[XVI]
Jinhyuk berjalan menyusuri pantai dengan pandangan yang terus mengedar. Matahari tampak belum sepenuhnya tenggelam di ufuk barat. Namun, cahaya kemerahan sudah memenuhi sepenuhnya warna di langit hingga memantul di atas air laut, tampak cantik berkilauan, indah.
Napasnya dihembuskan kasar saat suasana pantai tampak ramai karena ini malam minggu. Para pengunjung resort tampak asik menikmati pemandangan indah tersebut. Pemandangan anak kecil berlarian dikejar orangtuanya sambil bercanda atau pasangan yang berangkulan mesra sambil berbagi tawa baik orangtua maupun pasangan muda yang Jinhyuk tebak pasti sedang honeymoon disini membuatnya tanpa sadar mengulas senyum.
Sungguh pemandangan yang begitu hangat.
Kaki panjangnya semakin jauh melangkah menyusuri garis pantai sambil terus mencari sosok mungil Wooseok diantara orang-orang ini.
Hatinya benar-benar merasa bersalah pada kekasihnya itu. Jinhyuk sudah berjanji tadi untuk menemaninya melihat sunset, namun begitu banyak sekali yang harus ia bahas dengan Om Seunggi dan para Manajer di pertemuan tadi.
Sejak sebulan lalu di pertemuan keluarga, Ayah memang bilang Jinhyuk akan mengelola resort ini. Dia diberi tanggung jawab untuk menggantikan Om Seunggi, adik bungsu Ayahnya yang akan menikah tiga bulan lagi.
Diantara kesibukannya di kampus, Jinhyuk harus membagi waktu untuk pekerjaannya. Maka, solusinya lebih cepat lulus lebih baik, begitu kata Ayah.
Total empat bulan dari pertama Jinhyuk diberitahu hingga nanti Om nya benar-benar menikah dan pindah ke luar negeri. Tentu saja terlalu cepat menurut Jinhyuk untuk menggantikan tanggung jawab besar ini. Biar bagaimana pun, resort keluarga ini sudah ada sejak dulu, tidak mungkin Jinhyuk bermain-main dengannya.
Jinhyuk tidak serta merta langsung mengambil alih, dia masih perlu belajar banyak. Harus malah. Jadi, kembali lagi Om Seunggi sekarang masih yang utama, Jinhyuk berperan sebagai anak bawang. Tidak apa, lagipula dia belum siap. Takut malah mengacau.
Sebenarnya mungkin kalau menurut keluarga besar Lee, apalagi Oma, resort ini hanya salah satu usaha yang tidak terlalu berpengaruh. Makanya ditunjuk untuk dipercayakan pada Jinhyuk yang baru akan belajar.
Namun, bagi anak seusia Jinhyuk yang bahkan belum genap 22 jelas berbeda. Gila sih ini merupakan tanggung jawab pertamanya yang benar-benar sangat besar dan penting sebagai keluarga Lee.
Dipilihnya dia saja oleh Ayah membuatnya terbengong lama, oh ayolah Ayah tahu bagaimana dia menyembunyikan statusnya dan selalu menghindar dari segala tata aturan keluarga Lee yang terhormat. Apalagi ketika dulu saat Opa masih ada, Jinhyuk kadang tidak terlalu suka kalau bertemu dengan beliau. Bukannya tidak sayang pada Ayah dari Ayahnya itu, Jinhyuk kecil hanya takut dengan beliau yang pembawaannya terlihat sangat tegas. Tanya saja Sejin pasti dia akan setuju.
Terus bisa-bisanya sekarang dia diberi tanggung jawab seperti ini, bahkan saat belum menyelesaikan masa studynya. Hey ini resort lho... resort beneran yang sudah punya nama besar, bukan warung gerobak pinggir jalan, begitu menurut pikiran Jinhyuk yang terkadang memang terlalu merakyat dari statusnya.
Kalau kata Ibu sih, buat pengalaman. Jinhyuk hanya menurut.
Oke sampai sini sepertinya Jinhyuk harus mengakui keluarganya memang benar-benar “cukup” berada. Tidak berbeda jauh dengan keluarga Wooseok dan Yunseong. Ya sesama keluarga yang dari kakek nenek moyangnya sudah berada di garis ningrat atau darah biru.
Kembali lagi, pandangan Jinhyuk terus mengedar. Dia bahkan sampai berjalan di dekat bibir pantai, takut-takut Wooseok sedang bermain air. Namun, tidak ada.
“Seok, lo dimana sih ya ampun..” gumamnya sambil menajamkan penglihatan.
“Lama-lama gue aduin juga jadi anak hilang ke petugas pantai biar diumumin di toa mercusuar.” tambahnya sambil terus berjalan.
Wooseok memeluk kakinya dan manaruh dagu di atas lututnya. Duduk sendirian di atas pasir dengan beralaskan sandal jepit yang tadi sempat dibelikan oleh Jinhyuk dari toko oleh-oleh ketika mereka baru saja sampai di resort.
Ujung celana panjang berwarna putihnya digulung hingga sebatas betis. Kaki telanjangnya penuh dengan pasir putih yang menempel karena tadi dia sempat berjalan di air saat menyusuri pantai.
Langkahnya tadi tidak terasa membawanya berjalan sidikit jauh. Buktinya saja hingga saat ini Jinhyuk belum berhasil menemukannya.
Rambutnya terkena angin yang cukup kencang di sore ini, tampak sedikit membuatnya berantakan dengan kacamata diatasnya. Namun, Wooseok tidak ada niat untuk merapikannya sama sekali. Wajah tampannya tertimpa cahaya matahari yang tampak kemerahan. Hangat seperti membelai kulitnya.
Pandangannya menatap lurus ke depan, memperhatikan ombak yang tidak terlalu besar, malah cenderung cukup tenang.
Memperhatikan kilau cahaya di atas air, serta matahari yang sebentar lagi kembali ke tempat asalnya. Digantikan dengan bulan yang bahkan presensinya samar-samar sudah terlihat mengintip malu-malu, menunggu giliran untuk menyinari langit gelap.
Perhatian Wooseok langsung teralihkan saat sebuah blazer berwarna hitam tiba-tiba tersampir di atas bahunya. Dari wanginya saja Wooseok sudah tahu, wangi khas Jinhyuk.
Orangnya langsung ikut duduk disamping kirinya tanpa repot-repot memakai alas duduk, lagipula Jinhyuk masih menggunakan sepatu alih-alih sandal seperti yang digunakan oleh Wooseok.
“Hampir aja aku ke petugas orang hilang buat bikin pengumuman. Untungnya langsung ketemu disini.”
Lee Jinhyuk ini memang selalu ada-ada saja tingkahnya.
Wooseok terkekeh kecil mendengarnya, kepalanya dimiringkan untuk menatap Jinhyuk yang terlihat memasang wajah lega.
Tangan Wooseok membenarkan blazer Jinhyuk yang ada di bahunya karena takut melorot, tapi tidak untuk dipakainya, setidaknya saat ini.
Jinhyuk memang tadi memakai blazer untuk melapisi kaos pendeknya agar terlihat lebih rapi.
“Maaf ya, sayang...” suara Jinhyuk terdengar begitu menyesal, menatap Wooseok tidak enak.
“Gapapa, kak. Toh masih keburu kan ini?” balas Wooseok sambil tersenyum tipis.
Jinhyuk ikut tersenyum dan tangannya mencubit pipi Wooseok dengan gemas. Merasa lega saat Wooseok tidak marah atau kesal bahkan rewel karena kesalahannya yang hampir mengingkari janji.
Kim Wooseok sungguh sedang menjadi anak manis.
Sambil menggeser duduknya untuk merapat, tangan Jinhyuk terulur untuk merangkul Wooseok dan menyandarkan kepala Wooseok di bahunya.
Wooseok tersenyum sambil meluruskan kakinya dan tangannya langsung melingkar di pinggang Jinhyuk. Dia memejamkan mata saat merasakan tangan Jinhyuk yang mengusap-usap kepalanya dengan sayang dan mencium pelipisnya lembut. Jinhyuk juga melepaskan kecamata yang ada di atas kepala Wooseok dan menyimpannya di atas pasir tepat di sampingnya.
Wooseok ingin seperti ini, mengganti waktunya dengan Jinhyuk yang dua minggu belakangan sangat sedikit sekali. Wooseok merindukan segala perlakuan manis dan perhatian Jinhyuk untuknya.
“Kangen kakak.”
Jinhyuk tidak bisa kalau tidak menarik kedua sudut bibirnya ketika mendengar ucapan Wooseok yang bahkan cenderung seperti berbisik. Tangan Wooseok semakin mengerat memeluk pinggangnya dengan wajah yang dibenamkan di dadanya.
Bahaya, bisa-bisa Jinhyuk terkena serangan jantung kalau Wooseok terus-terusan bersikap manis dan manja sekaligus. Jarang sekali dia bersikap seperti ini.
Tangan Jinhyuk mengusap-usap lengan Wooseok dan dagunya ditumpu di atas kepala Wooseok. “Kakak juga, kangen kamu.” dia menghembuskan napas dalam untuk menjeda.
“Sekali lagi maaf ninggalin kamu tadi sendirian.”
Wooseok hanya mengangguk kecil di dada Jinhyuk. “Iya.. aku mengerti, kok.”
Kepalanya menengadah untuk menatap wajah kekasihnya itu. Jinhyuk begitu tampan dengan dahi yang terlihat jelas karena tadi dia sempat menata rapi rambutnya. Dan ketika Jinhyuk menunduk untuk balas menatap wajahnya, Wooseok menahan napas sesaat.
Wooseok dibuat jatuh cinta dengan iris mata Jinhyuk yang tampak begitu indah tertimpa sorot cahaya matahari. Tampak seperti madu, meleleh dan berwarna coklat, serta terasa hangat.
“Indah..” bisik Wooseok sambil mengulas senyum yang begitu manis. Dengan jarak sedekat ini tingkah Wooseok berhasil membuat Jinhyuk merasakan perutnya tergelitik.
“Apanya?”
Wooseok menggigit bibirnya gugup sebelum kembali berbicara. “...itu mata Kak Jinhyuk. Aku suka, seperti madu.”
Sumpah. Ini Wooseok benar-benar ya. Jinhyuk mengerang gemas dibuatnya. Dipeluknya tubuh Wooseok erat sambil digoyangkannya sedikit. Diciuminya puncak kepala Wooseok berkali-kali serta kedua pipinya.
Wooseok hanya meloloskan tawa renyah diperlakukan seperti itu oleh Jinhyuk. Dia menyukainya. Dia sungguh merindukan Jinhyuk.
“Gak kuat aku kalau kamu kayak gini terus, seok. Ampun deh.”
“Daripada aku galak dan mara-mara terus, hayo? Kak Jinhyuk pilih yang mana?”
“Kalau kamu galak sama mara-mara aku pusing. Kalau kamu kayak gini aku juga makin pusing. Gak bisa milih, 50 : 50 aja, ya? Jangan terlalu galak, jangan terlalu manis juga.”
Tangan Wooseok mencubit pelan pinggang Jinhyuk. Mata bulatnya memandang Jinhyuk penuh tekad. “Enggak, hari ini sama besok aku gak mau mara-mara. Gak akan ngambek-ngambek. Gak akan ketus. Janji.”
Mendengarnya Jinhyuk mencebikkan bibir tidak yakin, tapi akhirnya dia mengangguk mengiyakan. Kita lihat saja nanti.
“Oke, aku pegang ya janjinya pangeran.”
“Oke!” Wooseok mengangguk yakin dengan ucapannya. Kepalanya kembali bersandar dengan nyaman di dada Jinhyuk sambil menikmati usapan lembut dari tangan Jinhyuk.
Lalu tanpa ada yang bicara lagi keduanya hanya terdiam melihat ke depan, menatap bagaimana kuasa Tuhan yang begitu luar biasa menakjubkan. Bulatan berwarna orange itu tampak seperti tenggelam secara perlahan ke dalam laut.
“Udah gelap, pulang yuk? makan malam.”
Jinhyuk yang pertama kali bersuara dan Wooseok hanya mengangguk. Keduanya berdiri sambil menepuk-nepuk celana mereka yang terdapat pasir di bagian belakangnya. Wooseok memakai blazer Jinhyuk
dengan benar, terlihat begitu lucu karena tubuh mungilnya tenggelam di ukuran tubuh Jinhyuk. Ditambah kacamata bulat yang sudah dipakainya lagi.
“Gendong...”
Jinhyuk tersedak ludahnya sendiri saat mendengar nada manja Wooseok saat mereka baru saja akan melangkah. Bibirnya mungilnya maju beberapa senti dan mentap Jinhyuk seperti anak kecil.
“Bentar. Gak salah?”
“Enggak. Kak Jinhyuk.... ya? boleh?” rengeknya semakin menjadi sambil menarik-narik ujung kaos putih yang dikenakan oleh Jinhyuk.
Seketika Jinhyuk memegang dadanya dan bertingkah seperti terkena serangan jantung.
“Aduh.. gila gakuat gue, gakuat, seok. Kamu kerasukan au sebelah apa gimana?” tanyanya yang membuat Wooseok mengerucutkan bibir.
“Apasih Kak Jinhyuk gajelas nih.”
Sambil menaha tawa dan menggelengkan kepalanya Jinhyuk berucap lupakan. Lalu tubuh jangkungnya berjongkok di depan Wooseok yang berdiri.
“Silahkan, Your Majesty.” ujarnya penuh hormat.
Sambil terkikik geli dengan tingkah Jinhyuk, Wooseok langsung memeluk tubuhnya dari belakang tanpa ragu. Tangannya mengerat memeluk leher Jinhyuk saat Jinhyuk mulai berjalan dengan pelan.
Wooseok memejamkan matanya sambil menumpu dagu di atas pundak kiri Jinhyuk, dia menikmati waktunya dengan Jinhyuk yang seperti ini. Jinhyuk juga tidak berbicara, dia hanya berjalan dalam diam.
Beberapa menit kemudian Wooseok kembali membuka mata. “Makasih, kak.” dia berkata sambil mengecup pipi Jinhyuk dari samping dan menahannya cukup lama. “Hadiah dari aku, buat Kak Jinhyuk.” lanjutnya sambil berbisik.
Jinhyuk semakin dibuat tidak habis pikir dengan perubahan mood Wooseok hari ini.
Mungkin dia terlalu kangen padanya?
“Dalam rangka apa? Satunya lagi dong sekalian biar adil, seok.” pintanya tidak tahu malu sambil tertawa kecil.
Memang dasar manusia, dikasih hati malah minta jantung.
Namun, karena Wooseok sedang menjadi anak manis. Tanpa diduga dia berpindah untuk menumpu dagunya di pundak kanan Jinhyuk dan mencium pipinya lagi.
“Gatau, dalam rangka apa. Hmm.. aku lagi seneng aja.”
Jinhyuk benar-benar menarik kedua sudut bibirnya hingga ujung maksimal. Tersenyum lebar menikmati sikap manis Wooseok.
Tangan Wooseok memeluk leher Jinhyuk dengan erat hingga pipi keduanya saling bersentuhan.
“Kak..”
Jinhyuk bergumam pelan, tangannya memegang kedua kaki Wooseok dan sedikit mengangkatnya saat dirasa mulai melorot. Beruntung tubuh Wooseok tidak berat.
“Jadi inget dulu pernah digendong gini pas aku jatuh di tangga.”
Pikiran Jinhyuk mengingat cepat, Jinhyuk ingat bagaimana dulu dia begitu panik saat diberi kabar oleh Yuvin.
Wooseok bisa merasakan kepala Jinhyuk yang mengangguk kecil sambil menghela napas.
“Iya, yang awalnya kamu keukeuh gak mau karena malu dilihat orang.”
Sambil meringis kecil Wooseok mengiyakan perkataan Jinhyuk. Tapi, tidak lama dia kembali mengulas senyumnya, “Kalau sekarang malah kayaknya aku bakal sengaja meluk kamu kayak gini. Biar orang-orang tahu..”
“Tahu apa?”
“Tahu aku gak perduli sama omongan mereka... yang penting aku bisa sama Kak Jinhyuk.”
Langkah Jinhyuk sempat terhenti sesaat begitu mendengar ucapan Wooseok yang terdengar begitu polos menurutnya.
Kepala Jinhyuk menoleh untuk mencuri kecupan di bibir mungil Wooseok. Tidak ada protesan yang keluar dari bibir mungil itu, yang dia dengar justru rengekan malu-malu yang begitu menggemaskan.
Kemudian langkah Jinhyuk kembali berlanjut sambil mengeratkan gendongannya.
“Terus kayak gini kan banyak pengunjung tuh yang lihat, bukan anak kampus doang. Kamu gak malu digendong sama aku? Kan udah gede.”
“Enggak, biarin aja. Perduli amat, kan gak kenal. Orang kita lagi pacaran.”
Ya memang, ini dia Kim Wooseok dengan segala perkataan pedas dan nada angkuhnya. Jinhyuk sudah mulai terbiasa mendengarnya.
“Lagian yang punya tempatnya juga kamu, pacar aku.”
Kali ini Jinhyuk tidak bisa menahan tawanya hingga pundaknya bergetar dan dagu Wooseok yang ada diatasnya ikut bergerak. Dia berehem sebentar sebelum menyombong, “Keren kan bisa pacaran sama yang punya resort begini?”
Tidak langsung merespon, Wooseok bergumam pelan sambil pura-pura berpikir, dia berdecak sebelum berbicara, “Lumayan lah, not bad. Bisa buat liburan gratis.”
“Anjir, gue merasa dimanfaatkan.”
“Tapi beneran, buktinya aku gak bayar disini. Enak banget. Makasih, ya.”
“Kok ngeselin sih.”
“Hehe Kak Jinhyuk marah?”
“Enggak lah.” Jinhyuk menggelengkan kepalanya, dia cuma bercanda.
Wajahnya kembali menoleh untuk mencuri kecupan yang kali ini disambut oleh Wooseok dengan senyuman, bahkan dia mengusap-usap dengan lembut rambut Jinhyuk, menyisir dengan jemari lentiknya.
Manis banget sih Wooseok malam ini, jadi pingin gue kelonin sambil gue cium terus, anjir. Kira-kira begitulah Lee Jinhyuk dan isi pikirannya.
“Nanti kamu juga gratis deh kalau nginep di hotel keluarga aku, biar impas. Terus nanti usaha kita bisa joint. Mau gak? Mungkin bikin hotel and resort di pantai mana gitu, kak. Bintang enam sekalian haha ketinggian gak sih?”
“Ketinggian, nanti jatuh.”
“Yaudah lima aja. Nanti keren kan kalau ditanya punya siapa nih? jawabnya punya keluarga Kim sama Lee hasil patungan. Terus nanti masuk headline news, lumayan buat promosi.”
Wooseok mengoceh dengan semangat membuat Jinhyuk tidak bisa menahan kekehan kecil yang keluar dari bilah bibir.
“Mentang-mentang anak ekonomi, anjir. Patungan banget nih, hahaha.”
Wooseok ikut tertawa dibilang seperti itu. Selanjutnya mengalirlah obrolan tidak jelas mereka yang terasa seru menemani langkah Jinhyuk yang masih menyusuri pantai, diiringi suara debur ombak dan cahaya dari bulan yang sudah sepenuhnya menampakan diri serta penerangan berasal dari lampu-lampu di pinggir pantai yang berwarna kekuningan.
“Atau enggak kita jadi rival aja? bikin deketan terus kita saingan? seru tuh sampai salah satunya collapse, kak.”
“Buset, serem amat seok ngadi-ngadinya. Jangan lah. Kita bersatu aja daripada bermusuhan, biar profit sama benefitnya makin gede.”
“Oh.. biar makin kaya, ya?” Wooseok bertanya sambil menolehkan wajahnya ke arah Jinhyuk, tidak bisa menahan senyumnya saat Jinhyuk ikut menimpali obrolan ngadi-ngadinya.
Jinhyuk menaik turunkan kedua alisnya dan tersenyum tak kalah lebar menatap Wooseok yang memasang binar bahagia di wajahnya.
“Iya lah jelas.” jawabnya. “Biar bisa keliling dunia.”
“Haha sama siapa?”
“Sama yang mau aja.”
“Aku dong. Aku mau, aku ikut!”
“With pleasure, prince.”
“Berdua?” bisik Wooseok sambil kembali mengeratkan pelukannya.
“Kalau banyakan namanya study tour dong, sayang.”
“Haha iya juga...”
Jinhyuk hanya bisa menggelengkan kepalanya, merasa tidak habis pikir dengan obrolan random mereka yang semakin melantur. Tapi, toh dia sangat menikmatinya, sungguh. Bersama Wooseok, Jinhyuk bisa melepaskan penatnya baik karena perkuliahan dan pekerjaannya.
Terkadang Jinhyuk memang sengaja bercanda hingga membuat Wooseok merenggut sebal. Mengerjai Wooseok membuatnya benar-benar merasa gemas. Wooseok punya cara tersendiri untuk membuat Jinhyuk semakin jatuh cinta.
“By the way, pinggang aku bisa encok nih lama-lama. Kalau sampai depan kamar begini.”
Wooseok terkekeh mendengarnya, lagian dia tadi hanya iseng sebentar malah keasikan ngobrol. “Yaudah turunin disini, kak.”
Jinhyuk langsung berlagak meregangkan tubuhnya sambil mengusap-usap pinggangnya begitu Wooseok turun dari punggungnya. Dia meringis sedikit.
“Masih muda masa encok sih. Kamu lemah banget kayak kakek-kakek.” Nah kan, ceplas-ceplosnya itu lho yang tidak pernah disaring.
“Enggak lah. Aku cuma bercanda, pangeran kiciwku sayang.”
Jinhyuk mendengus kecil dan tangan kirinya merangkul pundak Wooseok, mereka kembali berjalan. Tanpa ragu, tangan kanan Wooseok juga memeluk pinggang Jinhyuk dan tangan kirinya memegang tangan Jinhyuk yang menggantung di pundaknya.
“Tapi aku serius lho, seok.” Jinhyuk bembali berbicara sambil mencium pelipis Wooseok.
“Apanya, kak?”
“Impian masa kecil aku, bisa keliling dunia..”
Wooseok mendongak untuk menatap Jinhyuk dengan kening berkerut dalam. Dia menghentikan langkahnya dan Jinhyuk pun ikut berhenti.
“Kirain bercanda..” gumam Wooseok. Sudah tidak aneh, dia terkadang sulit membedakan saat Jinhyuk serius atau bercanda.
Jinhyuk menghela napas kecil dan mengedikkan bahunya sambil mengulas senyum tipis. “Cuma impian masa kecil sih... tapi kayaknya sekarang jadi impian masa depan.”
“Benarkah?” raut wajah Wooseok sungguh penasaran menatap Jinhyuk dan Jinhyuk hanya tertawa sambil mencubit pucuk hidungnya.
Wooseok terlihat sangat menggemaskan dengan tatapan polos seperti itu, ditambah blazer yang dikenakannya begitu besar, dia tanpa repot-repot menggulung bagian tangannya.
“Iya..”
“Aku mau nemenin Kak Jinhyuk kalau begitu.” sahut Wooseok cepat tanpa harus berpikir panjang. “Asal dibayarin.”
“Waduh bangkrut, dong.”
“Hahaha...”
Wooseok tertawa melihat wajah Jinhyuk yang merenggut. Terlihat lucu menurutnya.
“Kayak diterbangin terus dijatuhin ke jurang, seok.”
Wooseok sampai harus menutup mulut menggunakan tangan saat menutupi tawanya. Dia lalu berjalan lebih dulu meninggalkan Jinhyuk. “Udah ah, ayo. Katanya mau makan.”
“Kalau dibayarin emang serius mau?”
Wooseok berbalik untuk menatap Jinhyuk yang masih berdiri di tempat tadi. Keningnya berkerut dan pandangan mereka bersitatap cukup lama. Maksudnya?
“Emang kamu punya uang banyak?”
“Enggak sebanyak itu sih kalau sekarang.” jawab Jinhyuk sambil berjalan mendekati Wooseok, dia tidak tersinggung sama sekali dengan pertanyaan Wooseok yang asal bicara itu.
“Kecuali kalau jualin koleksi action figures sama games aku, besok juga bisa langsung pergi.”
Tangan Jinhyuk terulur untuk mengusap-usap puncak kepala Wooseok. Tubuhnya sedikit menunduk agar wajah mereka sejajar.
“Tapi gak mungkin. Mereka kesayangan aku, seok. Tunggu ya, beberapa tahun lagi buat aku nabung dulu.”
Wooseok menggelengkan kepalanya panik saat Jinhyuk berkata begitu serius sambil menatapnya dalam.
”..bukan gitu.. aku bercanda, kak. Sumpah.” ujarnya, dia sungguh hanya bercanda. Wooseok takut Jinhyuk menganggap permintaannya serius. Dulu diberi mainan saja dia tidak enak karena harganya yang mahal, apalagi ini.
Wooseok menghela napas panjang dan menatap Jinhyuk yang berdiri di depannya. Pandangannya melembut menatap lurus iris mata Jinhyuk yang tampak lebih gelap sekarang. Tangannya memegang lengan Jinhyuk dan mengkode agar dia mendekat. Tanpa banyak bertanya, Jinhyuk menurut agar telinganya sejajar dengan bibir Wooseok.
“Kalau udah saatnya bilang aja. Ayo mewujudkan impian masa kecil sekaligus masa depan Kak Jinhyuk... berdua.”
Jinhyuk terdiam sesaat setelah mendengar suara Wooseok yang begitu lirih namun terdengar sungguh-sungguh berbisik di telinganya.
Setelah kesadarannya kembali ditarik paksa, Lee Jinhyuk bisa melihat di hadapannya ada Kim Wooseok yang mengulas senyum tulus dan tatapan berbinar.
Tidak ada yang bisa Jinhyuk lakukan selain sembalas senyum tulus kekasihnya itu dengan senyum lebar.
“Makasih.. gila seneng banget ada yang bakal nemenin. Tapi, kalau aku punya uang banyak, aku beneran lho. Buat Dek Wooseok apasih yang enggak.”
Wooseok tertawa menatap Jinhyuk yang tersenyum lebar hingga benar-benar terlihat bahagia ditambah ucapan dangdutnya seakan Wooseok telah memberinya hadiah yang besar saja.
Wooseok menjamin ajakannya tadi adalah sungguh-sungguh. Dia mau ikut mewudkan mimpi Jinhyuk kecil yang begitu besar, keliling dunia, huh? untuk anak dengan status keluarga seperti Jinhyuk seharusnya sangat mudah. Wooseok yakin dia sudah sering bepergian dengan keluarganya.
Disisa tawanya yang terdengar ringan, mata Wooseok melebar saat Jinhyuk menarik pinggangnya tiba-tiba hingga tubuh mereka tak berjarak dan kemudian menciumnya. Disini. Tanpa perduli dengan orang-orang yang berlalu lalang disekitar mereka.
Tanpa sempat berpikir panjang, Wooseok hanya bisa menutup mata dan tangannya perpegangan erat di lengan Jinhyuk. Kakinya dibuat melemas seketika saat bibir Jinhyuk mulai membelainya dengan lembut.
“Kim Wooseok yang manis..” bisik Jinhyuk dengan suara dalam dan serak. Suaranya terdengar samar ditelinga Wooseok karena teredam oleh suara ombak yang berdebur sangat jelas.
Napas hangat keduanya terasa menerpa wajah masing-masing. Berbanding terbalik dengan udara malam yang dingin akibat angin laut yang berhembus.
Bibir Wooseok masih terbuka ketika Jinhyuk menjauhkan wajahnya beberapa senti saja untuk memberi jarak diantara mereka. Wooseok membuka matanya secara perlahan dan tidak berani membalas langsung tatapan Jinhyuk yang melembut.
Jantungnya berdebar kencang, mungkin kalau tidak ada suara debur ombak, Wooseok hanya bisa berharap Jinhyuk tidak akan mendengarnya.
“Mau ke kamar?” sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Jinhyuk tanpa perlu berbasa-basi terlebih dulu. Sialan memang mulut kurang ajarnya tidak bisa direm.
Dia cukup tahu tempat untuk tidak berbuat adegan tidak senonoh semakin lama disini, walaupun faktanya orang-orang juga tidak perduli sih. Tapi, tetap saja Jinhyuk merasa segan. Lebih baik di tempat tertutup. Setan di kepalanya seperti berbisik sangat bersemangat.
Jinhyuk menaikan satu alisnya, masih menunggu Wooseok yang terdiam sambil menghindari tatapannya dan lagi-lagi si kiciw ini sibuk berpikir sambil menggigit-gigit bibirnya yang memerah akbiat kegiatan mereka barusan, membuat Jinhyuk kembali salah fokus menatapnya.
Oh berjuta sialan! Jinhyuk hanya bisa mengerang pasrah diam-diam, dia seperti disiksa setiap detiknya melihat tingkah Wooseok yang berlama-lama dan banyak berpikir.
“Pangeran Kim Wooseok yang terhormat, mohon dijawab secepatnya pertanyaan saya.”