuk memegang tangan mungil Jinu dan menariknya mendekat, dia mendudukan Jinu di atas pahanya yang sedang bersila. Tubuh Jinu memang cenderung mungil-seperti Wooseok-walaupun dia sudah berusia tujuh tahun, berbeda dengan Dohyon yang bertubuh bongsor. Makanya bila Jinu minta digendong hal tersebut tidak terlalu merepotkan, bagi Jinhyuk itu hanya hal kecil.

“Mataharinya mau masuk ke laut.”

“Terbenam namanya.”

Wooseok memberitahu ketika mendengar ucapan Jinu, dia menoleh pada Jinu yang berada di pelukan Jinhyuk, tangan itu memeluknya dari belakang dan dengan jelas Wooseok tahu kalau Jinu merasa nyaman berada di pelukan hangat Ayahnya.

“Jinu tahu Papa, tapi itu kelihatan mau masuk ke laut iyakan, om?”

Lagi-lagi Jinhyuk tidak bisa menahan rasa gemasnya, dia tertawa kecil sebelum menyahut, “Iya, mataharinya mau istirahat gantian sama bulan.”

Selanjutnya, mereka bertiga hanya terdiam sambil menatap ke depan. Menikmati sinar hangat mentari yang siap kembali ke peraduannya serta hembusan pelan angin yang menyibak anak-anak rambut seakan membelai dengan teramat lembut.

Jinhyuk menumpu dagunya di atas kepala Jinu dan mengeratkan pelukannya, dia berjanji kalau hari ini benar-benar hari yang tidak akan pernah dia lupakan.

“Jinu mau apa lagi, hmm? bilang sama Ayah?”

Suara Jinhyuk yang berbisik masih bisa terdengar jelas oleh Wooseok. Ia menoleh dan menumpu pipinya di atas lutut yang sedang dipeluknya, Wooseok ikut menunggu jawaban Jinu yang kali ini terlihat memasang wajah serius saat mendengar pertanyaan Ayahnya.

Cukup lama Jinu terdiam sebelum menjawab pertanyaan Ayahnya, “Jinu mau dipeluk sama Ayah sama Papa.. boleh?” dengan suara mencicit pelan akhirnya anak tujuh tahun itu membuka mulut.

Jinu menatap Wooseok dengan mata bulatnya yang terlihat sendu seakan binar bahagianya yang tadi hilang begitu saja. Itu adalah tatapan yang langsung membuat Wooseok merasa sesak seketika karena ia sangat paham apa yang dirasakan oleh Jinu, ia sangat paham maksud dari permintaannya.

Ia sangat paham karena permintaan sederhananya adalah hal yang paling susah dia dapatkan.

Sedangkan Jinhyuk langsung menengadah sambil mengeratkan pelukannya saat dia tidak menyangka bahwa jawaban seperti itu yang akan dia dengar dari putra kecilnya.

Karena sesungguhnya masih banyak, masih banyak yang ingin Jinu lakukan dengan kedua orangtuanya. Sehari saja tidak akan pernah cukup untuk mengabulkan permintaannya.

Sekarang sudah ada Ayah, Jinu harus bilang. Jinu tidak boleh menahannya sendirian lagi, sayang.

[XXV]

Senin pagi, Wooseok memakan sarapannya dengan malas-malasan, nasi di piringnya hanya diaduk asal. Menyuap sedikit lalu ia berlama-lama. Bibir mungilnya mengerucut dan raut wajahnya mendung sekali, sungguh bertolak belakang dengan cuaca cerah pagi hari ini yang menampilkan cahaya cukup terik menerobos dari kaca yang membatasi ruang tengah dan halaman belakang.

Semalam, ia sudah membantu Jinhyuk packing, memilihkan setel pakaiannya untuk seminggu. Dari setelan kerja, kaos, hingga baju tidur. Ini adalah hal baru tentu saja bagi Jinhyuk, dia biasa menyiapkannya sendirian, namun kali ini ada yang membantunya. Malahan terkesan semuanya Wooseok yang mengurus sambil sesekali bertanya, seperti berapa jumlah kemeja yang harus dibawa atau mau bawa sepatu yang mana saja, bahkan sampai pisau cukur.

Wooseok memang tipe orang yang teliti dan Jinhyuk teramat bersyukur karenanya, biasanya ya sesuka hati kalau malas paling menganut prinsip bawa sedikit beli di sana saja.

Iya, hari ini Mas Jinhyuk pergi ke luar kota.

Kata Jinhyuk, penerbangannya nanti jam 10. Jadi, dia bisa mengantarkan Wooseok bekerja terlebih dahulu. Namun, rasanya sekarang Wooseok sudah malas-malasan memikirkan akan ditinggalkan oleh Mas Jinhyuk.

Seminggu? huhu yang benar saja!!!

Meja makan keluarga Lee saat ini hanya diisi oleh dirinya, Ayah dan Jinu sudah pergi dari tadi, jelas saja ini sudah pukul tujuh lebih sepuluh menit. Ibu tadi sedang di ruang laundry dan Mas Jinhyuk yang baru selesai mandi menyuruhnya untuk sarapan duluan.

Tidak lama sebuah kecupan di pelipisnya membuat Wooseok menghela napas panjang dan menatap Mas Jinhyuk yang baru datang, dia sudah rapi menggunakan kemeja panjang berwarna biru dongker-yang tentu saja tadi disiapkan oleh Wooseok-dan langsung duduk di sampingnya.

“Makanannya kok cuma dilihatin, masa gak dimakan, kak.”

Wooseok tidak membalas ucapan Jinhyuk seperti mulutnya terkunci rapat, ia justru menyiapkan terlebih dahulu sarapan untuk suaminya itu. Mengambil piring di depannya dan menuangkan nasi beserta lauknya.

Sejak mereka masih bertunangan pun, Wooseok memang selalu menyiapkan makan untuk Jinhyuk bila di meja makan, baik saat di rumah Yohan ataupun saat berkunjung ke rumahnya. Wooseok tidak canggung sama sekali melakukannya. Hal tersebut tentu saja belajar dari orangtuanya, ah disini Ibu juga bersikap seperti itu kepada Ayah.

“Terimakasih, sayang.” ucapan terimakasih Jinhyuk selalu dibarengi dengan senyum tulus, sehingga kali ini Wooseok menarik kedua sudut bibirnya walaupun tipis.

Disela makannya, Jinhyuk mengusap lembut kepala Wooseok, dia tahu sekali alasan suaminya itu hanya diam saja. Semalam bahkan Wooseok sempat menangis lagi pas selesai membantunya packing.

Wooseok masih belum rela ditinggalkan oleh Jinhyuk.

“Dihabiskan ya, kamu harus sarapan.” katanya yang hanya dibalas gumaman pelan.

Setelah membereskan bekas makan mereka beserta mencuci piring, Wooseok dan Jinhyuk kembali ke kamar.

Wooseok akan mengambil tasnya dan Jinhyuk mengambil ponsel beserta kunci mobil.

Bibir mungil Wooseok kembali mengerucut saat Jinhyuk menunggunya menyiapkan tas. Ia kemudian menatap Jinhyuk yang duduk di sofa dan melirik sekilas pada koper yang berada tidak jauh darinya.

“Sudah?” tanya Jinhyuk pelan, dia mengulas senyum tipis saat Wooseok tidak menjawab, mata bulat itu malah menatapnya sendu tanpa beranjak sedikitpun.

Sambil menghela napas kecil, Jinhyuk berdiri dari duduknya dan mendekati Wooseok.

“Mas cuma sebentar, kak. Sudah ya, jangan sedih. Kalau kamu kayak gini, mas jadi enggak tega ninggalin kamu nya.” ucap Jinhyuk sambil menarik Wooseok ke dalam dekapannya. Mengusap bahunya dengan lembut serta menempuk-nepuknya.

Wooseok balas memeluknya dengan erat dan wajahnya disembunyikan di dada bidang Jinhyuk. Ia memejamkan mata saat merasakan kecupan-kecupan kecil di puncak kepalanya.

“Kalau aku kangen gimana?” cicitnya kemudian dengan suara yang teredam, pasti bakal kangen wangi Mas Jinhyuk yang menenangkan seperti ini, yang membuatnya betah berlama-lama dipeluk.

“Nanti kan bisa telpon atau video call, kak.”

Jinhyuk merenggangkan pelukan mereka lalu menarik tangan Wooseok dan dia duduk di tepi tempat tidur. Wooseok sendiri berdiri tepat di depannya dengan wajah sesendu tadi, Jinhyuk meremas tangannya sambil mengulas senyum samar.

“Gak apa-apa ya mas pergi?” tanyanya pelan, kedua alisnya diangkat tinggi dan pandangannya melembut, “Hmm?”

Butuh beberapa detik hingga Wooseok mengangguk sekilas dengan mata bulatnya yang sudah berkaca-kaca menatap Jinhyuk.

“Nanti gak ada yang nyiapin Mas Jinhyuk makan.” katanya pelan, kedua sudut bibir Jinhyuk berhasil ditarik tipis saat mendengarnya.

“Enggak perlu disiapin. Mas makan sendiri, sayang.” entahlah Jinhyuk antara terharu atau harus meringis, Wooseok menggemaskan, sungguh.

“Nanti gak ada yang nyiapin baju, gak ada yang masangin dasi.” katanya lagi yang kali ini membuatnya senyum Jinhyuk melebar tanpa ragu, tangannya tanpa bisa ditahan menyubit gemas pipi kanan Wooseok.

“Mas bisa pasang dasi sendiri, kalau baju kan kamu sudah nyiapin semalam. Mas tinggal pakai, kak.”

Wooseok tidak tersenyum seperti Jinhyuk, dia malah mengambil napas panjang dan menghembusakannya pelan. Bibirnya semakin maju saat Jinhyuk mempunyai alasan disetiap ucapannya.

“Nanti, mas gak bisa peluk aku kalau kangen...”

“Mas bisa peluk guling.”

Dan Wooseok langsung mendengus kecil mendengarnya, kakinya menghentak sedikit, ia merajuk. Kok malah bercanda sih.

Jinhyuk memang sejak tadi perlu mendongak sedikit agar bisa menatap wajah Wooseok karena posisinya yang sedang duduk dan Wooseok masih berdiri. Sedikit meringis saat melihat Wooseok yang menatapnya kesal.

“Maaf maaf, kak. Sudah ya, jangan melow begini. Masa mas mau pergi lihatnya awan mendung terus.”

“Seminggu? gak bisa dikurangin, ya?”

Tawar Wooseok kemudian tanpa mengindahkan ucapan Jinhyuk barusan. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap Jinhyuk berharap jawaban suaminya itu bisa berubah dari sebelum-sebelumnya.

“Seminggu, enggak bakal lebih.”

“Ih tuh kan! aku tanyanya dikurangi, bukan dilebihin. Kalau dilebihin aku gatau lagi. Huhu kelamaan, Mas Jinhyuk!”

Rengekan Wooseok sedikit membuat Jinhyuk terkekeh kecil dan mengusap ujung mata Wooseok yang mulai basah, “Iya, enggak akan dilebihin. Ya sudah jangan nangis begini, sayang. Semalam kamu sudah nangis. Waktu dikasih tahu beberapa hari lalu juga nangis. Mata kamu nanti bengkak lagi, mas ikutan sedih.”

“Huhu habis kok aku nya ditinggal.” ujarnya sambil menggoyangkan tangannya yang kembali digenggam oleh Jinhyuk. Dasar, persis sekali bocah minta jajan.

“Kan mas kerja, waktu kita pacaran juga kamu tahu mas pernah keluar kota, gapapa itu ditinggal.”

“Mas Jinhyuk kok gak ngerti. Aku jadi males sama kamu!”

lho?

Jinhyuk kaget dan langsung berdiri untuk kembali memeluknya. Kemeja bagian belakangannya sudah diremas erat oleh Wooseok, kusut pasti, tapi gapapa. Siapa perduli.

“Kata siapa gak ngerti? Mas tahu kamu enggak mau ditinggal, sayang. Mas juga sama. Apalagi pas tidur nanti, gak ada Kak Ushin yang biasa minta kelon.”

Jinhyuk sedikit menggoyangkan tubuhnya sambil mengeratkan pelukannya dipinggang Wooseok, “Kangen banget pasti nanti sama suami manja ini.” katanya sambil menghirup wangi rambut Wooseok yang begitu lembut dan manis di penciumannya.

Wooseok menengadahkan kepalanya dan menatap Jinhyuk, “Aku bobo sendirian nanti. Aku gak bisa peluk Mas Jinhyuk.” adunya dengan berbisik menggunakan nada sedih.

Jinhyuk mengecup pucuk hidungnya sekilas sebelum mengecup bibir mungil yang kembali mengerucut, “Kan kamu sudah punya tabungan peluk, kak.”

“Gak cukup tahu buat seminggu!”

“Kayaknya Mas yang bakal paling kangen disini, bakal sepi banget gak ada Kak Ushin. Makanya setiap malam nanti telpon biar besoknya mas bisa semangat kerja dan cepat pulang. Cepat ketemu kamu.”

“Seminggu itu lamaaaaaaa.”

Wooseok kembali merengek sambil memajukan bibirnya, mata bulatnya menatap Jinhyuk dengan sorot sedih yang semakin terlihat oleh Jinhyuk.

Detik itu, Jinhyuk merafalkannya dalam hatinya. Hindari LDR, hapus dari kamus hidup rumah tangga lo karena lo gak akan pernah kuat, hyuk! Catat, dibold kalau perlu!

Kaum bucin kayak mereka memang kudu wajib kemana-mana berdua.

Tangan Jinhyuk beralih untuk menangkup kedua pipi tirus Wooseok dan mengusapnya lembut, namun sorot matanya terlihat serius menatap kedua manik cokelat milik Wooseok.

“Dengar ya, jangan telat makan. Mood kamu juga akhir-akhir ini lagi enggak bagus terus, mas dikasih tahu Yohan. Jangan stress, jangan banyak overthinking gak jelas. Kalau capek minta antar pulang ke Yohan, mas sudah nitip kamu sama dia. Jangan maksain kerja. Jangan sampai sakit lagi.”

Wooseok mengangguk kecil dan ia kembali merasakan kalau pelipisnya dikecup lagi, namun kali ini ditahan lebih lama dan yang bisa ia lakukan hanya memejamkan matanya.

“Baik-baik di sini, jangan buat mas khawatir dan gak tenang ninggalin kamu. Kalau ada apa-apa bilang ya, sayang.”

Jinhyuk berujar begitu menjauhkan wajahnya, dan Wooseok mengiyakan dengan kening yang sedikit berkerut dalam sambil menatap Jinhyuk.

“Huhu iya, tapi kok Mas Jinhyuk jadi overprotective, begini?”

“Karena mas sayang kamu, tentu saja. Masa masih nanya..”

Bang Wei

bang wei

Sekilas tentang Wei.

Anak kedua yang hanya berselisih lima menit dengan Radit, anak paling tidak bisa diam sejak kecil. Sangat hyperaktif, bermain layangan dengan anak-anak komplek, bermain lumpur kotor-kotoran bila hujan dan yang paling sering membuat Ibunya mengomel karena lupa waktu kalau sudah bermain hingga Bapak perlu mencarinya walaupun lelah sepulang bekerja.

Wei terbiasa dipanggil abang oleh orangtua dan adik-adiknya, dulu awalnya memang sengaja dibedakan dengan Radit oleh kedua orangtua mereka, katanya agar kedua adiknya tidak bingung saat mereka mulai bisa berbicara dan mengenali satu sama lain.

Seperti yang pernah disinggung oleh Jinhyuk, Wei itu paling badung. Pengaruh pergaulan sejak dia SMP dan melanjutkan ke STM, sepertinya. Bapak pernah beberapa kali dipanggil ke sekolah karena tingkahnya itu. Paling parah sempat ditahan polisi dua hari karena ikut tauran. Baik kakak dan adik-adiknya hanya menggelengkan kepala saat dia pulang dengan wajah babak belur.

Baiklah, tadi itu hanya cerita masa remajanya. Setelah lulus STM dia melanjutkan kuliah jurusan Teknik Mesin dan sempat bekerja di salah satu perusahaan manufaktur yang cukup besar, namun hanya bertahan dua tahun saja.

Setelah punya cukup tabungan hasil bekerjanya itu, dia bertemu temannya semasa kuliah dan mengajaknya membuka usaha bengkel, tapi itu juga tidak bertahan lama. Memang, usahanya tidak semulus Radit. Wei mengakui itu.

“Eh, anying. Setiap orang punya ceritanya masing-masing walaupun kita anak kembar. Gak usah sok menghakimi.”

Itu adalah slogan andalan yang dipegang oleh dirinya ketika mulai dibanding-bandingkan dengan Radit. Kesel banget.

Temannya Wei itu banyak dan dimana-mana, saat sedang galau karena pekerjaan yang tidak jelas, dia bertemu dengan Hangyul yang merupakan teman STM nya di sebuah warkop sambil makan Indomie. Hangyul itu anaknya juragan buah, tidak hanya supply ke pasar, tapi juga ke beberapa supermarket.

“Lo punya duit berapa? beli kios di pasar aja. Papa gue lagi ngeluh harga sewanya mahal. Menjanjikan katanya. Baru dibangun tuh lantai tiga. Lo beli dah beberapa, langsung kaya tiap bulan.”

Katanya waktu itu yang membuat Wei mikir sampai berhari-hari dan menjadi awal dari cerita lulusan teknik mesin jadi juragan kios di pasar.

Hingga akhirnya anak yang dulu sering membuat Ibuk ngomel itu bilang, “Aku punya uang mau nyewain kios di pasar, jangan gengsi yang penting uangnya nanti banyak ya, buk.”

Sampai akhirnya sekarang dia sudah mempunyai yang berjumlah “cukup”, setiap bulan pokoknya kipas-kipas pakai uang sewa.


Senyum Wei melebar saat dia melihat sosok berkacamata yang menggunakan sweater ungu. Anaknya lagi duduk di kursi panjang di dalam tenda tukang bubur ayam tidak jauh dari parkiran pasar.

Wei memang terbiasa nongkrong di pasar, TAPI dia bukan preman ya, hanya suka nongkrong saja karena gabut. Suka disalah artikan memang, tapi dia bodoamat. Kadang nongkrong sama kang siomay sambil jajan, sama kang kopi, sama preman pasar di warkop sambil makan, sama kang parkir ataupun sama Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang berjualan.

Semua orang disini sepertinya tahu siapa Bang Wei. Namun, mereka hanya sebatas tahu sih, tidak sampai tahu latar belakang keluarganya.

Perlu digaris bawahi walaupun suka nongkrong di pasar, Wei tidak bau dan kucel, sama sekali!!!! Ya pasarnya juga besar gini, pasar terbesar di pusat kota, bersih lagi.

Dia ganteng dan wangi, sampai Ibu-ibu nempel dan sering kali menjodohkan anak-anak mereka.

“Bang Wei, udah ada calon belum sih? apa masih jomblo?”

“Bang, anak saya baru lulus SMA, cantik. Boleh kali kenalan.

Dan macam-macam, sampai bosan.

Oh iya, celana sobek-sobek adalah fashion andalannya! Biar keren aja gitu, katanya.

“Bang Wei!”

Baru saja akan menghampiri Wooseok, dia berbalik saat namanya diserukan dari belakang. Terlihat seorang pemuda perawakan mungil yang sedang tersenyum padanya, “Bang Wei udah sarapan? Aku bawa makanan buat Papaku. Sarapan sekalian di atas yuk.” ajaknya tanpa sungkan.

Wei menggaruk tengkuknya sebelum bicara, “Maaf, Sejin.. gw ada perlu. Kapan-kapan aja ya.” katanya.

Lee Sejin, anaknya juragan textil di lantai tiga yang menyewa tiga kiosnya sekaligus. Memang Papanya itu kerap kali mengkode padanya agar dia berpacaran dengan Sejin.

Menurut kabar burung, Sejin suka padanya.

“Oh.. gitu. Yaudah, aku ke atas dulu.” pamitnya dengan senyum tipis sambil berlalu masuk ke dalam pasar, terlihat sedikit kecewa dengan penolakan Wei.

Pemuda yang sedang menggunakan kemeja merah tanpa dikancing dengan kaos di dalamnya itu menghela napas kecil dan melangkah ke arah Wooseok.

“Bang, bubur satu ya. Biasa.” katanya begitu saja saat dia duduk di depan Wooseok yang terlihat baru selesai makan.

“Siap, Bang Wei. Kagak pake kacang yak.” jawab si abang-abangnya, sudah dibilang kan, dia mah terkenal.

“Ushin..” sapanya sambil tersenyum, “Akhirnya ketemu ya. Wasafnya kok gak dibales?”

Wooseok sedikit merutuk dalam hatinya, kok ketahuan. Padahal tadi ia sempat melihat Wei yang sedang bicara dengan orang, kirain mau pergi itu mereka berdua.

“Maaf, aku gak ada kuota, belum beli.”

Wei tertawa kecil melihat wajah Wooseok yang sedikit cemberut, “Oh.. btw ini dikasih tahu kang parkir kalau kamu penasaran Bang Wei tahu kamu ada disini.” ucapnya yang membuat Wooseok meringis, entah dia beneran atau cuma bercanda.

“Mamanya belum selesai belanja? tadi Bang Wei lihat lagi di toko bahan kue gitu.” Wei menopang dagunya dan dengan terang-terangan menatap Wooseok yang sudah cukup lama tidak terlihat, sibuk sih udah kerja.

“Belum, masih lama kayaknya. Banyak yang harus dibeli.” balas Wooseok sambil menatap Wei di depannya, ia menarik sedikit sudut bibirnya untuk mengulas senyum tipis, “Martabak yang waktu itu.. makasih ya.”

Wangi, simpul Wooseok tanpa perlu berpikir panjang tentang sosok di depannya ini. Kadang ia berpikir, Wei pakai parfum sebanyak apa sih sampai wangi banget.

Diantara keempat orang berwajah serupa itu, Wei adalah orang pertama yang dikenalnya. Dia sudah cukup lama tahu “Bang Wei,” namun mereka biasanya hanya berpapasan atau Wooseok yang sadar diperhatikan tanpa benar-benar bertegur sapa.

Baru akhir-akhir ini saja Wei mengajaknya kenalan.

“Sama-sama. Mamanya sering buat kue, ya?” tanya Wei sesaat setelah satu mangkuk bubur tersaji di depannya, kemudian diaduk.

Oke bagus ternyata mereka satu tim, Wooseok tanpa sadar membatin melihatnya.

“Iya, bang. Buat dessert box. Suka ada yang pesan orang deket-deket sih, belum sampai punya nama.”

Wooseok menjawab pertanyaan Wei, yang bertanya mengangguk paham sambil menyuap makanannya, “Ushin mau lagi? pesen aja.” tawarnya yang langsung ditolak, “Udah kenyang, makasih.”

Oke, Wei sebenarnya tidak semenyebalkan itu. Dia baik hanya saja suka jahil dan menggodanya.

“Yang kayak dessert box viral itu, ya? yang katanya mau meninggal kalau makan itu.” Wooseok mengangguk sambil membenarkan kacamata, lucunya kelewatan.

Jujur, Wei agak menyesal tidak mengajaknya kenalan dari dulu sejak dia lihat di parkiran pertama kali.

“Bang Wei pesen kalau gitu, 6 ya? Besok diambil ke rumah.”

Wooseok langsung memasang wajah cerah mendengarnya, rejeki buat Mamanya, “Boleh, bang. Nanti aku kirim foto variannya ya? biar milih. Ada banyak.”

Melihat wajah cerah Wooseok, Wei tanpa bisa ditahan tertawa kecil, dia berdehem sebentar sebelum minum teh hangat yang disediakan di atas meja.

“Tapi, kayaknya kalau Bang Wei makan kue buatan Mama kamu, bukan kayak mau meninggal deh shin rasanya..” pemuda jangkung itu menjeda sambil mengambil kerupuk di dalam toples yang ada di sana kemudian menggigitnya yang menimbulkan bunyi.

Wooseok menaikan satu alisnya sambil menunggu lanjutan kalimat Wei, mata bulatnya menatap penasaran, “Apa?” tanyanya.

”...kayak mau dijadikan mantu.” ujarnya langsung setelah selesai menelan makanannya. Dia menaik turunkan kedua alisnya membalas tatapan Wooseok, ada senyum jenaka di sudut bibirnya.

Tuh kan! nyebelin.

Kang gombal!

Tingkahnya itu membuat Wooseok memutar bola matanya, hampir saja dia terbatuk.

“Apasih, Bang Wei. Gak lucu tahu!”

Wei hanya tertawa menanggapi perkataan Wooseok. Dia kemudian menyimpan sendoknya dan merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel.

Ponsel mahal tentu saja, juragan kios. Lebih mahal dari punya Wooseok.

Tidak lama ponsel Wooseok bunyi, terdapat sebuah pesan masuk yang membuatnya melotot dan langsung menatap Wei.

“Bang Wei ini ngirim aku pulsa? lima ratus ribu?????”

“Buat beli kuota, biar pesan Bang Wei dibales sama kamu.”

Wooseok menjatuhkan rahangnya, gila!!!! GAK GITU HEI

Ia secepat mungkin menggelengkan kepalanya untuk menolak, “Ih apaan, bang. Gak usah. Ini caranya transfer pulsa gimana? aku mau balikin.” katanya cepat dengan sedikit panik, pandangannya menatap Wei yang justru terlihat santai.

“Bang Wei... gimana caranya aku gak tahu.” Wooseok menggigit bibirnya masih menatap Wei, sumpah kok jadi gini sih.

“Gimana, bang?” keukeuhnya masih bertanya.

Wei menghela napas pendek dan menahan tangan Wooseok yang sedang memegang ponselnya sendiri.

“Jangan dibalikin. Itu buat Ushin. Anggap aja rejeki anak soleh yang udah nganterin Mamanya pergi belanja.”

“Tapi ini banyak-”

“Sstt... kamu bawel banget ya ternyata.” Wei memotong perkataan Wooseok sambil sedikit memajukan duduk agar bisa mengusak puncak kepalanya dan kemudian terdengar tertawa kecil saat Wooseok hanya terdiam mematung dengan wajah kaget dan mulut merapat.

“Wajah kamu, merah. Ushin makin gemes.” katanya pelan lalu melanjutkan makannya dengan santai.