xxxxweishin

Februari, 2013

“Bangsat! Gue bingung banget sumpah, woo.”

Jinhyuk mengusap wajahnya dengan gusar sambil menatap sosok di depannya yang baru datang sambil memasang wajah tidak mengerti dengan perkataan Jinhyuk. Datang-datang sudah disambut dengan kata bangsat.

Mereka berdua janjian di salah satu tempat makan yang kebetulan tidak terlalu ramai di jam lima sore ini.

“Bingung kenapa? Lo kenapa Jinhyuk? tiba-tiba minta ketemu sama gue, tumben banget.”

Jinhyuk menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan bahu yang terkulai lemas. Kekalutan jelas terlihat di wajah pria berusia dua puluh lima itu. Dia menghembuskan napas kasar sambil lagi-lagi mengusap wajahnya.

“Gue ngehamilin anak orang.”

“Sumpah? brengsek lo gak nanggung-nanggung emang ya, Lee Jinhyuk. Gimana bisa lo tiba-tiba ngajak gue ketemu terus bilang habis ngehamilin anak orang. Gak ada berita yang lebih bagus dikit apa.” nada terkejut jelas terselip di awal kalimatnya.

Jinhyuk meneggakkan duduknya kembali dan menatap serius pada sosok di depannya.

“Sorry, tapi gue beneran gatau harus cerita ke siapa. Gue langsung kepikiran sama lo, cuma lo yang bisa gue percaya, Seungwoo.”

Seungwoo menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang, “Ya udah mau gimana lagi, lo tinggal tanggung jawab atas kelakuan lo, hyuk. Masalah kelar.”

“Maksud lo, gue harus nikahin dia? gila aja, gue juga baru ketemu sekali, woo. Gue bahkan gak kenal sama dia, dimana rumahnya, siapa emak bapaknya.” Jinhyuk memijat keningnya terlihat frustasi, “..ditambah gue juga punya pacar.”

Kali ini Seungwoo benar-benar tidak bisa menahan untuk tidak berdecak keras sambil tangannya memukul meja saat mendengar perkataan bodoh dari temannya itu, “Goblok beneran, goblok.” serunya tidak habis pikir.

“Sumpah lo temen gue paling bego, hyuk. Terus kenapa lo gak pake pengaman kalau lo mau ONS? emang lo penebar benih apa, sembarangan banget.” Seungwoo menggelengkan kepalanya dengan kening mengernyit.

“Dan lo punya pacar tapi bisa-bisanya ya kayak gitu sama yang lain, emang dasar brengsek. Lo gak mikir jauh, darimana lo tahu kalau orang itu bersih?” ujarnya semakin geram, “Sejak kapan lo tahu dia hamil?”

Mendengar rutukan Seungwoo dan pertanyaan bertubi-tubi untuknya, Jinhyuk hanya mendecih pelan sambil diam-diam ikut merutuki dirinya sendiri yang sudah ceroboh.

Dia pikir kelakuannya tidak akan berakibat sampai sejauh ini, oh ayolah kemungkinannya sangat kecil karena mereka hanya melakukannya sekali. Apalagi beberapa minggu ini tidak ada telepon apapun, dan Jinhyuk menganggap semuanya hanya angin lalu, kesenangan sesaat. Aman.

Dulu memang Jinhyuk pernah memberikan nomornya pada Wooseok, padahal kalau dipikir itu bukan kebiasaan Jinhyuk sekali yang gampang memberikan nomor ponselnya.

Tapi, entah mengapa kali itu Jinhyuk benar-benar memberikan nomornya, untuk berjaga-jaga, katanya.

Halah, berjaga-jaga sialan. Kepalanya benar-benar terasa akan pecah saat tadi pagi dia baru bangun tidur mendapati nomor asing yang menelpon dan memberitahu kabar yang membuatnya berhasil jatuh dari tempat tidur.

Jinhyuk kemudian memasang wajah serius lagi dan menumpu kedua tangannya di atas meja, menatap Seungwoo yang masih memasang wajah 'gak habis pikir gue sama lo'

“Gue juga baru tahu tadi pagi, woo. Dia nelpon gue dan minta ketemu. Dia bersih.. karena baru pertama kali. Lo besok sibuk gak? temenin gue ketemu dia. Gue gatau anjir harus gimana besok.”

Seungwoo hanya bisa kehabisan kata menghadapi tingkah Jinhyuk. Dia mendengus kasar, “Cupu lo, giliran kayak gini aja minta gue temenin. Tapi, serius, hyuk. Lo bakal tanggung jawab kan?”

Sambil mengacak rambutnya, Jinhyuk mengangkat bahu, “Udalah nanti biar gue pikirin lagi. Yang penting ketemu dulu sama anaknya.”

Dan keesokan harinya Jinhyuk tidak menduga dia akan mendapatkan bogem mentah bertubi-tubi di kedua rahangnya begitu dia memasuki sebuah cafe tempat mereka janjian untuk bertemu.

Tubuh Jinhyuk terhuyung keras hingga pinggangnya menabrak meja. Seungwoo seperti orang kesetanan tidak memikirkan dimana sekarang mereka berada. Bahkan keduanya sudah menjadi tontonan gratis bagi pengunjung cafe yang lainnya, tidak lupa beberapa jeritan tertahan yang juga bisa terdengar saat Seungwoo berkali-kali menghajar Jinhyuk.

“Bang... udah bang! Lo bisa bikin dia mati.”

Seungwoo seakan menulikan telinga ketika mendengar suara Seungyoun yang mengingatkannya.

Siang ini dia dibuat kaget saat melihat Wooseok dan Seungyoun berada di cafe yang sama dengannya yang sedang menunggu Jinhyuk. Saat ditanya sedang apa, adiknya itu hanya bilang sedang menunggu seseorang dan Seungyoun menemaninya.

Otak Seungwoo langsung bisa memproses dengan cepat ketika Wooseok menatap Jinhyuk yang baru memasuki cafe. Detik itu, hal yang tidak pernah sedikitpun terpikirkan oleh Seungwoo benar-benar terjadi.

Jinhyuk mengajaknya bertemu Wooseok dan Wooseok disana sedang menunggu Jinhyuk.

Darah segar bisa terlihat jelas mengalir dari kedua sudut bibir Jinhyuk serta tulang pipinya yang memerah “hasil karya” tangan Seungwoo.

Diantara kebingungannya Jinhyuk mencoba membalas dan kepalan tangannya berhasil mengenai rahang kanan Seungwoo.

Namun, Jinhyuk langsung mengerang ketika punggungnya membentur lantai dengan keras ketika Seungwoo mendorongnya.

“Bangun lo, anjing!”

Demi Tuhan, untuk pertama kalinya Jinhyuk melihat wajah Seungwoo yang mengeras dan menatapnya sangat tajam dengan napas memburu. Kedua tangannya dengan kuat mencengkram kerah kemeja Jinhyuk.

Jinhyuk bahkan bisa mendengar Seungwoo yang menggertakkan gigi dengan penuh amarah sebelum berbicara.

“Gue gak perduli lo mau brengsek kayak gimana pun. Tapi, jangan sama adek gue, bangsat!”

Sekali lagi, Seungwoo melepaskan tinjunya ke rahang Jinhyuk hingga membuat telinga Jinhyuk berdengung keras dan kepalanya yang terasa berputar.

Dengan susah payah sambil mengusap darah di ujung bibirnya dan merintih kesakitan, Jinhyuk menatap tidak percaya pada sosok mungil yang sedang berdiri kaku sambil menutup mulutnya dan menatap ke arah mereka berdua yang masih terduduk di lantai.

“W-Wooseok.. adek lo?”

Wooseok masih terdiam dengan wajah kaget melihat kejadian barusan saat Seungwoo menghajar Jinhyuk habis-habisan, tubuhnya sedikit terhuyung di dalam rangkulan Seungyoun yang mencoba menenangkannya.

if you're happy and you know it, clap your hands

if you're happy and you know it, and you really want to show it

if you're happy and you know it, clap your hands

if you're happy and you know it, stomp your feet ...

Jinu meloncat-loncat di atas sofa ruang tv sambil bernyanyi mengikuti lagu anak-anak yang sudah diputar sejak tadi pagi oleh Wooseok. Nadanya terdengar berantakan dan dia hanya mengikuti kata akhirnya saja yang diucapkan dengan lantang, sedangkan kalimat awalnya hanya digumamkan tidak jelas. Namun, justru hal itu lah yang membuat Wooseok yang berada di dalam kamar tertawa bahagia mendengarnya.

“Papa, clap your hands...”

Dan tawa senang Jinu akan bergema mengisi ruang tv yang tidak begitu besar itu saat mendengar Wooseok bertepuk tangan sesuai perintahnya.

Hari Sabtu-Minggu adalah hari favorit mereka berdua, Jinu libur sekolah dan Wooseok juga libur bekerja. Mereka bisa menghabiskan waktu seharian berdua di rumah, Wooseok akan menemani Jinu yang menyusun lego dan bermain slime atau kalau bosan mereka bisa bersepeda keliling komplek.

Beda lagi kalau Dodo menelpon, anak itu pasti merengek pada Papinya untuk berjalan-jalan ke luar dan mereka akan berakhir dengan bermain bersama di Trampoline Park serta makan siang sambil sibuk memilih mainan dari Happy Meal.

“Jinu sini pakai baju dulu, sayang.” Wooseok terdengar memberitahu dengan suara yang sedikit naik karena volume tv yang cukup kencang.

Jinu tidak mengindahkan ucapan Papanya, dia masih sibuk menyanyi dan mencoba menjentikkan jari mungilnya mengikuti apa yang dilakukan tokoh animasi anak-anak di dalam tv yang lirik lagunya berbunyi if you're happy and you know it, snap your fingers.

Anak itu bersenang-senang sendiri dengan hanya menggunakan sempak bergambar Spiderman. Saat ini jarum jam menunjukan pukul sepuluh pagi dan Jinu baru selesai mandi. Belum sempat memakai baju, anaknya sudah berlarian meninggalkan kamar.

Oh iya, Jinu begitu menyukai tokoh super hero Spiderman. Dari mulai tas sekolah, baju, topi, buku mewarnai, lego dan segala pernak-perniknya hampir semua tentang manusia laba-laba satu ini. Bahkan Seungwoo membelikannya action figure yang sangat disukai Jinu ketika ulang tahunnya kemarin. Sampai saat ini hadiah dari Seungwoo menjadi mainan favoritnya, Dodo pun tidak boleh memegangnya. Jinu bahkan menyimpannya di kamar tidur mereka, tidak di kamar mainannya.

“Papa ada bel bunyi.”

Langkah kecil Jinu berlari ke dalam kamar untuk memberitahu Papanya. Wooseok yang sedang membereskan lemari pakaian langsung berdiri dan berjalan menyusul Jinu yang sudah berlari duluan ke arah pintu, biasanya yang berkunjung di hari libur itu Seungwoo dan Byungchan.

“Jinu malu, lho. Ada Om Chan masa gak pakai baju.”

Jinu hanya terkikik geli mendengar perkataan Papanya, dia malah tertawa senang karena Byungchan selalu memanjakannya dengan berbagai jajanan, belum lagi Seungwoo yang pasti akan membawa mainan kalau berkunjung.

“Jinu mau ketemu Om Chan! Mau jajan es krim!!!” katanya bersemangat sambil meloncat-loncat tidak sabar menunggu Wooseok membuka pintu.

Dengan tawa yang tidak bisa disembunyikan melihat tingkah bersemangat anaknya, Wooseok membuka pintu rumahnya yang terkunci dengan perlahan. Namun, seketika tubuhnya terasa membeku. Tawanya langsung hilang dalam sekejap digantikan dengan bibir yang terkatup rapat membentuk garis lurus.

Alih-alih Byungchan dan Seungwoo yang dilihat Wooseok justru sosok lain.

Lee Jinhyuk yang beberapa tahun ini tidak pernah Wooseok lihat batang hidungnya sekarang sedang berdiri tepat di depan matanya, di rumahnya.

“Wooseok...”

Panggilan Jinhyuk berhasil menarik kembali kesadaran Wooseok yang sempat hilang beberapa saat lalu. Kakinya tanpa sadar mundur perlahan, namun tangan Jinu yang memegang erat ujung kaosnya membuat langkah Wooseok tertahan, dia menunduk cepat untuk menatap putranya itu kemudian menghela napas dalam dengan berbagai hal yang berkecamuk di dalam pikirannya.

Jinu bersembunyi di balik kaki Wooseok saat menatap orang yang berdiri di hadapan mereka, anak itu mengenal betul siapa dia.

Itu om tinggi yang pernah menemuinya dua kali di sekolah, pertama dia mengaku sebagai Ayahnya, yang kedua dia memberinya sebuah mainan yang hingga sekarang bahkan belum Jinu buka karena om tinggi itu tidak kembali lagi ke sekolah dan Jinu tidak bisa mengembalikannya.

“Papa..” cicitnya pelan.

Jinhyuk mengalihkan tatapannya dari Wooseok ketika mendengar sebuah suara yang bercicit pelan dari balik tubuh Wooseok. Dia tersenyum kecil melihat Jinu yang terlihat malu atau takut? anak itu bersembunyi di belakang kaki Wooseok. Jinhyuk kemudian membawa tubuh jangkungnya untuk berjongkok agar sejajar dengan Jinu yang hanya menyembulkan sedikit wajahnya.

Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan binar bahagia sekaligus geli di kedua bola matanya saat melihat Jinu yang hanya memakai sempak, tampak segar seperti baru saja mandi.

“Hai.. kita ketemu lagi, jagoan.” sapanya lembut.

Mendengarnya, Wooseok hanya bisa memejamkan mata sambil berpegangan pada pintu. Beruntung tubuhnya tidak sampai limbung kali ini. Ucapan Jinhyuk barusan membuktikan bahwa Jinhyuk benar-benar pernah menemui Jinu sebelumnya dan sekarang dia datang ke rumah mereka.

Wooseok berusaha mengatur napasnya yang memburu agar kembali tenang.

“Kak Jinhyuk tahu darimana rumah aku?”

Wooseok berusaha susah payah agar suaranya tidak bergetar, dia juga masih tahu sopan santun untuk memanggil Jinhyuk dengan embel-embel Kakak karena usia Jinhyuk memang berbeda tiga tahun dengannya.

Oh, harusnya Wooseok tidak usah kaget saat Jinhyuk tiba-tiba datang seperti ini. Jinhyuk bahkan sudah mengetahui sekolah Jinu sejak sebulan lalu, bukan hal yang tidak mungkin bagi Jinhyuk untuk mengetahui rumahnya juga.

Jinhyuk menghela napas mendengar nada tajam yang dilontarkan oleh Wooseok kepadanya, dia mendongak untuk membalas Wooseok yang menatapnya tidak bersahabat, “Aku nyari sendiri, Wooseok.” jawabnya.

Pandangannya kembali pada sosok kecil yang masih tidak mengerti dengan obrolan diantara kedua orang dewasa ini. Tangan Jinu masih memegang ujung kaos Wooseok dan memeluk kakinya.

“Jinwoo... ini. Ayah bawa hadiah buat Jinwoo.”

Jinhyuk memegang paper bag cukup besar dan menunjukannya pada Jinu. Belum ada satu menit Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan raut kecewanya karena Jinu hanya menatapnya diam sambil tetap bersembunyi di balik kaki Wooseok.

Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya, “Gak boleh kata Papa. Jangan sembarangan nerima dari orang asing.” cicitnya kemudian yang membuat Jinhyuk mengulas senyum, “Ini dari Ayah buat Jinwoo. Jadi, Jinwoo gak usah takut, ya.”

“Tapi om tinggi bukan Ayah Jinu.”

Jinhyuk seperti ditampar mendengar perkataan yang baru saja keluar dari bibir mungil anaknya. Dia terdiam sebentar sebelum pandangannya menatap Wooseok menuntut penjelasan, bagaimana bisa Jinu berbicara seperti itu kepadanya, “Wooseok?” panggilnya.

Wooseok lagi-lagi memejamkan matanya, jauh di dalam hatinya dia ingin bersikap egois, sekali saja. Wooseok tidak ingin berbagi Jinu dengan Jinhyuk. Mereka sudah terbiasa saling memiliki satu sama lain, hanya berdua.

Beruntung Wooseok masih bisa berpikir jernih untuk mengesampingkan ego nya saat ini.

Jinu berhak tahu siapa Ayahnya.

Wooseok tidak bisa membohonginya saat ini, Wooseok tidak bisa membuatnya semakin sedih karena tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah selama hidupnya.

Wooseok tidak bisa melihat Jinu yang terkadang dia tahu, anaknya merasa iri dengan Dodo yang selalu dimanjakan oleh Papinya.

Wooseok tidak bisa terus-terusan membuat Jinu menunggu Ayahnya yang dia kira sedang bekerja di tempat yang jauh.

Jinhyuk bisa melihat perubahan raut wajah Wooseok ketika menatapnya dan saat menatap Jinu. Raut wajahnya melembut, berbeda sangat jauh.

Dengan sedikit berat hati Wooseok perlahan ikut menurunkan tubuhnya dan mensejajarkan tingginya dengan Jinu, tangannya bergetar saat memegang pipi tembam Jinu, dia mengulas senyum paling hangat yang pernah Jinhyuk lihat dari seorang Kim Wooseok.

“Jinu, sayang... salim dulu sama Ayah, ya.”

Suaranya tercekat di tenggorokan, Wooseok masih tidak percaya akhirnya dia mengucapkan kalimat itu.

Menyuruh Jinu untuk menyalami Ayahnya.

Mendengar permintaan Papanya, Jinu menatap ragu pada Jinhyuk yang masih memandanginya. Dengan dituntun oleh Wooseok kaki mungilnya melangkah pelan ke depan pintu dan berdiri tepat di hadapan Jinhyuk.

“Salim nak... sama Ayah Jinhyuk.” bisik Wooseok lirih sambil mengusap punggung telanjangnya.

Jinu anak baik, dia menurut pada Papanya. Tangannya terulur untuk memegang telapak tangan Jinhyuk dan dia kemudian mencium punggung tangan Ayahnya itu untuk salim.

Detik itu, Jinhyuk merasakan perasaan asing yang membuat hatinya penuh sesak saat tangan mungil Jinu menggenggam tangannya, menciumnya khas anak kecil yang dibuat berbunyi.

“Om tinggi beneran Ayah Jinu?” tanyanya dengan memasang wajah menelisik, khas Wooseok sekali.

Jinhyuk hanya mengangguk, walaupun panggilan Jinu kepadanya sedikit membuat dia bingung, om tinggi?

Tangan Jinhyuk tiba-tiba merasa segan saat akan memegang pipi tembam Jinu dan mengusap puncak kepalanya, “Ayah boleh peluk Jinwoo?” tanyanya kemudian dengan penuh harap.

Sebelum menjawab, Jinu menoleh ke arah Wooseok seakan meminta izin dari Papanya. Wooseok hanya mengangguk kecil dan Jinu kembali mencicit, “Kata Papa boleh, om.”

Wooseok bisa melihat bahu Jinhyuk yang perlahan mulai bergetar saat memeluk Jinu. Tubuh mungil Jinu berada sepenuhnya di dalam rengkuhan lengan Jinhyuk.

Itu merupakan pemandangan yang benar-benar asing sekaligus haru yang pernah Wooseok lihat.

Jinu berada di pelukan hangat Ayahnya.

Jinu tidak protes saat Jinhyuk memeluknya erat, tangan mungilnya hanya terdiam di kedua sisi tubuhnya tanpa membalas memeluk. Namun, Jinhyuk tidak mempermasalahkannya. Dengan Jinu mau dipeluk oleh nya saja dia sangat bersyukur, teramat bersyukur.

“Ayah kangen banget sama Jinwoo.” bisik Jinhyuk berkali-kali sambil menciumi kepala Jinu, “Ayah kangen anak Ayah..”

Wooseok tidak tahan, dia terduduk meluruh di atas lantai sambil punggungnya bersandar di daun pintu. Ketiganya tidak repot-repot berpindah untuk masuk ke dalam terlebih dahulu.

Wooseok terisak pelan sambil menggigit bibir bawahnya, hatinya merasa sesak mendengar setiap kata rindu yang diucapkan oleh Jinhyuk untuk Jinu dan ada sedikit lega yang terselip.

“Om sudah gak kerja? Kata Papa, Ayah Jinu kerjanya jauh, jadi gak bisa pulang.”

Mendengar pertanyaan yang begitu polos dari anaknya membuat Jinhyuk semakin memeluk erat tubuh mungil Jinu, kali ini dia mengucap maaf berkali-kali.

“Ayah minta maaf, Ayah minta maaf sama Jinwoo.. Ayah minta maaf gak pernah pulang buat ketemu Jinwoo.”

Tangan Jinhyuk mengusap pipinya yang sudah basah, dia mencoba tersenyum untuk memandang anak semata wayangnya, memegang kedua bahu mungilnya, menatap setiap inchi dari parasnya yang hampir semuanya sangat mirip dengan Wooseok, hanya alis tebal dan garis hidungnya yang Jinhyuk akui sangat mirip dengannya.

“Jinwoo sudah besar, sayang..” gumamnya sambil mengelus kedua pipi Jinu, “Maaf, Ayah minta maaf sama Jinwoo, ya. Ayah janji, Ayah gak akan pergi jauh lagi.” ujarnya.

Jinu hanya mengangguk polos mendengar permintaan maaf Ayahnya, dia kemudian menoleh ke arah Papanya dan langsung melepaskan diri dari Jinhyuk.

Anak polos itu bertanya panik saat melihat Papanya yang sedang menangis, “Papa kenapa nangis?” tangan mungilnya langsung melingkar di leher Wooseok dan tidak lama dia ikut menangis.

“Papa.. jangan nangis hiks...” katanya susah payah sambil terisak di bahu Wooseok.

Jinhyuk merasakan matanya yang kembali memanas melihat perlakuan Jinu kepada Wooseok, Jinhyuk tahu ikatan batin keduanya yang sudah begitu kuat. Dia bahkan tidak berani mendekat karena masih ada benteng tinggi yang membatasi dirinya dengan Wooseok.

Wooseok yang terduduk dengan Jinu di pangkuannya mencoba berdiri dengan berpegangan pada pintu. Dia dengan cepat menenangkan dirinya dan menepuk-nepuk punggung Jinu sambil terus mengulang kata yang sama, “Papa gapapa. Jinu jangan nangis. Papa gak nangis.”

Namun, tangis Jinu malah semakin kencang sambil memeluk erat lehernya, bahkan hingga sesegukan.

“Sudah ya, sayang. Jinu anak baik gak boleh nangis.”

Wooseok berjalan memasuki rumah karena takut suara tangis Jinu menganggu tetangganya.

Sedangkan Lee Jinhyuk meragu saat dirinya sudah berdiri, dia masih terdiam di depan pintu, haruskah dia ikut masuk?

Seakan baru ingat, Wooseok menoleh dan menatap Jinhyuk yang masih di tempatnya, “...kalau Kak Jinhyuk mau masuk, tolong tutup pintunya, suara Jinu kedengeran ke luar.” ucapan Wooseok membuat Jinhyuk lekas membawa paper bag nya dan membuka sepatunya, dia melangkahkan kaki memasuki rumah sederhana ini serta menutup pintunya.

Jinhyuk berjalan canggung melihat keseluruh isi rumah, netranya langsung bisa melihat beberapa bingkai foto yang terpasang di dinding maupun di dalam lemari kaca yang membatasi ruang tamu dan ruang tv.

Foto dari mulai Jinu masih bayi yang tertidur di atas stroller, ketika Jinu tengkurap dengan kepala yang botak dan hanya memakai pempers, ketika Jinu belajar berjalan dan ada Wooseok yang menuntunnya dari belakang.

Ada pula foto ketika di kebun binatang disana Jinu berpelukan sambil tertawa dengan anak yang waktu itu Jinhyuk lihat, anaknya Seungyoun. Foto Jinu dengan kedua om nya, Seungwoo dan Byungchan. Serta masih banyak lagi, Wooseok banyak mengabadikan moment-moment kebersamaanya dengan Jinu.

Dan yang membuat Jinhyuk semakin nelangsa saat dia melihat foto kelulusan Jinu dari TK. Jinu memakai toga dan hiasan kumis yang tampak lucu dengan Wooseok yang memeluknya dari belakang. Mereka tersenyum lebar begitu bahagia, dibawahnya tertulis jelas nama lengkap Jinu beserta kelasnya.

Jinhyuk mengusap kembali sudut matanya yang terasa hangat, melihat ini semua begitu menyesakkan, seakan palu besar benar-benar menghantam ulu hatinya dengan keras.

Sudah selama ini Jinhyuk begitu jauh dengan anaknya.. atau bahkan mungkin tidak pernah dekat sedari awal. Jinhyuk hanya bisa tertawa miris di dalam hatinya.

Suara Jinu yang masih menangis kembali membuat Jinhyuk mengalihkan tatapannya. Wooseok masih berusaha menenangkan Jinu. Mendengar suara tangisan Jinu membuat Jinhyuk menengadah untuk menghalau air matanya sendiri.

“Sayang... sudah, ya. Papa gak nangis. Jinu jangan nangis, nanti Papa sedih.”

Wooseok mengelus-ngelus punggung telanjang Jinu dengan penuh kesabaran. Jinhyuk bisa melihat Wooseok yang mencoba tegar untuk dirinya sendiri agar Jinu tidak melihatnya saat menangis.

“Pakai baju dulu, ya? Nanti Jinu masuk angin kalau sambil nangis begini.” Jinu tidak menjawab, anak itu hanya sesegukan di bahu Wooseok, “Malu dilihat Ayah. Masa Jinu nangis pas ada Ayah.” Wooseok masih mencoba menenangkan anaknya.

“Jinu sama Ayah dulu sebentar ya, sayang? Papa mau ambil baju sama kayu putih.”

Wooseok perlahan berjalan menghampiri Jinhyuk yang masih berdiri kaku di depan beberapa bingkai foto.

Jinhyuk memang seorang Ayah, statusnya saja. Fakta yang lagi-lagi menamparnya karena kenyataannya dia tidak pernah mengurus Jinu dan dia tidak tahu harus berbuat apa saat ini.

Wooseok memandangnya dengan tatapan putus asa sambil terus menenangkan Jinu. Dia menarik sudut bibirnya mengulas senyum sumbang saat melihat Jinhyuk yang hanya terdiam.

“Sama Ayah, mau? Jinu kan belum pernah digendong sama Ayah, iya?”

Jinhyuk tahu Wooseok bukan sedang menyindirnya. Miris, tapi itu memang sebuah kenyataan.

Jinhyuk meletakan begitu saja paper bag nya di lantai. Tangannya walaupun ragu dengan perlahan terulur untuk mengambil alih Jinu yang memeluk leher Wooseok sambil terisak.

“Jinwoo.. sama Ayah dulu, ya? Biar papa bisa ngambil baju dulu.” Jinhyuk berucap lembut membujuk anaknya.

Dengan sedikit usaha, Wooseok berhasil memindahkan Jinu ke pelukan Jinhyuk. Tangan mungil itu perlahan memeluk leher Jinhyuk dengan erat dan tangisnya entah mengapa semakin kencang di bahu Ayahnya.

“Jinwoo gak boleh nangis, nanti main sama Ayah, ya?”

Jinhyuk mengusap-ngusap lembut punggung serta kepala Jinu seperti apa yang dilakukan oleh Wooseok tadi. Dia juga membisikkan kata-kata menenangkan berulangkali.

“Sekarang ada Ayah.. Jinwoo jangan nangis lagi.”

“Jagoan gak boleh nangis.”

“Ayah bawa mainan buat Jinwoo.”

Jinu kalau sedang rewel memang begini dan sudah lama dia tidak menangis lama seperti ini.

Namun, saat melihat Jinu berada di pelukan Ayahnya, Wooseok tahu Jinu bukan menangis tanpa alasan karena Wooseok bisa melihat jelas Jinu yang memeluk erat Jinhyuk serta bibir mungilnya yang bergetar terus menggumamkan kata Ayah dengan sangat lirih.

Jinu yang malang, untuk pertama kalinya anak baik itu menangis dipelukan Ayahnya.

Wooseok berjalan ke dalam kamar sambil mengusap pipinya yang tanpa sadar sudah basah oleh air matanya lagi. Dadanya begitu sesak melihat Jinu yang merindukan Ayah yang bahkan baru pertama kali dikenalnya itu.

“Aku ngambil baju Jinu dulu.”

Wooseok berkata sambil lalu kepada Jinhyuk yang menatap punggungnya dengan pandangan yang sulit diartikan namun sarat akan rasa bersalah.

“Papa?”

Wooseok yang sedang memasang kancing seragam baju Jinu hanya berdehem pelan dalam memberi respon. Anak yang baru berusia genap tujuh minggu lalu itu mengerucutkan bibir mungilnya merasa tidak puas dengan reaksi Wooseok untuknya yang hanya berdehem.

Seakan paham dengan responnya yang kelewat datar, Wooseok kembali mengulangi, “Kenapa, sayang?” akhirnya dia bertanya dengan melembutkan nada suaranya, tangannya kali ini sibuk memasangkan celana bermotif kotak-kotak berwarna hijau tua sebatas lutut serta memasangkan sabuknya. Kemudian tubuh Jinu diputar oleh Wooseok sekedar memastikan bagian depan dan belakang seragamnya sudah terpasang rapi.

“Mau ditungguin sekolahnya sampai selesai..”

Jinu berbisik ragu membuat Wooseok yang kali ini sedang menyisir rambutnya terdiam sebentar lalu menaikan alisnya, “Kenapa? kan Jinu sudah mau dua bulan masuk sekolah dasar. Kok masih mau ditungguin?” tanyanya penasaran.

Sang anak hanya menggelengkan kepalanya dengan wajah merajuk, mata bulatnya tiba-tiba berkaca-kaca menatap Wooseok dan bibirnya bergetar, “Jinu.. mau ditungguin.. sama Papa..” katanya dengan suara tercekat.

Kaget melihat reaksi Jinu yang akan menangis, Wooseok langsung memeluknya dan menggendong sambil mengusap-usap punggungnya dengan lembut, “Iya.. iya.. Papa tungguin nanti, ya.” bisiknya menenangkan membuat Jinu menganggukkan kepalanya. Walaupun bingung, Wooseok memilih mengiyakan terlebih dahulu daripada Jinu menangis dan malah tidak mau sekolah, bisa repot urusannya.

“Jangan nangis, Jinu sekarang sudah bukan anak tk lagi.”

Wooseok berkata sambil membawa tas sekolah Jinu yang sudah disiapkan di atas tempat tidur. Masih sambil menggendong Jinu dia kemudian berjalan ke luar kamar menuju meja makan dan menurunkan anaknya agar duduk di atas kursi.

Terlihat di atas meja makan sudah tersedia roti tawar dengan selai coklat dan seres kesukaan Jinu untuk sarapan yang sudah Wooseok siapkan sejak Jinu mandi. Jinu memang sangat menyukai coklat dan anehnya dia tidak mempunyai gigi bolong karena Wooseok rajin membawanya ke dokter gigi sejak kecil.

“Jangan nangis lagi, ya?” pintanya saat Jinu sudah duduk sambil mengusap pipinya yang basah. Tangan Wooseok secara spontan ikut mengusapnya dengan lembut, dia bahkan tidak sadar Jinu sudah mengeluarkan air matanya.

“Papa marah?”

Jinu bertanya pelan dan matanya memandang Wooseok penasaran. Ditanya seperti itu Wooseok langsung menggelengkan kepalanya, dia berjongkok di samping kursi yang diduduki oleh Jinu. Tangannya mengusap-ngusap pipi tembam Jinu dengan sayang, memberinya senyum hangat yang menenangkan.

“Papa gak marah sama sekali. Jinu gak nakal, Papa cuma mau Jinu jangan nangis. Terus besok sekolah sendiri, ya? Papa anterin tapi jangan ditungguin. Kan sekelas sama Dodo, Jinu gak sendirian.”

Senyum Wooseok semakin lebar saat Jinu mengangguk kecil dan kemudian memeluk lehernya erat.

“Besok dijemput sama mbak, ya? kan Papa harus kerja biar Jinu bisa beli mainan.”

“Iya, Papa. Besok Jinu sama mbak.”

“Anak pinter, Jinu anak Papa.”

Wooseok tertawa kecil mendengar nada suara Jinu yang sedikit merajuk, terdengar sangat menggemaskan menurutnya. Wooseok melepaskan pelukannya dan langsung memberikan satu tangkup roti yang sudah diolesi selai coklat, “Ini Jinu sarapan dulu ya, sayang. Biar gak telat sekolahnya.” katanya dan Jinu hanya mengangguk patuh sambil perlahan memakan rotinya dengan gigitan kecil.

Perhatian Wooseok kali ini sepenuhnya hanya memperhatikan Jinu yang sedang makan dengan lahap terkadang selainya belepotan dan Wooseok dengan cekatan akan mengusapnya menggunakan ujung jempol tangannya dengan dibarengi sebuah tawa kecil.

Melihat keakraban di meja makan tersebut rasanya setiap orangpun akan tahu, betapa Wooseok sangat menyayangi anak di depannya ini. Jinu adalah segalanya bagi Wooseok. Tidak ada kebahagian yang lebih utama untuknya selain kehadiran Jinu di hidupnya sejak bertahun-tahun lalu.

Lee Jinwoo adalah sebuah anugerah untuknya.

“Papa boleh tahu, kenapa hari ini Jinu mau ditungguin?”

Wooseok kembali bertanya saat dia menyiapkan bekal makanan untuk Jinu ke dalam kotak makan, hanya beberapa potong sosis serta buah-buahan yang sudah dipotong-potong. Jinu tidak terlalu suka sayur, dan sudah sejak dulu Wooseok memutar otaknya agar Jinu mau makan sayur tapi tetap saja susah hingga sekarang.

Memang kalau yang satu ini, Wooseok tahu betul dari siapa Jinu menurun, Wooseok tidak bisa menampiknya.

Jinu sudah selesai sarapan, saat ini dia sedang memakan seres yang ditaruh di atas telapak tangannya. Anak itu menggelengkan kepala dan bibirnya kembali maju beberapa senti, “Papa tanya Dodo aja.” jawabnya singkat seperti tidak mau membahas hal ini semakin jauh.

Diselimuti rasa penasaran Wooseok akhirnya mengangguk mengiyakan, biar nanti saat di sekolah Wooseok akan bertanya pada bocah tembam kesayangan sahabatnya. Wooseok hanya takut terjadi hal-hal yang tidak-tidak di sekolah sehingga Jinu meminta untuk ditemani.

“Ya sudah.. ayo, berangkat. Ini pakai tasnya. Papa ambil kunci mobil dulu, ya.” Jinu langsung memakai tas tansel bergambar Spiderman nya dan berlari dari ruang makan ke depan rumah, “Jinu tunggu Papa di depan.” katanya sambil berteriak.

Melihat tingkah Jinu yang sangat bersemangat hari ini, Wooseok hanya bisa menggelengkan kepalanya, dia secepat mungkin berganti pakaian dan menyusul Jinu yang sudah memakai sepatunya dan menunggu di dekat mobil.

“Ayo berangkat, hari ini ditungguin Papa, asikkkk!!!!” katanya berseru senang saat mobil mereka mulai melaju meninggalkan rumah.

Wooseok tertawa melihat Jinu yang begitu senang karena akan ditemani olehnya seharian, satu tangannya tidak bisa ditahan untuk mengusap gemas puncak kepala Jinu walaupun sedang menyetir. Memang beberapa hari ini Wooseok juga selalu pulang hampir pukul enam sore, waktunya dengan Jinu benar-benar sangat sedikit.

Terpaksa Wooseok hari ini membolos kerja, biar saja nanti dia berbicara dengan Seungwoo. Paling juga bos sekaligus kakak sepupunya itu akan mengoceh dan ujung-ujungnya juga membiarkan, karena bagaimana pun dia juga sangat menyayangi keponakan ini.

Dulu ketika awal masuk sekolah dasar Jinu hanya butuh tiga hari untuk ditemani sampai jam pulang, Wooseok memaklumi kala itu biar bagaimana pun Jinu belum terbiasa dengan teman-temannya yang baru. Lagipula Jinu sudah tidak asing dengan sekolah, dia dan Dodo dua tahun sebelumnya sudah bersekolah di TK yang sama.

Namun, setelah dua bulan ini, Wooseok dibuat penasaran akan alasan Jinu yang sekarang. Biasanya ada mbak yang menjemput dan menemaninya di rumah hingga Wooseok pulang bekerja di sore hari, mbak yang sudah Wooseok percaya untuk mengasuh Jinu sejak anak itu berusia satu tahun, sejak Wooseok mulai bekerja.

“Sejin..”

Wooseok menyapa Sejin begitu dia turun dari mobil dan memarkirkan mobilnya. Sejin tersenyum lebar melihatnya dan kemudian senyumnya semakin lebar saat Jinu turun dari mobil dan menyapanya dengan semangat, “Halo om, hari ini aku ditungguin papa!!!” serunya dengan senyum lebar untuk pamer khas anak kecil.

“Wah beneran? Itu sama Dodo sana.” Sejin mengusak rambut Jinu dan menunjuk Dodo yang juga baru turun dari mobil.

“Jinu kalau di sekolah manggilnya Pak Guru, bukan Om Sejin.”

Wooseok mengingatkan namun sepertinya anak itu tidak repot-repot mendengarkan perkataan Papanya karena dia sibuk menghampiri Dodo yang memamerkan mainan baru di tangannya, sebuah mobil-mobilan.

“Tumben? kamu nungguin bukan mbak yang biasa jemput?”

Mendengar pertanyaan Sejin, Wooseok hanya menghela napas pendek, “Tadi Jinu tiba-tiba nangis, minta aku tungguin hari ini. Ditanya kenapa dia gak mau jawab, Sej. Aku juga bingung, malah disuruh nanya ke Dodo.” jelasnya sambil menatap kedua bocah yang sedang sibuk entah membahas apa, intinya Dodo pamer mainan baru.

Sejin mengerutkan keningnya mendengar ucapan Wooseok, setahunya kemarin tidak ada hal aneh yang terjadi pada Jinu. Walaupun Sejin bukan guru kelas satu tapi dia yakin kalau ada apa-apa wali kelas kelas satu yaitu Pak Kukun akan memberitahunya karena Sejin sudah menitipkan Dodo dan Jinu padanya.

“Coba tanya Dodo, aku jadi ikut penasaran, Seok.”

Wooseok mengangguk dan mendekati mereka berdua, Sejin juga ikut mendekat sambil mereka berjalan memasuki halaman sekolah, tangan Sejin menuntun tangan Jinu, “Jinu duluan yuk masuk kelasnya. Dodo, Om Wooseok mau ngobrol sebentar, dijawab ya.”

Jinu hanya menurut dan menoleh ke arah papanya, “Papa jangan pulang.” katanya mengingatkan dan dengan bebarengan Dodo mengacungkan jempolnya pada Sejin, “Oke, pap.”

“Papa nungguin di kantin sampai Jinu pulang.” Wooseok meyakinkan sambil tersenyum baru setelah itu Jinu balas tersenyum lebar dan mengikuti Sejin yang menunggunya dengan sabar.

“Dodo.. Om Wooseok mau tanya boleh?” Wooseok kali ini berjongkok di depan Dodo yang masih sibuk dengan mainannya, “Aku dibeliin ini sama Papi kemarin lho om, Transformer bisa berubah. Jinu mau juga katanya tadi.”

Belum apa-apa Wooseok sudah ragu dengan apa yang akan ditanyakannya pada bocah ini, “Iya mainannya bagus. Nanti Jinu juga beli yang sama kayak gini.” Wooseok mencubit gemas pipi Dodo, anak ini super sekali bandelnya seperti papinya, Seungyoun yang Wooseok kenal dari orok.

“Om Wooseok mau tanya, Jinu kemarin kenapa? Kok minta ditungguin sama Om Wooseok hari ini, katanya Dodo tahu?”

Bocah itu mengerutkan keningnya sebentar sambil memasang raut wajah bingung menatap Wooseok, emang Jinu kenapa? pikirnya.

“Jinu kenapa, om?”

Kan! anak ini malah balik bertanya membuat Wooseok semakin pusing, namanya juga anak-anak.

“Kemarin.. ada yang aneh gak sama Jinu pas di sekolah? Ada anak yang nakal sama Jinu?”

Wooseok kembali bertanya dengan penuh kesabaran, menjadi Papa selama tujuh tahun banyak sekali mengajarkannya bersabar dalam memahami setiap ucapan dan tingkah anak-anak.

Dodo awalnya menggelengkan kepala. Tapi, dia kemudian memasang wajah cerah seperti mengingat sesuatu.

“Kemarin ada om yang nyamperin Jinu waktu nunggu dijemput sama mbak. Dodo juga lagi nunggu Papi jemput. Kita duduk di situ.” telunjuk mungil Dodo menunjuk arah ayunan yang berada tidak jauh dari halaman sekolah.

Wooseok semakin mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan ucapan bocah tembam ini, “Siapa? Dodo kenal gak?”

Kepala Dodo menggeleng cepat, “Dodo gatau, cuma denger om nya bilang Ayah Jinu, om nya juga nanyain Dodo anak siapa.” jawabnya kemudian.

Dan detik itu tubuh Wooseok berhasil dibuat limbung karena perkataan yang terucap dari bibir polos anak berusia tujuh tahun.

“Aku masuk kelas dulu, nanti dimarahin Pak Kukun kalau telat. Dadah Om Wooseok!!!”

Wooseok bahkan tidak sempat membalas ucapan Dodo yang langsung berlari menuju kelasnya. Dirinya masih terdiam dengan pikiran yang dipenuhi satu nama.

Tangannya dengan cepat merogoh saku celana untuk mangambil ponsel dan menelpon Seungyoun yang dipanggilan ketiga baru diangkat dengan suara serak khas bangun tidur. Memang Papi tidak tahu malu, anak dan suaminya sudah duduk di kelas dia masih molor.

“Apa, seok? Sorry gue baru bangun nih.”

“Youn.... Jinhyuk..” bisiknya pelan sambil menggigit bibirnya.

“Hah? Jinhyuk? ngapain lo bahas dia? pagi-pagi begini lagi.” nada Seungyoun terdengar tidak bersahabat di telinga Wooseok, bahkan terdengar mendengus keras diakhir kalimatnya.

Wooseok menghela napas sambil memejamkan matanya, “Jinhyuk ketemu Jinu, tanpa sepengetahuan gue, Youn.” ujarnya.

“Anjing! Gimana bisa?”

“Dodo, barusan gue tanya anak lo. Jinu tiba-tiba minta ditungguin sekolahnya sama gue dan Dodo bilang kemarin ada yang nyamperin mereka pas pulang sekolah. Dodo bilang itu... Ayah Jinu.”

“Gila, anjing. Berani banget si bangsat dateng lagi.”

Wooseok hanya bisa memijat keningnya mendengar berbagai umpatan yang diucapkan oleh sahabatnya itu hingga telinganya sedikit pengang.

“Gue takut.. Jinhyuk... lo tahu... gue bingung.. gue gatau harus gimana, Youn bantuin gue... gue gak berani cerita sama Kak Seungwoo..” Wooseok berbicara dengan gusar sambil menggigit kukunya.

“Oke, pasti gue bantuin, Seok. Lo tenang dulu, tugas lo tungguin Jinu aja sekarang. Jinu pasti takut banget ada orang asing yang ngaku-ngaku Ayahnya kemarin makanya dia sampai minta lo tungguin hari ini.”

Wooseok mengambil napas panjang mencoba untuk tenang. Dirinya sibuk memikirkan bagaimana kemarin perasaan Jinu. Ya Tuhan, Wooseok tidak bisa membayangkan kebingungan anak tujuh tahun itu saat seseorang yang tidak pernah dilihatnya tiba-tiba mengaku sebagai seorang Ayah.

Pantas Jinu sampai memintanya untuk ditemani hari ini. Jinu pasti takut.

Lee Jinhyuk benar-benar egois, sejak dulu.


Sudah dua minggu semuanya kembali berjalan normal, ketakutan Wooseok akan kehadiran Jinhyuk mulai mereda, Jinu juga tidak pernah memintanya untuk ditemani hingga pulang sekolah. Wooseok juga sudah memastikan dan menitip pesan pada mbak untuk memberitahunya apabila ada yang mendekati Jinu.

Namun, jantung Wooseok dibuat berdebar kala suatu malam saat dia membereskan tas Jinu untuk mengganti bukunya dengan pelajaran besok. Wooseok menemukan sebuah mainan yang dibungkus masih utuh, Wooseok berani bertaruh bukan dia yang membelikannya.

Langkah Wooseok langsung berderap dari kamar menuju ruang tv, disana dia melihat Jinu yang sedang mewarnai sambil tengkurap di atas karpet dengan tv yang menampilkan acara anak-anak. Wooseok duduk di sampingnya dengan perlahan, “Bagus... Jinu hebat warnanya rapi.” pujinya sambil mengusap lembut rambut Jinu.

“Makasih, Papa.” jawab Jinu masih fokus, kali ini dia mengganti crayon berwarna merah dengan warna hijau untuk mewarnai daun.

“Jinu.. punya mainan baru, ya?” Wooseok bertanya pelan.

Jinu terdiam sebentar lalu menggelengkan kepalanya tanpa menoleh ke arah Wooseok, kepalanya masih menunduk sibuk mewarnai, “Papa lihat di tas sekolah Jinu.” lanjut Wooseok.

Jinu tidak pernah diajarkan berbohong dari kecil, maka Wooseok terus memancing karena pasti anaknya lama-lama akan berbicara dengan jujur.

“Jinu ketemu Om Seungwoo atau Om Chan?” tanyanya mencoba berpikir positif, Seungwoo dan Byungchan begitu memanjakan Jinu dengan berbagai mainan mahal kalau datang berkujung. Sekuat hati Wooseok berharap itu memang dari Seungwoo, walaupun kemungkinannya kecil karena Seungwoo akan selalu memberitahunya ketika menemui Jinu.

“Bukan.”

“Terus dari siapa? Papinya Dodo?”

“Bukan.” Jinu kembali menjawab dengan singkat, tangannya masih sibuk dengan crayon.

Wooseok menggigit bibirnya saat kemungkinan terbesar yang akan dia dengar dari bibir mungil Jinu adalah Jinhyuk.

“Jawab Papa dulu, sayang.”

Wooseok melihat Jinu yang menghentikan kegiatannya dan menyimpan asal crayon nya. Anak itu bangun dan beringsut untuk duduk di pangkuan sang Papa. Melingkarkan tangan mungilnya di tubuh Wooseok dan menyembunyikan wajahnya di dada Wooseok.

“Dari om tinggi. Katanya buat Jinu, tapi belum Jinu buka, takut Papa marah.”

Om tinggi? Hati Wooseok mencelos seketika karena dugaannya benar. Pasti Jinhyuk. Jinhyuk kembali menemui Jinu, “Jinu ketemu dimana?”

“Sekolah, kemarin.”

“Kan papa sudah bilang, jangan terima barang dari orang gak dikenal. Nanti kalau itu orang jahat kan bahaya, sayang.” Wooseok memegang kedua pipi Jinu dan menatap serius, “Jangan diulangi, ya? Janji sama Papa.”

Mendengar nasihat Papanya entah yang keberapa kali Jinu hanya mengangguk kecil, namun kali ini mata bulatnya memandang Wooseok dan terlihat meragu, “Tapi kata om nya dia bukan orang asing. Dia bilang dia Ayah Jinu.”

Wooseok secepat mungkin merubah raut kagetnya dengan sebuah senyum tipis mencoba tetap tenang, walaupun hatinya ingin memaki sikap ceroboh Jinhyuk yang suka seenak jidat.

“Papa belum ketemu, siapa tahu dia bohong. Jinu kan belum pernah ketemu Ayah, jadi Jinu gak tahu wajahnya.”

Jinu lagi-lagi hanya bisa mengangguk-ngangguk mendengar ucapan Wooseok, dia kembali menyandarkan kepalanya di dada sang Papa, “Besok kalau ketemu om nya lagi, Jinu balikin mainannya, pa.” cicitnya takut-takut.

Sungguh Wooseok benar-benar menghela napas lega saat Jinu mengerti kekhawatirannya. Dia begitu bersyukur karena Jinu anak yang penurut sejak kecil. Dia tidak manja seperti Dodo yang apa-apa kemauannya dituruti oleh Seungyoun, si Papi kelewat gaul itu walaupun Sejin berulang kali mengingatkan tetap saja Seungyoun bebal, katanya duit gue buat siapa lagi kalau bukan buat Dodo.

“Ya sudah, diberesin ya. Waktunya Jinu bobo sekarang.”

Tangan mungil Jinu langsung membereskan crayon dan buku mewarnai yang berserakan, langkahnya berlari ke arah ruang mainan yang berada tepat di samping kamar mereka, sebenarnya itu adalah kamar yang Wooseok sulap untuk menyimpan berbagai mainan milik Jinu sejak kecil agar tidak tercecer sembarangan. Namun tetap saja, satu atau dua bongkahan lego akan tidak sengaja terinjak dimanan pun, terkadang di dapur bekas Jinu bermain sambil makan atau di depan tv.

“Sudah, Papa.” ujarnya untuk melapor sambil kembali ke ruang tv dan tangannya langsung bergelayut manja pada kaki Wooseok yang sedang sibuk mencari remote untuk mematikan tv.

“Bantu Papa cari remote, nak.”

Tangan Jinu langsung merogoh ke balik sofa dan dia dengan senyum lebarnya mengangkat remote tersebut, “Ini, tadi aku taruh disini.” katanya sambil tertawa senang, merasa menang dari sang Papa karena dia lebih dulu menemukannya.

Wooseok hanya berdecak pinggang dan mulai menggelitiki perut Jinu tanpa ampun, “Kamu jahil banget, negerjain Papa.” katanya sambil tertawa karena tawa Jinu begitu menular padanya.

Di rumah sederhana ini, suara gelak tawa dan rengekan selalu terdengar mengisi harinya. Begitu hangat walaupun diisi hanya oleh dua orang yang berstatus Papa dan anak.

“Papa? kalau om tinggi bukan Ayah, terus Ayah Jinu yang mana?”

Tepukan Wooseok di pantat Jinu berhenti beberapa detik, kebiasaan Jinu sebelum tidur adalah dipok-pok oleh Wooseok sambil bergelung di pelukannya. Dia akan kesusahan tidur kalau tidak ada Wooseok yang menepuk-nepuk pantatnya, pernah diajak menginap beberapa kali di rumah Seungwoo dan Byungchan langsung mengeluh karena tangannya pegal, Jinu minta dipok-pok tapi tidak tidur semalaman karena menangis ingin pulang dan tidur sama Wooseok, padahal sebelumnya setuju untuk ditinggalkan.

Mendengar pertanyaan tiba-tiba anaknya, Wooseok tidak tahu harus menjawab apa, dagunya ditumpu di atas kepala Jinu sambil membenarkan selimut yang menutupi tubuh keduanya.

“Jinu mau ketemu Ayah?” bisiknya sambil menciumi rambut sang anak, rambut Jinu selalu wangi karena dia selalu minta keramas hampir setiap hari.

“Mau, tapi kata Papa, Ayah lagi kerja.”

“Iya, Ayah Jinu kerjanya jauh.”

“Gak bisa pulang? naik pesawat atau kereta? Papi Dodo juga kerja tapi bisa pulang setiap hari.”

Wooseok mengusap ujung matanya mendengar pertanyaan Jinu yang teramat polos, anak usia tujuh yang harusnya bermanja dengan Ayahnya malah belum pernah sekalipun Jinu merasakannya.

Wooseok merasa kasihan dan bersalah sekaligus, Jinu putranya yang malang.

“Om tinggi itu bohong ya, pa? dia bukan Ayah Jinu?”

“Jinu tidur, ya? Besok lagi ngobrolnya. Papa ngantuk. Nanti sekolahnya kesiangan kalau gak bobo sekarang.”

“Oke, pa.”

Tubuh Jinu semakin bergelung di pelukan Wooseok dengan wajah yang disembunyikan di ceruk lehernya. Sejak kecil memang Jinu terbiasa tidur seperti ini. Kalau sedang rewel dan saat dia bangun Wooseok tidak ada, Jinu akan menangis. Namun, kebiasaan itu mulai dihilangkan oleh Wooseok sejak Jinu masuk sekolah dasar, “Kalau Papa gak ada jangan nangis, Jinu keluar kamar dan cari Papa di dapur.” begitu nasihatnya.

Selanjutnya saat Wooseok hanya mendengar napas teratur Jinu yang sudah tertidur. Kedua matanya perlahan kembali menghangat, Wooseok bahkan lupa kapan terakhir dia menangis. Namun, pembicaraan polos Jinu barusan berhasil membuat pertahanan yang sudah dibangunya bertahun-tahun kembali runtuh.

“Maafin Papa, sayang.” bisiknya begitu lirih sambil menciumi kepala Jinu, “Jinu sudah ketemu Ayah..”


⚠️ sebelum ke part selanjutnya ku beritahu ini omegaverse, ya! thanks.


Terlihat suasana cafe tampak cukup ramai di sore seperti ini, ditambah berada di kawasan perkantoran dan beberapa kampus. Sebagian anak kuliahan banyak yang hanya sekedar menongkrong sambil membuka laptop dan memakai WiFi yang memang disediakan. Sebagian orang kantor yang berpakaian rapi juga banyak yang duduk-duduk sebelum beranjak pulang setelah jam kerjanya.

Seperti yang lain, di salah satu meja di dekat jendela juga tampak menampilkan dua sosok yang sibuk dengan laptop di depannya masing-masing. Keduanya tampak sibuk mengetik sesuatu dan sesekali membuka lembar demi lempar paper yang berada di atas meja.

Satu helaan napas dihembuskan dengan berat secara tiba-tiba oleh salah satunya sambil menyandarkan punggung di kursi dan kepalanya menoleh ke arah pintu cafe yang tertutup, “Lama, ya? kok jam segini belum pada datang, sih.” katanya dengan bibir mencebik, hal itu menimbulkan tawa pelan dari orang di depannya.

“Sabar, Chan.”

Ia berujar sambil mematikan laptopnya dan memilih dimasukan ke dalam tas ransel yang diletakan di kursi kosong di sampingnya.

“Lho, Wooseok kok udahan? Bukannya besok bimbingan? udah nemu jurnalnya?”

“Udah, nanti aja dilanjut di rumah. Bukan besok, tapi lusa.”

“Oh.. yaudah, gue juga udahan. Mau di rumah aja. Mumet lama-lama, udah mau dua jam kita disini sambil ngedraft.”

“Iya, Byungchan. Besok lagi aja, jangan maksain.”

Wooseok berbicara dengan lembut dan mengulas senyum sambil membenarkan kacamata bulatnya. Byungchan hanya mengangguk mengiyakan sambil memajukan tubuhnya untuk menyubit pipi Wooseok, tidak tahan melihatnya.

“Chan! Apasih, kebiasaan deh.”

Byungchan hanya terkikik mendengar teguran dari bibir mungil Wooseok, kebiasaan yang berlangsung sejak satu tahun lalu saat mereka mulai berteman.

Soalnya Kim Wooseok sangat menggemaskan, begitu setidaknya menurut Byungchan.

“Itu, mereka.”

Wooseok bergumam sambil menatap pintu masuk cafe yang kebetulan tempat duduknya menghadap ke arah sana. Ucapannya membuat Byungchan menoleh cepat dan tersenyum lebar hingga kedua pipinya menampilkan lesung yang sangat dalam, tampak manis di wajahnya.

“Lama sekali, mas-mas pacar ini!”

Byungchan sedikit menggerutu saat kedua orang yang berpakaian rapi ala orang kantoran menghampiri meja mereka. Yang satu memakai kemeja berwarna biru pucat dengan bagian tangan yang sudah di gulung sampai siku dan dasi yang sudah longgar. Satunya lagi yang mempunyai perawakan lebih tinggi melapisi kemejanya dengan sweater berwarna hijau army.

“Maaf lama, ya? agak macet. Ini juga kita gak sengaja ketemu di depan.”

“Gapapa, kak.”

Wooseok menjawab dengan mengulas senyum tipis, kepalanya mendongak menatap pacarnya yang masih berdiri di samping meja mereka, “Kalian pesan makan dulu aja. Aku sama Chan udah makan. Iyakan, Chan?”

“Iya, tapi kalau mau dibeliin ya gapapa sih, aku gak nolak.”

Byungchan menaik turunkan alisnya dan mengerling menatap pacarnya sendiri, dia tertawa saat puncak kepalanya diusak bahkan seperti rambutnya diacak-acak, “Makan terus kamu.”

“Biarin, udah sana. Aku nunggu sama Wooseok. Ini baru beres ngedraft juga.”

“Yaudah. Tunggu, sebentar kok.”

Kedua orang dewasa itu kembali berjalan meninggalkan meja setelah berbicara sebentar dengan pacar mereka masing-masing.

Wooseok memangku dagunya dengan tangan yang ditumpu di atas meja, netranya memperhatikan mereka yang sibuk memesan makan berdiri di depan meja kasir, sesekali terlihat tertawa dan sibuk mengobrol.

“Kak Seungwoo... kalau sama Kak Jinhyuk beda banget ya, Chan?”

Byungchan mengangguk kecil, kepalanya menoleh ikut memperhatikan arah pandang Wooseok, dia mengangkat bahunya ringan, “Iya bener, dulu pertama kenal aku kira dia sombong lho, Seok. Soalnya gak banyak ngomong.” sahutnya.

“Iya. Uhm.. kalau dipikir kok bisa gini, ya? gue sama lo kenal gara-gara pacar kita sahabatan. Terus ternyata kita satu kampus. Kebetulan banget.”

Kepalanya Byungchan menggeleng pelan saat mendengar ucapan Wooseok, dia kembali mengelihkan tatapannya kepada Wooseok yang duduk di depannya dengan pandangan sungguh-sungguh, “Gak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, Wooseok. Ini tuh namanya takdir. Emang kita berempat harus ketemu.”

Wooseok, pemuda dengan perawakan mungil dan memakai kacamata bulat itu hanya bergumam pelan dalam merespon ucapan Byungchan, “Iya, mungkin.” bisiknya.

Pandangannya kembali beralih memperhatikan dua orang yang masih asik mengobrol. Yang satu terlihat dewasa dan pendiam, sedangkan yang satunya lagi cenderung banyak bicara dan bercanda. Keduanya terlihat seperti saling mengisi satu sama lain, mereka memang sudah bersahabat sejak di bangku sekolah menengah atas katanya, Wooseok juga hanya diceritakan.

“Seok, gue mau cerita. Tapi, jangan dulu heboh, ya?”

Suara Byungchan kembali menarik perhatian Wooseok, membuatnya mengalihkan tatapan untuk kembali memandang Byungchan yang kali ini memasang wajah serius.

“Ada apa?”

Saat ini Wooseok bisa melihat sorot yang mulai tampak berbinar bahagia di kedua bola mata Byungchan. Dia memajukan duduknya hingga menggeser kursi agar mendekat ke arah Wooseok yang duduk terhalang meja di depannya.

“Kak Jinhyuk bilang dia mau serius sama gue. Udah bilang sama orangtuanya. Gak lama setelah gue lulus... gue mau diajakin tunangan.”

Walaupun berbisik, suara Byungchan begitu terdengar bahagia, Wooseok bisa merasakannya. Sambil menggenggam tangan Byungchan yang ada di atas meja, Wooseok mengulas senyum lebar dan tidak percaya.

“Serius???? secepat itu?”

Byungchan mengangguk semangat, tangannya membalas genggaman tangan Wooseok untuk meremasnya, “Seribu rius, Wooseok! Gue juga masih gak percaya, sumpah. Kemarin sih dia bilang pas nganterin pulang.”

“Wah.. selamat, ya. Gue ikut senang, Chan.”

Senyum Byungchan kembali melebar hingga lesung pipinya kembali terlihat ketika mendengar ucapan Wooseok.

“Makasih, Seok. Gue harap lo juga nyusul sama Kak Seungwoo.” dia mengucap tulus, menatap Wooseok dengan sangat lembut. Byungchan berbicara dengan sungguh-sungguh, dia ingin berbagai kebahagian dengan Wooseok.

“Semoga. Doain aja, ya.”

“Pasti, Seok. Kita aja pacaran cuma beda dua bulan. Gue harap nikah pun gak lama, ya?”

“Iya, Chan.” Wooseok tersenyum dan mengangguk sambil mengucap semoga di dalam hatinya.

“Ngomongin apasih, serius banget kayaknya?”

“Kepo deh.”

Jinhyuk bertanya begitu dia mendudukkan dirinya di kursi samping Byungchan sambil membawa nampan berisi makanan. Begitupun Seungwoo yang akan duduk di samping Wooseok, tangan Wooseok dengan sigap mengambil tas yang tadi ada di atas kursi itu dan memindahkannya ke bawah, diletakan begitu saja di samping kaki kursinya.

“Terimakasih, sayang.” ucap Seungwoo setelah dia duduk dan menyimpan nampannya di atas meja, tangannya tanpa ragu langsung mengusap puncak kepala Wooseok yang kemudian dibalas oleh senyum simpul khas Wooseok.

Dua orang di depan mereka hanya sibuk saling menyikut, “Manis banget emang kalian.” Byungchan bercicit dengan tatapan gemas dan Jinhyuk hanya mencibir, “Mau juga kayak gitu? Kayaknya gak cocok kita manis-manisan kayak mereka. Kita tuh berisik, gak bisa yang diem-dieman saling pandang doang.” Jinhyuk mengakhiri kalimatnya sambil bergidik melebih-lebihkan.

“Kayak anak SMA.” timpal Seungwoo ikut berkomentar.

“Bisa tahu, tapi sikap Kak Jinhyuk yang gak bisa diajak diam, pecicilan.” Byungchan berucap dan kemudian mengaduh karena pipinya dicubit oleh Jinhyuk. “Gak sadar ya? kamu juga gak bisa diam, anak ayam.”

Wooseok hanya bisa menggelengkan kepalanya, sudah biasa memang seperti ini bila mereka jalan berempat. Ia dan Seungwoo yang selalu tenang dan Byungchan dan Jinhyuk yang terlalu berisik.

Semuanya bermula sejak lebih dari setahun lalu.

Wooseok bertemu dengan Seungwoo di salah satu toko buku. Tidak ada yang spesial memang, malah cenderung sangat biasa. Di pertemuan mereka secara tidak sengaja yang ke tiga kalinya, akhirnya Seungwoo mengajaknya berkenalan dan hanya seperti itu. Empat bulan kemudian setelah mereka saling kenal Seungwoo menyatakan perasaannya dan mereka akhirnya berpacaran hingga sekarang.

Beda cerita dengan Byungchan dan Jinhyuk.

Byungchan dan Jinhyuk justru bertemu saat mobil Byungchan mogok dan dia tanpa tahu malu menebeng pada Jinhyuk yang baru saja keluar dari minimarket tepat di tempat mobilnya mogok. Saat itu Byungchan ingat dia ada ujian dan buru-buru, dia rela membayar kepada Jinhyuk sambil memohon untuk diantar ke kampus. Karena kasihan akhirnya Jinhyuk mengiyakan dan begitulah, mereka bertukar nomor ponsel hingga akhirnya dekat selama kurang lebih tiga bulan dan memutuskan untuk berpacaran.

Wooseok baru mengenal Jinhyuk saat dia sudah berpacaran hampir dua bulan, Seungwoo mengenalkan Jinhyuk sebagai sahabat karibnya. Saat itu Jinhyuk sudah lebih dulu berpacaran dengan Byungchan dan dipertemuan berikutnya mereka memutuskan untuk jalan berempat.

Kebiasaan itu berlangsung hingga sekarang.

Seungwoo dan Jinhyuk berbeda tempat kerja sehingga kesibukannya pun berbeda. Kadang dalam sebulan mereka bisa dua kali jalan berempat atau tidak sama sekali. Wooseok dan Byungchan pun juga jarang bertemu karena mereka berbeda fakultas.

Namun, setiap minggunya tentu saja mereka menyempatkan waktu dengan pacar masing-masing, dalam catatan kalau tidak sibuk. Tapi sebisa mungkin bertemu walaupun hanya menjemput ke kampus dan mengantarkan pulang.

“Woo, minggu depan reuni SMA. Gue kemarin dikasih tahu Seungyoun. Lo mau datang? Gue sih mau, kayaknya. Tapi gak tahu juga deng, belum jelas.”

Seungwoo yang sedang mengunyah makanannya tidak langsung menjawab, dia minum terlebih dahulu air putih dan menatap Jinhyuk yang duduk di depannya.

“Gak bisa, gue ada acara.”

“Acara apa?”

“Mau jalan sama Wooseok.” jawabnya sambil menoleh ke arah Wooseok yang memasang wajah bingung dan menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuknya. “Aku? jalan kemana, kak?” tanyanya pelan.

“Ada, pokoknya kamu tinggal ikut aja, nanti aku jemput ke rumah, ya.”

Jinhyuk hanya mendengus dan memutar bola matanya malas, “Najis, sok romantis pakai rahasia-rahasian segala.” katanya yang langsung dihadiahi lemparan kentang goreng oleh Seungwoo.

“Brisik lo.”

Sedangkan yang lebih muda tampak tidak perduli seakan sudah biasa dengan tingkah mereka.

Wooseok sendiri sibuk dengan pikirannya, sibuk menebak kemana kiranya Seungwoo mengajak, belakangan ini memang Seungwoo sibuk dengan pekerjaannya dan mereka hanya sempat bertemu beberapa kali dalam dua minggu.

Sedangkan kaki Byungchan sejak tadi menendang-nendang kaki Wooseok yang berada di bawah meja dengan pelan sambil tersenyum penuh arti saat Wooseok menatapnya bingung, tatapan Byungchan seakan berkata, kan! lo juga pasti mau diseriusin sama kayak gue, Seok!!!!

Setelah makan mereka sibuk mengobrol, kebanyakan Byungchan dan Jinhyuk sih yang mengoceh. Seungwoo dan Wooseok lebih banyak menyimak dan sesekali menimpali.

Memang perbedaan diantara dua pasang muda mudi ini terlihat sangat mencolok kalau diperhatikan.

Seungwoo, seringkali memanggil dengan lembut, dengan panggilan sayang yang mampu melelehkan untuk Wooseok, begitu pun Wooseok yang selalu membalas dengan senyum manis.

Sedangkan Jinhyuk banyak mempunyai panggilan nyeleneh untuk Byungchan, mereka sudah terbiasa seperti itu. Anak ayam lah, pipi bolong lah, si bawel dan cerewet tukan ngomel lah atau apapun itu yang membuat Byungchan merengek dan merajuk padanya. Byungchan juga tidak segan dalam membalas setiap tingkah Jinhyuk. Hubungan mereka terlihat seru dan penuh gelak tawa.

“Sebentar, ada telpon.”

Seungwoo berujar di tengah obrolan mereka, dia merogoh saku celananya saat merasakan getar dari ponselnya, “Dari Mama, sebentar ya, sayang.” lanjutnya setelah melihat nama yang tertera jelas di layar ponsel. Tangannya mengusap bahu Wooseok pelan untuk pamit sebelum beranjak keluar cafe dan menerima telpon tersebut.

“Mamanya mau ke sini kali, lo belum pernah ketemu ya, Seok?”

Wooseok yang sedang mengaduk minumnya langsung mengangkat wajah untuk menatap Jinhyuk yang mengajaknya bicara, “..belum.” jawabnya singkat

“Oh..” Jinhyuk tidak berkomentar banyak, dia hanya membulatkan mulut. Namun, tidak lama Byungchan langsung menyubit pinggangnya membuat Jinhyuk mengaduh dan mengusap-usap pinggangnya yang terasa perih.

Byungchan mendadak merasa tidak enak dengan Wooseok telah memberitahu kabar bahagianya secepat ini.

Seungwoo memang belum pernah membawa Wooseok bertemu keluarganya karena mereka pindah ke luar kota beberapa tahun lalu. Berbeda dengan Byungchan yang sering kali main ke rumah Jinhyuk, bahkan sudah mengenal baik orangtuanya.

“Aku ke toilet dulu, ya.”

Pamit Byungchan sambil berdiri dari duduknya dan Jinhyuk hanya mengangguk saat Byungchan seperti memberinya kode agar dia tidak kembali mengoceh.

Meja itu tampak sepi setelah ditinggalkan oleh Seungwoo dan Byungchan. Wooseok kembali memainkan sedotan dari minumnya yang tidak lebih dari setengah gelas lagi dan Jinhyuk yang hanya sibuk makan kentang goreng.

Kedua orang ini tidak sampai tahap canggung karena mereka sudah mengenal hampir satu tahun, hanya saja saat tidak ada pasangan masing-masing mereka merasa-sedikit-kikuk, terutama Wooseok.

Wooseok cenderung pendiam dan berbicara seperlunya, sebelas dua belas dengan Seungwoo kalau kata Jinhyuk. Bahkan Jinhyuk beberapa kali bertanya, kalau kalian pacaran itu ngomong apasih? selain diem-dieman dan pertanyaannya hanya akan dijawab dengusan oleh Seungwoo.

“Sorry... kalau lo tersinggung dengan pertanyaan gue tadi.”

Wooseok kembali mengangkat wajahnya untuk memandang Jinhyuk, mata bulat dibalik kacamatanya mengerjap lamat-lamat sambil memasang wajah bingung, terkesan innocent membuat Jinhyuk menarik sudut bibirnya dan terkekeh kecil, lucu dan terlihat polos memang selera Seungwoo sekali yang seperti ini, batinnya berbisik.

“Yang tadi Wooseok. Maaf.” ulangnya.

“Oh itu.. iya gapapa. By the way selamat ya. Byungchan udah cerita.” Wooseok tersenyum tipis sambil membenarkan kacamatanya.

Jinhyuk mengerutkan keningnya sebelum mendengus kecil kemudian tertawa saat menyadari apa yang dimaksud oleh Wooseok.

“Emang ya Byungchan gabisa jaga rahasia anaknya. Apa-apa cerita sama lo, kayak kalian yang lebih lama sahabatan daripada gue sama Seungwoo.”

“Gue ikut seneng, kak. Byungchan juga bahagia banget tadi pas cerita.”

Jinhyuk menanggapi dengan kekehan kecil. Namun, raut wajahnya langsung berubah saat memajukan duduknya lalu menumpu kedua sikunya di atas meja dan menatap lurus ke arah Wooseok, dia bahkan berdehem sebentar sebelum berbicara.

“Seungwoo sayang banget sama lo. Jangan pernah berpikir dia gak serius menjalin hubungan selama ini, Seok. Semuanya hanya masalah waktu aja. Gue juga belum cerita sama dia kalau gue udah berniat serius dengan Byungchan.”

Wooseok hanya mendengarkan, jarang sekali dia melihat Jinhyuk yang berbicara serius.

“Paling pas dikasih tahu, dia juga kepanasan langsung ngelamar lo, anaknya gak mau kalah sama gue.” lanjut Jinhyuk sambil tertawa.

Tawa Jinhyuk menular, Wooseok mengulas senyum mendengarnya dengan hati yang lagi-lagi mengucap semoga. “Terimakasih, kak.” ujarnya lembut.

Jinhyuk mengangguk dan menampilkan senyum tipis sambil menatap Wooseok, “Sama-sama.” balasnya.

Wooseok memang teramat lembut dan pendiam, Jinhyuk mengakuinya dari pertama kali dikenalkan oleh Seungwoo. Kata Seungwoo sih manis banget gak ketulungan. Namun, menurut Jinhyuk itu justru tipe yang membosankan, cocoklah dia sama Seungwoo. Dirinya sendiri lebih menyukai yang seperti Byungchan, anaknya banyak bicara, ramai dan tidak kagok diajak bercanda.

Keduanya memang mempunyai definisi manis yang berbeda.

[XVI]

Jinhyuk berjalan menyusuri pantai dengan pandangan yang terus mengedar. Matahari tampak belum sepenuhnya tenggelam di ufuk barat. Namun, cahaya kemerahan sudah memenuhi sepenuhnya warna di langit hingga memantul di atas air laut, tampak cantik berkilauan, indah.

Napasnya dihembuskan kasar saat suasana pantai tampak ramai karena ini malam minggu. Para pengunjung resort tampak asik menikmati pemandangan indah tersebut. Pemandangan anak kecil berlarian dikejar orangtuanya sambil bercanda atau pasangan yang berangkulan mesra sambil berbagi tawa baik orangtua maupun pasangan muda yang Jinhyuk tebak pasti sedang honeymoon disini membuatnya tanpa sadar mengulas senyum.

Sungguh pemandangan yang begitu hangat.

Kaki panjangnya semakin jauh melangkah menyusuri garis pantai sambil terus mencari sosok mungil Wooseok diantara orang-orang ini.

Hatinya benar-benar merasa bersalah pada kekasihnya itu. Jinhyuk sudah berjanji tadi untuk menemaninya melihat sunset, namun begitu banyak sekali yang harus ia bahas dengan Om Seunggi dan para Manajer di pertemuan tadi.

Sejak sebulan lalu di pertemuan keluarga, Ayah memang bilang Jinhyuk akan mengelola resort ini. Dia diberi tanggung jawab untuk menggantikan Om Seunggi, adik bungsu Ayahnya yang akan menikah tiga bulan lagi.

Diantara kesibukannya di kampus, Jinhyuk harus membagi waktu untuk pekerjaannya. Maka, solusinya lebih cepat lulus lebih baik, begitu kata Ayah.

Total empat bulan dari pertama Jinhyuk diberitahu hingga nanti Om nya benar-benar menikah dan pindah ke luar negeri. Tentu saja terlalu cepat menurut Jinhyuk untuk menggantikan tanggung jawab besar ini. Biar bagaimana pun, resort keluarga ini sudah ada sejak dulu, tidak mungkin Jinhyuk bermain-main dengannya.

Jinhyuk tidak serta merta langsung mengambil alih, dia masih perlu belajar banyak. Harus malah. Jadi, kembali lagi Om Seunggi sekarang masih yang utama, Jinhyuk berperan sebagai anak bawang. Tidak apa, lagipula dia belum siap. Takut malah mengacau.

Sebenarnya mungkin kalau menurut keluarga besar Lee, apalagi Oma, resort ini hanya salah satu usaha yang tidak terlalu berpengaruh. Makanya ditunjuk untuk dipercayakan pada Jinhyuk yang baru akan belajar.

Namun, bagi anak seusia Jinhyuk yang bahkan belum genap 22 jelas berbeda. Gila sih ini merupakan tanggung jawab pertamanya yang benar-benar sangat besar dan penting sebagai keluarga Lee.

Dipilihnya dia saja oleh Ayah membuatnya terbengong lama, oh ayolah Ayah tahu bagaimana dia menyembunyikan statusnya dan selalu menghindar dari segala tata aturan keluarga Lee yang terhormat. Apalagi ketika dulu saat Opa masih ada, Jinhyuk kadang tidak terlalu suka kalau bertemu dengan beliau. Bukannya tidak sayang pada Ayah dari Ayahnya itu, Jinhyuk kecil hanya takut dengan beliau yang pembawaannya terlihat sangat tegas. Tanya saja Sejin pasti dia akan setuju.

Terus bisa-bisanya sekarang dia diberi tanggung jawab seperti ini, bahkan saat belum menyelesaikan masa studynya. Hey ini resort lho... resort beneran yang sudah punya nama besar, bukan warung gerobak pinggir jalan, begitu menurut pikiran Jinhyuk yang terkadang memang terlalu merakyat dari statusnya.

Kalau kata Ibu sih, buat pengalaman. Jinhyuk hanya menurut.

Oke sampai sini sepertinya Jinhyuk harus mengakui keluarganya memang benar-benar “cukup” berada. Tidak berbeda jauh dengan keluarga Wooseok dan Yunseong. Ya sesama keluarga yang dari kakek nenek moyangnya sudah berada di garis ningrat atau darah biru.

Kembali lagi, pandangan Jinhyuk terus mengedar. Dia bahkan sampai berjalan di dekat bibir pantai, takut-takut Wooseok sedang bermain air. Namun, tidak ada.

“Seok, lo dimana sih ya ampun..” gumamnya sambil menajamkan penglihatan.

“Lama-lama gue aduin juga jadi anak hilang ke petugas pantai biar diumumin di toa mercusuar.” tambahnya sambil terus berjalan.


Wooseok memeluk kakinya dan manaruh dagu di atas lututnya. Duduk sendirian di atas pasir dengan beralaskan sandal jepit yang tadi sempat dibelikan oleh Jinhyuk dari toko oleh-oleh ketika mereka baru saja sampai di resort.

Ujung celana panjang berwarna putihnya digulung hingga sebatas betis. Kaki telanjangnya penuh dengan pasir putih yang menempel karena tadi dia sempat berjalan di air saat menyusuri pantai.

Langkahnya tadi tidak terasa membawanya berjalan sidikit jauh. Buktinya saja hingga saat ini Jinhyuk belum berhasil menemukannya.

Rambutnya terkena angin yang cukup kencang di sore ini, tampak sedikit membuatnya berantakan dengan kacamata diatasnya. Namun, Wooseok tidak ada niat untuk merapikannya sama sekali. Wajah tampannya tertimpa cahaya matahari yang tampak kemerahan. Hangat seperti membelai kulitnya.

Pandangannya menatap lurus ke depan, memperhatikan ombak yang tidak terlalu besar, malah cenderung cukup tenang.

Memperhatikan kilau cahaya di atas air, serta matahari yang sebentar lagi kembali ke tempat asalnya. Digantikan dengan bulan yang bahkan presensinya samar-samar sudah terlihat mengintip malu-malu, menunggu giliran untuk menyinari langit gelap.

Perhatian Wooseok langsung teralihkan saat sebuah blazer berwarna hitam tiba-tiba tersampir di atas bahunya. Dari wanginya saja Wooseok sudah tahu, wangi khas Jinhyuk.

Orangnya langsung ikut duduk disamping kirinya tanpa repot-repot memakai alas duduk, lagipula Jinhyuk masih menggunakan sepatu alih-alih sandal seperti yang digunakan oleh Wooseok.

“Hampir aja aku ke petugas orang hilang buat bikin pengumuman. Untungnya langsung ketemu disini.”

Lee Jinhyuk ini memang selalu ada-ada saja tingkahnya.

Wooseok terkekeh kecil mendengarnya, kepalanya dimiringkan untuk menatap Jinhyuk yang terlihat memasang wajah lega.

Tangan Wooseok membenarkan blazer Jinhyuk yang ada di bahunya karena takut melorot, tapi tidak untuk dipakainya, setidaknya saat ini.

Jinhyuk memang tadi memakai blazer untuk melapisi kaos pendeknya agar terlihat lebih rapi.

“Maaf ya, sayang...” suara Jinhyuk terdengar begitu menyesal, menatap Wooseok tidak enak.

“Gapapa, kak. Toh masih keburu kan ini?” balas Wooseok sambil tersenyum tipis.

Jinhyuk ikut tersenyum dan tangannya mencubit pipi Wooseok dengan gemas. Merasa lega saat Wooseok tidak marah atau kesal bahkan rewel karena kesalahannya yang hampir mengingkari janji.

Kim Wooseok sungguh sedang menjadi anak manis.

Sambil menggeser duduknya untuk merapat, tangan Jinhyuk terulur untuk merangkul Wooseok dan menyandarkan kepala Wooseok di bahunya.

Wooseok tersenyum sambil meluruskan kakinya dan tangannya langsung melingkar di pinggang Jinhyuk. Dia memejamkan mata saat merasakan tangan Jinhyuk yang mengusap-usap kepalanya dengan sayang dan mencium pelipisnya lembut. Jinhyuk juga melepaskan kecamata yang ada di atas kepala Wooseok dan menyimpannya di atas pasir tepat di sampingnya.

Wooseok ingin seperti ini, mengganti waktunya dengan Jinhyuk yang dua minggu belakangan sangat sedikit sekali. Wooseok merindukan segala perlakuan manis dan perhatian Jinhyuk untuknya.

“Kangen kakak.”

Jinhyuk tidak bisa kalau tidak menarik kedua sudut bibirnya ketika mendengar ucapan Wooseok yang bahkan cenderung seperti berbisik. Tangan Wooseok semakin mengerat memeluk pinggangnya dengan wajah yang dibenamkan di dadanya.

Bahaya, bisa-bisa Jinhyuk terkena serangan jantung kalau Wooseok terus-terusan bersikap manis dan manja sekaligus. Jarang sekali dia bersikap seperti ini.

Tangan Jinhyuk mengusap-usap lengan Wooseok dan dagunya ditumpu di atas kepala Wooseok. “Kakak juga, kangen kamu.” dia menghembuskan napas dalam untuk menjeda.

“Sekali lagi maaf ninggalin kamu tadi sendirian.”

Wooseok hanya mengangguk kecil di dada Jinhyuk. “Iya.. aku mengerti, kok.”

Kepalanya menengadah untuk menatap wajah kekasihnya itu. Jinhyuk begitu tampan dengan dahi yang terlihat jelas karena tadi dia sempat menata rapi rambutnya. Dan ketika Jinhyuk menunduk untuk balas menatap wajahnya, Wooseok menahan napas sesaat.

Wooseok dibuat jatuh cinta dengan iris mata Jinhyuk yang tampak begitu indah tertimpa sorot cahaya matahari. Tampak seperti madu, meleleh dan berwarna coklat, serta terasa hangat.

“Indah..” bisik Wooseok sambil mengulas senyum yang begitu manis. Dengan jarak sedekat ini tingkah Wooseok berhasil membuat Jinhyuk merasakan perutnya tergelitik.

“Apanya?”

Wooseok menggigit bibirnya gugup sebelum kembali berbicara. “...itu mata Kak Jinhyuk. Aku suka, seperti madu.”

Sumpah. Ini Wooseok benar-benar ya. Jinhyuk mengerang gemas dibuatnya. Dipeluknya tubuh Wooseok erat sambil digoyangkannya sedikit. Diciuminya puncak kepala Wooseok berkali-kali serta kedua pipinya.

Wooseok hanya meloloskan tawa renyah diperlakukan seperti itu oleh Jinhyuk. Dia menyukainya. Dia sungguh merindukan Jinhyuk.

“Gak kuat aku kalau kamu kayak gini terus, seok. Ampun deh.”

“Daripada aku galak dan mara-mara terus, hayo? Kak Jinhyuk pilih yang mana?”

“Kalau kamu galak sama mara-mara aku pusing. Kalau kamu kayak gini aku juga makin pusing. Gak bisa milih, 50 : 50 aja, ya? Jangan terlalu galak, jangan terlalu manis juga.”

Tangan Wooseok mencubit pelan pinggang Jinhyuk. Mata bulatnya memandang Jinhyuk penuh tekad. “Enggak, hari ini sama besok aku gak mau mara-mara. Gak akan ngambek-ngambek. Gak akan ketus. Janji.”

Mendengarnya Jinhyuk mencebikkan bibir tidak yakin, tapi akhirnya dia mengangguk mengiyakan. Kita lihat saja nanti.

“Oke, aku pegang ya janjinya pangeran.”

“Oke!” Wooseok mengangguk yakin dengan ucapannya. Kepalanya kembali bersandar dengan nyaman di dada Jinhyuk sambil menikmati usapan lembut dari tangan Jinhyuk.

Lalu tanpa ada yang bicara lagi keduanya hanya terdiam melihat ke depan, menatap bagaimana kuasa Tuhan yang begitu luar biasa menakjubkan. Bulatan berwarna orange itu tampak seperti tenggelam secara perlahan ke dalam laut.

“Udah gelap, pulang yuk? makan malam.”

Jinhyuk yang pertama kali bersuara dan Wooseok hanya mengangguk. Keduanya berdiri sambil menepuk-nepuk celana mereka yang terdapat pasir di bagian belakangnya. Wooseok memakai blazer Jinhyuk dengan benar, terlihat begitu lucu karena tubuh mungilnya tenggelam di ukuran tubuh Jinhyuk. Ditambah kacamata bulat yang sudah dipakainya lagi.

“Gendong...”

Jinhyuk tersedak ludahnya sendiri saat mendengar nada manja Wooseok saat mereka baru saja akan melangkah. Bibirnya mungilnya maju beberapa senti dan mentap Jinhyuk seperti anak kecil.

“Bentar. Gak salah?”

“Enggak. Kak Jinhyuk.... ya? boleh?” rengeknya semakin menjadi sambil menarik-narik ujung kaos putih yang dikenakan oleh Jinhyuk.

Seketika Jinhyuk memegang dadanya dan bertingkah seperti terkena serangan jantung.

“Aduh.. gila gakuat gue, gakuat, seok. Kamu kerasukan au sebelah apa gimana?” tanyanya yang membuat Wooseok mengerucutkan bibir.

“Apasih Kak Jinhyuk gajelas nih.”

Sambil menaha tawa dan menggelengkan kepalanya Jinhyuk berucap lupakan. Lalu tubuh jangkungnya berjongkok di depan Wooseok yang berdiri.

“Silahkan, Your Majesty.” ujarnya penuh hormat.

Sambil terkikik geli dengan tingkah Jinhyuk, Wooseok langsung memeluk tubuhnya dari belakang tanpa ragu. Tangannya mengerat memeluk leher Jinhyuk saat Jinhyuk mulai berjalan dengan pelan.

Wooseok memejamkan matanya sambil menumpu dagu di atas pundak kiri Jinhyuk, dia menikmati waktunya dengan Jinhyuk yang seperti ini. Jinhyuk juga tidak berbicara, dia hanya berjalan dalam diam.

Beberapa menit kemudian Wooseok kembali membuka mata. “Makasih, kak.” dia berkata sambil mengecup pipi Jinhyuk dari samping dan menahannya cukup lama. “Hadiah dari aku, buat Kak Jinhyuk.” lanjutnya sambil berbisik.

Jinhyuk semakin dibuat tidak habis pikir dengan perubahan mood Wooseok hari ini.

Mungkin dia terlalu kangen padanya?

“Dalam rangka apa? Satunya lagi dong sekalian biar adil, seok.” pintanya tidak tahu malu sambil tertawa kecil.

Memang dasar manusia, dikasih hati malah minta jantung.

Namun, karena Wooseok sedang menjadi anak manis. Tanpa diduga dia berpindah untuk menumpu dagunya di pundak kanan Jinhyuk dan mencium pipinya lagi.

“Gatau, dalam rangka apa. Hmm.. aku lagi seneng aja.”

Jinhyuk benar-benar menarik kedua sudut bibirnya hingga ujung maksimal. Tersenyum lebar menikmati sikap manis Wooseok.

Tangan Wooseok memeluk leher Jinhyuk dengan erat hingga pipi keduanya saling bersentuhan.

“Kak..”

Jinhyuk bergumam pelan, tangannya memegang kedua kaki Wooseok dan sedikit mengangkatnya saat dirasa mulai melorot. Beruntung tubuh Wooseok tidak berat.

“Jadi inget dulu pernah digendong gini pas aku jatuh di tangga.”

Pikiran Jinhyuk mengingat cepat, Jinhyuk ingat bagaimana dulu dia begitu panik saat diberi kabar oleh Yuvin.

Wooseok bisa merasakan kepala Jinhyuk yang mengangguk kecil sambil menghela napas.

“Iya, yang awalnya kamu keukeuh gak mau karena malu dilihat orang.”

Sambil meringis kecil Wooseok mengiyakan perkataan Jinhyuk. Tapi, tidak lama dia kembali mengulas senyumnya, “Kalau sekarang malah kayaknya aku bakal sengaja meluk kamu kayak gini. Biar orang-orang tahu..”

“Tahu apa?”

“Tahu aku gak perduli sama omongan mereka... yang penting aku bisa sama Kak Jinhyuk.”

Langkah Jinhyuk sempat terhenti sesaat begitu mendengar ucapan Wooseok yang terdengar begitu polos menurutnya.

Kepala Jinhyuk menoleh untuk mencuri kecupan di bibir mungil Wooseok. Tidak ada protesan yang keluar dari bibir mungil itu, yang dia dengar justru rengekan malu-malu yang begitu menggemaskan.

Kemudian langkah Jinhyuk kembali berlanjut sambil mengeratkan gendongannya.

“Terus kayak gini kan banyak pengunjung tuh yang lihat, bukan anak kampus doang. Kamu gak malu digendong sama aku? Kan udah gede.”

“Enggak, biarin aja. Perduli amat, kan gak kenal. Orang kita lagi pacaran.”

Ya memang, ini dia Kim Wooseok dengan segala perkataan pedas dan nada angkuhnya. Jinhyuk sudah mulai terbiasa mendengarnya.

“Lagian yang punya tempatnya juga kamu, pacar aku.”

Kali ini Jinhyuk tidak bisa menahan tawanya hingga pundaknya bergetar dan dagu Wooseok yang ada diatasnya ikut bergerak. Dia berehem sebentar sebelum menyombong, “Keren kan bisa pacaran sama yang punya resort begini?”

Tidak langsung merespon, Wooseok bergumam pelan sambil pura-pura berpikir, dia berdecak sebelum berbicara, “Lumayan lah, not bad. Bisa buat liburan gratis.”

“Anjir, gue merasa dimanfaatkan.”

“Tapi beneran, buktinya aku gak bayar disini. Enak banget. Makasih, ya.”

“Kok ngeselin sih.”

“Hehe Kak Jinhyuk marah?”

“Enggak lah.” Jinhyuk menggelengkan kepalanya, dia cuma bercanda.

Wajahnya kembali menoleh untuk mencuri kecupan yang kali ini disambut oleh Wooseok dengan senyuman, bahkan dia mengusap-usap dengan lembut rambut Jinhyuk, menyisir dengan jemari lentiknya.

Manis banget sih Wooseok malam ini, jadi pingin gue kelonin sambil gue cium terus, anjir. Kira-kira begitulah Lee Jinhyuk dan isi pikirannya.

“Nanti kamu juga gratis deh kalau nginep di hotel keluarga aku, biar impas. Terus nanti usaha kita bisa joint. Mau gak? Mungkin bikin hotel and resort di pantai mana gitu, kak. Bintang enam sekalian haha ketinggian gak sih?”

“Ketinggian, nanti jatuh.”

“Yaudah lima aja. Nanti keren kan kalau ditanya punya siapa nih? jawabnya punya keluarga Kim sama Lee hasil patungan. Terus nanti masuk headline news, lumayan buat promosi.”

Wooseok mengoceh dengan semangat membuat Jinhyuk tidak bisa menahan kekehan kecil yang keluar dari bilah bibir.

“Mentang-mentang anak ekonomi, anjir. Patungan banget nih, hahaha.”

Wooseok ikut tertawa dibilang seperti itu. Selanjutnya mengalirlah obrolan tidak jelas mereka yang terasa seru menemani langkah Jinhyuk yang masih menyusuri pantai, diiringi suara debur ombak dan cahaya dari bulan yang sudah sepenuhnya menampakan diri serta penerangan berasal dari lampu-lampu di pinggir pantai yang berwarna kekuningan.

“Atau enggak kita jadi rival aja? bikin deketan terus kita saingan? seru tuh sampai salah satunya collapse, kak.”

“Buset, serem amat seok ngadi-ngadinya. Jangan lah. Kita bersatu aja daripada bermusuhan, biar profit sama benefitnya makin gede.”

“Oh.. biar makin kaya, ya?” Wooseok bertanya sambil menolehkan wajahnya ke arah Jinhyuk, tidak bisa menahan senyumnya saat Jinhyuk ikut menimpali obrolan ngadi-ngadinya.

Jinhyuk menaik turunkan kedua alisnya dan tersenyum tak kalah lebar menatap Wooseok yang memasang binar bahagia di wajahnya.

“Iya lah jelas.” jawabnya. “Biar bisa keliling dunia.”

“Haha sama siapa?”

“Sama yang mau aja.”

“Aku dong. Aku mau, aku ikut!”

“With pleasure, prince.”

“Berdua?” bisik Wooseok sambil kembali mengeratkan pelukannya.

“Kalau banyakan namanya study tour dong, sayang.”

“Haha iya juga...”

Jinhyuk hanya bisa menggelengkan kepalanya, merasa tidak habis pikir dengan obrolan random mereka yang semakin melantur. Tapi, toh dia sangat menikmatinya, sungguh. Bersama Wooseok, Jinhyuk bisa melepaskan penatnya baik karena perkuliahan dan pekerjaannya.

Terkadang Jinhyuk memang sengaja bercanda hingga membuat Wooseok merenggut sebal. Mengerjai Wooseok membuatnya benar-benar merasa gemas. Wooseok punya cara tersendiri untuk membuat Jinhyuk semakin jatuh cinta.

By the way, pinggang aku bisa encok nih lama-lama. Kalau sampai depan kamar begini.”

Wooseok terkekeh mendengarnya, lagian dia tadi hanya iseng sebentar malah keasikan ngobrol. “Yaudah turunin disini, kak.”

Jinhyuk langsung berlagak meregangkan tubuhnya sambil mengusap-usap pinggangnya begitu Wooseok turun dari punggungnya. Dia meringis sedikit.

“Masih muda masa encok sih. Kamu lemah banget kayak kakek-kakek.” Nah kan, ceplas-ceplosnya itu lho yang tidak pernah disaring.

“Enggak lah. Aku cuma bercanda, pangeran kiciwku sayang.”

Jinhyuk mendengus kecil dan tangan kirinya merangkul pundak Wooseok, mereka kembali berjalan. Tanpa ragu, tangan kanan Wooseok juga memeluk pinggang Jinhyuk dan tangan kirinya memegang tangan Jinhyuk yang menggantung di pundaknya.

“Tapi aku serius lho, seok.” Jinhyuk bembali berbicara sambil mencium pelipis Wooseok.

“Apanya, kak?”

“Impian masa kecil aku, bisa keliling dunia..”

Wooseok mendongak untuk menatap Jinhyuk dengan kening berkerut dalam. Dia menghentikan langkahnya dan Jinhyuk pun ikut berhenti.

“Kirain bercanda..” gumam Wooseok. Sudah tidak aneh, dia terkadang sulit membedakan saat Jinhyuk serius atau bercanda.

Jinhyuk menghela napas kecil dan mengedikkan bahunya sambil mengulas senyum tipis. “Cuma impian masa kecil sih... tapi kayaknya sekarang jadi impian masa depan.”

“Benarkah?” raut wajah Wooseok sungguh penasaran menatap Jinhyuk dan Jinhyuk hanya tertawa sambil mencubit pucuk hidungnya.

Wooseok terlihat sangat menggemaskan dengan tatapan polos seperti itu, ditambah blazer yang dikenakannya begitu besar, dia tanpa repot-repot menggulung bagian tangannya.

“Iya..”

“Aku mau nemenin Kak Jinhyuk kalau begitu.” sahut Wooseok cepat tanpa harus berpikir panjang. “Asal dibayarin.”

“Waduh bangkrut, dong.”

“Hahaha...”

Wooseok tertawa melihat wajah Jinhyuk yang merenggut. Terlihat lucu menurutnya.

“Kayak diterbangin terus dijatuhin ke jurang, seok.”

Wooseok sampai harus menutup mulut menggunakan tangan saat menutupi tawanya. Dia lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Jinhyuk. “Udah ah, ayo. Katanya mau makan.”

“Kalau dibayarin emang serius mau?”

Wooseok berbalik untuk menatap Jinhyuk yang masih berdiri di tempat tadi. Keningnya berkerut dan pandangan mereka bersitatap cukup lama. Maksudnya?

“Emang kamu punya uang banyak?”

“Enggak sebanyak itu sih kalau sekarang.” jawab Jinhyuk sambil berjalan mendekati Wooseok, dia tidak tersinggung sama sekali dengan pertanyaan Wooseok yang asal bicara itu.

“Kecuali kalau jualin koleksi action figures sama games aku, besok juga bisa langsung pergi.”

Tangan Jinhyuk terulur untuk mengusap-usap puncak kepala Wooseok. Tubuhnya sedikit menunduk agar wajah mereka sejajar.

“Tapi gak mungkin. Mereka kesayangan aku, seok. Tunggu ya, beberapa tahun lagi buat aku nabung dulu.”

Wooseok menggelengkan kepalanya panik saat Jinhyuk berkata begitu serius sambil menatapnya dalam.

”..bukan gitu.. aku bercanda, kak. Sumpah.” ujarnya, dia sungguh hanya bercanda. Wooseok takut Jinhyuk menganggap permintaannya serius. Dulu diberi mainan saja dia tidak enak karena harganya yang mahal, apalagi ini.

Wooseok menghela napas panjang dan menatap Jinhyuk yang berdiri di depannya. Pandangannya melembut menatap lurus iris mata Jinhyuk yang tampak lebih gelap sekarang. Tangannya memegang lengan Jinhyuk dan mengkode agar dia mendekat. Tanpa banyak bertanya, Jinhyuk menurut agar telinganya sejajar dengan bibir Wooseok.

“Kalau udah saatnya bilang aja. Ayo mewujudkan impian masa kecil sekaligus masa depan Kak Jinhyuk... berdua.”

Jinhyuk terdiam sesaat setelah mendengar suara Wooseok yang begitu lirih namun terdengar sungguh-sungguh berbisik di telinganya.

Setelah kesadarannya kembali ditarik paksa, Lee Jinhyuk bisa melihat di hadapannya ada Kim Wooseok yang mengulas senyum tulus dan tatapan berbinar.

Tidak ada yang bisa Jinhyuk lakukan selain sembalas senyum tulus kekasihnya itu dengan senyum lebar.

“Makasih.. gila seneng banget ada yang bakal nemenin. Tapi, kalau aku punya uang banyak, aku beneran lho. Buat Dek Wooseok apasih yang enggak.”

Wooseok tertawa menatap Jinhyuk yang tersenyum lebar hingga benar-benar terlihat bahagia ditambah ucapan dangdutnya seakan Wooseok telah memberinya hadiah yang besar saja.

Wooseok menjamin ajakannya tadi adalah sungguh-sungguh. Dia mau ikut mewudkan mimpi Jinhyuk kecil yang begitu besar, keliling dunia, huh? untuk anak dengan status keluarga seperti Jinhyuk seharusnya sangat mudah. Wooseok yakin dia sudah sering bepergian dengan keluarganya.

Disisa tawanya yang terdengar ringan, mata Wooseok melebar saat Jinhyuk menarik pinggangnya tiba-tiba hingga tubuh mereka tak berjarak dan kemudian menciumnya. Disini. Tanpa perduli dengan orang-orang yang berlalu lalang disekitar mereka.

Tanpa sempat berpikir panjang, Wooseok hanya bisa menutup mata dan tangannya perpegangan erat di lengan Jinhyuk. Kakinya dibuat melemas seketika saat bibir Jinhyuk mulai membelainya dengan lembut.

“Kim Wooseok yang manis..” bisik Jinhyuk dengan suara dalam dan serak. Suaranya terdengar samar ditelinga Wooseok karena teredam oleh suara ombak yang berdebur sangat jelas.

Napas hangat keduanya terasa menerpa wajah masing-masing. Berbanding terbalik dengan udara malam yang dingin akibat angin laut yang berhembus.

Bibir Wooseok masih terbuka ketika Jinhyuk menjauhkan wajahnya beberapa senti saja untuk memberi jarak diantara mereka. Wooseok membuka matanya secara perlahan dan tidak berani membalas langsung tatapan Jinhyuk yang melembut.

Jantungnya berdebar kencang, mungkin kalau tidak ada suara debur ombak, Wooseok hanya bisa berharap Jinhyuk tidak akan mendengarnya.

“Mau ke kamar?” sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Jinhyuk tanpa perlu berbasa-basi terlebih dulu. Sialan memang mulut kurang ajarnya tidak bisa direm.

Dia cukup tahu tempat untuk tidak berbuat adegan tidak senonoh semakin lama disini, walaupun faktanya orang-orang juga tidak perduli sih. Tapi, tetap saja Jinhyuk merasa segan. Lebih baik di tempat tertutup. Setan di kepalanya seperti berbisik sangat bersemangat.

Jinhyuk menaikan satu alisnya, masih menunggu Wooseok yang terdiam sambil menghindari tatapannya dan lagi-lagi si kiciw ini sibuk berpikir sambil menggigit-gigit bibirnya yang memerah akbiat kegiatan mereka barusan, membuat Jinhyuk kembali salah fokus menatapnya.

Oh berjuta sialan! Jinhyuk hanya bisa mengerang pasrah diam-diam, dia seperti disiksa setiap detiknya melihat tingkah Wooseok yang berlama-lama dan banyak berpikir.

“Pangeran Kim Wooseok yang terhormat, mohon dijawab secepatnya pertanyaan saya.”

[XV]

“Dasar gak peka! Masa gitu doang gak ngerti sih! Payah banget. Ngeselin!”

Wooseok terus mengulangi apa yang sedang dia gumamkan daritadi. Ponselnya sudah dilemparkan sembarangan ke atas bantal setelah membalas pesan dari Jinhyuk tadi, mengakuinya. Tubuhnya juga dihempaskan di atas tempat tidur, pandanganya sibuk menatap langit-langit kamar yang berwarna putih.

Sebenarnya Wooseok tidak marah, hanya kesal dengan Jinhyuk yang seperti lupa sama dirinya.

Jinhyuk memang sibuk belakangan ini, dia sering pergi dengan Ayahnya. Rupanya si sulung keluarga Lee itu sudah benar-benar mulai membiasakan dirinya dengan peran yang sempat dihindarinnya bertahun-tahun. Bagaimana pun, dia tetap penerus keluarga Lee.

Darah memang tidak bisa berbohong.

Belum lagi kesibukan Jinhyuk di kampus. Tugas akhirnya seperti dikebut, proyek dosennya dikejar target. Dia bersama tiga teman satu dosen pembimbingnya termasuk Hangyul sering kali mengerjakan sampai malam.

Jam makan siang pun lebih sering Jinhyuk habiskan dengan teman-temannya, lagi-lagi Wooseok harus makan dengan yang lain. Paling sering dengan adiknya dan Seobin. Seungwoo pun sama saja dengan Jinhyuk, bahkan sudah sibuk jauh lebih dulu. Seungyoun? entahlah anak sultan itu dalam dua minggu ini hanya beberapa kali Wooseok bertemu dengannya.

“Resort?” gumamnya tanpa sadar, “Nginep lagi gak sih?”

Jinhyuk tidak bilang apapun tadi.

Pikiran Wooseok terganggu dengan ketukan di pintu kamarnya. Dengan cepat dia berdiri dan berjalan untuk membukanya. Dan bibir mungilnya langsung mengerucut begitu melihat sosok Jinhyuk yang terlihat santai memakai kaos pendek berwarna putih dan celana jeans hitam, dia tersenyum lebar, “Hi.” sapanya tanpa dosa.

“Kak Jinhyuk lama banget.”

“Maaf, macet. Lagian kalau kamu gak muter-muter dulu di chat pasti- aduh!”

Jinhyuk mengusap-usap bahunya yang barusan ditabok oleh Wooseok. Maung kalau udah ngamuk-ngamuk begini nih, batinnya.

Langkahnya mengikuti Wooseok yang masuk kembali ke dalam kamar. Sebelumnya tentu saja Jinhyuk langsung menutup pintu, takut-takut ada hal diinginkan yang nanti terlihat oleh orang lain, Yohan lagi mungkin? bisa kacau dunia persilatan jika dia mengoceh lagi di twitter seperti waktu itu.

Kim Wooseok masih mencebikkan bibirnya ketika berbalik dan menatap Jinhyuk. Tangannya dilipat di depan dada dan mata bulatnya menyipit tajam.

“Nyebelin.” katanya dengan nada merajuk.

Oh ayolah, Jinhyuk sudah disini dan tadi Wooseok bilang katanya dia kangen. Memang, pacarnya ini sangat suka sekali menguji kesabaran dan ketabahan seorang Lee Jinhyuk. Untungnya stok sabar dia untuk Wooseok masih menggunung.

Tapi, sekarang rasanya pingin tak hih beneran, sumpah demi Tuhan!

Sambil mendengus kecil Jinhyuk mendekat dan mencubit pipi Wooseok yang mengembung. Diunyel-unyel sama dia.

“Gemes banget gue tuh gakuat. Pangeran kiciw dasar!”

“Sakit, kakak!”

Mendengar protesan Wooseok yang merengek, Jinhyuk semakin gregetan dibuatnya. “Kamu! Udah aku gak ngerti lagi suka banget ngadi-ngadi sampai ngebingungin tahu gak sih.”

“Ya maaf. Kamu juga lupa sama aku.”

“Mana ada lupa sih, sayang. Kan aku selalu ngabarin kalau gak bisa nganterin kamu pulang.”

“Ya tetep aja!”

Wooseok menghentakan kakinya kesal dengan wajah ditekuk. Jinhyuk ini ngerti gak sih. Wooseok sampai sering banget ngode tapi pasti ujung-ujungnya gak ada hasil. Dia cuma mau ketemu. Jadi pajangan saat Jinhyuk sibuk ngedraft pun gapapa, bakal dia temenin. Gak bakal dia gangguin juga, Wooseok ngerti kok.

“Yaudah katanya mau jalan, ayo.”

Wooseok mengambil ponselnya yang berada di atas tempat tidur lebih dulu sebelum berjalan ke arah pintu dan memasukkan ke dalam saku celananya. Namun, sebelum tangannya berhasil meraih handle pintu, tangan Jinhyuk lebih dulu terulur untuk menahan pintu dari arah belakangnya.

“Apalagi? katanya keburu siang.” Sambil berbalik Wooseok menatap Jinhyuk yang tangannya masih menahan pintu tepat di samping kepalanya, tampak seperti mengurungnya.

Satu sudut bibir Jinhyuk ditarik samar saat menangkap getar gugup di kedua bola mata Wooseok yang seperti biasa terhalang kacamata bulatnya.

“I hate you.” gumam Wooseok ketika melihat seringai Jinhyuk yang menyebalkan dengan jarak sedekat ini. Dia tidak suka karena segala tingkah Jinhyuk saat ini membuat jantungnya harus bekerja dengan extra.

Tanpa menanggapi ocehan Wooseok. Jinhyuk justru malah tertawa renyah dan membuka tangannya. “Orang kangen harusnya dipeluk bukan diomelin, pangeran.”

Sambil berdecak pelan dan kembali menggerutu, Wooseok langsung berhambur memeluk Jinhyuk. Bahkan hingga ia harus berjinjit agar bisa leluasa memeluk tubuh jangkung pacarnya itu.

“Kesel sama Kak Jinhyuk 20% pokoknya!”

“80% sisanya?”

“Kangen.” bisik Wooseok sambil secepat kilat mengecup pipi kiri Jinhyuk.

Jinhyuk makin tertawa saja dibuatnya. Gemes banget tingkah Wooseok.

“Bisa dangdut juga kamu, seok. Pake persenan segala.”

Mendengarnya Wooseok malah memeluk semakin erat dan memejamkan matanya, kangen Kak Jinhyuk banget.

“Biarin.”

“Iya iya, maaf ya. Aku beneran sibuk banget. Besok-besok kamu temenin aku ngedraft gapapa deh. Biar jadi makin semangat.”

“Huum.”

Jinhyuk tersenyum kecil ketika merasakan kepala Wooseok yang mengangguk di bahunya. Tangannya mengusak lembut kepala Wooseok sambil menciuminya.

Kangen banget sama si kiciw satu ini.

“Ketemu om kamu jam berapa?” Wooseok melepaskan pelukannya setelah beberapa saat dan menatap wajah Jinhyuk. Raut wajahnya terlihat jauh berbeda dari tadi, tampak lebih lembut.

“Jam 3.”

Tangan Jinhyuk masih memeluk pinggangnya, mengelusnya pelan di atas sweater berwarna biru pudar yang sedang dikenakan oleh Wooseok. Tangan Jinhyuk memang terkadang kurang ajar membuat Wooseok tanpa sadar menahan napas.

“Kak Jinhyuk, mau ngapain?” netranya menatap bingung, namun rasa penasarannya tidak bisa ditampik. Menatap lekat pada iris mata Jinhyuk.

Jinhyuk langsung mengunci pintu kamar sebelum menarik tangan Wooseok ke sofa dan menyalakan tv dengan volume dikencangkan.

“Takut digerebek Yohan.” katanya asal.

Wajah Wooseok memerah saat Jinhyuk menarik tangannya lembut agar duduk menyamping di atas pahanya. Pinggangnya sudah kembali dipeluk oleh Jinhyuk hingga membuat jarak mereka semakin sempit. Jinhyuk tersenyum lembut menatapnya. Dengan posisi seperti ini wajah Wooseok lebih tinggi dari Jinhyuk dan ia tanpa susah payah harus mendongak.

“Kenapa duduknya kayak gini?” bisik Wooseok gugup.

Jinhyuk memajukan wajahnya hingga dagunya ditumpu di atas bahu Wooseok. Tercium wangi shampoo Wooseok yang sangat wangi oleh Jinhyuk karena jarak mereka yang sangat dekat.

Puncak hidungnya bahkan hampir menyentuh pipi Wooseok yang menoleh ke arahnya, dikecupnya dengan lembut pipi halus itu.

“Gapapa. Aku kangen banget, serius.”

Jinhyuk bisa melihat Wooseok yang mengangguk kecil. Tengkuknya sedikit meremang karena napas hangat Jinhyuk yang mengenai lehernya. Rona kemerahan di pipinya semakin terlihat nyata.

“Nanti mau nginep, kak?”

Sambil masih tersenyum Jinhyuk menaikan satu alisnya, “Kamu mau, seok?” dia malah balas bertanya tidak yakin. Awalnya Wooseok mengerjap kaget ditanya seperti itu oleh Jinhyuk, lagi-lagi dia menggigit bibirnya untuk berpikir sambil kedua tangannya sibuk memainkan kukunya.

Dilema.

Kalau jawab iya nanti terkesan ngebet, kalau enggak tapi gak ada salahnya toh besok hari Minggu. Lagipula mereka sudah lama tidak bertemu.. Wooseok mau menghabiskan waktu dengan Kak Jinhyuk.

Melihat tingkah Wooseok yang seperti itu, Jinhyuk sekarang malah tidak fokus sama obrolan mereka. Matanya malah sibuk liatin bibir Wooseok yang seperti sedang menggodanya.

Wooseok seakan tahu kemana arah pandang Jinhyuk sekarang. Dia memutar bola matanya, “Mesum!” ujarnya.

“Sorry...” Jinhyuk menjauhkan wajahnya dan kembali menatap mata Wooseok dengan mengulas senyum sumbang. “Lagian udah tahu lagi kayak gini malah digigit-gigit begitu bibirnya. Bikin salah fokus aja.”

“Aku kan lagi mikir, Kak Jinhyuk!”

“Iya iya, Your Majesty.” Jinhyuk terkekeh gemas sambil menjawil puncak hidung Wooseok dengan telunjuknya.

Your Majesty apasih.”

“Jadi, gimana? mau nginep?” Jinhyuk kembali bertanya sambil merapikan anak rambut Wooseok yang berada di samping telinganya. Senyum masih terpatri jelas di wajahnya. Kedua matanya seakan dimanjakan bisa menatap paras Wooseok yang dirindukannya sedekat ini.

Lalu satu alisnya kembali terangkat menunggu jawaban Wooseok. “Mau apa enggak, yang?”

”...boleh.”

“Serius?”

“Iya, Kak Jinhyuk.”

Jinhyuk mengangguk dengan senyum lebar hingga matanya menyipit. “Aku aja yang izin ke Papa kamu nanti.”

“Papa gak ada di rumah. Ke Mama aku aja.”

“Wah, gampang banget, dong.” katanya senang. Mama Wooseok memang lebih bersahabat, tidak setegas Papanya yang pasti akan bertanya dari a sampai z sebelum berangkat nanti.

Wooseok mengangguk, mata bulatnya menatap gugup lagi pada Jinhyuk. “...nanti sekamar lagi?” ia kembali bertanya sangat pelan hingga Jinhyuk harus benar-benar memasang telinganya.

“Waduh.” responnya cepat.

“Bebas sih, aku gimana kamu aja. Tapi, aku janji gak bakal ngapa-ngapain kamu. Aku belum berani ngadep Ayah atau Papa kamu kalau ada apa-apa. Mungkin nanti kalau udah jadi “orang,” sekarang masih belum ada bekal buat apa-apa. Lulus aja belum. Sekali dicoret dari kartu keluarga juga aku langsung jadi gelandangan.”

Wooseok cuma bertanya satu hal tapi jawabnya malah kemana-mana. “Pisah kamar aja!” putusnya dengan nada kesal. Siapa juga yang minta diapa-apain. Orang cuma nanya, cukup jawab iya atau enggak, gitu.

Tangan Jinhyuk menahan pinggangnya saat Wooseok akan berdiri, malah mengeratkan pelukan. Kening Wooseok berkerut bingung menatap Jinhyuk dengan mata mengerjap-ngerjapkan yang begitu menggemaskan.

“Apasih? aku mau bangun. Ayo berang-”

“Seok, aku mau nyium kamu boleh, gak? Aku takut gak fokus sampai nanti kepikiran di jalan.” potong Jinhyuk tanpa basa-basi.

Memang sudah bisa ditebak akal bulus pangeran satu ini. Tukang gas bukan kaleng-kaleng.

Wooseok terdiam sebentar dan Jinhyuk masih menunggu, entah mengapa dia meminta izin dulu, biasanya juga langsung sikat. Yang seperti ini malah membuatnya ragu untuk menjawab.

Jinhyuk memilih melepaskan pelukannya, dan terkekeh melihat Wooseok yang terdiam. “Bercanda, meng. Udah, siapin baju gih. Bawa buat ganti. Aku turun duluan buat minta izin sama Mama kamu.”

Namun, bukannya bangun dari pangkuan Jinhyuk, tangan Wooseok malah memegang bahunya. Dengan wajah yang memerah Wooseok menatap langsung mata si dominan. “...boleh.. tapi sebentar aja..” gumamnya malu-malu.

“Terus nanti pas lihat sunset kamu harus udahan kerjanya. Aku mau ke pantai.”

“Ya ampun, siap. Apapun buat yang terhormat Tuan Pangeran Kim Wooseok.”

[XXII]

Wooseok membuka pintu kamar dengan pelan sambil matanya terus mengawasi sosok Jinhyuk yang masih tertidur nyenyak dengan posisi tengkurap serta selimut yang sudah melorot hingga pinggangnya. Takut-takut suara kunci yang ia putar membangunkan Jinhyuk.

Langkahnya berjalan ke arah dapur utama kediaman Lee, suasana rumah tampak sepi karena saat ini jarum jam yang terpasang di dinding ruang tengah yang baru saja dilewatinya masih di angka lima lebih tiga puluh pagi.

Rumah keluarga barunya ini tidak seperti rumahnya atau Yohan yang mempunyai dua lantai. Rumah Mas Jinhyuk hanya satu lantai, namun cukup luas seperti untuk tempat tinggal keluarga besar.

Mempunyai taman belakang ditanami rumput hijau yang membuatnya terlihat sangat asri, sangat cocok untuk menikmati sore hari. Bisa diakses dari ruang tengah menggunakan pintu kaca geser, sedangkan halaman depan rumahnya ditanami berbagai bunga, salah satu hobi Ibu.

Tidak lama kemudian setelah Wooseok sampai di dapur dan mengambil minum, ia mendapati Ibu mertuanya yang juga memasuki dapur.

Ibu memang selalu bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan tentu saja rutinitas baru Wooseok adalah membantunya walaupun tak jarang ia dibuat telat dan hanya tinggal makan saja karena ulah si sulung keluarga ini yang selalu menahannya untuk berlama-lama di dalam kamar.

Ibu tidak keberatan sama sekali, sebetulnya beliau juga sudah biasa menyiapkannya sendirian karena kedua putranya tidak ada yang bersahabat dengan dapur. Dengan adanya Wooseok disini, dapurnya sekarang selalu ramai di pagi hari.

Masakan Ibu enak sekali, tapi masakan Wooseok juga tidak buruk dan selalu disukai oleh keluarga ini. Sejak dulu memang ia seringkali merecoki Mama di dapur karena tidak ada lagi yang bisa ia ganggu.

“Selamat pagi, Ibu.” sapanya begitu ia selesai menenggak habis segelas air putih, Ibu tersenyum kecil menjawab sapaan menantu kesayangannya itu.

“Selamat pagi, sayang.” beliau mengusap bahu Wooseok sambil berlalu menuju kulkas, mengambil susu full cream ukuran satu liter dan menuangnya ke dalam gelas.

Waktu benar-benar terasa berlalu begitu cepat. Wooseok tadi tidak sengaja melihat tanggal di layar ponselnya, sudah tanggal tujuh lagi.

Artinya tidak terasa sudah satu bulan Wooseok menikah dan tiga minggu tinggal dengan keluarga Lee. Keluarga Mas Jinhyuk yang begitu baik padanya, menganggapnya sebagai bagian dari mereka, walaupun faktanya memang begitu, kan Wooseok suami dari Jinhyuk. Apalagi perhatian Ibu padanya yang begitu tulus.

Tinggal disini, membuatnya benar-benar merasa di rumah. Rumah ini begitu hangat. Wooseok menikmatinya, ia sangat bersyukur.

Ibu sudah seperti Mamanya, Ayah tidak ramai seperti Papanya karena pembawaannya yang tenang namun begitu hangat pada keluarga. Jelas Wooseok bisa langsung tahu, dari siapa sifatnya Mas Jinhyuk menurun.

Bonusnya Wooseok merasakan bagaimana rasanya mempunyai adik yang seringkali menempel kepadanya. Dirinya sendiri adalah anak tunggal, kalau bukan para sepupunya yang sering main ke rumah, rumahnya dulu terbiasa sepi.

Semakin sepi saat sekarang ditinggali tanpa dirinya. Ah, Wooseok jadi merindukan kedua orangtuanya. Padahal setiap hari selalu bertukar kabar.

“Tadi malam pulang sendirian, kak? kan abang lembur. Ibu kemarin nemenin Ayah ada acara. Baru pulang jam 8 malam, langsung tidur. Jadinya gak tahu pas kalian pulang.”

Ibu berbicara sambil menutup pintu kulkas, kemudian beliau duduk di kursi samping Wooseok di meja makan, meletakan dua gelas berisi susu di atas meja. Satunya digeser ke depan Wooseok.

Oh iya, semua orang sekarang memanggilnya kakak seperti Jinhyuk. Ketika ia bertanya kenapa, Ibu hanya menjawab, “Kamu kan anak ibu juga. Jadi, Ibu punya tiga anak; abang, kakak, sama adek. Lengkap.” begitu katanya yang diangguki Ayah.

Wooseok hanya bisa tersenyum dengan hati yang menghangat saat mendengarnya kala itu.

Sambil memegang gelas susunya, Wooseok berterimakasih. Ia lalu menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Ibu, netranya membalas tatapan beliau.

“Aku pulang sama Mas Jinhyuk kok, bu. Mas lemburnya gak sampai jam 10 ternyata. Terus kita makan dulu sambil beli sate pesanan adek. Jadinya baru sampai rumah jam 10.” jelasnya.

Tangan Ibu mengusap pelan punggung Wooseok. Tatapannya sangat lembut dan Wooseok begitu menyukainya. “Jangan terlalu kecapekan.” ucapnya pelan.

Wooseok seakan paham maksud Ibu. Lagi-lagi Wooseok mengulas senyum menenangkan, “Iya bu. Aku gapapa kok, sudah biasa.”

Beberapa kali memang Ibu berkata khawatir saat Wooseok harus pulang malam setiap hari karena bekerja, dan setiap itu pula Wooseok tersenyum sambil berkata tidak apa-apa.

Wooseok sudah terbiasa dengan rutinitasnya.

Setelah berkata seperti itu, Wooseok bisa melihat Ibu yang mencebik sedikit merajuk, membuat Wooseok tertawa kecil. Ibu ini lucu juga. Tapi, tatapan beliau kembali menghangat kali ini, tangannya menggengam tangan Wooseok yang ada di atas meja, senyumnya perlahan terlihat, sangat cantik.

“Gak terasa, ya? ternyata sudah satu bulan ibu punya mantu. Ibu senang kamu tinggal di sini.”

“Aku juga gak kalah seneng bisa tinggal sama keluarga ini. Walaupun aku jauh dari Mama sama Papa, tapi aku merasa seperti di rumah, bu. Makasih.”

Wooseok ikut tersenyum saat Ibu juga menarik kedua sudut bibirnya semakin lebar.

“Memang kamu itu mantu kesayangannya Ibu.”

“Mantu Ibu kan cuma aku. Saingan aku masih lama, nunggu adek nikah dulu. Hehe.”

Wooseok menatap Ibu dengan mengulas senyum simpul.

“Ibu juga mertua kesayangan aku. Pokoknya aku sayang Ibu. Maaf ya kalau aku suka ngerepotin.” tambahnya dengan nada sedikit melemah di akhir kalimat.

Merasa tidak enak.

“Enggak, kak. Ibu gak pernah merasa direpotkan sama sekali. Malah senang anak Ibu jadi nambah.”

Rumah ini justru terasa lebih ramai karena kehadiran Wooseok. Wooseok yang suka bertingkah manja padanya dan terkadang ia sering melihat Wooseok merengek pada putra sulungnya.

Sikap Wooseok yang menggemaskan mudah sekali disukai.

Kedua putranya jarang sekali bertingkah manja seperti Wooseok kepadanya. Jinhyuk selalu bertingkah sebagai anak tangguh yang bisa diandalkan sejak kecil walaupun jarak usianya terpaut jauh dengan Jinu. Jinu sendiri tidak begitu jauh berbeda, dia lebih sering mengekori abangnya dan mengganggunya.

Tangan Ibu kini mengusap pelan pipi Wooseok dengan sayang, kembali tatapannya menghangat menatap Wooseok. “Pantesan abang sayang banget sama kamu. Ibu lega, abang sudah punya tujuan hidup di usianya sekarang.” ujarnya.

Sungguh, Wooseok tidak bisa menampik kalau ia sangat terenyuh mendengarnya. Wooseok merasakan begitu disayangi di rumah ini, bukah hanya sekarang tapi sejak mereka masih bertunangan dulu. Wooseok kembali ingat saat dirinya dulu menangis di rumah ini hingga membuat semuanya khawatir. Mengingat hal itu sedikit membuatnya meringis malu.

Tangannya memeluk Ibu dari samping tanpa ragu yang kemudian dibalas usapan hangat di lengannya.

“Pagi-pagi malah jadi melow.” cicit Wooseok.

Ibu hanya terkekeh kecil mendengarnya menantu manjanya itu. “Sudah, bangunkan suami kamu. Keburu siang, nanti gak sempat sarapan. Ibu mau masak dulu.”

Wooseok mengangguk sambil melepaskan pelukannya. Meminum susu yang tadi diberi oleh Ibu lalu berdiri dari duduknya, “Aku bangunin Mas Jinhyuk dulu ya, bu.” pamitnya dan Ibu hanya mengiyakan.


Bagitu Wooseok kembali ke kamar, Jinhyuk masih tertidur lelap. Kemudian Wooseok membawa tungkainya berjalan ke arah jendela yang berada di sebelah kiri tempat tidur dan membuka gorden hingga menimbulkan cahaya dari luar menerobos masuk untuk menerangi kamar mereka.

Barusan saat melewati ruang tengah Wooseok lihat masih belum pukul 6, matahari hari ini tampak tertutup awan mendung hingga tidak seterik biasanya. Wooseok tebak mungkin nanti akan hujan.

Baiklah saatnya melakukan rutinitas paginya yang utama, yaitu membangunkan Mas Jinhyuk.

“Mas Jinhyuk bangun...”

Wooseok duduk di tepi tempat tidur, tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Jinhyuk, mencubitnya, menusuk-nusuk dengan ujung jari telunjuknya. Wooseok memang paling senang melihat wajah Mas Jinhyuk yang akan merajuk saat dibangunkan seperti itu. Terlihat lucu hingga seringkali membuatnya terkikik geli. Wooseok seperti melihat sisi Mas Jinhyuk yang lain, terkadang dia akan bertingkah manja padanya.

Sungguh sebulan ini mereka seperti belajar setiap hari untuk semakin mengenal satu sama lain. Yang dulu tidak terlihat saat masih berpacaran, lambat laun mulai mereka pahami. Menikah itu berbeda dan Wooseok menikmati setiap prosesnya.

Masih memejamkan matanya, alis tegas Jinhyuk ditekuk saat tidurnya merasa terganggu, sudah hapal di luar kepala siapa pelakunya. Kepala Jinhyuk berpindah ke atas paha Wooseok. Memeluknya lagi sambil bergumam tidak jelas, menyembunyikan wajahnya di perut Wooseok untuk menghindari cahaya yang menyilaukan.

“10 menit lagi, kak.” gumam Jinhyuk dengan suara serak khas bangun tidur. Wooseok hanya menghela napas dengan tangan yang mengelus halus rambut Jinhyuk.

Pengetahuan penting yang sudah diketahuinnya. Mas Jinhyuk selalu meminta tambahan waktu, jadi jangan sampai membangungkannya dalam waktu mepet, nanti dipastikan kesiangan.. kecuali untuk urusan mendesak. Sejujurnya Jinhyuk tipe yang mudah terjaga hanya saja memang dia itu kalau menurut Wooseok adalah kaum rebahan yang selalu ingin berlama-lama di atas tempat tidur.

“Kelamaan. Aku mau nyiapin sarapan sama Ibu, mas.”

“5 menit.” tawar Jinhyuk masih sambil ndusel di perutnya. Lagipula masih belum jam 6, Wooseok akhirnya mengangguk setuju walaupun Jinhyuk tidak bisa melihatnya. “Oke, 5 menit.” putusnya menyetujui.

Lima menit sungguh singkat bagi Jinhyuk, terlalu singkat malah untuk menikmati usapan dari tangan Wooseok di atas kepalanya. Akhirnya dia terduduk saat Wooseok sudah mengoceh. Jinhyuk mengucek matanya sesaat lalu menatap Wooseok di depannya, tersenyum tipis dan mengecup bibir suaminya itu dengan cepat, “Bawel.” katanya.

Pagi hari Jinhyuk sekarang seperti ini, setiap pagi akan dibangunkan oleh Wooseok bukan lagi Ibu yang akan mengetuk pintu kamarnya. Dibangungkan dengan cara jahil atau paling manis sekalipun. Membuatnya berkali-kali merasa beruntung bisa mengawali hari dengan menatap senyum Wooseok yang begitu manis, membuat harinya berkali-kali lebih bersemangat.

Wooseok berdiri dan kabur ke kamar mandi yang memang ada di dalam kamar dengan wajah memerah. “Sebentar aku pakai dulu kamar mandinya.” katanya kelewat cepat membuat Jinhyuk tertawa kecil.

Sudah sebulan menikah pun nyatanya Wooseok belum terbiasa, jantungnya masih berdetak cepat dan merasa lemah saat bersama Mas Jinhyuk. Huhu

Jinhyuk ikut bangun menyingkap selimutnya dan menyusul Wooseok. Kedua tangannya terlipat di depan dada dan tubuh jangkungnya bersandar di pintu kamar mandi yang dibiarkan terbuka, menatap Wooseok yang sedang menggosok giginya di depan wastafel, di area kamar mandi kering.

Langkah Jinhyuk mendekat, hingga mereka berdiri bersampingan. Jinhyuk ikut mengambil sikat giginya dan menuang pasta gigi di atasnya. Satu tangannya merangkul pundak Wooseok, satu tangannya yang lain mulai menyikat gigi.

Wooseok menatap wajah Jinhyuk lewat cermin lebar di depan mereka. Seakan bertanya, “Ngapain?” sambil melirik tangan Jinhyuk, yang lebih dewasa hanya menaikan alisnya dan mengangkat bahu sambil tetap menggosok giginya.

Sama-sama memakai piyama dan bermuka bantal, tampilan keduanya terpantul jelas di depan cermin. Tinggi Wooseok hanya sebatas dagu Jinhyuk membuat gap diantara mereka terlihat lucu. Apalagi dengan Jinhyuk yang memang sedang merangkulnya.

Tangan Jinhyuk mengacak-ngacak rambut Wooseok jahil dan Wooseok mamasang wajah protes masih lewat cermin tanpa menoleh langsung. “Berantakan.” rengeknya samar dengan sikat gigi yang masih ada di dalam mulutnya dan Jinhyuk hanya tertawa kecil.

Jinhyuk menikmati waktu singkat mereka di pagi hari seperti ini.

Wooseok yang lebih dulu selesai, dia berkumur dan membasuh muka siap untuk keluar kamar mandi. Wooseok akan membiarkan Jinhyuk untuk mandi terlebih dahulu, dirinya sendiri akan membantu Ibu untuk menyiapkan sarapan sambil menunggu.

Namun, tangan Jinhyuk menahannya dan Wooseok hanya menunggu sambil mengelap mukanya dengan tisu yang ada di sana. Ia memperhatikan Jinhyuk yang baru selesai, berkumur dan membasuh muka juga.

Sekarang mereka sudah tampak jauh lebih segar.

Tanpa diminta, Wooseok mengambil tisu lagi dan memberikannya pada Jinhyuk agar dia mengelap wajahnya. Wooseok geregetan sendiri melihatnya. Mas Jinhyuk ini, cuma cuci muka tapi kerah piyamanya sampai basah segala.

“Jam berapa ini, kak?” tanya Jinhyuk sambil sibuk mengusap wajahnya yang basah dengan tisu dari Wooseok.

“Jam 6.” jawab Wooseok singkat. Pinggangnya bersandar di tembok wastafel berwarna putih itu, tubuhnya membelakangi kaca untuk menatap Jinhyuk. “Mas mau bawa bekal hari ini? biar aku siapin.”

“Enggak deh, mas kayaknya makan di luar aja. Ada pekerjaan juga.” ujar Jinhyuk, tangannya membuang tisu ke tempat sampah yang ada di bawah, tepat di samping wastafel.

Radar Wooseok mendadak menyala saat Jinhyuk memegang kedua pinggang kecilnya dan mengangkatnya dengan mudah untuk duduk di atas tembok wastafel yang tingginya hanya sebatas pinggangnya itu.

Kedua tangan Jinhyuk bertumpu tepat di kedua sisi tubuh Wooseok dan perlahan wajah Wooseok kembali memerah lagi saat tubuhnya dikurung seperti ini. Jinhyuk berdiri diantara kaki Wooseok yang menggantung tanpa menyentuh lantai kamar mandi. Membuat wajah Wooseok berada beberapa senti di atasnya.

Senyum itu lagi. Senyum yang membuat Wooseok meleleh dihadirkan oleh Jinhyuk tanpa rasa ampun. Wooseok pusing saat Jinhyuk mulai mendekatkan wajahnya. Membuat napas mereka yang beraroma mint saling menyatu.

“Aku gak mau kesiangan.”

Jinhyuk terkekeh pelan mendengar gerutuan Wooseok yang keluar sangat lirih dari bibir mungilnya.

“Enggak akan. Kan masih jam 6, sayang.”

Perlahan tangan Jinhyuk menarik pinggang Wooseok agar membuat tubuh mereka semakin merapat. Satu tangannya mulai terangkat ke tengkuk Wooseok. Jinhyuk menarik satu sudut bibirnya untuk tersenyum, terlihat jelas di pantulan cermin sebelum dia mulai menyatukan bibir mereka.

Pacaran setelah menikah itu menyenangkan, begitu setidaknya menurut Jinhyuk. Sebulan ini Jinhyuk sangat menikmati status barunya. Walaupun mereka sibuk masing-masing seperti dulu ketika masih berpacaran, tetapi kali ini ada yang bisa didapat lebih. Waktu di pagi hari dan malam bisa mereka habiskan bersama karena sudah tinggal satu atap, satu kamar, dan tentu saja satu tempat tidur.

Begitupun ketika berduaan, tidak ada lagi yang membuatnya takut untuk menyentuh Wooseok karena dibatasi oleh prinsipnya sendiri yang selama ini dia pegang.

Wooseok melepaskan ciuman mereka lebih dulu untuk mengambil napas panjang. Napasnya terasa berat dan suasana di sekitar mereka mulai terasa panas.

Mata bulat Wooseok balik menatap mata yang memandangnya sangat lekat.

“Mau mandi?” Jinhyuk bertanya dengan suara serak, ibu jarinya mengusap lembut sudut bibir Wooseok. Mengulas senyum berbahaya.

Tawaran tidak berakhlak dari Jinhyuk membuat Wooseok menelan ludahnya susah payah. Tentu saja mereka pernah... beberapa kali disini.. dan Wooseok paham akan berakhir seperti apa nanti “mandi” yang dimaksud itu.

“Atau mau di tempat tidur? ..atau mau di sofa?”

Sumpah, Wooseok mengerang malu mendengarnya. “Mas Jinhyuk!” rengeknya dengan bibir yang mencebik ke bawah.

Mas Jinhyuk ini seperti sedang menawarkan apa saja. Bisa-bisanya bercanda dengan bertanya seperti itu.

Jinhyuk tertawa kecil sambil kembali mengecup ramun milik Wooseok dengan cepat. “Ah, lama kamu kak jawabnya. Nanti kesiangan beneran kita.” dia langsung mengangkat tubuh mungil Wooseok yang tidak terlalu berat itu.

Tangannya menahan paha Wooseok yang melingkar di pinggangnya agar tidak jatuh. Sambil bergumam tidak jelas Wooseok langsung berpegangan untuk memeluk pundak Jinhyuk.

Wooseok seperti anak koala. Digendong dari depan oleh Mas Jinhyuk yang berjalan keluar kamar mandi.

Entah menuju tempat tidur atau sofa.

A G O R A

[V]

Seharusnya ia tidak melakukan ini setelah kejadian tadi malam. Namun, Wooseok tidak bisa menahan rasa penasarannya yang tidak kunjung hilang tentang Jinhyuk sejak tadi ia membuka mata. Maka setelah sarapan, Wooseok bergegas ke area kandang kuda dengan berbagai alasan yang ia berikan pada Byungchan. Untungnya putra Artemis itu juga akan berlatih panahan di hari Minggu ini, sehingga tidak bertanya lebih lanjut.

Wooseok merapatkan jaket berwarna mustard kebesaran yang dikenakannya, ia juga memasang kupluk yang menutupi sebagian kepalanya. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan oleh para siswa di hari Minggu seperti ini. Kebanyakan hanya malas-malasan di kamar masing-masing, apalagi sekarang waktu masih menunjukkan pukul 7 pagi, tadi saja saat Wooseok dan Byungchan sarapan suasana tidak begitu ramai.

Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, Wooseok terus berjalan melintasi lapangan yang tampak sepi, hanya terlihat beberapa orang yang sedang berolahraga. Langkahnya terus berjalan melewati taman utama sekolah, Wooseok sedikit mendesah ragu ketika berbelok ke arah barat, ke samping pavilion hingga akhirnya ia bisa melihat sebuah gerbang tinggi yang terbuka lebar.

Kandang kuda.

Wooseok bisa melihat beberapa pekerja yang sedang memberi makan kuda, ada juga yang memandikannya. Mereka tampak sibuk masing-masing.

Beberapa orang tersenyum sambil menyapanya, terlalu heran mendapati putra sang dewi berkujung di pagi hari seperti ini. Sebuah kejadian langka. Wooseok hanya membalas dengan senyum tipis dan mulai membawa langkahnya semakin dalam memasuki kandang kuda.

Wooseok juga berpapasan dengan beberapa orang yang menuntun kuda, baik werewolf maupun half olympian yang akan menunggang. Sekedar untuk berjalan-jalan di hari Minggu pagi atau berolahraga sungguh-sungguh di arena pacuan yang berada tepat di samping kadang kuda. Memang tidak ada batasan dalam menggunakan kuda-kuda disini, semua siswa bebas meminjamnya.

Kepala Wooseok menoleh ketika melewati kandang yang dulu begitu familiar untuknya, tempat kudanya berlatih ketika kelas menunggang. Tanpa sadar ia mendesah kecewa karena sekarang kandang kuda itu tampak kosong, mungkin kuda berwarna putih itu sedang digunakan oleh orang lain.

Semakin dalam Wooseok berjalan hingga akhirnya sampai di depan kandang paling ujung, tampak Emrys yang sedang makan, namun tidak ada sosok Jinhyuk disana.

“Emrys..” bisiknya sambil mengusap surai hitam kuda jantan itu. “Kau apa kabar?”

Tawa kecil keluar dari bibir Wooseok, ia menggelengkan kepalanya saat sadar pertanyaan bodoh yang baru saja ia tanyakan. Tentu saja jawabannya hanya suara ringkikkan nyaring.

“Wooseok?”

“Seungwoo..” gumam Wooseok begitu mendengar namanya diserukan dengan ragu. Di depannya tampak gagah putra Zeus yang menuntun seekor kuda jantan setinggi hampir 1.7 meter berwarna coklat tua dengan surai panjang yang menjuntai di atas kepalanya.

“Sedang apa disini? akan menunggang?”

Seungwoo bertanya sambil mengerutkan alisnya, menatap Wooseok sekilas sebelum sibuk membuka kandang kuda yang hanya terhalang satu ruang dengan kandang milik Emrys. Dia memasukkan kuda yang tadi dituntunnya, mengunci pintunya kembali dan kemudian berjalan mendekati Wooseok.

Thoroughbred jantan, pilihan yang bagus.” tambahnya saat sudah berdiri tepat di samping Wooseok dan ikut memandang Emrys.

“Tidak. Aku hanya melihat-lihat saja. Habis menunggang?”

Sambil mengulas senyum tipis, Wooseok bertanya basa-basi dan dia mendapati Seungwoo yang mengangguk kecil. Terlihat sedikit peluh yang membasahi dahi hingga rambutnya tampak sedikit basah, namun tidak mengurangi sedikitpun ketampanan putra sang dewa nomor satu itu.

“Begitulah. Aku kira tadi bukan dirimu, dari samping tampak familiar tapi karena kepalamu tertutup aku sempat ragu.” jelas Seungwoo. Pandangannya kemudian berpindah dari Emrys ke arah Wooseok yang langsung menurunkan kupluk jaket dari kepalanya sambil meringis.

“Apa nilaimu saat dulu kelas menunggang? A?”

“B+”

Dan Seungwoo tertawa pelan dengan suara berat hingga matanya tampak menyipit. Sambil tangannya mengelus pelan kepala Emrys dia berkata. “Tidak buruk. Tapi, jangan dia kalau begitu, pilih kuda yang lain saja. Sepertinya kau tidak akan bisa mengimbanginya. Nanti yang ada kau dibawa kabur oleh kuda ini.”

Si putra Aphrodite hanya mencebikkan bibirnya mendengar petuah dari Seungwoo. “Lagipula aku tidak berniat menungganginya. Kan aku tadi bilang, aku.. hanya melihat-lihat saja. Hanya.. ya.. sudah lama aku tidak melihat kuda disini.”

“Disana. Aku rasa itu akan cocok untukmu. Itu kuda Tennessee yang selalu Sejeong gunakan untuk berlatih. Pakai saja.”

Wooseok mengikuti arah yang ditunjuk oleh Seungwoo dan ia mengangguk sambil mengucap terimakasih. Jenis kuda yang sama dengan kuda untuk berlatihnya dulu, pilihan Seungwoo tidak salah memang.

“Masih lama?”

“Apanya?”

“Kau, disini.”

“Oh..” Wooseok tampak melihat sekelilingnya sebentar, netranya tentu saja mencari sosok Jinhyuk, namun pemuda jangkung itu tidak terlihat sedikitpun tanda-tandanya. “Masih.” putusnya, Wooseok akan menunggu sebentar lagi.

“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu.” satu tepukan kecil di pundak Wooseok menjadi gestur pamit dari Seungwoo. Putra Zeus itu menampilkan senyum menawannya sebelum benar-benar berjalan meninggalkan Wooseok sendirian. “Sampai nanti.”

“Sampai nanti.” balas Wooseok.

Begitu punggung Seungwoo semakin menjauh, Wooseok menghela napas panjang. Dirinya kembali menatap Emrys yang masih sibuk makan, bahkan kuda pun perlu sarapan, batinnya berbicara.

“Apa tidak ada yang menunggangimu hari Minggu ini, Emrys?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada. “Kemana tuanmu itu!” lanjutnya dengan nada sedikit kesal.

Wooseok seakan lupa dengan ucapan yang tadi malam dia dengar, tentang Jinhyuk. Tentang dirinya yang harus berhati-hati. Namun, tidak bisa dibohongi jauh di dalam hatinya ia masih menyimpan curiga tentang pertemuan Jinhyuk dan Master Lee tadi malam.

Lantas, untuk apa sekarang ia repot-repot pagi hari begini sudah berada di kandang kuda alih-alih kembali menikmati waktu libur di kamarnya? atau ikut berlatih panahan dengan putra Artemis misalnya? Wooseok tidak tahu. Entah hanya karena rasa penasarannya tentang sosok Jinhyuk atau memang ada hal lain yang mendorongnya untuk datang kesini.

Wooseok sibuk dengan pikirannya yang mempertanyakan alasannya sendiri, sehingga dirinya tidak menyadari kehadiran seseorang yang berjalan di belakangnya.

“Wooseok son of Aphrodite.”

Sebuah suara khas yang berat dan dalam terdengar begitu dekat di sampingnya. Kepalanya menoleh cepat dan netranya langsung bisa menangkap sosok jangkung Jinhyuk yang memakai hoodie, berwarna hitam.

Sebuah senyum tipis tanpa sadar tergambar di paras Wooseok. Akhirnya, yang ia tunggu daritadi.

“Emrys.. kau sarapan ditemani putra sang dewi.” ujar Jinhyuk sambil mengelus kepala Emrys dan kemudian seperti biasa, kuda jantan itu seperti merespon ucapan Jinhyuk dengan mengeluarkan suara ringkikkan cukup nyaring.

“Sedang apa disini?” suara berat Jinhyuk kembali terdengar, dia menatap Wooseok dengan pandangan dalamnya, seperti waktu itu.

Wooseok menelan ludahnya sebelum menjawab. “Hanya jalan-jalan.. kau tahu ini hari Minggu. Aku.. hanya bosan di asrama.” katanya sambil membalas tatapan Jinhyuk dan Jinhyuk langsung menarik sedikit satu sudut bibirnya. “Alasan yang masuk akal.” responnya.

“Terserah.” balas Wooseok sambil kembali memasang kupluknya dan tangannya juga kembali bersembuyi di balik saku jaket. Gerak geriknya tidak luput dari pandangan Jinhyuk yang masih menatapnya, berdiri di hadapannya dengan jarak kurang dari satu meter.

“Tadi malam..” suara Jinhyuk tampak menggantung, netranya masih mengunci tatapan Wooseok. Kedua tangan Wooseok yang berada di dalam saku jaket mendadak berkeringat dan jantungnya berdetak cepat.

“Aku pergi dulu.” cicitnya lalu memundurkan langkah dan berbalik untuk pergi. Ia tidak tahu harus menjawab apa bila Jinhyuk bertanya alasannya berada di sekolah tadi malam bersama para half blood itu. Wooseok tidak mungkin mengatakan pada Jinhyuk kalau ia membuntutinya dan ia juga sudah diperingatkan terhadap Jinhyuk. Wooseok sendiri masih belum tahu alasan dari perkataan half blood tadi malam.

Wooseok masih belum mengerti maksudnya.

“Tunggu.”

Wooseok berbalik saat sebuah tangan mencekal lengan atasnya. Ia tidak berani mendongak untuk menatap langsung wajah Jinhyuk yang berada sangat dekat dengannya. Napas hangat Jinhyuk kembali menerpa puncak kepalanya. Wooseok menahan napas dan memejamkan matanya dengan rapat saat tangan Jinhyuk membuka kupluk yang menutupi sebagian wajahnya.

Berbagai pikiran negatif berkeliaran di kepalanya, bagaimana kalau Jinhyuk ternyata benar-benar berbahaya, bagaimana kalau ucapan half blood tadi malam benar, bagaimana kalau-

“Mau berjalan-jalan bersamaku?”

Wooseok perlahan membuka mata dan menghembuskan napas lega ketika tidak terjadi apa-apa padanya. Setidaknya kali ini, ia selamat.

Kepalanya mendongak secara perlahan dan mata kelam itu kembali menyambutnya. Iris mata segelap malam di Agora. Namun, iris mata dengan tatapan tajam itu sedikit melembut kali ini.

“Kau, takut padaku?” bisiknya.

Wooseok membenarkan kacamatanya, terdiam sesaat lalu menggeleng pelan. Tangan Jinhyuk masih memegang lengan atasnya dan jarak mereka tidak dikurangi sedikit pun. “Pembohong yang buruk.” gumam Jinhyuk dengan suara serak.

Tangannya melepaskan lengan Wooseok begitu saja, serta memberi jarak kembali diantara mereka. Dia langsung berbalik dan melangkah. Memunggungi begitu saja sosok Wooseok yang masih terpaku.

“Pulanglah.”

Jinhyuk mengusap kepala Emrys sebelum membuka kunci kandangnya, menuntun kuda jantan itu keluar dari kandang. Memasangkan pelana lalu berjalan melewati Wooseok yang masih terdiam di tempatnya.

“Jinhyuk.”

Untuk pertama kalinya Jinhyuk mendengar suara merdu Wooseok yang merafalkan namanya. Dia tahu Wooseok sudah mendengar langsung siapa namanya saat temannya memanggil kala itu. Jinhyuk baru tahu, namanya terdengar begitu indah.. bila putra sang dewi yang merafalkannya.

Langkah kaki Jinhyuk yang menuntun Emrys berhenti, “..aku ikut.” suara Wooseok terdengar pelan dan penuh keraguan. Sebelum berbalik dan menatap wajah cantik Wooseok, Jinhyuk mengulas senyum yang teramat samar di paras tampannya.

“Pilih kudamu.”

Wooseok mengangguk cepat lalu langkah kecilnya berjalan ke arah kandang kuda yang tadi ditunjuk oleh Seungwoo. Dibantu salah seorang penjaga disana, ia mengeluarkan kuda dan memasangkan pelana.

Cukup lama terakhir kali Wooseok menunggang, ia sempat dilanda ragu saat menuntun kuda berwarna coklat setinggi 1.5 meter itu ke arah Jinhyuk.

“Ayo.”

Mereka berjalan pelan bersisian sambil menuntun kuda masing-masing untuk keluar gerbang. Wooseok bisa merasakan presensinya yang membuat beberapa pasang mata menatapnya penasaran. Dia melirik Jinhyuk yang berjalan dengan tenang di sampingnya, tidak tampak terganggu dengan orang-orang yang belalu lalang memperhatikan mereka.

“Kau terlalu cantik.” Wooseok mengerjapkan mata bulatnya dibalik kacamata ketika mendengar ucapan Jinhyuk yang tiba-tiba.

“Terlalu menarik perhatian.”

Tangan kirinya langsung memasang kembali kupluk yang tadi sempat dibuka oleh Jinhyuk. Sedangkan, tangan kanannya semakin erat memegang tali yang yang menuntun kuda.

Perkataan Jinhyuk, membuat jantungnya berdebar dan ia bisa merasakan panas di kedua pipinya.

“Kita.. tidak ke arena pacuan?”

Jinhyuk menggelengkan kepala ketika Wooseok bertanya dengan alis yang menyatu, bingung. “Ikuti saja aku.” jawabnya. Dan Wooseok hanya mengangguk, langkah kakinya mengikuti Jinhyuk yang berjalan tenang menuntun kuda ke arah belakang sekolah.

“Perlu bantuan?”

Wooseok mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya, ia kesulitan saat akan manaiki kuda. Jinhyuk yang sudah duduk di atas kuda miliknya langsung turun kembali, langkah panjangnya berjalan ke arah Wooseok.

Dengan bantuan Jinhyuk yang membantu mengangkatnya dengan memegang pinggangnya, Wooseok berhasil duduk di atas pelana. Dia menghela napas gugup sambil mengusap-ngusap leher kuda coklat tersebut.

“Hati-hati, pelan-pelan saja.” ujar Jinhyuk yang masih berdiri di sampingnya. Tangan kokohnya mengusap kepala kuda itu dan matanya menatap Wooseok. Wooseok mengangguk kecil sambil tersenyum tipis.

Setelah memastikan Wooseok aman, Jinhyuk kembali ke kudanya dan dia dengan mudah kembali duduk di atasnya.

Awalnya kuda mereka berjalan pelan, menyusuri jalan di belakang sekolah hingga perlahan Jinhyuk yang lebih dulu memacu membuat Emrys berlali kecil dan mengeluarkan suara ringkikkan nyaring. Wooseok yang mulai terbiasa hanya mengikuti dan berhasil menyusul Jinhyuk hingga mereka kembali menjadi bersisian.

Wooseok tapsir kali ini mungkin sudah pukul 8 pagi, namun kabut tipis tampak masih terlihat di hutan belakang sekolah ini. Suara kaki kuda, suara burung serta suara berbagai hewan di dalam hutan menemani perjalanan mereka.

“Kau pernah ke sungai Alios?” Jinhyuk bertanya dengan suara cukup keras.

“Pernah.”

Jinhyuk mengangguk lalu mengedikkan kepalanya ke arah depan, “Ikuti aku.” setelah berkata demikian, Jinhyuk menambah kecepatannya dalam memacu. Membuat Emrys kembali bersuara nyaring dan berlari dengan keempat kaki kokohnya.

Wooseok tersenyum lebar dan mulai mengikuti Jinhyuk. Kemampuan menunggangnya tidak memalukan juga ternyata. Walaupun jelas dia sadar berada jauh dibawah Jinhyuk. Wooseok tahu Jinhyuk beberapa kali memperlambat kecepatannya agar Wooseok tidak tertinggal cukup jauh di belakangnya.

Semakin jauh ke dalam hutan, Jinhyuk semakin memperlambat kecepatannya dan memberikan tanda agar Wooseok berada di sampingnya. “Sebentar lagi.” katanya.

Wooseok mengangguk, ia sudah bisa mendengar suara arus air yang berasal dari air terjun di hulu sungai. Air terjun tempat para werewolf bermain. Mungkin Jinhyuk sengaja mengajaknya kesini.

“Sebentar, biar aku bantu.”

Jinhyuk turun dari kudanya terlebih dulu, dia lalu mengikat tali pada pohon yang cukup kokoh. Tungkainya lalu melangkah mendekati kuda Wooseok. Menuntun kuda tersebut ke arah pohon yang sama dan mengikat talinya juga. Wooseok hanya memperhatikan dalam diam segala tingkah Jinhyuk dengan dirinya yang masih berada di atas kuda.

“Hati-hati.”

Tangan Jinhyuk kembali memegang pinggang kecil Wooseok yang mencoba untuk turun. Tangan Wooseok sendiri sudah bertumpu pada kedua pundak lebar milik Jinhyuk.

Ketika Wooseok turun, ia bisa merasakan tangan Jinhyuk yang menahannya, memegang pinggangnya dengan sedikit mencengkram hingga kakinya bisa berpijak sempurna di atas tanah.

“Terima..” ucapan Wooseok tertahan di tenggorokan ketika ia mendongak dan menyadari jarak mereka yang sangat dekat. Tangannya masih bertumpu di atas pundak Jinhyuk dan tangan Jinhyuk belum terlepas dari kedua sisi pinggangnya.

Jantungnya berdegup kencang saat iris gelap itu kembali menerobos masuk semakin dalam melalui tatapannya. Kali ini Wooseok bisa menatap jelas setiap inchi dari paras Jinhyuk.

Dahinya terlihat jelas karena rambutnya tersingkap saat tadi menunggang, alis tebal dan tegasnya. Garis mata hingga bulu mata panjangnya. Tulang hidung yang tinggi. Garis rahangnya yang terlihat sempurna serta keseluruhan garis tegas di wajahnya. Dilihat dari jarak sedekat ini, Wooseok mengakui... Jinhyuk begitu tampan.

Seakan telah puas menatap keseluruhan wajah Jinhyuk, iris coklat Wooseok kembali bersitatap dengan iris hitam milik Jinhyuk yang tidak lepas sedikitpun memandangnya sejak tadi.

Napas keduanya terasa memburu menerpa wajah masing-masing.

Iris mata Jinhyuk bergulir sedikit menatap rona kemerahan yang terlihat jelas di kedua pipi Wooseok. Perlahan tangannya terangkat untuk merapikan rambut Wooseok yang sedikit berantakan akibat kupluknya yang terlepas sejak tadi. Wooseok hanya bisa menahan napas dibuatnya, kedua tangannya yang berada di atas pundak Jinhyuk mengepal gugup.

Tanpa bicara apapun hanya dengan sedikit perlakuannya, Jinhyuk bisa membuat putra Aphrodite yang dipuja banyak orang terbungkam.

“Wooseok son of Aphrodite.”

Wooseok seakan kembali dari pikirannya ketika suara berat Jinhyuk berbisik dengan tenang. Tangannya yang berada di atas pundak Jinhyuk langsung dilepaskan dan Wooseok mengambil langkah untuk sedikit menjauh membuat tangan Jinhyuk yang berada di pinggangnya terlepas begitu saja. “Maaf.”

Jinhyuk menarik sedikit sudut bibirnya melihat reaksi Wooseok. “Kau cantik, saat tersipu.” katanya dan Wooseok hanya bisa merutuki tingkah bodohnya barusan.

“Nevermind.” bisiknya sambil berjalan meninggalkan Jinhyuk.

Lagi-lagi Jinhyuk menampilkan senyum samar melihat tingkah putra Aphrodite itu.

Langkah kecil Wooseok dengan mudah disusul oleh Jinhyuk. Keduanya kembali berjalan bersisian, “Itu air terjunnya!” ujar Wooseok sambil menunjuk antusias dengan tangannya. Kepalanya menoleh cepat ke arah Jinhyuk, “Apa tidak terlalu jauh kita meninggalkan kuda di sana?”

“Tidak. Sudah biasa, disana lebih banyak banyak rumput untuk mereka.” balas Jinhyuk. Wooseok hanya membulatkan mulutnya tanpa banyak protes, lagipula Jinhyuk yang lebih tahu.

Wooseok membuka sepatunya dengan cepat, menggulung celana hingga sebatas lutut. Rupanya terlihat beberapa orang yang juga sedang bermain disana, entahlah Wooseok tidak mengenalnya.

Lagipula ia tidak perduli.

Begitu selesai, Wooseok langsung duduk di atas batu besar dengan kakinya yang masuk ke dalam air. Ia sempat berjingkat saat merasakan dinginnya air sungai Alios. Alios merupakan salah satu sumber air utama bagi tanah Agora. Kepalanya menengadah menatap tinggi air terjun di depannya, mungkin sekitar 35 meter dengan aliran air yang cukup deras. Sengaja ia duduk cukup jauh agar menghindari cipratannya.

Wooseok lupa kapan pastinya terakhir kali ia kesini, waktu itu kalau tidak salah bersama Byungchan ketika menemaninya berburu, mungkin beberapa bulan lalu.

Karena terlalu antusias, Wooseok sampai melupakan sosok Jinhyuk. Ia berbalik dan memperhatikan Jinhyuk yang duduk diatas batang pohon tumbang di tepi sungai tidak jauh darinya, dia baru saja akan membuka sepatunya.

Wooseok baru melihat Jinhyuk sekitar dua minggu lalu dari satu tahun lamanya ia bersekolah di Agora. Kemana saja ia selama ini?

Wooseok dikenal sangat membatasi dalam berteman, namun dengan Jinhyuk rasanya berbeda. Wooseok begitu mudah percaya, buktinya hari ini. Dengan mudah ia mengikutinya, mengiyakan ajakannya, pergi berdua dengannya.

Jinhyuk, bisik Wooseok dalam hatinya tanpa sadar.

Jinhyuk mengangkat wajah saat selesai melepas sepatunya, pandangannya justru bertemu dengan iris coklat dibalik kacamata bulat milik putra Aphrodite yang masih menatapnya, diantara mereka hanya terdengar suara gemuruh dari arus air terjun.

Tanpa ada yang berniat mengalihkan tatapan lebih dulu, keduanya hanya saling menatap dalam diam. Seakan melanjutkan yang belum selesai, mereka kembali menyelami tatapan masing-masing walaupun dengan jarak yang tidak sedekat tadi.

Dan untuk pertama kalinya Wooseok melihat sebuah senyum hangat di wajah tegas Jinhyuk. Tanpa ragu, seakan ada yang menggelitik perutnya, Wooseok ikut menarik kedua sudut bibirnya, membalas senyum Jinhyuk.

Wajahnya terasa memanas saat Jinhyuk berdiri dari duduknya dan berjalan pelan menghampirinya.

“Kenapa?” tanya Jinhyuk langsung ketika sudah duduk di atas batu tepat di samping kirinya. Dia juga menggulung celana panjangnya. Wooseok menggelengkan kapalanya dan sibuk menunduk untuk menatap kaki telanjangnya yang berada di dalam air, kakinya dimainkan sehingga menimbulkan riak kecil hingga kaki Jinhyuk turut bergabung dengannya. “Tidak apa-apa.” jawabnya lirih.

Jinhyuk menghela napas pendek, menatap paras Wooseok dari samping. “Sudah aku bilang tadi...” dia menjeda ucapannya membuat wajah Wooseok kembali terangkat dan mata bulat dibalik kacamata itu menatap penasaran pada Jinhyuk yang sekarang justru mengalihkan tatapan ke depan, menatap jauh ke atas dengan senyum tipis di bibirnya.

“Kau cantik saat tersipu, Wooseok.”


di pertemuan pertama, ia mengabaikannya,

di pertemuan kedua, ia mengetahui namanya,

di pertemuan ketiga, ia dibuat penasaran,

dan di pertemuan ke empat, ia dibuat bergedup.

[XXI]

“Mas Jinhyuk...”

Jinhyuk hanya bergumam mendengar rengekan Wooseok dengan tangannya yang menyikut pelan perut Jinhyuk. “Bangun.” lanjutnya lagi.

Namun, Jinhyuk seakan tidak perduli. Dia kembali menggumam tanpa berniat membuka matanya, tangannya malah semakin erat memeluk leher Wooseok dari belakang. Kepalanya semakin terbenam di pundak Wooseok dan Wooseok hanya mengerucutkan bibirnya ketika punggungnya semakin rapat dengan tubuh Mas Jinhyuk. Bahkan, dirinya sudah dijadikan guling, kaki Mas Jinhyuk ikut memeluknya.

Mau berbalik pun susah, apalagi untuk bangun.

“Udah siang, udah mau jam tujuh.”

“Masih ngantuk.” balas Jinhyuk dengan suara serak khas bangun tidur. Wooseok kembali merengek, membuat Jinhyuk menghela napas dan membuka matanya yang terasa silau hingga kedua alisnya mengerut karena cahaya matahari yang menerobos dari celah gorden. Namun, tanpa berniat melepaskan pelukannya sama sekali. Tangannya malah menarik selimut yang sudah melorot di pinggangnya untuk kembali ke atas, menutupi hingga bahu Wooseok. “Dingin.” gumamnya lagi.

“Aku matiin AC nya, sebentar bangun dulu.”

“Enggak usah. Mas tahu kamu mau kabur.”

Jinhyuk kembali menutup matanya sambil mengecup pundak Wooseok sekilas sebelum mengulas senyum kecil. Wajahnya kembali dibenamkan di pundak Wooseok.

Sesungguhnya kalau saja ini masih di hotel atau setidaknya masih di Bandung, di rumah orangtuanya, Wooseok akan dengan senang hati ikut memejamkan kembali matanya bersama Mas Jinhyuk. Tidur lagi sampai siang.

Namun, masalahnya mereka sekarang tinggal di rumah Mas Jinhyuk, di rumah MERTUANYA. Mau ditaruh dimana muka Wooseok saat nanti keluar kamar kalau dia bangun siang. Apalagi Mamanya yang selalu mengoceh memberinya wejangan sejak jauh-jauh hari lalu.

Di rumah mertua harus ini lah, itu lah.

Lah ini bagaimana, orang anaknya sendiri yang susah bangun sampai jam segini. Huhu Wooseok tidak mau dicap sebagai menantu tidak tahu diri oleh Ayah dan Ibu Mas Jinhyuk. Pikirannya sudah kemana-mana.

“Mas Jinhyuk, tanggung jawab kalau nanti aku dicap buruk.”

“Iya.”

“Huhu nanti aku yang disalahin.”

“Enggak.”

“Nanti dikira menantu yang males. Padahal baru sehari tinggal disini.”

“Enggak akan, kak.”

“Mas Jinhyuk...”

Kim Wooseok dan rengekan manjanya di pagi hari sangat ramai memenuhi kamar Jinhyuk yang telah resmi sejak kemarin menjadi kamar mereka berdua.

Jinhyuk melonggarkan pelukannya dengan mata masih terpejam. Tangannya memegang pundak Wooseok lalu menariknya agar berbalik.

Jinhyuk memeluknya lagi.

Membenamkan wajah Wooseok di dadanya dan menjadikan lengannya bantal untuk kepala Wooseok. “Tidur.” katanya sambil menaruh dagunya di atas kepala Wooseok.

“Udah gak ngantuk.” balas Wooseok dengan suara yang teredam. Tangannya menarik-narik baju piyama Jinhyuk tepat di bagian punggungnya, sesekali mencolek-colek pinggangnya iseng sambil terkikik geli saat Jinhyuk menggeram kesal.

“Aku mau bangun.. bangun.. bangun..”

“Kamu gak kasihan sama suami kamu ini, kak? Kemarin nyetir dari Bandung terus langsung packing, belum lagi ngangkatin barang pas pindahan naik turun tangga dari lantai dua ke mobil.” Jinhyuk berbicara pelan sambil kembali mengeratkan pelukannya.

Benar-benar menjadikan Wooseok sebagai guling.

“Yaudah mas tidur lagi. Aku nya aja yang bangun.” Wooseok masih keukeuh dengan niatnya dan Jinhyuk yang tetap menolak. “Enggak mau, mas maunya tidur sama kamu, begini.”

Sejujurnya, Jinhyuk masih ingat perkataan Wooseok tadi malam sebelum tidur. Tapi mau bagaimana lagi, dia benar-benar masih ingin tidur, badannya terasa capek.

“Mas aku besok bangun pagi, ya?”

“Ngapain? kan weekend.”

Wooseok menggelengkan kepalanya, menatap Jinhyuk dengan serius. “Harus tetap bangun pagi, malu sama Ayah sama Ibu. Kata Mama gak boleh malu-maluin kalau di rumah mertua.”

Obrolan mereka berakhir dengan Wooseok yang merajuk karena Jinhyuk malah tertawa menanggapinya.

“Mas Jinhyuk-”

“Gak ada. Ibu ngerti.” potong Jinhyuk langsung sebelum Wooseok menyelesaikan ucapannya. Tangannya mengelus pelan kepala Wooseok, menyisir rambutnya juga tidak lupa menciuminya.

“Nanti aku aduin ke Ibu disuruh Mas Jinhyuk bangun siang.”

Jinhyuk mengangguk, “Iya bilangin saja. Nanti bangunnya pas kita mau ke rumah Yohan.”

“Tapi..” kepala Wooseok mendongak untuk menatap Jinhyuk yang ternyata masih terpejam. Sudut bibirnya ditarik otomatis ketika melihatnya.

Haduh ganteng banget sih mas suami, huhu aku gakuat aku lemah, batinnya kembali membucin.

“Tapi?” Jinhyuk membuka matanya perlahan, menunduk sedikit untuk menatap Wooseok. “Tapi apa, hmm?”

“Tapi.. besok. Hari ini kan pertama nginep. Aku mau bantuin Ibu buat sarapan. Aku mau membuat citra yang baik di hari pertama. Ya, Mas Jinhyuk sayang? Please.” rayunya dengan tatapan memelas khas anak kucing. Mengerjap-ngerjapkan matanya perlahan dan mencebikkan bibirnya ke bawah dengan tangan yang terangkat untuk mengusap lembut pipi Jinhyuk.

“Haduh, sakit, Mas Jinhyuk huhu...” rengekan Wooseok kembali terdengar sambil tangannya sibuk beralih mengusap-ngusap pipinya sendiri. Lagi, Wooseok mengerucutkan bibir mungilnya. “Kok malah dicubit sih? pasti merah pipi aku? iyakan?” tanyanya menuntut sambil menjunjuk pipinya yang barusan dicubit oleh Jinhyuk.

“Habisnya. Kamu ngeselin banget. Masih pagi juga.”

Jinhyuk kemudian menggelengkan kepalanya, yang benar saja. Tangannya hanya menyubit gemas dengan pelan. Memang sudah dasarnya saja Kim Wooseok yang senang merajuk.

“Enggak. Gak merah sama sekali, sayang. Orang mas cuma nyubit pelan, kok.” lanjutnya, tangan Jinhyuk menangkup pipi kiri Wooseok, menggantikan tangan Wooseok untuk mengusapnya lembut menggunakan ibu jarinya.

“Beneran?”

“Hmm.”

Jinhyuk mengangguk, menarik satu sudut bibirnya sambil menatap lekat kedua mata bulat Wooseok yang mengerjap bingung sekaligus penasaran.

Kak Ushin bangun tidur dan suara merajuknya adalah perpaduan yang sangat menggemaskan, bagi Jinhyuk.

Secara perlahan Jinhyuk semakin menundukkan wajahnya untuk mengecup lembut tepat di sudut bibir Wooseok, hanya mengenai bibir atasnya sedikit. Sengaja menahannya sebentar hingga Wooseok kelimpungan, kemudian dia berbisik lirih sambil meledek, “Kalau begini, baru wajah kamu langsung merah, kak.”

“Mas Jinhyuk!”

“Tuh kan! malahan langsung merah sampai ke telinga kamu.” Jinhyuk berkata sambil tertawa kecil melihatnya, “Gitu doang malu.”

Sambil mengedikkan bahunya menahan malu dengan wajah memanas, Wooseok bercicit pelan lalu menunduk menghindari tatapan Jinhyuk, pandangannya kembali menatap dada Jinhyuk dan memainkan tangannya disana. “Aku kan belum terbiasa.”

Jinhyuk tersenyum ketika mendengarnya, menatap rona di pipi Wooseok yang tampak menggemaskan. “Iya, baru juga seminggu. Waktu kita masih panjang, sayang.” katanya.

Tangan Jinhyuk mengangkat dagu Wooseok agar kembali mempertemukan pandangan mereka. Begitu melihat senyum hangat Jinhyuk, Wooseok ikut tersenyum tanpa ragu. Tangannya menggenggam tangan Jinhyuk yang kembali berada di pipinya. “Dulu waktu kita gak banyak pas pacaran ya, mas? Sekarang malah bisa seharian sama Mas Jinhyuk. Aku seneng bangetttt!”

Sungguh, Jinhyuk bisa melihat senyum Wooseok sampai hingga ke matanya, berbinar tampak begitu bahagia menatapnya. Dia pun merasakannya, waktu yang dulu susah sekali didapat sekarang seakan berlimpah untuk mereka berdua, seminggu ini dari mulai membuka mata hingga menutup mata di malam hari Jinhyuk bisa menatap sosok Wooseok.

Rasanya melegakan, sangat.

Dengan senyum yang semakin lebar Wooseok berhambur untuk memeluk leher Jinhyuk ketika Jinhyuk beralih untuk menarik pinggang kecilnya semakin merapat.

Bahkan, sekarang Jinhyuk bisa leluasa memeluk tubuh mungil Wooseok, mencium puncak kepalanya, menghirup wangi rambutnya, mengecup pipinya, mendengar suaranya yang begitu dekat.

Jinhyuk tidak kalah bahagia dari Wooseok.

“Mas..”

“Hmm?”

Jinhyuk bisa merasakan hembusan napas hangat Wooseok di ceruk lehernya.

“Gapapa..” Wooseok kembali menarik kedua sudut bibirnya, tangannya mengeratkan pelukan. Ia lalu memejamkan matanya. Rasanya, begitu menenangkan seperti ini. Berada di pelukan Mas Jinhyuk, di rumahnya.

“Ibu gimana?” cicit Wooseok setelah beberapa menit hening. Masih saja!

Jinhyuk berdecak samar tidak tahan, kali ini dia bangun dari tidurnya. “Kamu dengar sendiri, ya!” katanya pada Wooseok yang menatapnya bingung. Jinhyuk mengusak puncak kepalanya gemas sebelum turun dari tempat tidur, berjalan dan membuka pintu kamar mereka yang terkunci. Jinhyuk menyembulkan kepala keluar dan berteriak memanggil Ibunya. Tingkahnya membuat mata Wooseok melebar sepenuhnya.

“Mas Jinhyuk, kamu ngapain?” tanyanya panik.

“Ibu, perlu dibantuin bikin sarapan, enggak? Mantunya malu mau bangun siang, padahal abang masih ngantuk.”

“Gak usah, bang. Ibu sudah masak sendiri.”

“Oke, makasih, bu.”

“Bang, ngapain sih berisik banget!”

“Maaf, dek. Jangan ganggu, ya!”

Wooseok hanya bisa menyembunyikan wajahnya dibalik bantal sambil merengek malu, walaupun suaranya teredam oleh bantal, tapi masih bisa Jinhyuk dengar dengan jelas.

“AKU GAK MAU KETEMU IBU GARA-GARA MAS JINHYUK HUHUHU”

Jinhyuk hanya menggelengkan kepalanya dan tertawa geli sambil kembali menutup pintu serta menguncinya. Tungkainya kembali melangkah ke tempat tidur. Merebahkan dirinya lagi sambil menarik tubuh Wooseok ke dalam pelukannya.

“Makanya nurut atau sekalian saja mas buat gak usah keluar kamar seharian, gimana? Aw! gak usah nyubit kalau mau.”

“Gamau huhu.”

A G O R A

[VII]

Byungchan mengambil sepotong sosis pedas di atas piring milik Wooseok secara perlahan menggunakan garpu miliknya. Tingkahnya langsung membuat Sejin menepuk punggung tangannya sambil berdesis melotot.

“Byungchan!” gumamnya kesal.

Dengan sedikit menggembrak meja, Byungchan menunjuk Wooseok yang masih terdiam, tidak merespon sedikitpun tingkahnya barusan. “Kau lihat kan! Wooseok bahkan tidak sadar aku mengambil makanannya!”

Sejin menghela napas panjang, menatap Wooseok yang duduk di depan mereka. Sejak tadi, sejak mereka bertemu dengan Wooseok dan Yohan di depan dinning hall, Wooseok hanya terdiam tidak banyak bicara. Bahkan sekarang semakin parah, makanannya belum disentuh sedikitpun. Kedua piringnya masih utuh, baik makanan utama maupun kudapan penutupnya.

Wooseok dan pikirannya seperti tidak disana.

“Wooseok..”

Tangan Sejin menyentuh pelan lengan Wooseok sehingga membuat Wooseok mengerjap kaget dengan pandangan tidak fokus, “Ya?” tanyanya linglung sambil menatap Sejin dan Byungchan. “Kenapa?”

Byungchan berdecak pelan, meletakan kembali sendok yang sudah berada tepat di depan mulutnya, “Harusnya kita yang bertanya. Kau kenapa, Wooseok? Kau dan Yohan habis darimana, sih? Kenapa pulang-pulang malah seperti ini.”

Byungchan bertanya khawatir, dia tadi sempat bertanya pada Yohan, namun si kulit pucat itu hanya menggelengkan kepalanya dan berlalu begitu saja untuk bergabung dengan teman-teman half blood nya. Rasa curiganya semakin nyata sekarang, matanya menatap semakin lekat pada Wooseok, dan yang ditatap hanya mendesah pasrah.

“Nanti aku ceritakan, di kamar. Tidak disini” bisiknya. “Sejin juga, kau bisa ikut.”

Keduanya mengangguk setuju, “Makananmu sebaiknya dihabiskan dulu, aku tidak mau kau sakit, Wooseok.”

Wooseok mengangguk pelan, dan mulai memakannya dengan tidak selera. “Yuvin mana?” tanyanya kemudian setelah satu suapan berhasil ia telan susah payah, selera makanya sungguh sudah hilang.

Wooseok baru sadar si putra Hermes tidak makan malam bersama mereka.

“Makan dengan para werewolf, tuh!” jawab Sejin sambil menujuk ke belakang tubuh Wooseok menggunakan garpunya yang teracung. Wooseok berbalik penasaran, dan ia langsung bisa melihat sosok Yuvin sedang makan dengan Seungyoun dan teman-temannya tanpa terlihat sungkan.

Sungguh pandai sekali bergaul.

“Seungyoun, siswa tingkat dua, ya?”

Sejin mengangguk, netranya menatap Wooseok penasaran, “Kenapa? tumben sekali.” Wooseok mengangkat bahunya, tersenyum tipis membalas tatapan Sejin, “Tenang saja, aku tidak tertarik padanya, Sejin.”

Byungchan langsung menyikut lengan Sejin sambil mulutnya sibuk mengunyah makanan. “Kau tahu, selama setahun ini Wooseok tidak pernah menyukai seorang pun di Agora walaupun ratusan orang memujanya. Aku yakin itu, jadi kau tidak usah cemas werewolf mu itu direbut olehnya.” Lesung pipinya tampak samar saat dia meringis akibat Sejin menatapnya tajam, frontal sekali saudaranya ini.

“Lagipula Wooseok punya Eros di pihaknya, kisah cintanya pasti akan lancar.” tambahnya sambil menatap Wooseok, “Iyakan, Seok?”

“Entahlah.” balas Wooseok samar sambil tersenyum tipis, ia kembali mengaduk makanannya tidak semangat.

“Kenapa sih? dia menatapku ya, Sej?”

“Jangan terlalu percaya diri, Byungchan.”

“Tapi, daritadi dia melirik ke arah sini. Mimpi apa aku diperhatikan half blood seperti dia. Mengerikan bukan? ya walaupun tampan, sih.”

Wooseok menenggak habis minumnya, dan menggeser piring kudapannya ke depan Byungchan, “Untukmu, habiskan, ya.” katanya. Makanan utamannya sendiri masih tersisa dan ia tidak berniat untuk menghabiskannya sama sekali.

“Serius? Terimakasih, temanku.” Byungchan langsung mengambilnya, tidak ada kata kenyang untuk menampung semua makanan ini. Wooseok hanya mengangguk pelan, melihat Byungchan yang makan dengan lahap membuat perutnya terasa begah.

“Perut karet.” ledekan Sejin tidak diindahkan sama sekali. “Malu dilihat orang, tahu!”

“Tidak perduli.”

Wooseok terkekeh kecil, ia menyukai interaksi Byungchan dan Sejin yang seringkali bertengkar karena hal-hal kecil, namun ia juga tahu keduanya saling meyanyangi. Begitulah sebuah persaudaraan, Wooseok terkadang merasa iri karena dia hanyalah anak tunggal.

“Dia menatapku lagi, sialan! maunya apa sih? kalau mau mendekatiku ya datangi langsung ke sini.”

Wooseok mengerutkan keningnya mendengar gerutuan yang keluar dari bibir Byungchan, “Siapa?” tanyanya penasaran.

“Eunwoo, arah jam 4 darimu. Kau tahu dia kan? half blood tingkat dua.”

Wooseok terdiam mendengar nama Eunwoo. Kejadian tadi kembali terputar di pikirannya, sebaris kalimat yang diucapkan Eunwoo kembali terngiang jelas di telinganya. Tangannya tanpa sadar berpilin saling bertautan dan berkeringat di bawah meja.

Jinhyuk son of Hades.

Jinhyuk son of Hades.

Jinhyuk son of Hades.

Jinhyuk son of Hades.

Suara decitan kursi yang terdengar cukup nyaring menyita perhatian beberapa orang yang masih sibuk makan dan mengobrol, hingga menimbulkan suasana hening sesaat diantara mereka untuk mencari dari mana sumber suara tersebut.

Sekarang, puluhan pasang mata menatap penasaran ke arah putra Aphrodite, Byungchan dan Sejin tidak kalah heran melihat Wooseok yang berdiri secara mendadak, menarik perhatian mereka yang masih berada di dinning hall.

“Wooseok, kenapa?” tanya Byungchan langsung, dia mengedarkan pandangannya. Sekarang, mereka benar-benar menjadi pusat perhatian. Dia bahkan bisa melihat Yuvin yang bertanya melalui tatapan matanya.

“Aku.. ke kamar duluan.” bisik Wooseok sambil meremas ujung kaos hitamnya. Lalu tanpa melihat sekelilingnya, dia langsung berderap melangkahkan kakinya meninggalkan dinning hall. Mengabaikan puluhan pasang mata yang menatapnya penasaran dan kemudian sibuk berasumsi.

Yohan menghela napas dalam melihat punggung Wooseok yang meninggalkan dinning hall, netranya tanpa sengaja bersitatap dengan pandangan tajam milik Eunwoo. Dia buru-buru mengalihkan tatapannya kembali pada makanan di depannya sambil mengerang frustasi, impian kehidupan sekolahnya yang berjalan damai tidak akan sama lagi setelah ini.

Ini semua karena Jinhyuk yang bahkan Yohan tidak tahu bagaimana rupa si Prince of underworld itu sendiri.

Ditengah rasa frustasinya, tiba-tiba sudut mata Yohan menangkap satu orang yang secara perlahan keluar dari dinning hall,

Jinhyuk? Yohan masih familiar dengan punggung itu, punggung yang tadi mereka lihat menyelinap dari balik pohon. Punggung lebar yang dibalut jaket jeans berwarna hitam. Netranya menatap panik pada Eunwoo, bagaimana kalau Jinhyuk mau menemui Wooseok? apa Wooseok akan dalam bahaya?

Namun, sialnya Eunwoo seperti tidak menyadari tatapannya, dia sedang sibuk berbicara dengan teman-temannya.

Tanpa berpikir untuk menghabiskan makanannya, Yohan buru-buru berdiri dari duduknya, dan berjalan keluar dinning hal, tujuannya hanya satu, memastikan Wooseok baik-baik saja.

Tanpa ada yang menyadari, putra Zeus menatap dengan penuh perhatian, meruntut semua kejadian dari awal dengan tenang dan dia mengulas senyum sangat tipis ketika akhirnya Eunwoo ikut melangkahkan kaki meninggalkan dinning hall untuk menyusul Yohan.

Bibir Seungwoo berdecak samar, kemudian menandaskan minumnya. Netranya melirik pada Daniel yang duduk di sampingnya. Putra Poseidon itu sedang menikmati kudapannya dengan tenang, sesekali dia menimpali perkataan Sejeong tanpa minat.

“Kau tahu kalau Jinhyuk sudah kembali ke Agora?” tanyanya pelan. Memastikan Sejeong tidak mendengar obrolan mereka.

“Ya, aku tahu. Aku pernah melihatnya saat dia keluar dari ruangan Master Lee.”

“Menurutmu, ini akan menarik?”

Sambil mengangkat bahunya, Daniel menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, menampilkan beberapa punggung yang berjalan keluar dari ruangan ini.

“Entahlah, kau tahu. Aku malas berurusan dengan dia lagi.”

Satu kekehan Seungwoo yang terdengar berat membuat Daniel menghembuskan napas dalam. “Kau saja, aku tidak mau membuang tenaga.”

“Lain kali akan aku pinjam trisula milik Ayahmu, Daniel.”

Daniel menggelengkan kepalanya, membalas tatapan Seungwoo sambil mengulas senyum miring, “Kookhoen, dia dan Pedang Ares lebih berguna untukmu.”