xxxxweishin

A G O R A

[VI]

“Eunwoo.”

Pemuda tampan berkulit pucat yang sedang serius membaca buku di salah satu sudut perpustakaan itu mengangkat wajahnya secara perlahan, siap memaki siapa pun yang mengganggu waktunya, ia walaupun dikenal dengan berbagai citra kurang mengenakan akibat prilakunya yang selalu menyombong karena status orangtuanya, tetap saja dirinya adalah siswa yang patuh dengan segala tugas dari para Master.

“Maaf menggangu waktumu.”

“Siapa kau?”

“Yohan, siswa tingkat pertama.”

Yohan menelan ludah tanpa sadar saat pandangan tajam Eunwoo menelisik penampilannya. Tangan Eunwoo menutup buku dengan kasar dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia menghembuskan napas dalam, “Ada perlu apa siswa tahun pertama mencariku?”

“Wooseok son of Aphrodite.” Yohan berbicara sedikit berbisik, “Dia meminta tolong padaku untuk bisa bertemu denganmu.”

Satu sudut bibir Eunwoo ditarik dengan pasti ketika mendengarnya. Dia seketika melembutkan tatapannya pada Yohan, “Kau berteman dengannya?” dan Yohan mengangguk cepat.

“Nanti sebelum makan malam di dekat danau.” Eunwoo berdiri dari duduknya, merapikan buku-buku di atas meja dan dimasukan ke dalam tas ranselnya dengan tenang. Satu tangannya menepuk pundak Yohan sesaat, “Tell him.”

“Tapi, Wooseok bilang aku boleh ikut. Aku harus menemaninya.”

Eunwoo terdiam sebentar lalu mengangguk kecil, “Tidak masalah. Kau memang harus menemaninya.” kepalanya sedikit condong untuk berbisik langsung ke telinga Yohan. “Temani dia, lindungi dia semampumu.”

Yohan menghembuskan napas lega setelah sosok Eunwoo menghilang dari pandangannya. Walaupun mereka sama-sama half blood, namun Yohan tidak bisa menampik aura dominan yang dimiliki Eunwoo, darah memang tidak bisa berbohong, dia adalah klan tertinggi. Namun, kening Yohan langsung berkerut dalam ketika mengingat kembali ucapan Eunwoo.

Kenapa dia harus melindungi Wooseok? Apa Wooseok dalam bahaya? Sebenarnya ada apa diantara Wooseok dan Eunwoo?


“Jelaskan maksud dari ucapanmu malam itu, Eunwoo.”

Wooseok berucap langsung tanpa basa basi ketika dirinya dan Yohan sudah sampai di tepi danau, menghampiri Eunwoo yang sedang bersandar sendirian di bawah pohon akasia. Dia tersenyum hingga matanya menyipit menyambut kedatangan Wooseok.

“Santai saja, Wooseok. Kau rupanya tidak suka bertele-tele.”

Wooseok hanya mendengus kecil dan Yohan hanya bisa mengerutkan keningnya, belum mengerti tentang pembicaraan dua orang ini. Presensinya hanya dibutuhkan sebagai pelengkap, hanya menemani putra sang dewi.

Kedua tangan Eunwoo dimasukan ke dalam saku celana seragamnya, entah hampir jam setengah tujuh malam half blood itu masih saja menggunakan seragam sekolah. Tubuhnya berdiri tegak tidak lagi bersandar, netranya menatap lurus pada Wooseok sambil menghela napas.

“Dia bukan werewolf. Jinhyuk bukan werewolf seperti yang kau sangka.”

Otak Wooseok bekerja cepat memproses apa yang diucapkan oleh Eunwoo, Jinhyuk bukan werewolf? lantas dia half olympian sama seperti dirinya? tapi kenapa dia tidak pernah melihat Jinhyuk di asrama? pikirannya sibuk dengan berbagai pertanyaan.

“Jinhyuk?” bisik Yohan yang merasa asing dengan nama itu. Dia semakin tidak mengerti dengan pembicaraan dua orang ini. Siapa Jinhyuk?

“He's half olympian!” Eunwoo berucap tenang, tungkainya melangkah ke tepi danau, menatap sisa cahaya kemerahan dari matahari terbenam yang mengintip di ujung danau. Langit sudah menghitam secara perlahan dan cahaya di sekitar mereka hanya berasal dari lampu tinggi di sekitar taman.

“Bagaimana bisa? lalu kenapa kau bilang dia berbahaya?” Wooseok tidak bisa menahan pertanyaannya, ia ikut melangkahkan kakinya untuk mendekati si kulit pucat itu dan berdiri di sampingnya, kepalanya mendongak untuk menatap langsung wajah Eunwoo.

Sambil mengangkat bahunya pelan, Eunwoo menolehkan wajahnya menatap paras putra Aphrodite yang penuh dengan rasa penasaran hingga kedua alisnya bertemu, tetap cantik walaupun ditengah cahaya tamaram.

“Eunwoo, jawab!” dengan berani Wooseok memegang lengan Eunwoo yang terbalut kemeja putih, sialnya lengan itu tetap terasa dingin, semakin dingin karena udara malam. Namun, Wooseok mengabaikannya, ia terlalu penasaran dengan sosok Jinhyuk.

“Kau sebegitu menyukainya, ya?”

Eunwoo menatap lengannya yang dipegang oleh tangan lentik Wooseok. Satu sudut bibirnya ditarik perlahan hingga sebuah kekehan ringan terdengar dari bibirnya.

Wooseok hanya terdiam, tangannya melepaskan lengan Eunwoo. Pertanyaan Eunwoo terlalu menggelitiknya, “Aku tidak menyukainya.” gumam Wooseok sambil menunduk, menatap ujung sepatunya.

Dia tidak menyukai Jinhyuk, dia hanya penasaran.

“Harusnya Jinhyuk siswa tahun ke tiga, bersama putra Zeus. Tapi, sekarang dia satu tingkat denganku.”

“Kenapa?” kepala Wooseok kembali terangkat menatap Eunwoo. Pandangan Eunwoo terlihat menerawang menatap ke atas lalu dia menghela napas dalam.

“I don't know.”

“Lying!”

Eunwoo balas menatapnya dengan tatapan tajam. “Aku berbaik hati padamau, memberitahumu untuk tidak mendekati Jinhyuk karena dia berbahaya.” katanya dengan suara rendah penuh peringatan.

“Tapi kenapa? kau perlu alasan kenapa dia berbahaya?”

Alih-alih menjawab, Eunwoo malah menunjuk dagunya ke arah timur, “Dia mendengarkan, disana. Jinhyuk mengawasimu putra Aphrodite.” lanjutnya sambil berbisik.

“Aku half blood, kepekaanku di malam hari tidak pernah diragukan.” tambahnya sambil terkekeh geli, matanya mengerling pada Yohan yang berdiri di belakang Wooseok, setia menemaninya. “Iyakan? kau juga pasti merasakannya, half blood?

Wooseok berbalik untuk menatap Yohan dengan kening berkerut, meminta jawaban dan Yohan langsung mengangguk pasti, “Memang ada orang disana.” ujarnya setuju dengan Eunwoo.

Menatap tajam arah yang ditunjuk Eunwoo, Wooseok sibuk menebak dalam pikirannya benarkan disana ada Jinhyuk yang mengawasinya? arah pandangannya jauh dibawah para half blood yang memiliki keistimewaan penglihatan di malam hari. Namun, Yohan juga merasakannya, Eunwoo tidak berbohong. Tapi kenapa? apa Jinhyuk mengenalnya lebih dari dia mengenal Jinhyuk?

“Jinhyuk son of Hades.”

Bukan hanya Yohan yang melebarkan matanya, tubuh Wooseok seketika dibuat kaku oleh sebaris kalimat yang diucapkan Eunwoo.

“The prince of underworld.” bisik Yohan lirih.

Dan perlahan, Wooseok bisa melihat presensi Jinhyuk dibalik pohon, menatap langsung kedua matanya dengan senyum dibalik jubah hitam yang menutupi sebagian wajahnya.

A G O R A [V]

“SON OF APHRODITE!”

Wooseok tersentak kaget ketika ada yang menepuk kedua pundaknya dari belakang sehingga tangan yang menopang dagunya tergelincir, ia langsung berdecak sebal sambil mengumpat dengan bibir mungilnya. Mata bulat dibalik kacamatanya menyipit tajam menatap sosok yang baru saja duduk di sampingnya dan tersenyum tanpa merasa bersalah.

“APA?” sentaknya galak, “Kau mengagetkanku, Yuvin!”

Yuvin meringis sambil mengggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali, “Aku memanggilmu dari tadi, kau tahu? tapi kau hanya terdiam tanpa berbalik. Kau melamun?”

“Tidak.” sanggahan Wooseok yang kelewat cepat hanya membuat kecurigaan seorang Yuvin semakin menjadi, dia menaikan satu alisnya sambil menatap lekat si putra Aphrodite tanpa takut, “Melamun apa siang-siang begini, huh?

“Aku bilang tidak ya tidak. Mana Sejin dan Byungchan?”

“Masih di ruangan Master Choi, entahlah sepertinya mereka tahun depan akan pindah kelas. Kenapa lama sekali konsultasinya.”

Terdengar helaan napas pendek dari Yuvin, tangannya mengambil asal buku tebal milik Wooseok yang ada di atas meja, lalu dijadikan bantal untuk kepalanya. “Aku ngantuk, sebelum kelas dimulai aku akan tidur. Tolong bangunkan nanti ya, cantik.”

Wooseok mencibir pelan mendengarnya, dia menatap jam dinding yang terpasang di atas papan tulis. Masih lima belas menit menuju kelas berikutnya, kelas Master Han.

Jari telunjuk lentik milik Wooseok terlihat mengetuk-ngetuk meja, netranya menatap ragu pada Yuvin yang sudah memejamkan mata dengan merebahkan kepala di atas buku miliknya.

“Bilang saja, Wooseok. Jangan menatapku seperti itu, kalau aku orang lain pasti mereka sudah mimisan ditatap oleh putra Aphrodite.”

Kedua kelopak mata putra Hermes itu perlahan terbuka, menatap Wooseok yang terlihat salah tingkah sambil menggigit bibirnya, Yuvin hanya terkekeh kecil.

“Sebenarnya, ada yang mau aku tanyakan padamu. Malam itu, siapa yang kau maksud teman?” Yuvin mengangkat badannya untuk untuk kembali duduk tegak, matanya menatap lurus pada Wooseok. Dia bertanya serius karena setahunya, Wooseok tidak banyak mempunyai teman, teman dekatnya hanya Byungchan dan Sejin, mungkin termasuk juga dirinya.

Just in case kamu lupa, aku tahu hampir semua anak disini... jadi, apa dia half blood? atau werewolf? karena tidak mungkin half olympian, malam itu jelas-jelas kau berjalan menjauhi dorm kita.”

”...aku tidak tahu.”

“Maksudmu?”

Wooseok menggelengkan kepalanya pelan, membenarkan kacamatanya sebentar sebelum kembali menatap Yuvin yang mengerutkan keningnya bingung. Katanya teman, kok tidak tahu?

“Aku serius, aku tidak tahu pasti. Tapi dia bukan half blood, dia tidak pucat... mungkin werewolf.”

“Malam itu? kau bertemu dengannya, kan?”

Yuvin bisa melihat Wooseok yang mengangguk kecil, “Aku hanya menyapanya, lalu aku langsung pulang ke asrama.”

“Dengan napas terengah? kata Byungchan kau seperti lari dikejar setan.”

Sungguh, Yuvin sejak tadi sudah dibuat penasaran dengan cerita Byungchan yang langsung mengoceh ketika bertemu dengannya saat dia baru selesai kelas.

“Wooseok pulang sekitar hampir setengah jam kemudian. Dia langsung menutup pintu terlihat kehabisan napas. Seperti habis berlari. Aku tanya kenapa, dia cuma bilang tidak apa-apa. Aneh, kan? Kira-kira dia kenapa ya, Vin?”

Memutar bola matanya, Wooseok sedikit merutuki si putra Artemis yang suka mengoceh itu, kenapa sih harus segala diceritakan pada orang lain, untungnya ini Yuvin.

Wooseok jadi terbayang kembali kejadian malam itu, begitu ia berbalik dan melihat sosok Jinhyuk, ia hanya sempat menyapanya dan kemudian bejalan secepat mungkin keluar dari gedung sekolah hingga ke asrama. Wooseok tidak tahu apa yang kemudian dibicarakan oleh Jinhyuk dan juga Eunwoo setelahnya. Dia pulang dengan pikiran yang sibuk beputar antara rasa penasarannya pada Jinhyuk dan Master Lee juga ucapan Eunwoo yang terus terngiang.

“Yuvin, kau tahu.. half blood yang terlihat berkuasa? maksudku dari klan tertingi mungkin? disini?”

Yuvin mengangguk pasti, tentu saja itu hal mudah yang diketahuin olehnya. Pandangannya sedikit menerawang untuk mengingat beberapa nama, “Di tingkat tiga ada Taehyung dan Taeyong, di tingkat dua cukup banyak, namun yang paling tinggi setahuku Eunwoo, sedangkan yang satu tingkat den-”

“Eunwoo, aku bertemu dengannya malam itu.” potong Wooseok setelah mendapatkan nama yang dimaksud, ternyata dugaannya benar, Eunwoo dari salah satu klan tertingi, pantas saja terlihat begitu percaya diri.

“Apa?” Yuvin cukup melebarkan matanya mendengar ucapan Wooseok. Wooseok dan Eunwoo? Yuvin cukup tahu sepak terjang seorang Eunwoo menurut rumor, dia seperti ketua geng yang senang bersenang-senang sambil memanfaatkan status orangtuanya. Juga dia cukup tahu kalau Wooseok tidak terlalu nyaman dengan para kulit pucat itu, jadi bagaimana bisa?

“Buat apa? Kau berteman dengannya? Aku kira itu bukan ide yang baik kau berteman dengan Eunwoo, masih banyak half blood yang lain, Seok.”

Wooseok langsung menepuk lengan Yuvin cukup keras begitu Yuvin selesai bicara, “Siapa yang mau berteman dengannya, yang benar saja! teman half bloodku cuma Yohan.” katanya jengkel.

“Hng.. kalau kau jadi aku, apa kau akan percaya pada setiap omongannya? Kau tahu, aku tidak begitu kenal para half blood jadi ya... aku tidak tahu bagaimana mereka sebenarnya.” tambahnya, tersirat nada keraguan dan kebingungan yang bisa Yuvin tangkap dari suara Wooseok.

Sambil mengusap-ngusap lengannya yang menjadi korban kekerasan Wooseok, Yuvin kembali mengerutkan keningnya, dia mendesah frustasi, “Bisa tidak kau tidak memutar-mutar kalau bicara? ceritakan semuanya dari awal, baru aku bisa berkomentar, Wooseok.”

“Tidak bisa. Aku sendiri belum yakin, Yuvin! Nanti, nanti aku pasti akan bercerita padamu, untuk sekarang cukup jawab dulu. Kau akan percaya atau tidak dengan ucapan Eunwoo?”

“Aish.. kau ini benar-benar dingin, setara dengan si kulit pucat, tahu?” Yuvin mendesis menatap Wooseok, “Entahlah, aku tidak akan percaya sepenuhnya, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan ucapnya begitu saja, mungkin seperti itu.”

Wooseok menghela napas panjang sambil menelungkupkan kepalanya diatas lengan, “Kau malah membuatku semakin bingung, Yuvin!” gerutunya sambil menghentakan kaki di bawah meja membuat Yuvin menggelengkan kepalanya, tidak mengerti dengan tingkah Wooseok saat ini.

”...lantas apa kau tahu yang namanya Jinhyuk?” gumam Wooseok samar masih sambil menelungkupkan wajahnya.

“Siapa?”

“Jinhyuk.” ulang Wooseok cukup jelas, kepalanya diangkat dan berganti menjadi terkulai malas di atas meja, mata bulatnya menatap penasaran pada Yuvin yang hanya terdiam.

“Kau tahu dia, Vin?” tanyanya sambil mengerutkan kening. Yuvin mengerjap sebentar sebelum tersenyum tipis dan menggelengkan kepala sambil membalas tatapan kebingungan di paras Wooseok.

“Tidak. Aku tidak tahu.. siapa itu? bagaimana kau kenal dia, Wooseok?”

Wooseok memilih memejamkan matanya alih-alih langsung menjawab pertanyaan Yuvin, dia lagi-lagi menghela napas panjang.

“Aku tidak tahu.. aku hanya tidak sengaja mengenalnya.”

Wooseok tidak tahu, kalau telapak tangan Yuvin yang berada di bawah meja tiba-tiba berkeringat dingin ketika mendengar ucapannya.

Jinhyuk? kenapa Jinhyuk mendekati Wooseok? apa teman yang dimaksud Wooseok adalah Jinhyuk? apa aku harus bertanya pada Seungwoo? batinnya penuh tanda tanya.


“Yohan!”

Wooseok berlari kecil melintasi arena panahan, suaranya cukup mencuri beberapa pasang mata yang berada disana untuk menatap paras cantiknya. Mengabaikan mereka yang kebanyakan kaum werewolf, Wooseok tersenyum lebar saat akhirnya sampai di tepi tribun yang diduduki oleh Yohan yang baru selesai berlatih.

“Tidak salah? putra Aphrodite menghampiriku?” candaan Yohan membuat Wooseok menepuk pundaknya tanpa sungkan. “Kau berlebihan.”

“Ada apa, Wooseok?” Yohan bertanya sambil sibuk membereskan alat-alat panah yang tadi dia gunakan, dimasukan ke dalam tas panjang berwarna hitam dengan logo sekolah mereka tercetak jelas di atasnya.

“Kau sudah selesai latihan? apa masih sibuk?”

“Tidak, habis ini aku hanya akan menonton disini. Aku juga akan bertemu teman.”

“Half blood?”

Yohan menggelengkan kepalanya, lalu dagunya menunjuk seseorang yang berjalan ke arah mereka, hingga Wooseok ikut mengikuti arah pandangannya.

“Kau berteman dengan werewolf, Yohan?” bisik Wooseok penasaran saat sosok teman yang dimaksud Yohan semakin mendekat. Wooseok tahu karena beberapa kali pernah satu kelas dengannya.

Sebuah tawa langsung terdengar dari bibir Yohan, dia menggukkan kepalanya, “Tentu saja. Tidak salah berteman dengan siapa pun, Wooseok. Kita di sini memang untuk bersekolah, tapi kita juga harus bersosialisasi kan? Kita tinggal di Agora yang hanya diisi oleh tiga jenis kaum. Kalau tidak punya teman, hidupmu akan susah.”

“Kecuali dirimu mungkin, entahlah aku tidak tahu kalau untuk para half olympian tingkat atas sepertimu. Mungkin akan dilindungi sang dewa, iya?” tambahnya sambil tersenyum.

Wooseok hanya mengangkat bahunya, dia tidak tahu. Kepalanya sedikit mendongak untuk menatap sosok “teman” Yohan yang sudah berdiri di depan mereka.

“Wow, aku kira hanya rumor kalau kau berteman dengan putra Aphrodite, Yohan!” sapanya pertama kali sambil duduk di samping Yohan dan meninju pelan lengan atasnya, dia juga tersenyum tipis pada Wooseok yang menatapnya.

“Begitulah.. kelasmu baru selesai?”

“Daritadi, aku hanya perlu mampir ke suatu tempat dulu. Maaf lama.”

Yohan mengibaskan tangannya, “Santai saja, aku juga baru selesai latihan.”

“Kau mau pergi?” Wooseok menepuk pundak Yohan agar menatapnya, ia merasa diabaikan saat Yohan terus berbicara dengan temannya itu.

“Tidak, kau sebenarnya ada apa? aku masih heran alasanmu mencariku.” balas Yohan yang membuat Wooseok terdiam, ia mendadak ragu dengan tujuannya. Tangannya menarik lengan Yohan yang terasa dingin di kulitnya, Yohan hanya menurut untuk berdiri. Kepala Wooseok menoleh pada teman Yohan itu, “Pinjam Yohan sebentar.” katanya pelan, kemudian langsung menarik Yohan menjauh.

“Sebentar, Gyul.” ujar Yohan, dan temannya itu hanya mengacungkan jempolnya.

“Ada apa?” tanya Yohan serius ketika mereka sudah menjauh, berdiri berhadapan di tribun paling atas karena disini cukup sepi, beberapa orang menonton di barisan bawah.

Wooseok menggigit bibirnya, mendongak menatap Yohan yang masih menungu, “Kau bisa membantuku?” bisiknya.

“Membantu apa? aku pasti membantu kalau bisa.”

“Aku ingin bertemu Eunwoo.”

“Apa?” Yohan berbicara cukup keras hingga Wooseok harus menutup mulut si half blood itu dengan telapak tangan mungilnya. “Diam!” bisiknya penuh penekanan.

“Buat apa? kenapa harus Eunwoo?” semburnya ketika tangan mungil itu berhasil dia singkirkan dari mulutnya.

“Aku harus bicara dengannya dan aku minta kau menemaniku bertemu dengannya. Kau tahu, aku tidak berani kalau harus sendirian.”

Yohan mengusak belakang rambutnya sesaat mendengar permintaan putra sang dewi, dia tidak mengenal sosok Eunwoo dari klan tertingi di tingkat dua, coba kalau Wooseok minta bertemu dengan Jaehyun atau siapapun siswa tingkat satu, Yohan akan dengan mudah mengizinkannya.

“Sekalian saja kau minta dipertemukan dengan Taehyung!” katanya sambil berdecak.

“Kau tidak mengenalnya?”

“Tentu saja tidak, Wooseok. Aku hanya tahu dan sering berpapasan dengan dia dan atenk-anteknya. Aku malas berurusan dengannya, aku ingin masa sekolahku tenang dan damai tanpa diwarnai masalah.”

Wooseok mencebikkan bibirnya, harapannya hanya Yohan yang bisa membantu, Wooseok cukup waras untuk tidak berselonong ke kawasan para half blood dan menemuin Eunwoo seorang diri. Walaupun dia yakin, Eunwoo tidak akan macam-macam, namun nyalinya cukup ciut bila harus berduaan dengan si kulit pucat itu.

“Benar kau tidak bisa membantu?” Wooseok mengerjapkan mata bulatnya, sedikit berharap kembali semoga manusia dingin ini luluh oleh tatapan memelasnya, namun harapannya langsung patah saat gelengan tegas Yohan hadirkan. “Maaf.” balasnya parau.

“Oh.. okay, tidak apa-apa. Tapi, tolong beri tahu aku. Dimana kira-kira kalau aku ingin bertemu dengannya.” Wooseok berbicara dengan ragu, ia akan mencoba sendiri, “Selain lingkungan kelas para half blood, aku tidak ingin menarik perhatian yang lain.” tambahnya.

“Kau gila.”

“Aku serius! Aku akan menemuinya, sendiri!”

Yohan menghembuskan napas berat, dia baru tahu kalau putra Aphrodite ini bisa begitu keras kepala. “Tunggu dua hari lagi. Besok dan lusa aku sibuk.” katanya.

“Bagaimana? maksudmu?”

“Aku akan menemanimu.”

Wooseok memekik keras dan tersenyum lebar mendengarnya, tangannya langsung memegang lengan Yohan dan berterimakasih tanpa henti.

“Apa aku boleh tahu, kau ada urusan apa dengan seorang Eunwoo?” Yohan bertanya dengan kedua tangannya yang mengutip di atas kepala, menekan kata urusan.

“Nanti saja, kau bisa mendengarnya secara langsung. Ayo kembali ke bawah, temannu sudah menunggu. Aku juga akan menonton latihan panahan sebentar sebelum pulang ke asrama, pasti Byungchan akan mengoceh kalau aku belum pulang.”

Yohan hanya menghela napas menatap tangannya yang dituntun oleh Wooseok, “Kenapa tidak minta tolong pada Byungchan?”

“Aku rasa, lebih aman denganmu. Kau kan sesama half blood, kalau ada apa-apa kau bisa melawannya, kan?”

“Yang benar saja! Aku akan kalah kalau berurusan dengan dia.”

Wooseok mengangkat bahunya, “Tapi, aku yakin Eunwoo tidak akan macam-macam.”

“Padamu, belum tentu kepadaku, Wooseok.”

[XX]

⚠️ mature content! 🔞 read on your own risk


Sudah tidak bisa Wooseok bayangkan sendiri, entah semerah apa wajahnya saat ini. Ini bukan ciuman pertama mereka tentu saja, Wooseok masih ingat ciuman memabukkan yang ia terima terakhir kali ditengah-tengah last dance kemarin hingga mereka menjadi pusat perhatian semua orang yang ada disana.

Namun kali ini berbeda, sangat berbeda.. sekarang hanya ada mereka berdua di ruangan ini. Hanya ada dirinya dan Mas Jinhyuk di atas tempat tidur. Dan pertautan ini akan menuju ke hal yang lebih intim lagi, sungguh baru memikirkannya saja Wooseok sudah pening.

Wooseok mengetahui prinsip Jinhyuk yang tidak pernah melewati batas ketika mereka masih berpacaran, hanya sebatas ciuman singkat tanpa berlanjut ke tahap yang lebih.

Kali ini berbeda, status mereka sudah jelas, dirinya sudah menjadi milik Jinhyuk, begitu pun sebaliknya. Tidak ada lagi yang perlu diragukan, tidak ada lagi yang perlu dibatasi dan ditahan, mereka berhak memiliki satu sama lain.

Jinhyuk yang pertama memutuskan pertautan mereka, menjauhkan bibirnya dari bilah bibir Wooseok yang tampak basah dan memerah, membuat satu benang saliva terbentang dari mulut keduanya. Jinhyuk mengusapnya pelan sambil tersenyum dan dia memberikan waktu bagi Wooseok untuk mengambil napas.

Tangan Jinhyuk memegang pinggang Wooseok yang masih duduk di pangkuannya, dirinya sendiri masih bersandar di headboard. Tubuh mungil Wooseok begitu ringan bagi Jinhyuk, dengan posisinya sekarang, wajah Wooseok berada beberapa senti di atasnya dengan tangan yang masih setia melingkar di lehernya.

Mereka tidak ada yang bicara, hanya saling menatap dengan senyum yang tidak bisa disembunyikan. Wooseok menggelengkan kepalanya, tertawa kecil sambil menyatukan kening mereka saat melihat alis menyebalkan Jinhyuk yang naik turun mencoba untuk menggodanya dan tatapan itu.. yang sialnya membuat dia berkali-kali lebih tampan.

Wooseok pusing, Mas Jinhyuk nya benar-benar tidak berahlak!

Stop it! Mas Jinhyuk kayak om-om mesum!”

Jinhyuk tergelak dibuatnya. “I love you too, Kak Ushin.” balasnya tidak nyambung membuat Wooseok memutar bola matanya jengah sebagai bentuk pertahanan diri dari salah tingkahnya. Jinhyuk tidak tahu saja di dalam hati Wooseok sibuk membucin sambil meneriakan template andalannya.

Tangan Jinhyuk perlahan mengusap pinggang Wooseok dengan seduktif, naik ke punggungnya, ke lengan atasnya hingga kembali ke tengkuknya dan menangkup kedua pipinya. Mencumbunya kembali, Jinhyuk membuat Wooseok melenguh panjang dengan tangan yang meremas rambutnya penuh frustasi.

Kecupan-kecupan kecil Jinhyuk hadiahkan di seluruh wajah Wooseok, dari mulai dahi, kedua matanya yang tepejam rapat, puncak hidungnya, pipi yang merona indah, dagu, tulang rahang, hingga ke titik sensitif di telinganya. Disana ia berulangkali membisikkan kata cinta, berjuta kali memuja.

Jinhyuk menelusupkan hidungnya di leher Wooseok, terpejam, menghirup dengan rakus, menikmati feromon milik Wooseok yang membuatnya semakin tidak berdaya, ini manis dan memabukkan.

Kepala Wooseok menengadah, merasakan gelenyar aneh yang terasa panas di pusat tubuhnya, memberikan akses pada Jinhyuk untuk mengecup di sepanjang leher hingga collarbone bahkan ke bahunya, menyingkap bagian atas sweater yang mulai dirasa mengganggu.

Keduanya memang masih berpakaian lengkap.

Dengan kembali memagut ranum milik Wooseok, tangan Jinhyuk secara perlahan menyusup ke dalam sweater kebesaran milik Wooseok, mengusap perut ratanya dengan pelan membuat Wooseok sedikit terkesiap disela ciumannya, ia bisa merasakan tangan dingin Jinhyuk di kulitnya.

“Mas..”

Jinhyuk berhenti, netranya memandang Wooseok seakan meminta izin. “Boleh?” dan sambil menggigit bibirnya gugup Wooseok mengangguk.

Jinhyuk menelan ludah tanpa sadar, anggukan Wooseok bagai lampu hijau untuknya, bagai izin kalau Wooseok sudah seutuhnya menyerahkan, mempercayakan bukan hanya tubuhnya tapi seluruh hidupnya kepada Jinhyuk.

Begitu sweater itu terlepas dari tubuhnya, bonus dilempar sembarangan oleh oknum yang berstatus suaminya, Wooseok semakin merasakan wajahnya yang berkali-kali memanas di bawah tatapan Jinhyuk, mengingat tubuh bagian atasnya sudah tidak ditutupi apapun.

“Kim Wooseok..” bisik Jinhyuk dengan suara parau yang dalam, perlahan dengan hati-hati Jinhyuk merebahkan Wooseok di tempat tidur.

Sepasang netra itu sibuk menatap betapa indahnya Kim Wooseok saat ini, ah tidak, Kim Wooseok selalu indah di mata Jinhyuk. Kulit putih dan halusnya bagai candu baru, keindahan sempura bagi Jinhyuk.

Kim Wooseok miliknya.

Kepala Wooseok berpaling saat Jinhyuk juga menanggalkan kaos hitamnya, dilempar tidak kalah sembarangan bernasib sama seperti sweater Wooseok sebelumnya yang sudah tergeletak di lantai yang dingin.

Sungguh ini memalukan, ini adalah prilaku dan posisi paling intim yang pernah Wooseok lakukan dalam dua puluh enam tahun hidupnya. Tangannya bahkan tanpa sadar meremas sprei yang tidak luput dari perhatian Jinhyuk.

“Sayang...” usapan lembut Jinhyuk di pipi Wooseok seakan memberikan ultimatum agar Wooseok tidak berpaling, Jinhyuk ingin Wooseok hanya menatapnya.

Wooseok lagi-lagi menggigit bibirnya sambil membalas tatapan lekat Jinhyuk yang sudah menunduk, membuat tubuh kecilnya berada di bawah kukungan sempurna milik Jinhyuk.

Jangan sekarang, demam panggungnya tolong jangan datang lagi, sialan!

Seakan mengerti keresahan yang tergambar di wajah Wooseok, Jinhyuk tersenyum lembut, mengusap kerutan di kening Wooseok lalu mengecupnya lama, dan berakhir dengan menyatukan kening mereka lagi. Berbagi napas hangat dengan jarak yang sangat dekat, bahkan bibir mereka nyaris bersentuhan.

“Aku malu.”

Jinhyuk terkekeh dengan suara serak saat mendengar bisikan lirih menggunakan nada merajuk khas Wooseok, “Takut?” tanyanya memperjelas sambil mencuri kecupan tepat di sudut bibir mungil Wooseok.

Wooseok mengangguk pelan tanpa malu, ia mencoba jujur.

“Bukan hanya kamu yang pertama, mas juga.”

Jinhyuk menatap sungguh-sungguh ke dalam mata Wooseok, jemarinya menyentuh anak rambut Wooseok yang terlihat berantakan, merapikannya walaupun hal itu percuma sesungguhnya.

Jinhyuk akan bertindak secara perlahan, membuat Wooseok merasa nyaman terlebih dulu, tentu saja.

Dia melirik jemari Wooseok yang masih meremas sprei, tangan Jinhyuk bergerak secara perlahan untuk mengambilnya, menautkan jemari mereka lalu dibawa ke bibirnya. Dikecupnya dengan sangat lembut penuh perasaan setiap buku jari lentik milik Wooseok, dengan mata dan tatapan lekat yang tidak pernah berpaling darinya.

Tahukah Jinhyuk? Jantung Wooseok sudah dibuat berdetak tidak terkendali akibat perlakuannya, jutaan kupu-kupu di perut Wooseok seakan berterbangan, sangat menggelitik hingga wajahnya kembali terasa memanas.

Kiss him thoroughly. It's not about making him scream, it's about making him forget to breath. Laugh into his mouth, inhale his sighs. Make these minutes and moments matter. Make him remember.

Dengan tempo ciuman yang diperlambat, Wooseok dibuat meleleh, ia semakin erat memeluk leher Jinhyuk yang berada di atasnya, permintaannya disambut baik, dikabulkan dengan sebuah senyuman yang Jinhyuk hadirkan disela ciuman mereka.

Setiap lumatan dan sentuhan lembut dari bibir Jinhyuk maupun tangannya seakan menyalurkan rasa agar Wooseok percaya. Lee Jinhyuk tidak akan menyakitinya, Lee Jinhyuk begitu mendambanya.

Semuanya berlalu mengikuti naluri, mereka sama-sama amatir. Sama-sama penasaran untuk hal asing yang pertama kali mereka lakukan.

Tubuh keduanya sudah bergelung polos. Sialnya mereka melakukan “kegiatan” ini di pagi hari yang amat cerah. Bukan cahaya tamaram romantis malam hari yang melengkapi, namun justru cahaya hangat matahari yang menerobos di sela gorden berwana broken white. Tapi, siapa perduli. Mereka hanya sibuk satu sama lain.

Kiss him like you've forgotten any other mouth that your mouth has ever touched. Kiss him like he's the brightest thing you've ever seen. Kiss him until he forgets how to count. Come away, ask him what 2+2 is and listen to him say your name in answer.

“Hnng...”

Lambat laun, kecupan dan lumatan halus itu berubah semakin dalam dan intents menjadi bunyi nyaring sebuah kecapan guna meninggalkan jejak kepemilikan di seluruh permukaan yang bisa dijamah.

Erangan, lenguhan bahkan rintihan mereka membuat udara terasa semakin panas, menghalau udara dingin dari pendingin ruangan yang presensinya seakan tidak berguna.

Wooseok sudah tidak sempat memikirkan malu akibat suara aneh yang dia keluarkan tanpa bisa ditahan, menyebut nama Jinhyuk disetiap helanya berulang kali. Semuanya akibat segala bentuk puja kekaguman dari seorang Lee Jinhyuk untuk setiap inci tubuhnya, untuk seluruh hatinya.

Setelah kewalahan dengan jari Jinhyuk yang membuatnya mengerang tidak tahu malu walaupun sudah ditahan dengan menggigit bibir bawahnya, sekarang kepalanya terasa semakin berputar saat merasakan hal baru yang begitu asing, ia meringis dengan napas berat hingga tanpa sadar air matanya ikut meleleh saat Lee Jinhyuk mencoba menyatu dengannya di bawah sana.

You're so tight.

You're so pretty.

You drive me crazy.

Namun, rintihan Wooseok berikutnya tidak terdengar lagi karena bibir Jinhyuk yang kembali menyapanya, membelai lembut mengalihkan perhatian. Membungkamnya, membuat suaranya hanya sampai di tenggorokan. “Maaf..” bisik Jinhyuk disela ciumannya, dengan lembut ibu jarinya mengusap ujung mata Wooseok, “Maaf membuatmu menangis, sayang.”

Wooseok bergumam tidak jelas diantara fokusnya yang sudah mulai menghilang, tubuhnya terangkat memeluk erat bahu Jinhyuk untuk berpegangan, kakinya sudah melingkari pinggang Jinhyuk atas tuntunan si dominan.

Kim Wooseok terengah, menghirup rakus oksigen dengan mulutnya, ia merasakan penuh ketika Jinhyuk sudah berada di dalamnya.

“It's okay... just... breath. I'll take it slow.”

Wooseok mengatur napasnya, mengangguk di balik bahu Jinhyuk, “Hhh... okay.” cicitnya susah payah sambil memejamkan mata. Meraskan tangan Jinhyuk yang mengusap punggung telanjangnya untuk menenangkan hingga telapak tangan lebar itu perlahan bergerak melewati pinggangnya untuk kemudian memegang his inner thigh.

Diantara perasaan menegangkan sekaligus pengalaman pertamanya, Wooseok mengulas lengkung indah di parasnya, menahan napas merasakan pundak polosnya yang dihujani kecupan menenangkan oleh Jinhyuk. “Do it. I believe in you, Lee Jinhyuk.” bisiknya lirih.

Lee Jinhyuk seakan diperintah, dia kembali mencium Wooseok dengan penuh perasaan, mempertemukan bibir mereka, mengecap manisnya yang telah menjadi candu.

“Aku mencintaimu, Kim Wooseok. Dengan seluruh hatiku. Miliku. Suamiku.”

Leave your mark on his body. Leave your mark on his heart and memory. Go deeper. Slower. Longer. Make heat where your body meet. There's passion. There's love and then there's this.

[XIX]

Jinhyuk masih ingat ucapannya kemarin saat ia berbicara pada Wooseok, betapa beruntungnya ketika membayangkan saat ia bangun tidur dan Kim Wooseok sudah menjadi miliknya.

Realita ucapannya benar terasa saat ini, saat dirinya membuka mata dan menemukan sosok Wooseok yang masih terpejam di pelukannya, Jinhyuk merasakan rasa asing dalam dirinya, bahagianya berbeda.. ah indahnya dunia, indahnya bangun di pagi hari ini. Ini seperti mimpi.

“Selamat pagi.. sayang.” bisiknya sambil mengecup lembut pipi Wooseok. Jinhyuk betah berlama-lama, hanya terdiam sambil memandangi wajah Wooseok. Pagi harinya akan seperti ini terus, ia akan terbiasa.

Tanpa berniat membangunkan sang suami, Jinhyuk dengan perlahan melepaskan pelukannya, beruntung Wooseok tidak terganggu dalam tidurnya, dia tampak nyaman berpindah posisi menjadi tengkurap dengan kepala memiring ke arah kiri. Dibenarkannya lagi selimut yang sempat tersingkap untuk menutupi tubuh Wooseok.

Jinhyuk membuat lengkung indah di wajahnya, tersenyum hingga ke matanya sebelum berlalu ke kamar mandi, ia perlu membasuh muka. Jinhyuk sempat melirik jam dinding di atas tv, masih pukul setengah tujuh pagi.

Setelah Jinhyuk keluar kamar mandi dengan tampilan yang lebih segar dan rambut bagian depannya sedikit basah, ia berjalan untuk mengambil ponselnya yang berada di atas meja, tergeletak pasrah tidak jauh dari ponsel milik Wooseok.

Jinhyuk mengecek beberapa pesan, kebanyakan ucapan selamat yang kemarin bahkan tidak sempat ia baca, hingga pesan masuk dari Ibu berada di deretan paling atas notifications.

abang gak usah turun buat sarapan, nanti sarapannya di kamar aja.

beberapa keluarga ada yang pulang pagi, tapi gak usah pamit. ibu bilang jangan ganggu pengantin baru.

hari ini ibu mau main, mau jalan-jalan. abang santai aja, gak usah nyariin.

gak keluar kamar seharian juga gapapa. wajar.

Sambil menggelengkan kepalanya, Jinhyuk tertawa pelan, Ibunya itu ada-ada saja, apalagi ditambah beberapa emoticons menggelikan, apa yakin ini ponsel Ibu tidak sedang dibajak oleh adiknya?

Setelah membalas pesan Ibunya, Jinhyuk berjalan ke arah balkon, membuka sedikit pintunya agar ia bisa keluar. Udara dingin Lembang pagi hari membuatnya bergidik namun ini sangat menyegarkan.

Dari lantai lima tempatnya menginap terlihat pemandangan hijau yang menyejukkan mata, oh ia juga baru memperhatikan terlihat pula lapangan golf di ujung sana.

Sebenarnya kamar ini bukan yang ditempati oleh Jinhyuk dan Wooseok di malam sebelumnya, kamar ini benar-benar baru. Setelah beberapa menit menyegarkan badan, Jinhyuk kembali ke dalam kamar dan tidak lama sarapan mereka pun datang, Ibu memang paling pengertian.

Wooseok sedikit terganggu dengan suara tv juga samar-samar suara orang yang sedang berbicara. Serta aroma kopi langsung tercium oleh hidungnya.

Sambil mengucek matanya yang susah sekali terbuka, Wooseok meregangkan tubuhnya. Badannya terasa pegal-pegal karena kecapekan, apalagi pundak dan kakinya.

Wooseok menggumam tidak jelas sambil bangun untuk duduk, tubuhnya bersandar di headboard, tangannya memeluk bantal dengan erat dan menarik selimut semakin tinggi. “Dingin.” katanya.

Kepalanya mengedar, pantas saja dingin, pintu yang menuju ke balkon terbuka walaupun sedikit. Ada Mas Jinhyuk yang sedang berdiri di sana, sedang berbicara lewat telepon.

Senyum Wooseok perlahan terbit, yang kemarin bukan mimpi, ia benar-benar sudah menikah.. dengan Mas Jinhyuk.

“Selamat pagi.. Mas Jinhyuk.”

Jinhyuk tersenyum begitu kembali masuk ke dalam kamar. Menyimpan ponselnya begitu saja di meja kecil di samping tempat tidur.

“Sudah bangun? Selamat pagi, sayang.” balasnya sambil mengecup kening Wooseok yang masih duduk bersandar di headboard.

“Maaf aku kesiangan, ya?” cicit Wooseok malu, Jinhyuk mengusak puncak kepalanya lalu duduk di tepi tempat tidur. “Gapapa, masih jam tujuh. Cuci muka dulu. Habis itu sarapan.”

“Wow, gak perlu turun ke bawah? Hehe.” Wooseok melirik meja di depan sofa, sudah ada makanan disana.

Jinhyuk berdiri, menarik tangan Wooseok untuk bangun, “Gak perlu, kata Ibu gak usah keluar kamar juga gapapa.”

Namun, rupanya ucapan Jinhyuk langsung membuat wajah Wooseok kembali memerah dan tentu saja Jinhyuk langsung tertawa melihatnya, ia hanya menggelengkan kepala lalu mendorong tubuh Wooseok untuk masuk ke kamar mandi.

“Jangan lama, ya. Mas lapar.”

“Siap, bos.” sahut Wooseok dibalik pintu kamar mandi.

Hanya butuh lima menit, Wooseok sudah tampak segar, muka bantalnya sudah lebih cerah setelah terkena air. Wooseok langsung menghampiri Jinhyuk yang sudah duduk di sofa sambil meminum kopinya.

“Dingin banget.” gumam Wooseok, ia menaikan kedua kakinya ke atas sofa. Tangannya langsung mengambil secangkir teh hangat yang ada di atas meja. Memasukan gula kemasan sedikit yang disediakan dan meminumnya secara perlahan.

Jinhyuk hanya memperhatikan sambil mengulas senyum.

Keduanya lalu sarapan dengan berbagai topik obrolan yang mengisi, kebanyak tentang hari bahagia mereka kemarin.

Sangat berbeda dengan tadi malam, suasana pagi ini tampak santai dengan berbagi tawa dihiasi wajah memerah Wooseok sesekali yang kembali terlihat dan gombalan Jinhyuk yang membuat Wooseok sakit perut dan meleleh sekaligus.

“Aku ini minum teh manis, gulanya pakai gombalan Mas Jinhyuk udah cukup. Giung banget.”

Jinhyuk hanya tertawa mendengar ocehan Wooseok, tangannya terulur untuk mengusak gemas kepala yang lebih muda.

“Yang lain pada ngiri tahu kak, kamu harusnya bersyukur.”

Wooseok mengangkat bahunya sambil terkikik, “Iyaaaaa.. Mas Jinhyuk kan cuma punya aku.” katanya sambil memeluk lengan Jinhyuk dengan manja. Lalu kepalanya bersandar di bahu Jinhyuk, senyumnya kembali terlihat saat tangan Jinhyuk merangkulnya, mengusap lengannya dengan sayang.

“Aku udahan makannya. Kenyang.”

Mengiyakan, Jinhyuk mengangguk pelan, dia sendiri memang yang lebih dulu selesai makan. Tubuhnya bersandar di sofa dengan Wooseok di rangkulannya. Menonton acara tv di pagi hari.

Wooseok menggigit bibirnya, ia melirik jam dinding, masih jam delapan lewat sepuluh menit. Mereka belum mandi, perut sudah kenyang. Ia mau tidur lagi saja, masih ngantuk. Lagipula ini hari Minggu, waktunya untuk malas-malasan, kan?

Ah, orangtuanya barusan memberi tahu akan pulang ke rumah. Sedangkan, orangtua Jinhyuk baru akan pulang nanti sore karena memilih untuk liburan terlebih dulu. Kalau teman-teman Jinhyuk katanya pulang nanti siang.

Jinhyuk dan Wooseok sendiri rencananya akan menginap sampai besok, walaupun kata orangtua disuruh tiga hari. Sungguh alasannya membuat wajah Wooseok seperti kepiting rebus, biar cepat punya cucu katanya.

Namun, keduanya sepakat menolak, mereka memilih untuk tinggal di rumah Wooseok selama tinggal di Bandung sebelum nanti pulang ke rumah Jinhyuk.

“Mas Jinhyuk..”

“Hmm?”

“Pintu balkonnya gak ditutup? dingin.” rengek Wooseok sambil menggoyangkan lengan Jinhyuk yang sedang merangkulnya. Jinhyuk bangun dari duduknya, berjalan ke arah pintu balkon yang terbuka sedikit dan langsung menutupnya. “AC nya mau dimatikan sekalian?”

“Gak usah, mas. Gapapa.”

“Sudah? Apalagi?” Jinhyuk bertanya sambil kembali duduk di sofa. Wooseok menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, “Udah. Aku mau tidur lagi aja.”

“Habis makan tidur?”

“Ya terus ngapain lagi? Ke bawah juga mau ngapain, Mas Jinhyuk...”

“Olahraga misalnya, kak.”

Wooseok terdiam sebentar. Oh Tuhan, sejak kapan Mas Jinhyuk begitu menyebalkan, lihat itu alisnya yang naik turun sambil tersenyum. Hah, tidak mempan, cukup tadi malam Wooseok terbatuk dengan godaan Mas Jinhyuk nya.

“Mas Jinhyuk kayak om-om, sumpah.”

Jinhyuk tergelak tanpa tersinggung melihat Wooseok yang langsung berdiri dan kabur ke tempat tidur. “Ngajak olahraga kok disebut kayak om-om sih?” tanyanya sambil masih tertawa.

Bodoamat. Mas Jinhyuk sedang mengerjainya seperti semalam, Wooseok tahu itu. Ia menutup tubuhnya sendiri dengan selimut untuk bersembuyi. Dipastikan wajahnya sudah memerah di dalam sana.

“Ya sudah, mas mau mandi duluan, ya.”

Wajah Wooseok menyembul untuk mengintip, melihat Jinhyuk yang sedang berjongkok di depan koper sedang mengambil baju.

Gak ada ahlak, Mas Jinhyuk sempat tersenyum miring padanya tepat sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.

“Argh...!!!”

Wooseok sibuk menendang-nendang selimut menggunakan kakinya, belum ada dua hari dia menikah dengan Mas Jinhyuk, kesehatan jantungnya sudah diragukan. Sialan!


“Mas Jinhyuk...”

“Hmm.”

Saat ini Mas Jinhyuk kesayangannya sedang tidur di pahanya, Wooseok sendiri duduk bersandar di headboard.

Tadi, setelah Jinhyuk selesai mandi, Wooseok juga langsung mandi. Malu sendiri, masa dia belum mandi padahal Mas Jinhyuk sudah wangi walaupun hanya memakai baju santai, kaos hitam polos dan celana jeans pendek. Wooseok sendiri seperti biasa memakai sweater oversize andalannya kali ini berwarna ungu dan juga celana pendek.

Niat awalnya untuk tidur lagi sepertinya harus ditunda, lebih baik ia menikmati waktu berdua seperti ini. Tangan lentiknya menyisir dengan lembut setiap helai rambut Jinhyuk.

Jinhyuk terdengar mendengus lalu melempar sembarangan ponselnya di atas tempat tidur. Dia memilih memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan Wooseok di kepalanya yang sangat menenangkan.

“Kenapa, mas?”

“Biasa, habis lihat Byungchan dan ocehannya di grup.”

Wooseok menggigit bibirnya mendengar nama Byungchan, ia kembali teringat pesan yang semalam. Mana tadi Sejin juga mengirimnya pesan sekaligus memberitahu dirinya pulang dan diantarkan oleh Yein ke stasiun.

Sejujurnya Wooseok menghela napas lega saat semalam Jinhyuk menyuruhnya tidur karena dia memang lelah sekaligus demam panggung. Mas Jinhyuk seakan mengerti ketakutannya, beruntung sekali Wooseok punya suami yang sangat pengertian.

”..Mas.”

Jinhyuk memiringkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya ke perut Wooseok masih sambil memejamkan matanya, pergerakannya membuat Wooseok menahan napas sesaat. Wooseok mendadak menjadi bak anak polos yang tidak tahu apa-apa. Dirinya dilanda gugup.

“Kenapa, kak?” tanya Jinhyuk saat merasakan tangan Wooseok yang tidak lagi bergerak mengusap kepalanya.

“Biasakan, kalau ada apa-apa tolong dibicarakan. Komunikasi adalah kunci.”

Wooseok meringis lalu mengangguk pelan mendengar perkataan Jinhyuk. Dia menggigit bibirnya lagi, “..yang semalam.” mulainya.

Masih memejamkan matanya, Jinhyuk menikmati kembali usapan tangan Wooseok sambil mendengarkan.

“Maaf.” cicit Wooseok sangat pelan.

Tidak langsung memberikan balasan, Jinhyuk malah menelusupkan wajahnya ke perut Wooseok, tangannya sudah melingkari pinggang kecil Wooseok dengan mudah.

“Gak perlu minta maaf-”

“Gak tahu kenapa aku gugup banget semalam. Makasih Mas Jinhyuk udah ngerti.” potong Wooseok cepat membuat Jinhyuk terkekeh di perutnya.

“Jangan terlalu dibuat pusing. Kita sama-sama asing dalam hal ini, sayang.” Jinhyuk perlahan membuka matanya dan bangun untuk duduk, tepat berhadapan dengan Wooseok.

Helaan napas pendek dengan tawa geli terdengar dari bibir Jinhyuk, tangannya mengusap pipi Wooseok dengan lembut. Dia memajukan wajahnya hingga tepat di samping Wooseok. “Asal tahu aja. Mas juga aslinya gugup, cuma lihat kamu malah lucu, kentara banget demam panggungnya.” bisiknya.

Wooseok menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil merajuk, sumpah dia merasa seperti abg baru mengenal cinta, malu sama deretan mantan-mantannya yang cukup banyak. Tapi, dia juga tidak bisa bohong pada dirinya sendiri, ia memang gugup semalam, pikirannya sudah menjalar kemana-mana.

Wooseok bisa mendengar sisa tawa Jinhyuk sambil menarik tubuhnya untuk direngkuh. Wooseok hanya menurut, tangannya langsung membalas pelukan Mas Jinhyuk tanpa ragu. Menyandarkan kepalanya di dada bidang Mas Jinhyuk dengan nyaman.

Pagi ini, dirinya sudah jauh lebih santai, kecanggungannya dengan Jinhyuk perlahan mulai berangsur menghilang berkat candaan-candaan Jinhyuk sejak tadi sarapan, seakan sengaja begitu cara Jinhyuk untuk menyairkan suasana. Wooseok kembali menjadi dirinya yang apa adanya, yang tanpa sungkan akan merengek manja pada Mas Jinhyuk nya.

Jinhyuk merubah posisi duduknya, sekarang ia yang bersandar di headboard dengan Wooseok yang berada dalam pelukannya.

“Mas..”

Jinhyuk merespon dengan memberikan ciuman di puncak kepala Wooseok.

Wooseok tersenyum malu, wajahnya menengadah untuk menatap Jinhyuk. Mata indah tanpa kacamata bulat andalannya itu menatap Jinhyuk sambil mengerjap lucu membuat Jinhyuk mengerang gemas dan mengusakkan hidungnya dengan dengan hidung Wooseok.

“Jangan lucu-lucu kayak gini, kamu gak kasihan sama hati mas? meleleh nih lama-lama, kak.”

Wooseok tertawa lagi, tuh kan gombalan Mas Jinhyuk membuatnya sakit perut!

“Mas Jinhyuk...” tangan Wooseok perlahan mengusap pipi Jinhyuk lalu menciumnya dengan lembut. Jinhyuk hanya terdiam sambil menarik kedua sudut bibirnya, sungguh manis sekali suaminya ini.

Setiap Wooseok menyebut namanya, terdengar begitu indah. Seperti candu.

“Mas Jinhyuk, suami aku paling wangi.” bisik Wooseok lirih sambil mencuri kecupan. Jinhyuk hanya membiarkan, toh dia menikmatinya. Toh tidak ada lagi batasan yang dulu selalu ia jaga. Sekarang mereka sudah resmi di mata hukum dan agama. Sekarang, Kim Wooseok miliknya, seutuhnya.

Jinhyuk merapikan anak rambut Wooseok yang mengahalagi dahinya dengan lembut, menatap setiap inci wajah suaminya dengan penuh kekaguman. Tidak pernah ia mencintai seseorang sebegitu dalamnya seperti ini, Kim Wooseok belahan jiwanya.

Jinhyuk megusap bibir ranum Wooseok dengan ringan, seringan kapas tanpa benar-benar menyentuhnya membuat Wooseok merenggut lucu merasa dikerjai dan Jinhyuk hanya terkekeh, tangannya menjawil hidung Wooseok sambil menikmati protesan Wooseok yang menurutnya amat menggemaskan.

“Kim Wooseok...” ucap Jinhyuk menggantung sambil mendekatkan wajahnya, “..kamu yang paling indah.” bisiknya dengan bibir yang nyaris menyentuh bibir Wooseok.

Wooseok tersenyum senang mendengarnya, ia memejamkan matanya sesaat sebelum membalas, tangannya mencengkram erat kaos Jinhyuk di kedua sisi pinggangnya, tatapannya lurus menatap Jinhyuk, “Aku.. sekarang.. mas.” gumamnya tidak jelas membuat Jinhyuk menjauhkan wajahnya bingung.

“Apa?”

Wooseok menggigit bibirnya, kenapa Mas Jinhyuk mendadak bodoh sih, gak peka! kan gue malu huhu.

“Kak?”

Tanpa menjawab, Wooseok langsung memeluk leher Jinhyuk dan menyembunyikan wajahnya yang sudah panas di ceruk leher Jinhyuk, “Huhu, mas aku malu!!!”

“Kenapa malu?”

”...yang semalam.. kita.” cicitnya.

“Tunggu, ini maksudnya kamu sudah gak demam panggung lagi?” tanya Jinhyuk dan ia langsung meraskan anggukan pelan dari Wooseok, “Hum.”

“Haha.. dasar.”

Wooseok semakin merengek malu saat ditertawakan, “Mas Jinhyuk ih!”

Jinhyuk meredakan tawanya sambil menumpu dagunya di pundak Wooseok, Jinhyuk terdiam sesaat sebelum menanggapi, “Mas gak pernah maksa, jangan karena merasa terpaksa ya, kak. Mas mau kita-”

Wooseok langsung menggelengkan kepalanya, tangannya mengusap pelan pundak Jinhyuk. Ia tidak suka mendengar nada suara Jinhyuk yang seperti itu. Ia berbicara dengan sadar, sungguh. “Aku gak merasa terpaksa, Mas Jinhyuk.” potongnya.

Wooseok melepaskan pelukannya, tangannya memegang wajah Jinhyuk dengan lembut agar pandangan mereka bersitatap, meyakinkan dengan pandangan Wooseok tersenyum simpul dan malu-malu. “Aku gak merasa terpaksa, sungguh.” ulangnya.

Jinhyuk membalas tatapan Wooseok, mencari kejujuran di bola mata indahnya. Jinhyuk sungguh menghormati Wooseok, ia tidak menginginkan Wooseok merasa tidak nyaman dengan apa yang barusan diucapkannya. “Kamu serius?”

Wooseok mengangguk.

Jinhyuk menarik kedua sudut bibirnya, mengusap lembut pipi Wooseok. “Kim Wooseok..” bisik Jinhyuk lirih sebelum mengangkat pinggang Wooseok ke pangkuannya dan memulai pertautan mereka, di pagi hari.

[XVIII]

Kalau tadi sore Wooseok merasa deg-degan sebelum acara pernikahannya, maka malam ini dia beneran terserang demam panggung.

Oh Byungchan dan Sejin sialan! gara-gara mereka, pikiran Wooseok jadi semakin melantur kemana-mana.

Wooseok masih sibuk menggerutu sambil berbalas pesan dengan Sejin, “Main uno katanya? yang benar aja. Masa main uno sih, Sejin! ini lagi Byungchan kenapa ngomong gini segala.”

“Kamu kenapa?”

Kaget yang beneran kaget, Wooseok mengerjap saat tiba-tiba mendengar suara Jinhyuk. Ia tergagap hingga ponsel yang sedang dipegangnya tergelincir jatuh ke pahanya.

Kepalanya diangkat untuk menengadah, menatap sosok Jinhyuk yang baru saja keluar dari kamar mandi. Suaminya itu tampak segar dengan rambut yang masih basah, tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Bisa Wooseok lihat beberapa tetes air yang turun mengenai dahinya, lalu ke lehernya, ada juga yang langsung menetes ke bahu lebarnya yang berbalut piyama lengan panjang berwarna hitam.

“Hah?”

Jinhyuk mengerutkan keningnya saat mendengar respon Wooseok yang bengong sambil menatapnya. “Kamu kenapa? ngedumel kayak tadi, kak?” ulangnya sambil mendekati Wooseok yang duduk di pinggir tempat tidur.

“Oh.. gapapa, mas. Udah kan mandinya?”

“Sudah.”

Tanpa menunggu lama, Wooseok buru-buru bangun sebelum Jinhyuk mendekat. Menyimpan ponselnya begitu saja di atas kasur. Ia lalu berjalan ke arah kopernya yang di letakkan di sisi lain kamar tidur, mengambil piyama kotak-kotak yang berada ditumpukan paling atas tanpa pikir panjang.

Secepat mungkin berjalan ke kamar mandi tanpa menoleh ke arah Jinhyuk yang menatapnya bingung sambil tetap mengeringakan rambutnya dengan santai. Aneh. Kak Ushin kenapa deh?

Di dalam kamar mandi, Wooseok menatap pantulan dirinya di depan kaca wastafel yang cukup lebar. Riasannya sudah dihapus daritadi. Di depannya terlihat sosok dirinya yang terlihat capek namun tampak bahagia, hari ini benar-benar hari terbaik dalam hidupnya, tidak diragukan lagi.

Namun, tiba-tiba wajahnya memanas, pesan Byungchan dan Sejin kembali terbayang.

kalau udah halal ya beda lagi

emang lo mau diterkam kayak singa?

“Heh teman sialan! bikin gue panik aja!!!!” geramnya tanpa sadar. Wooseok menghela napas panjang berusaha tenang, “Calm down, Shin. Inhale... exhale....” gumamnya sambil mempraktikkan apa yang ia ucapkan sendiri.

“Udahlah, mandi dulu aja. Urusan itu belakangan.”

Setelah hampir dua puluh menit Wooseok di kamar mandi-entah sengaja dilama-lamain atau memang mandinya lama-ia sudah tampak jauh lebih segar, air hangat seakan membuat otot tubuhnya yang tadi tegang karena lelah kembali relax.

Tangannya mendadak ragu saat akan membuka pintu kamar mandi, jujur hatinya sungguh dilanda harap-harap cemas. Apa dirinya saja yang terkenan demam panggung seperti ini? kenapa Mas Jinhyuk terlihat santai sejak tadi mereka masuk ke dalam kamar hingga tadi saat dia keluar kamar mandi? Apa disini dirinya saja yang seperti amatir? tapi kan Mas Jinhyuk juga.. pertama kali..

Sialan kan! otaknya semakin melantur.

“Kok lama banget?”

Kepala Wooseok mendadak pening saat mendengar Jinhyuk yang bersuara, Mas Jinhyuk nya terlihat sedang duduk di atas sofa sambil.. makan dan menonton tv? serius? kok bisa santai banget sih! batinnya heran.

“Maaf...” cicit Wooseok pelan. Jinhyuk hanya mengangguk.

“Mas makan apa?” tanya Wooseok kemudian.

“Oh iya ini karena kamu lama, mas keluar dulu. Eh, di depan ketemu anak-anak, jadinya beli martabak. Enak kak, martabak Bandung. Kamu mau? sini.” katanya sambil menepuk-nepuk sampingnya, menyuruh Wooseok mendekat.

Wooseok melirik jam dinding yang berada di atas tv. Hampir tengah malam, boro-boro dia bisa makan saat perasaannya tidak karuan seperti ini.

Dengan langkah pelan, Wooseok mendekati Jinhyuk dan duduk di sampingnya, tangannya mengecek ponselnya sebentar yang sempat ia ambil tadi di atas kasur dan Wooseok bisa melihat notifications dari Sejin dan teman-temannya.

Tanpa dibuka, ponselnya langsung disimpan di atas meja di depannya. Pasti pikirannya akan semakin terkontaminasi yang tidak-tidak kalau nekat dibaca.

“Enggak, makasih. Aku gak lapar.”

“Padahal enak, sedikit aja. Nih..” Jinhyuk menyodorkan sepotong martabak manis dengan tumpukan keju dan kismis diatasnya ke depan mulut Wooseok, “A...”

Melihat Jinhyuk yang menyuapinya, jiwa bucin Wooseok sedikit tergugah, dengan senyum tipis ia kemudian membuka mulutnya, hanya satu gigitan kecil ia mencicip. Enak sih.

“Kenapa makan martabak?”

“Adanya martabak...” jawab Jinhyuk sedikit menggantung sambil menyuap sisa martabak hasil gigitan Wooseok yang masih dia pegang. Dia menarik satu sudut bibirnya lalu berbisik dengan tidak tahu malu.

”...makan kamu juga boleh sih.”

Uhuk

Wooseok yang masih mengunyah langsung terbatuk mendengar celetukan Jinhyuk.

“Hei, hati-hati dong, sayang.” Jinhyuk langsung membuka air mineral yang ada di atas meja, memberikannya pada Wooseok yang masih terbatuk. Tangannya dengan pelan menepuk-nepuk punggung Wooseok.

“Kamu tuh, makan martabak aja bisa keselek begini, gimana sih, kak.”

Ingin rasanya Wooseok menampol wajah tampan Mas Jinhyuk nya. SALAH SIAPA KALAU NGOMONG SUKA ASAL HUHU BIKIN PANIK AJA, batinnya menjerit.

“Sudah?” Jinhyuk bertanya khawatir saat Wooseok memberikan botol minum tadi kepadanya. Dengan pelan Wooseok mengangguk, “Udah.” bisiknya lirih.

Terdengar helaan napas lega Jinhyuk sambil menutup kembali air minum yang dia terima dari Wooseok, lalu disimpan lagi di atas meja.

Tubuhnya sedikit miring untuk duduk menghadap Wooseok, kakinya dibuat bersila di atas sofa. “Beneran?” tanyanya memastikan, tangannya kembali ke punggung Wooseok dan mengusap-ngusap dengan lembut.

Wooseok mengangguk, tapi langsung memukul paha Jinhyuk cukup keras hingga Jinhyuk mengaduh, “Kamu sih! kalau ngomong tuh dipikir dulu makanya, Mas Jinhyuk!” Wooseok berkata dengan nada merajuk sekaligus kesal.

“Apanya? Kamu keselek gara-gara ucapan mas?”

Ditanya seperti itu malah membuat Wooseok terdiam, wajahnya kembali terasa panas, skak mat. Jinhyuk ini paling bisa membuatnya mati kutu. Memangnya Wooseok makanan hingga dia mau “makan” Wooseok segala!

“Enggak, enggak tau! Udah ah aku mau tidur. Ngantuk.”

Wooseok merenggut, ia berdiri dari duduknya sambil menghentakan kaki kesal, mirip anak kecil. Jinhyuk hanya terkekeh sambil mengangkat wajahnya, menatap Wooseok.

“Ya sudah, istirahat. Pasti hari ini kamu capek banget.”

Wooseok menundukkan wajahnya menatap Jinhyuk penasaran. “Mas, gak tidur?” tanyanya pelan.

Haduh, ini malam pertama bukan sih. Kok santai banget. Wooseok langsung menggelengkan kepalanya, lagi-lagi terbayang pesan Sejin dan Byungchan.

“Iya, ayo tidur. Mas ke kamar mandi dulu, cuci tangan.” Jinhyuk ikut berdiri, tubuh jangkungnya menjulang di samping Wooseok. Tangannya merangkul Wooseok menuju tempat tidur lalu dia berlalu ke kamar mandi.

Lagi, Wooseok merasa demam panggung. Habis ini apa? habis Jinhyuk keluar kamar mandi nanti ngapain? Astaga Kim Wooseok! Tanpa sadar Wooseok memukul-memukul kepalanya sendiri, “Bego bego bego..” gerutunya.

“Kenapa lagi?”

Tuh kan, dua kali dia tidak sadar akan kedatangan Jinhyuk.

“Gapapa. Uhm.. aku ngantuk mau tidur.” Wooseok buru-buru naik ke tempat tidur, membenahi bantal di sisi sebelah kanan.

“Itu lampu tidur di meja samping kamu dinyalakan, sayang. Mas matiin lampu ini, ya.”

Lagi-lagi Wooseok merasa tidak karuan saat Jinhyuk mematikan lampu utama hingga sekarang suasana kamar hotel ini tampak tamaram.

Haduh, kenapa suasananya begitu mendukung sih!

Dasar Kim Wooseok , jelas-jelas ini kamar pengantin, apalagi tercium harum bunga dan lilin aromatherapi yang entah kenapa saking gugupnya semakin terasa tajam baunya. Double sialan.

Jinhyuk sudah berbaring di sisi kiri tempat tidur begitupun Wooseok di sisi kanan. Mereka sama-sama terdiam menatap langit-langit kamar. Tangan Wooseok saling bertautan di atas perutnya, lewat ekor matanya ia bisa melihat Jinhyuk yang menggunakan tangannya yang dilipat menjadi bantal di bawah kepalanya sendiri.

Hingga beberapa menit belum ada yang membuka suara, suasana kelewat sepi tiba-tiba membuat mereka merasa canggung. Biar bagaimana pun ini pertama kalinya mereka tidur satu ranjang dengan status baru. Bahkan Wooseok takut detak jantungnya bisa terdengar oleh Mas Jinhyuk.

Kemana perginya Wooseok yang selalu clingy dan merengek manja bila berdekatan dengan Mas Jinhyuk kesayangannya? Sejak masuk ke kamar ini, Wooseok mendadak diam sibuk dengan pikiran-pikirannya sendiri.

“Kak..”

Wooseok merasakan telapak tangan milik Jinhyuk yang mengusap lembut kepalanya.

Haduh, Mas Jinhyuk mau ngapain? huhu, batinnya ketar-ketir. Demi Tuhan, lo baru diusap-usap doang Kim Wooseok!!!

Wooseok memiringkan kepalanya ke samping, dilihatnya Mas Jinhyuk yang sudah tidur menyamping ke arahnya. Tangannya masih betah mengusap kepala Wooseok dengan sayang, jangan lupakan senyum tipisnya. Walaupun suasana tamaram, tapi Wooseok masih bisa melihatnya dengan jelas.

“Ke-kenapa mas?”

Tawa Jinhyuk langsung terdengar, dalam dan geli. Tangannya dari kepala Wooseok berpindah untuk menjawil hidung Wooseok gemas.

“Tidur, gak usah mikir aneh-aneh. Mas tahu nih..” kali ini ujung telunjuk Jinhyuk mengetuk kening Wooseok pelan, “..disini pasti sudah numpuk pikiran macam-macam, sampai bikin kamu ruwet sendiri.”

Tangan Jinhyuk kali ini mengusap pipi halus Wooseok, dia memberikan senyumnya yang menenangkan, matanya tidak lepas untuk menatap lurus ke dalam mata Wooseok.

“Kamu tuh kelihatan banget daritadi panik. Kayak mau diapain aja.”

Pipi Wooseok memerah, malu. Kan emang mau diapa-apain, gimana sih Mas Jinhyuk! huhu mati ajalah gue, sungguh malam ini batin Wooseok banyak bicara sekali rasanya.

Usapan lembut Jinhyuk di pipinya secara ajaib membuat dia merasa tenang. Satu tangannya terangkat untuk menggenggam tangan Jinhyuk yang masih mengusap pipinya. Bibirnya mungilnya sedikit mengerucut.

“Ya maaf, habisan...” Wooseok tidak melanjutkan ucapannya, habisan kok aku doang yang panik kamu enggak, lanjutnya dalam hati.

“Peluk..” cicitnya kemudian, tidak nyambung dengan ucapannya barusan.

Jinhyuk terkekeh, mendekatkan tubuhnya untuk merengkuh tubuh Wooseok, “Sini, sayang. Bilang dong daritadi. Mas sampai bingung, kamu kok tumben diam aja.”

Wooseok tersenyum malu mendengarnya, ia menelusupkan wajahnya di dada Jinhyuk dengan nyaman sambil memejamkan matanya, merasakan kecupan-kecupan Jinhyuk di puncak kepalanya, meraskan usapan lembut tangan Jinhyuk di punggungnya, mulai sekarang inilah rumahnya, rumahnya adalah pelukan hangat suaminya, Mas Jinhyuk.

“Tidur, kak.” bisik Jinhyuk sambil mengeratkan pelukannya, satu tangannya dijadikan bantal untuk kepala Wooseok. Wooseok mengangguk pelan, ia juga merapatkan pelukannya. Memeluk dengan leluasa tubuh Mas Jinhyuk nya.

Tidak bisa dipungkiri dirinya teramat lelah hari ini, dan usapan lembut dari tangan Jinhyuk di kepala dan punggungnya membuat kantuknya semakin cepat menjemput.

“Selamat tidur, Mas Jinhyuk.” bisiknya lirih. Jinhyuk menundukkan wajahnya sesaat, mencuri kecupan di bibir mungil Wooseok yang disambut senyum tipis dengan mata sayu yang mulai mengantuk.

“Selamat tidur, sayang. Tidur yang nyenyak.”

“Iya, Mas Jinhyuk... suami aku. Hehe.”

Jinhyuk tertawa rendah mendengar Wooseok yang berucap malu-malu sambil menyembunyikan wajahnya.

“Tidur, mas tahu kamu capek. Mas juga sama capeknya. Jangan mikirin macam-macam. Tubuh kita butuh istirahat.”

Tangan Jinhyuk menarik selimut yang membungkus tubuh mereka hingga sebatas bahu Wooseok, udara khas Lembang ditambah pendingin ruangan seakan berpadu membuat tubuh mereka semakin merapat guna menghalau dingin yang terasa.

“Besok harus bangun pagi.”

“Ngapain? mager ah.” disisa sadarnya yang mulai ditarik kantuk Wooseok bertanya.

“Kelon.”

Jawaban singkat Jinhyuk membuat Wooseok membuka matanya lagi, ia memukul pelan dada suaminya itu, panik. “Diem jangan diomongin! nanti aku malah gabisa tidur huhu..”

“Aku gak kuat, aku lemah besok mau kelon, aw! sakit Kak Ushin. Kok malah dicubit sih.”

“Biarin, Mas Jinhyuk rese banget. Huhuhu.”

“Haha.. iya maaf, lagian kamu tegang banget sih, kak.”

Wooseok tidak menjawab, ia malah semakin ndusel dengan gumaman tidak jelas karena suaranya teredam. Malu sampai ubun-ubun.

Selang beberapa menit, Jinhyuk masih terjaga dari tidurnya, ia hanya ditemani oleh suara jam dinding yang terdengar jelas di kamar mereka.

Tangannya masih setia mengusap penuh sayang setiap helai rambut halus Wooseok, sesekali ia akan menciuminya, menghirup harumnya yang menenangkan sambil memejamkan matanya.

Ini bukan mimpi. Seseorang tidur dengan tenang di pelukannya, napas teraturnya terasa hangat menerpa dadanya. Jinhyuk sedikit menundukkan wajahnya, mengintip paras Wooseok yang sedang tertidur pulas, tampak kelelahan.

Jinhyuk tidak akan susah payah menahan senyumnya, karena ia detik ini tersenyum sangat lebar walaupun hanya menatap wajah pulas yang menurutnya sangat lucu dengan bibir yang sedikit terbuka.

Ini bukan pertama kalinya Jinhyuk melihat Wooseok tertidur, namun entah mengapa malam ini wajah tenang Wooseok berkali-kali lebih indah. Mungkin karena malam ini si pemilik wajah ini sudah menjadi miliknya seutuhnya.

Jinhyuk akan melihat wajah ini sebelum ia memejamkan mata di malam hari dan setiap ia membuka mata setiap pagi, seumur hidupnya, semoga, itu harapannya.

Selamanya, pemandangan ini adalah kebahagiaannya. Memandang wajah tenang dan damai Wooseok ketika tidur akan menjadi obat lelahnya setiap hari.

Tangan Jinhyuk masih mengelus dengan lembut puncak kepala Wooseok, pikirannya kembali teringat saat tadi bertemu dengan teman-temannya.

“Kak Ushin demam panggung lho, nyuk. Gue tadi dm-an sama dia.”

Jinhyuk mengerutkan keningnya, dengan bodoh bertanya, “Maksud lo, gimana?”

Seungwoo terlihat mendengus pelan, “Noob emang beneran lo, bener kata Kukun!”

“Bro, namanya aja yang pertama. Lo pasti paham lah. Emang lo gak panik?”

Jinhyuk mengangkat bahunya, “Sumpah, kepo banget anjir kalian.”

“Anying!” Hangyul meninju pelan lengan Jinhyuk, “Bukan gitu, beda orang beda pemikiran. Kalau lo siap, belum tentu suami lo begitu.. apalagi kata si Byungchan dia kena demam panggung. Haha”

Byungchan mengangkat telunjuknya, “Heh lo awas main kasar! Lo kan berprinsip, gak akan melewati batas sebelum halal. Nanti mentang-mentang udah halal langsung hajar aja. Kasian Kak Ushin kiciw gitu lo kasarin. Nanti kayak si Bella badannya biru-biru.” Byungchan dan segala ocehan ajaibnya membuat Jinhyuk kesal.

Jinhyuk mendengus kasar, “Lo pikir gue penjahat kelamin? Lo pikir gue vampir? Udahlah vulgar amat anjir ngurusin urusan ranjang gue lo pada!”

Maka, ketika tadi Wooseok terbatuk panik saat Jinhyuk menggodanya, Jinhyuk sudah tahu apa yang dipikirkan Wooseok. Beneran anaknya demam panggung.

Kekehan kecil terdengar dari bibir Jinhyuk, dia menunduk kembali untuk melihat wajah damai Wooseok yang tertidur.

“Ada-ada aja. Kak Ushin dasar.” katanya sambil mengecup gemas kening Wooseok.

Tolong ingat, niat awal Jinhyuk untuk menikah, ia yang begitu tulus menyayangi Wooseok, ingin menjaganya. Walaupun Jinhyuk hanya manusia biasa, lelaki dewasa dengan kebutuhannya, namun itu tentu saja bukan point utamannya disini.

Jinhyuk mengecup pelipis Wooseok sebelum menutup matanya malam ini, menutup hari dengan perasaan lega luar biasa, hari ini niat awalnya sejak memantapkan hati untuk meminang Wooseok terlaksana dengan sangat lancar.

Hari ini, ia tidur dengan senyum dan perasaan sangat bahagia sambil memeluk orang yang begitu dicintainya.

[XVII]

“3...... 2....... 1!!!!”

Hitungan mundur yang diucapkan oleh MC lalu diikuti dengan surakan oleh orang-orang yang hadir terdengar memenuhi ruangan.

Gelak tawa dan tepuk tangan langsung terdengar ketika seseorang berhasil menangkap bouquet bunga yang baru saja dilemparkan oleh Wooseok.

Tanpa menunggu lama Wooseok langsung berbalik untuk melihat siapa gerangan yang mendapatkannya, itu pacar Sakura. Sehun, pria tampan dan tinggi yang berpakaian rapi menggunakan batik itu tertawa hingga matanya menyipit sambil memegang bouquet bunga dan dengan gentle langsung memberikan hasil tangkapannya pada sang kekasih yang tersenyum malu sambil menutup wajah cantiknya.

Berbagai ledekan mulai terdengar riuh, teman-teman Wooseok semasa kuliah memang tahu kalau Sakura dan Sehun sudah berpacaran cukup lama.

“Sakura tahun depan nyusul Ushin nih kayaknya.”

Wooseok tertawa senang melihatnya, melihat Sakura yang tersenyum malu-malu dalam rangkulan Sehun yang menanggapi ocehan teman-teman mereka dengan kalem.

“Eh..”

Tawa Wooseok terhenti karena kaget, ia menoleh cepat ketika merasakan kecupan di pipi kanannya. Suaminya, jujur Wooseok masih merasa malu untuk menyebut Mas Jinhyuk suami secara langsung, Mas Jinhyuk tampak tersenyum tanpa rasa bersalah walaupun sudah mencuri. Mencuri kecupan di pipinya yang sekarang tampak merona lagi, entah sudah berapa puluh kali Jinhyuk melihatnya seharian ini.

Hari ini, pipi Wooseok benar-benar dipenuhi rona bahagia, rona kemerahan yang tampak malu-malu. Cantik, indah dan lucu sekaligus.

“Ketawanya bahagia banget.” kata Jinhyuk.

“Lucu lihat mereka. Dulu pas di kampus sering disebut visual couple ternyata awet sampai sekarang.”

“Lama juga ya.” Mendengar respon Jinhyuk, Wooseok mengangguk ringan.

Takdir itu terkadang memang tidak bisa ditebak. Seperti melihat temannya yang hingga sekarang belum menikah padahal sudah lama berpacaran dan dirinya sendiri yang hanya butuh kurang dari lima bulan berpacaran sebelum memutuskan untuk menikah. Mereka tadi siang saja masih terheran kok bisa Wooseok yang lebih dulu memecah telor, orang yang tidak disangka-sangka.

Setelah bouquet toss, selanjutnya adalah party time! menikmati keseruan, kebersamaan mereka semua, bercengkrama lagi dengan teman lama atau mungkin dengan kerabat yang hanya sesekali berkujung bila ada acara keluarga saja.

Waktunya bersenang-senang!

Menari dan bernyanyi mengikuti alunan lagu dibuka oleh first dance yang diiringi lagu Everything dari Michael Bublé.

Acaranya dilakukan di dalam ruangan-tepat disamping tempat wedding ceremony tadi-, namun beberapa orang masih terlihat berbincang di kursi luar, kebanyakan para orangtua. Sedangkan para kaum milenial berkumpul disini, berbaur menjadi satu.

Lalu mendadak Seungwoo bernyanyi dan berduet dengan wedding singer, Mbak Wendy. Semua orang seakan terhanyut dengan indahnya suara mereka. Sebuah lagu berjudul Best Part dari Daniel Caesar mengalun indah terdengar mengisi keseluruh ruangan.

You don't know, babe When you hold me And kiss me slowly It’s the sweetest thing

Wooseok sedikit berjengit ketika merasakan sebuah pelukan dari belakangnya, ada tangan Jinhyuk yang melingkari pinggangnya dan menautkan kedua tangannya sendiri di depan perut Wooseok.

Wooseok tersenyum kecil tanpa berucap apa-apa. Tubuh jangkung Jinhyuk bergerak pelan menikmati irama lagu, membuatnya yang berada di dalam dekapan Jinhyuk ikut bergerak bersama.

Tangan Wooseok mengelus tangan Jinhyuk dengan pelan. Seperti mendapatkan izin, Wooseok bisa merasakan pelukan Jinhyuk yang mengerat.

Dengan nyaman Wooseok menyandarkan punggungnya pada tubuh Jinhyuk, pipi kiri Jinhyuk bersentuhan dengan kepala sisi kanan Wooseok. Saling menempel tanpa jarak membuat Wooseok bisa merasakan hembusan napas hangat Jinhyuk.

Satu kecupan di pelipisnya membuat Wooseok kembali menarik kedua sudut bibirnya dengan perasaan senang.

“Capek, hmm?”

Wooseok menggelengkan kepalanya, “Seneng.” balasnya pelan.

“Lega.” tambah Jinhyuk membuat Wooseok mengangguk.

Jinhyuk rasa Seungwoo benar saat tadi sebelum bernyanyi dia berkata kalau Wooseok adalah best part untuknya. Seperti lagu yang sedang mereka dengar, begitulah arti Wooseok.

Mereka tampak asik menikmati alunan lagu dan tangan Wooseok juga masih mengelus tangan Jinhyuk yang berada di perutnya.

“You're my best part.”

“Mas Jinhyuk lagi nyanyi? kok nadanya datar?”

Tubuh Jinhyuk masih bergerak pelan mengikuti irama, ia terkekeh sesaat sebelum menjawab, “Enggak. Mas lagi ngomong, ke kamu.” bisiknya.

“You're my best part, kak.” ulangnya lebih jelas sambil mengecup kembali pelipis Wooseok dengan sayang.

Wooseok membalas dengan menggumam pelan. Kepalanya sedikit menoleh ke arah samping untuk melihat wajah Jinhyuk. Namun, karena susah ia memilih untuk membalikkan badannya saja agar lebih leluasa juga menatap wajah tampan Mas Jinhyuk nya. Puas-puasin ngebucin.

“Wangi...” bisik Wooseok menggantung.

“Apanya?”

Jinhyuk bertanya sambil mengerutkan kening tidak mengerti, walaupun Wooseok sudah berbalik, pelukannya tidak dilepaskan sama sekali.

I just wanna see I just wanna see how beautiful you are You know that I see it

Netranya menatap lamat-lamat paras Wooseok yang mengangkat wajah untuk menatapnya. Jinhyuk menatap teduh kedua mata Wooseok yang memakai contact lens serta masih ada riasan disana walaupun tipis, cantik.

Satu tangan Wooseok perlahan terangkat untuk mengusap lembut pipi Jinhyuk, ia tersenyum sebelum melanjutkan kata.

“Mas Jinhyuk nya... wangi.”

Jinhyuk terdiam sesat sebelum tertawa mendengar jawaban Wooseok. “Wangi soalnya kan pakai parfume, kak.” balasnya santai.

Telunjuk Jinhyuk menjawil gemas hidung Wooseok yang sekarang sedikit memajukkan bibir mungilnya, kesal malah ditertawakan.

Bukan wangi itu maksudnya, wangi yang wangi. Wooseok juga tidak tahu harus menjelaskannya bagaimana. Sudahlah, intinya Mas Jinhyuk paling wangi, sedunia. No debat.

“Jangan manyun, katanya lagi senang.”

“Huhu habisnya nyebelin!”

“Siapa?”

“Kamu!”

“Ouch!”

Tangan Wooseok mampir untuk menepuk dada Jinhyuk. Semakin menyebalkan saat Jinhyuk sengaja mengaduh lebay dengan suara cukup keras hingga membuat beberapa orang menatap ke arah mereka.

Sialnya kemudian para manusia yang menoleh hanya bisa menggigit jari melihat pasangan baru itu. YANG UDAH HALAL MAH BEBAS, inner mereka semua.

Jinhyuk dan Wooseok tampak tidak terganggu dengan sekitar, masih asik berdua seakan hanya ada mereka di ruangan itu.

Wooseok yang sibuk merajuk dan Jinhyuk yang terkekeh seakan menikmati setiap rengekan manja yang keluar dari bilah bibir mungil Wooseok.

Ditambah posisi mereka yang masih belum berubah, Jinhyuk masih memeluk Wooseok, melingkarkan tangannya di pinggang Wooseok dengan penuh klaim. Tangan Wooseok sendiri bertumpu di dada bidang Jinhyuk.

Sesekali bahkan terlihat Jinhyuk yang menciumi pipi Wooseok.. oh mungkin juga bibirnya.

Mau meninggal saja melihatnya. Tidak kuat.


The big day is gonna ends.

Waktu terasa cepat berlalu ketika kita menikmatinya, rasanya hal itu benar. Karena saat ini waktu sudah menujukkan hampir pukul sebelas malam.

Baik Jinhyuk maupun Wooseok serta semuanya sejak tadi terlihat bersenang-senang, tertawa bahagia, saling menari serta penuh hal-hal kekonyolan yang terjadi tanpa tahu malu. Menari seakan mereka adalah sebuah boy group kenamaan, atau menari seakan mereka sedang di sebuah club malam dan masih banyak lagi. Gila, tapi seru.

Teman-teman Jinhyuk tanpa canggung berbaur dengan teman-teman kuliah Wooseok, bahkan terlihat Seungwoo yang sedang bersama salah satu temannya tampak asik mengobrol, dasar buaya.

Anak-anak Indoseptember juga tampak asik ikut menikmatinya. Para sepupu Wooseok maupun Jinhyuk ikut andil. Melihat semuanya tampak berbahagia di hari pentingnya, hal itu membuat hati Wooseok berkali-kali menghangat.

Wooseok mengedarkan pangandanganya ke seluruh penjuru ruangan, tidak seramai tadi karena beberapa orang sudah pulang. Namun, Wooseok bisa melihat Papa dan Mama yang sibuk mengobrol dengan yang lain.

Para orangtua seakan tidak terganggu dengan tingkah para anak muda ini, lucunya tadi bahkan kedua orangtua mereka ditarik untuk ikut menari yang langsung ditolak mentah-mentah. Jinhyuk bahkan sampai memeluk Ibu dan menahannya sambil tertawa.

Wooseok lalu mengalihkan tatapannya untuk menatap Jinhyuk yang sedang menertawakan tingkah konyol salah satu sepupunya yang menari layakya sobat ambyar. Gila, beneran semakin malam semakin tidak terkendali.

Tidak lama kemudian Mbak Wendy menyebutkan kalau sekarang waktunya last dance, semuanya terdengar mengeluh protes, masih mau bersenang-senang.

Baik Wooseok maupun Jinhyuk hanya tertawa. Mau bagaimana lagi, sudah sesuai rundown, acaranya hanya sampai pukul sebelas malam, lebih sedikit mungkin karena segala hal tak terduga.

Jangan bayangkan bagaimana tadi saat mereka melakukan first dance, tentu saja kacau.

Beberapa kali Jinhyuk menginjak kaki Wooseok tidak sengaja hingga membuat Wooseok merajuk kesal dan Jinhyuk yang berucap maaf berkali-kali. Dimana orang yang belajar menari hanya beberapa menit saja untuk first dance mereka? hanya Jinhyuk dan Wooseok mungkin.

Sudahlah Jinhyuk tadi hanya pasrah sambil menahan malu dilihat semua orang apalagi saat melihat teman-teman kurang ajarnya yang menatap malu seakan mereka tidak mengenal dirinya. Tapi tidak apa-apa, toh jatuhnya mereka hanya bersenang-senang.

Lupakan yang tadi, mari kita berpegang teguh pada prinsip save the best for last.

Jinhyuk membawa tangannya untuk memegang kedua sisi pinggang ramping Wooseok. Dan Wooseok sendiri mulai mengalungkan kedua lengannya di leher Jinhyuk saat nada pertama mulai terdengar menyapa gendang telinga mereka.

Jinhyuk mengingat, pertama langkahkan kaki kiri ke depan disusul oleh kaki kanan agar sejajar. Kedua, rapatkan kaki kanan ke arah kaki kiri agar bersentuhan. Ketiga, langkahkan kaki kanan ke belakang disusul dengan kaki kiri agar kembali sejajar. Keempat, rapatkan kaki kiri ke arah kaki kanan hingga bersentuhan lagi. Lakukan secara berulang hingga seperti menggambar sebuah kotak menggunakan kaki-

“Aw!”

Belum selesai otaknya berpikir sudah terdengar suara Wooseok yang kembali kakinya tidak sengaja terinjak.

“Mas Jinhyuk!”

“Maaf, sayang.” menyerah, walaupun sederhana tapi Jinhyuk tidak pandai mengikutinya. Sudahlah. Ribet sekali ternyata.

“Suka-suka Mas saja ya, kak.” ucap Jinhyuk sekenanya. Bodoamat, yang penting langkahnya bergerak menuntun Wooseok.

Walaupun cemberut, Wooseok tetap mengangguk mengiyakan. Terserah Mas Jinhyuk sajalah, ia hanya akan mengikuti langkahnya. Daripada kakinya bengkak! Paling hanya bergerak pelan ke kanan dan ke kiri sesekali mungkin maju dan mundur tanpa pola pasti.

Wooseok bergumam tidak jelas saat tangan Jinhyuk yang awalnya hanya memegang kedua sisi pinggangnya berubah menjadi memeluk dengan sempurna hingga jarak mereka semakin terkikis.

Memeluk pinggang kecil Wooseok masih terasa sangat longgar untuk lingkaran tangan panjang Jinhyuk.

Jinhyuk menyesuaikan langkah dengan irama musik yang diputar, rasanya dia mau sungkem sama yang sudah memilih lagu ini. Ini mudah untuk diikuti, lebih tepatnya sama band disini yang membuat temponya menjadi lebih lambat.

Perlahan bibir cemberut Wooseok mulai kembali lurus dan sedetik kemudian melengkung indah saat Jinhyuk berbisik padanya dengan pandangan yang tidak lepas sedikitpun, saling menatap.

“Kak Ushin kayak judul lagu ini.”

“Gombal.” balas Wooseok, pandangannya dibuat menghindar dari tatapan Jinhyuk yang menatapnya dalam. Wajahnya kembali bersemu menampilkan rona.

Kaki mereka masih bergerak ringan.

“Serius, sayang.”

Wooseok mengangkat bahunya salah tingkah, ia lebih memilih menatap ke balik punggung Jinhyuk, menatap temannya yang juga sedang menari bersama mereka.

“Kak..” panggilan Jinhyuk membuat perhatian Wooseok kembali menatapnya. Tangan Jinhyuk merapikan rambut Wooseok yang sedikit berantakan, mungkin terlalu asik saat tadi menari.

Sialan! senyum Mas Jinhyuk membuatnya lemah. Apa-apaan maksudnya! Mas Jinhyuk mau membuat dia meleleh seperti es krim disini? iya?!!!! Huhuhu

So as long as I live I love you Will have and hold you You look so beautiful in white

“Hmm.”

Wooseok bergumam, tangannya tanpa sadar semakin memeluk leher Jinhyuk untuk berpegangan. Tubuh bagian depan mereka sudah tidak berjarak.

Wajah Wooseok mendongak agar bertatapan dengan Jinhyuk. Tidak bisa berbohong kedua matanya berbinar, ia teramat sangat bahagia hari ini.

Perlahan satu tangan Jinhyuk bergerak menuju tengkuk Wooseok lalu berhenti untuk menangkup pipi yang sudah kembali bersemu itu. Mengelusnya lembut dengan hati-hati.

Jinhyuk menunduk, menyatukan kening mereka hingga puncak hidungnya menyentuh puncak hidung Wooseok. Napas hangat langsung terasa menerpa wajah masing-masing.

Tanpa kata, keduanya mempertahankan posisi seperti itu dengan senyum yang sama-sama terukir indah di kedua paras mereka.

Walaupun tanpa berbicara dan hanya saling melemparkan senyuman, mereka seakan bisa merasakan apa yang tersirat.

Langkah kaki Jinhyuk terasa semakin lambat hingga membuat tubuh mereka hanya terayun pelan seperti terbawa angin.

And from now to my very last breath This day I'll cherish You look so beautiful in white Tonight

“Beautiful in White.” bisik Jinhyuk menyebutkan judul lagunya, “Kayak kamu, malam ini.”

“Uhm, Thanks.”

Wooseok bisa merasakan jantungnya yang berdegup semakin menggila saat tangan Jinhyuk kembali ke tengkuknya.

Hingga akhirnya Jinhyuk memiringkan wajah, memberinya ciuman yang teramat lembut. Wooseok sedikit berjinjit untuk mempersempit jarak dengan mengeratkan pelukannya di leher Jinhyuk. Jinhyuk membantu, ia menunduk dan semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Wooseok.

Tidak ada lagi gerakan kaki yang berayun pelan, mereka hanya terdiam ditengah-tengah yang lainnya, menikmati hari terbaik mereka yang akan segera berkahir.

I found the one and My life had found its missing piece

Hingga akhirnya lagu berhenti, secara perlahan Jinhyuk baru melepaskan ciumannya. Mereka langsung maraup oksigen sebanyak-banyaknya. Kaki Wooseok benar-benar lemas hingga ia harus berpegangan di pundak Jinhyuk.

Tanpa berniat melebarkan jarak terlebih dahulu, dengan lembut Jinhyuk mengusap bibir Wooseok yang memerah dan basah menggunakan ibu jarinya. “Rasa cherry.” bisik Jinhyuk lalu mengecupnya lagi, hanya beberapa detik.

Wooseok memandang lurus pada mata Jinhyuk yang masih menundukkan wajah untuk menatapnya sambil tersenyum, “Sayang Mas Jinhyuk banyak-banyak.” bisiknya lirih.

“I love you, kak.”

Wooseok mengerjapkan matanya lucu, lalu menggigit bibir bawahnya, secepat mungkin ia menyembunyikan wajahnya yang memerah di dada Jinhyuk, “I love you, too, Mas Jinhyuk.” cicitnya membuat Jinhyuk tertawa renyah dan mencium puncak kepalanya.

“Sabar bos, masih banyak orang nih.”

Terdengar samar-samar suara Hangyul yang bisa Wooseok dengar. Malu.


Lee Jinhyuk, I give myself to you to be your husband and your best friend.

You're the love of my life and you make me happier than I could have ever imagined and more loved than I ever thought was possible.

You make me unbelievably proud and I promise that I'll make you proud as your husband.

I promise to give you love, honesty, trust and commitment, and, in general, keep your life interesting as we grow old together.

On good days or bad days, rain or shine I promise to put all my effort into strengthening our marriage.

I'll love you forever and I'm so lucky you're mine.

[XVI]

“I, Lee Jinhyuk, take you, Kim Wooseok to be my best friend and my husband.

I pledge to you my love, my life and my future in the name of the God.

I promise to be faithful and to always make our family's love and happiness my priority.

On good times and in bad, when life seems easy and when it seems hard. I give you my hand and my heart, as a sanctuary of warmth and peace.

I wanna grow old with you and we will share a lifetime of ethernal, immeasurable love.

You are my love and my life, today and always.”


Hari ini terasa sangat indah, demi Tuhan. Hari ini adalah salah satu dari hari terbaik dalam dua puluh enam tahun hidup seorang Kim Wooseok. Dari mulai ia membuka mata hingga detik ini, perasaannya menguarkan kebahagiaan yang tidak pernah surut.

Hari ini, Wooseok resmi menikah, resmi dipersunting, resmi menjadi milik pria bernama Lee Jinhyuk, suaminya.

Rasanya setiap detail di hari ini akan Wooseok ingat terus. Seperti bagaimana saat Wooseok menerima pujian dari orang-orang disekitar (dan para tamu) untuk penampilannya, sehingga membuatnya tersipu malu sambil mengucap terimakasih dengan lirih.

Wooseok juga mengingat jelas bagaimana respon kedua orangtuanya saat pertama kali mereka masuk ke kamarnya. Menatap anak tunggal mereka yang beberapa jam lagi akan mereka lepaskan, akan mereka percayakan kepada orang lain dengan pandangan yang sulit diartikan.

Sang Mama yang partama kali menitikan air mata haru dan Papa yang terus berucap tidak percaya sambil bergerak untuk memeluknya dengan sayang membuat Wooseok akhirnya menangis.

Lalu, ketika tanpa Wooseok duga, Ibu dan Ayah Mas Jinhyuk mengunjunginya, berbicara sejenak bermaksud menenangkan karena kata beliau, Mas Jinhyuk sendiri tampak gugup di ruangannya. Wooseok tentu saja sangat bersyukur dengan segala perhatian dari Ibu dan Ayah Mas Jinhyuk untuknya.

Hingga setiap detail degup jantungnya ketika ia akhirnya berjalan di aisle dengan didampingi kedua orangtuanya dan saat pandangannya bertemu dengan Jinhyuk untuk pertama kali... Wooseok mengingatnya, sangat jelas.

Wooseok melihat dengan jelas senyum simpul Mas Jinhyuk yang sudah menunggunya, Wooseok melihat jelas bagaimana Mas Jinhyuk mengusap ujung matanya sendiri dan terlihat menahan tangis, dan Wooseok melihat jelas binar bahagia dari kedua bola mata Mas Jinhyuk saat akhirnya mereka berdiri berhadapan.

Detik itu, Wooseok sudah benar-benar tidak tahu jelas bagaimana perasaannya, terlalu banyak perasaan yang berkecamuk di dadanya, gugup, bahagia, lega dan semuanya seakan bergumul menjadi satu. Tangannya bahkan terasa dingin dan mati rasa.

Satu yang pasti, detik itu Wooseok bilang pada Tuhan melalui hati kecilnya kalau ia begitu mencintai.. Lee Jinhyuk.

Wooseok pun mengingat tatapan sungguh-sungguh saat Jinhyuk mengucap the vow, dia mengakhiri dengan senyum hangat hingga menunggu giliran Wooseok yang berbicara.

Mereka bertukar cincin, saling menatap dengan sama-sama mengulas senyum terbaiknya. Memejamkan mata sejenak untuk berdoa. Hingga akhirnya ketika officiant mengumumkan kalau mereka sudah resmi menikah, beban dipundak Wooseok maupun Jinhyuk terasa perlahan terangkat...

Ini nyata, mereka akhirnya menikah.

Ciuman tadi, ciuman pertama mereka di depan orang-orang terdekat yang menghadiri wedding ceremony terasa sangat tulus, lembut dan penuh perasaan yang bergejolak di dada mereka masing-masing.

Wooseok akan bersemu ketika mengingatnya kembali.


Capek, kalau boleh jujur Jinhyuk akan berkata seperti itu ketika ada yang bertanya. Namun, semuanya.. semua capek karena harus melalui hari yang panjang ini terbayar dengan melihat senyuman bahagia di wajah Wooseok yang sejak tadi sore hingga malam seperti ini masih diulas dengan dibarengi binar di kedua mata indahnya.

Jinhyuk sangat bersyukur acaranya berjalan dengan lancar, mulai dari wedding ceremony yang mendebarkan, yang membuat emosinya tidak karuan apalagi ketika melihat Wooseok untuk pertama kalinya, berjalan di aisle diapit kedua orangtuanya.

Indah, Kim Wooseok tampak sangat indah dengan setelan putihnya dan perlahan berjalan ke arahnya. Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan perasaan harunya hingga setitik air mata berhasil jatuh di sudut matanya.

Ia, Lee Jinhyuk benar-benar akan menikahi kekasih yang belum lama dipacarinya, namun apalah arti waktu bila dirinya sudah begitu yakin akan hari ini, akan keputusannya.

Dan begitu ia resmi menikahi kekasih terindahnya, di depan semua yang menghadiri wedding ceremony mereka, Jinhyuk seakan ingin mengucap dengan lantang kalau ia menjadi manusia paling bahagia hari ini.

Ratusan-mungkin ribuan- ucapan selamat bisa Jinhyuk dengar seharian ini, dengan penuh terimakasih ia dan Wooseok membalas sambil mengulas senyum tulus, mengaminkan setiap doa yang diucapkan untuk pernikahan mereka kedepannya.

Setelah melewati sesi foto yang panjang kemudian dijeda istirahat sebentar sambil mengganti pakaian. Jinhyuk mengganti suit hitamnya dengan warna navy dan Wooseok tetap memakai pakaian berwarna sama seperti tadi, putih.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi makan malam dan wedding speeches.

Beberapa orang mendapatkan kesempatan untuk berbicara sebelum Jinhyuk.

Pertama adalah Papa yang intinya berterimakasih kepada yang sudah datang, yang sudah membantu hingga acara pernikahan anak-anak mereka bisa terlaksana dengan lancar, juga tidak lupa memberikan wejangan-wejangan untuk Jinhyuk dan Wooseok.

Satu kakak sepupu Jinhyuk yang berperan sebagai Best Man juga turut berbicara, mengucap selamat paling tulus untuk keduanya, mengenalkan bagaimana sosok Jinhyuk di mata keluarganya kepada keluarga Wooseok (dan yang hadir).

Terakhir, satu temannya sebagai Groomsmen. Setelah tadi siang berdiskusi dan sibuk saling menunjuk satu sama lain, akhirnya Seungwoo yang terpilih untuk berbicara. Dia menceritakan bagaimana dirinya mengenal baik sosok Jinhyuk sejak mereka kuliah dan dia juga bercerita bagaimana dan setulus apa Jinhyuk menyayangi Wooseok menurut pandangan teman-teman terdekatnya.

Jinhyuk tidak bisa menahan senyumnya kala itu, ia mendapati Wooseok yang meremas tangannya, membuat Jinhyuk menatap tangan mereka yang saling bertautan di atas meja.

“Mas Jinhyuk bucin juga ternyata.”

Wooseok berbisik sambil tersenyum senang yang membuat Jinhyuk langsung meloloskan tawa pelan, dia membawa tangan Wooseok untuk dikecupnya dengan lembut serta pandangannya yang sedikitpun tidak lepas dari kedua bola mata Wooseok.

Lagi, Jinhyuk bisa melihat semburat merah di kedua pipi Wooseok yang membuatnya tampak lucu.

Setelah sepupu dan teman Wooseok juga memberika speech singkatnya. Jinhyuk berdehem sebentar sebelum berdiri, gilirannya yang terakhir.

Seperti Papa, Jinhyuk juga mengucap terimakasih kepada yang sudah datang, terutama yang dari luar kota, teman-temanya, teman-teman Wooseok, keluarga serta kerabat mereka semuanya.

Jinhyuk berterimakasih kepada kedua orangtua Wooseok dan orangtuanya yang entah mau seperti apapun rasanya ucapan terimakasih tidak akan pernah cukup untuk membalas mereka yang sudah membesarkannya hingga saat ini.

Selain itu, Jinhyuk banyak berterimakasih kepada orang-orang yang sudah membantu mereka dalam menyiapkan pernikahan ini, yang sudah bersedia direpotkan olehnya dan Wooseok. Orang-orang dibalik layar yang dia tahu, tanpa mereka pernikahannya dan Wooseok tidak akan berjalan seperti ini.

Terakhir, Jinhyuk terdiam sebentar membuat semua orang yang memberinya fokus menjadi penasaran, menunggu apa kiranya yang sedang dipikirkan pria yang tampak begitu tampan dengan penampilannya malam ini.

Lee Jinhyuk kemudian memandang Wooseok yang duduk di kursinya, dengan tenang ia berjalan perlahan hingga berdiri tepat di depan meja Wooseok.

Wooseok mendadak gugup, apa yang akan dilakukan oleh Mas Jinhyuk nya? ia memilih meremas tisu yang sedang dipegangnya.

“Kak..” bisik Jinhyuk pelan tanpa mic, hanya Wooseok yang bisa mendengar.

“Tidak lengkap rasanya kalau Mas tidak berterimakasih pada kamu.” kata Jinhyuk, kali ini ia menggunakan mic nya kembali membuat semua yang hadir bisa mendengar suaranya dengan jelas.

Menatap Wooseok dengan senyum hingga ke matanya, Jinhyuk kembali berbicara.

“Terimakasih Kim Wooseok sayang, seperti yang kita semua tahu, hari ini tidak akan pernah terjadi tanpa kamu..”

“Today is only the beginning of the rest of our life together... sometimes it still has me in shock, just thinking about how lucky I am to be able to wake up knowing that I have you in my life.”

Wooseok menggigit bibir bawahnya saat melihat Jinhyuk yang berjalan memutari meja untuk mendekat ke arahnya, dia berdiri tepat di samping kursinya.

Tangan Wooseok yang berada di atas meja digenggam lembut oleh satu tangan Jinhyuk yang bebas, diusap pelan menggunakan ibu jarinya. Jinhyuk harus sedikit menunduk karena posisi Wooseok yang sedang duduk dan Wooseok yang harus mengangkat wajahnya agar bisa menatap Jinhyuk.

Beberapa orang menjerit tertahan melihat perlakuan-manis-Jinhyuk, tatapan Jinhyuk yang penuh cinta seakan bisa mereka lihat dengan jelas, tanpa ditutupi sedikitpun mereka tahu tatapan itu hanya dan untuk Wooseok, suaminya. Setiap orang seakan mengucap betapa beruntungnya menjadi Kim Wooseok.

Wooseok pun sama, ia yang notabennya diperlakukan secara langsung oleh Jinhyuk, hatinya sudah berantakan.

“Thank you for being here, for being beautiful, for taking a chance on me and thank you for loving me the way that you do.”

Dengan nada paling lembut Jinhyuk berbicara, dengan pandangan paling hangat Jinhyuk menatap, dengan senyum paling tulus Jinhyuk mengulas, dan dengan sungguh-sungguh Jinhyuk menutup kata.

Kemudian, Jinhyuk semakin menunduk untuk mengecup dalam dahi Wooseok. Ia memejamkan matanya dengan hati yang berbisik lirih.

Thanks, God. He's officially mine.

[XV]

Berbagai obrolan yang terdengar memenuhi ruangan seakan membawa kesan hangat yang begitu kental semakin terasa. Di sini, tepatnya di ruangan cukup besar ini terdapat dua keluarga yang saling berbincang setelah sesi makan malam mereka.

Ini usul Ibu, dari lama beliau sudah mewanti-wanti agar diadakan makan malam apabila ada waktu sebelum hari pernikahan, ya seperti ini, katanya supaya saling mengenal terlebih dahulu. Jinhyuk paham maksud Ibunya, ini pertama kali keluarga besar mereka bertemu keluarga Wooseok.

Wooseok sedikit meringis merasa bersalah saat tadi ia datang terlambat, namun apa daya, mood-nya benar-benar tidak bisa terkontrol. Ia butuh waktu sendiri daripada membuat suasana disini menjadi canggung.

Terlihat beberapa anak kecil yang sibuk berlarian seakan sudah saling mengenal lama satu sama lain, mereka berbaur tampak akrab untuk bermain bersama. Tenang saja, anak-anak itu tidak menganggu tamu hotel lainnya karena satu ruangan ini hanya diisi oleh mereka.

Satu meja bulat diisi oleh dua keluarga inti yang duduk saling berhadapan, kedua kepala keluarga itu tampak sibuk mengobrol saling menimpali seakan membahas topik yang benar-benar penting, namun akan ada senyum di ujung kalimatnya serta kekehan kecil.

Di meja lainnya beberapa orang tampak bicara dengan sedikit canggung karena hari ini merupakan pertemuan pertama mereka, namun tidak mengurangi rasa hangat yang terasa.

Juga terlihat teman dekat Wooseok saat kuliah, Yein dan Sakura, serta ada Sejin yang tadi sore dijemput oleh sepupunya ke stasiun, dia cukup cepat dalam mengakrabkan diri dengan teman dan para sepupu Wooseok karena usia yang memang tidak terlalu jauh. Sedangkan teman-teman Jinhyuk sendiri belum terlihat batang hidungnya satupun.

Semuanya tampak berbahagia untuk menyambut hari besar esok. Memang benar adanya kalau sebuah pernikahan menyatukan bukan hanya dua kepala, namun juga dua keluarga.

Wooseok yang baru pertama kali bertemu dengan keluarga besar Jinhyuk terlihat sedikit kikuk diawal, sebisa mungkin ia sejak tadi siang sudah mencoba mengakrabkan diri, mengobrol dengan beberapa sepupu Jinhyuk serta om dan tantenya, juga bermain dengan anak-anak mereka yang masih kecil.

Entah sudah berapa kali Wooseok tersenyum malu saat mereka berkata tentang dirinya, seperti “Pinter nih Jinhyuk nyari calonnya.” atau “Pantesan bang Jinhyuk ngebet nikah, calonnya begini.” dan masih banyak lagi, Wooseok cukup berterimakasih dengan kesan pertama yang begitu baik ini.

Besok mereka bukan lagi orang asing baginya, mereka juga akan menjadi keluarganya, begitu bisik Jinhyuk saat tadi dia tiba-tiba merangkulnya dari belakang dan ikut dalam obrolan untuk menyairkan suasana agar Wooseok tidak terlalu awkward dengan keluarga besarnya.

Kalau dilihat dari kuantitas, keluarga dari pihak Jinhyuk yang paling banyak disini karena tentu saja alasan jarak yang mengharuskan datang terlebih dahulu. Walaupun beberapa masih ada yang berangkat besok.

Keluarga Wooseok sendiri bisa dihitung jari, hanya keluarga terdekat saja. Toh rumah mereka lebih dekat asal pintar mencari waktu saja karena besok adalah weekend, dipastikan macet apalagi venue yang dipilih memang berada di lingkungan tempat wisata.

Wooseok pamit sebentar kemudian ia berdiri dari kursinya, melangkah ke arah Jinhyuk yang sedikit menjauh karena harus menerima telepon, dia berdiri di dekat jendela yang menghadap ke luar.

“Gimana? mereka udah mau sampai, mas?”

Jinhyuk memasukkan kembali ponselnya ke saku celana sesaat setelah menutup telepon, “Masih di tol, katanya. Sudah gapapa, gak bakal nyasar ini. Sudah mas kasih tau jalannya, ada Maps juga kan.” jelas Jinhyuk.

Barusan dia menerima telepon dari Byungchan yang masih dalam perjalanan.

Wooseok melihat jam yang ada di ponselnya, “Oh yaudah, paling jam 10an sampainya. Itu juga kalau gak macet sih pas keluar tol.”

Jinhyuk mengangguk setuju, belum lagi dari kota harus ke hotel yang memang agak jauh karena faktanya hotel tempat mereka menikah bukan di tengah kota, Wooseok memilih di Lembang menyesuaikan konsep outdoor yang mereka pilih.

Begitu diberi beberapa pilihan saat memilih venue oleh vendor, Wooseok langsung memilih outdoor disini dan Jinhyuk yang mengangguk setuju. Sejak awal mereka sudah mencoret ballroom dari daftar venue.

Bahkan awalnya mereka hanya akan mengundang tidak lebih dari seratus orang demi mewujudkan konsep intimate wedding, namun tentu saja para orangtua yang langsung menolak karena satu dan lain hal, akhirnya dengan dewasa mereka mempertimbangkannya kembali.

Sebuah tangan kecil yang melingkari kaki Jinhyuk dari belakang secara tiba-tiba membuat Jinhyuk langsung menunduk dan tidak lama mengulas senyum sambil mengusak rambutnya.

“Apa, sayang?”

Selanjutnya yang terdengar hanya rengekan manja disertai kedua tangan yang diangkat minta digendong, tingkahnya membuat baik Jinhyuk maupun Wooseok mengerang gemas.

Tanpa diminta dua kali, tangan Jinhyuk terulur untuk menggendongnya, membuat si anak tertawa senang dan langsung melingkarkan tangannya di leher Jinhyuk.

Wooseok tidak bisa mengalihkan tatapannya begitu saja saat melihat pemandangan di depannya, sejak tadi siang Wooseok bisa melihat bagaimana cara Jinhyuk memperlakukan anak-anak dari kakak sepupunya itu.. dan hal itu terlihat sangat manis di mata Wooseok.

“Kamu habis makan coklat ya, belepotan gini.” gumam Jinhyuk sambil mengusap ujung bibir mungil si anak dengan jempol tanganya, dia juga mengusap sedikit peluh yang terlihat di dahinya pasti karena berlarian hingga poni tipisnya tampak lepek.

“Daeun, ini siapa? kenal gak?” lanjutnya sambil menunjuk Wooseok yang berdiri di depan mereka, sibuk memperhatikan interaksi Jinhyuk dan keponakan kesayangannya.

Lee Daeun, anak perempuan berusia tiga tahun itu menatap Wooseok sambil mengerjapkan matanya, bingung. Lalu dia kembali menatap Jinhyuk lagi sambil menggelengkan kepalanya. Wajah polosnya membuat Jinhyuk meloloskan kekehan ringan dan mengecup pipinya gemas, “Kakak Ushin.” katanya memberi tahu dengan berbisik, hingga akhirnya Daeun mengangguk kecil dan bercicit pelan menggumamkan apa yang sudah diberitahu oleh om nya sambil kembali menatap Wooseok.

Wooseok menghembuskan napas pendek dengan bibir yang mencebik pelan.

“Padahal tadi siang kita udah kenalan lho. Cepet banget aku dilupainnya.” katanya sambil mencubit gemas pipi Daeun membuat si anak merengek menolak dan langsung menjauhkan wajahnya dari jangkauan Wooseok, dia bersembunyi di ceruk leher Jinhyuk sambil mengeratkan pelukannya.

Bukan lagi kekehan, saat melihat Wooseok merajuk karena dilupakan dan ditolak oleh anak kecil malah membuat Jinhyuk tertawa pelan, “Daeun gak suka diuwel-uwel, sayang.” ujarnya disela tawa.

Ada-ada saja.

“Sebentar, mas anterin Daeun ke mamanya dulu, ya.”

Tanpa menunggu persetujuan Wooseok, Jinhyuk melangkahkan kakinya ke meja yang diisi oleh keluarganya. Menurunkan Daeun ke pangkuan Mbak Jieun, kakak sepupunya. Namun, belum ada satu menit anaknya langsung turun lagi untuk bermain dengan yang lain, termasuk dengan Ahlyn, sepupu Wooseok yang tadi siang tingkahnya membuat sakit kepala saat disuruh menjadi flower girl.

Jinhyuk terlihat mengobrol sebentar pada yang disana lalu bicara pada orangtua mereka sebelum kembali menghampiri Wooseok yang masih berdiri di tempat yang tadi.

“Kenapa, mas?”

“Gapapa. Keluar sebentar yuk, kak.”

Walaupun sedikit bingung, Wooseok mengangguk mengiyakan dan ia secara refleks mengulas senyum saat Jinhyuk langsung menautkan tangannya, menggenggam lembut jemari Wooseok dan menuntunnya untuk keluar ruangan.

Kalau diingat lagi, sejak tadi siang Jinhyuk datang ke hotel memang mereka belum menghabiskan waktu berdua (minus tadi saat mereka menyingkir untuk meluruskan kesalahpahaman dan itu pun hanya temannya saja yang tahu, yang lain beranggapan mereka hanya mengobrol biasa).

Tadi Jinhyuk istirahat sebentar sebelum rehearsal. Sebelumnya juga mereka meeting dulu dengan pihak wedding organizer dan yang lainnya untuk membahas final arrangements.

Rehearsal pun berjalan lancar dilakukan dengan senyum yang tampak berkali-kali lipat bahagia di wajah keduanya. Fakta yang tidak bisa disembunyikan, bahkan oleh orang awam pun pasti tahu yang mana yang akan melangsungkan pernikahan.

Mereka juga menghabiskan waktu untuk melihat venue yang tadi masih dalam penyempurnaan untuk besok, sekarang sudah rampung, tentu saja. Tempatnya berada di bagian lain sisi hotel, beberapa ratus meter dari bangunan utamanya, tepatnya ke arah barat.

Konsep yang mereka pilih yaitu Rustic Outdoor Wedding. Memang Jinhyuk akui sangat cocok dilakukan disini, suasananya yang-agak-jauh dari kota dan udaranya yang sejuk membuat pernikahan mereka yang simple (dengan dihiasi warna-warna seperti soft blush white, peach, floral, green dan warna-warna natural lainnya serta memasang dekorasi yang minimalis dan dihiasi unsur-unsur alam juga fairy lights yang tampak cantik di sore hari) terkesan sederhana dan hangat.

Sungguh seperti apa yang selama ini dibayangkan, tentang hari bahagia mereka.


Wooseok merapatkan jaketnya saat turun dari mobil, udara dingin khas Lembang langsung menerpa kulitnya hingga ia bergidik.

Jinhyuk yang juga baru turun dari mobil langsung menghampirinya kemudian merangkul bahu Wooseok agar berjalan bersisian memasuki sebuah kafe di kawasan Punclut.

“Mas tahu tempat ini dari mana?”

Wooseok bertanya setelah ia terkagum-kagum beberapa saat lalu, memandangi city lights yang tampak indah dilihat dari atas sini. Kota Bandung malam hari.

Kepalanya lalu menoleh ke arah Jinhyuk yang duduk di sampingnya sambil menyesap kopi.

“Dari sepupu kamu, Seobin.”

Mendengar jawaban Jinhyuk, Wooseok hanya membulatkan mulutnya. Sebenarnya sudah tidak asing pemandangan seperti ini, dulu semasa kuliah ia beberapa kali pernah ke daerah ini, namun untuk bersama Jinhyuk baru kali ini.

“Udah lama gak kesini.”

“Tempat kamu pacaran, ya?” tanya Jinhyuk yang langsung membuat Wooseok nyengir, tidak membantah. Jinhyuk hanya mengusak puncak kepalanya sambil terkekeh tanpa berucap apa-apa. Toh dia bukan bermaksud mengungkit, hanya iseng menebak saja.

Selanjutnya, Wooseok sibuk makan kue balok yang dia pesan sambil asik melihat pemandangan lampu-lampu kota yang tampak cantik terhampar di bawah sana, juga menikmati suasana malam yang tidak terlalu bising karena kafenya cukup sepi.

Wooseok tetap makan walaupun beberapa kali ia berdalih sudah kenyang, kue balok yang masih hangat itu terlalu enak untuk disia-siakan, sedangkan Jinhyuk hanya menyicip sedikit karena menurutnya terlalu manis apalagi melihat lelehan coklat diatasnya, giung.

“Kenapa ngajak kesini, mas?”

Wooseok bertanya setelah meminum Thai tea nya. Kedua tanganya menggenggam gelas yang terasa hangat, lalu menempelkan tangannya sendiri ke pipinya.

“Mau pindah ke dalam?” Jinhyuk malah bertanya khawatir melihat Wooseok, takut anaknya kedingingan walaupun sudah memakai jaket, padahal Jinhyuk sendiri cuma memakai kemeja saja.

Wooseok langsung menggelengkan kepalanya tanda menolak, “Gapapa, enakan di luar. Bisa duduk santai kayak gini, mas.” ia tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk kursi bean bag yang sedang didudukinya.

Jinhyuk ikut tersenyum dibuatnya, dia lalu menyesap lagi kopinya.

Sebelum membuka suara kembali, tangan Jinhyuk bergerak untuk menggenggam lembut jemari Wooseok yang berada di atas meja, menyalurkan hangat membuat Wooseok tanpa ragu untuk membalasnya sambil tersenyum simpul.

“Maaf untuk yang tadi, mas gak bermaksud bikin kamu salah paham, sayang.”

Wooseok langsung mengangguk sambil menggumam pelan. Ia hanya kesal saja, beruntung Jinhyuk langsung paham saat tadi Wooseok turun ke ruang makan dan langsung menjelaskannya. Wooseok juga kesal pada dirinya sendiri, ia terlalu banyak memikirkan hal-hal tidak penting, hal-hal negatif yang bisa saja malah menjadi boomerang untuknya sendiri.

“Makasih juga ya, kak.” tambah Jinhyuk.

“Buat?”

Wooseok bisa merasakan genggaman tangan Jinhyuk yang perlahan mulai mengerat dengan sedikit meremas, dia kembali melanjutkan kata sambil tersenyum tulus, memandang Wooseok dengan pandangan yang demi Tuhan, Wooseok yakin kakinya sudah lemas sekarang.

”...buat semuanya.”

Jinhyuk menjeda yang entah kenapa justru membuat Wooseok menahan napas dengan debar yang tak beraturan, menunggu kata selanjutnya.

“Besok.. datang juga harinya. Hari yang gak pernah terpikir bakal datang secepat ini, tapi hari yang juga sudah mas nantikan sejak terpikir buat serius sama kamu.”

Usapan pelan di punggung tangannya dari ibu jari Jinhyuk berjuta kali terasa hangat, terasa hingga relung hatinya. Wooseok menarik kedua sudut bibirnya sebagai respon, ia menggeser posisi duduknya agar bisa menghadap sepenuhnya ke arah Jinhyuk.

Meninggalkan begitu saja makanannya, Mas Jinhyuk nya jauh lebih penting.

“Hari yang bakal mengubah hidup kita, bakal membawa kita buat memasuki fase baru. Kalau boleh jujur hari yang dulunya cuma jadi angan-angan sambil mikir, siapa yang bakal jadi pendamping mas...”

Pandangan Jinhyuk sedikit menerawang dengan senyum kecil disudut bibirnya sebelum kembali menatap lurus pada Wooseok.

“Sampai akhirnya mas ketemu kamu. Ketemu Kak Ushin. Baru kenal sebentar, tapi entah kenapa mas sudah yakin banget buat serius, yakin kalau titiknya di kamu.”

“Sudah tahu kapan waktunya harus berhenti mencari. Hati mas kayak bilang “Ini lho hyuk yang lo cari akhirnya ketemu. Gila aja kalau lo lepasin.” Kalau mas yang ngerasain sendirian mungkin masih bisa disangkal pake kepala batu. “Masa sih? kenal juga belum setahun udah niat serius aja, lo.

Jinhyuk melembutkan tatapannya, satu tangannya yang bebas mengusap puncak kepala Wooseok dengan sayang juga dengan senyum yang masih terpatri jelas di paras-tampan-nya.

“Tapi kamunya kak. Kamu yang buat mas bisa sampai kayak gini. Kamu yang melengkapi mas agar bisa yakin seyakin-yakinnya buat ngambil keputusan besar ini. Buat serius sama kamu...”

“Sampai akhirnya mas berani bilang sama Ayah dan Ibu, bilang kalau mas mau melamar anak orang. Bilang kalau mas sudah menemukan siapa yang mau mas jagain, bilang kalau mas sudah siap tanggung jawab buat satu nama, bilang siapa yang mau mas jadikan pendamping hidup...”

“Namanya Kim Wooseok.”

Mendengarnya Wooseok mau menangis. Mau meluk Mas Jinhyuk. Padahal hari bahagianya masih besok, tapi malam ini, ia dibuat berjuta kali merasa haru dengan setiap kata yang keluar dari bilah bibir Mas Jinhyuk nya.

Tangan lebar Jinhyuk mengusap dengan lembut ujung mata Wooseok yang mulai berair, “Mas bilang begini bukan mau buat kamu nangis, sayang.” bisiknya.

Namun, Wooseok buru-buru menutup wajah dengan kedua tangannya. Wooseok tidak bisa menahan tangisnya, ia terlalu bahagia, hatinya terasa penuh.

Jinhyuk tanpa berucap lagi langsung membawa Wooseok ke dalam pelukannya, menyandarkan kepala Wooseok di bahunya. Satu tangannya sibuk mengusap belakang kepala Wooseok dan yang satunya lagi menepuk-nepuk punggungnya, berulang kali dia mengucap kata menenangkan.

“Kita pulang, ya?”

Wooseok mengangguk pelan, tanpa berkata apapun.


“Kalau ditanya, apa yang buat aku yakin buat nikah...”

Jinhyuk memelankan langkahnya sesaat ketika Wooseok membuka suara, saat ini mereka sedang berjalan menuju kamar Wooseok. Wooseok juga sudah tidak menangis lagi, ia takut besok matanya sembab dan malah mengganggu penampilannya.

“Aku bakal jawab simpel aja... asal nikahnya sama Mas Jinhyuk.” lanjut Wooseok pelan sambil mengeratkan pelukannya di lengan Jinhyuk.

Wooseok tersenyum geli saat mendongak dan mendapati Jinhyuk yang terdiam sambil mengerjap bingung menatapnya, “Bucin.” gumam Jinhyuk kemudian.

Dengan sedikit merajuk, Wooseok menggelengkan kepalanya, “Bukan bucin, ih.” katanya sambil memukul pelan lengan Jinhyuk yang sedang ia peluk dan Jinhyuk hanya merespon dengan tawa kecil.

Langkah mereka sekarang benar-benar berhenti di depan pintu kamar Wooseok. Pelukan Wooseok pada lengan Jinhyuk perlahan terlepas, sejalan dengan Wooseok yang sibuk mencari kunci kamarnya di saku celana.

“Di saku jaket, kak.”

Mendengar ucapan Jinhyuk yang mengingatkannya, Wooseok hanya meringis sambil bergumam pelan ketika menemukan kunci yang ia cari. Lupa, tadi sebelum mereka keluar ia memang ke kamar dulu untuk mengambil jaket, sepertinya Jinhyuk melihat saat tadi Wooseok menyimpan kunci.

“Serius lho, mas.”

“Apanya?”

Wooseok mengambil napas dalam sebelum menjawab, “Asal nikahnya sama kamu, aku mau.”

Mereka masih melanjutkan obrolan, Wooseok menyandarkan punggungnya pada pintu dan Jinhyuk berdiri tepat di depannya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

“Nikah itu... perlu banyak banget yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan, kan?”

Jinhyuk mengangguk kecil sebagai respon.

Wooseok juga mengangguk, mereka sepaham. “Yang paling utama buat aku itu.. percaya.”

“Pertimbangan paling berat buat aku itu kalau mikir “Mau dipercayain sama siapa nih hidup aku? nikah cuma sekali seumur hidup, jangan sampai salah milih orang”, selalu kayak gitu.”

Wooseok membenarkan kacamata bulatnya yang sedikit melorot, pandangannya masih bersitatap dengan Jinhyuk yang setia menyimak.

“Sama Mas Jinhyuk. Dengan percaya diri, sekarang aku bisa jawab pertanyaan aku sendiri. Aku dapat percaya itu saat sama kamu, mas. Sama kayak kamu, kesempatan gak datang dua kali, gak mungkin aku melewatkannya.”

“Kamu tadi gak percaya, dikira mas dm-an sama Sujeong.”

Wooseok mendengus lalu melangkah maju untuk memukul pelan bahu Jinhyuk, bibirnya tampak mengerucut, lucu.

“Yang tadi beda, aku emang mikirnya kemana-mana. Lagian aku bukan ragu sama kamunya, aku cuma kepo aja ngomongin apa sih sampai harus di dm segala.”

Jinhyuk mengangguk sambil berucap maaf.

“Aku serius, mau ngomong lagi.” lanjut Wooseok kemudian dan Jinhyuk mempersilahkan lewat senyum tipis.

“Aku udah nemu kok orangnya, ngapain ragu pas diajak serius. Belum tentu aku bakal ketemu lagi yang sebaik kamu. Belum tentu aku bakal ketemu lagi sama orang yang bisa aku kasih percaya sepenuhnya buat tanggung jawab sama hidupku.”

“Belum tentu juga aku bakal jatuh cinta lagi sedalam yang sekarang aku rasain... saat sama Mas Jinhyuk.”

Melihat Wooseok yang berkata dengan mata yang memancarkan binar bahagia di balik kacamata bulatnya, serta raut wajah malu-malu, Jinhyuk bisa merasakan jantungnya yang kian berdegup. Sinting, udah sinting memang!

Jinhyuk merasa hangat mendengarnya, sekali lagi dia mengucap terimakasih telah dipertemukan dengan sosok di depannya, berterimakasih telah membuat sosok di depannya ini-besok-menjadi miliknya, berterimakasih karena sosok di depannya, hidupnya menjadi lengkap.

Sejak awal, tidak ada keraguan untuk besok.

“Yaudah, Mas Jinhyuk sana ke kamar. Jangan bergadang. Aku mau tidur. Mungkin teman mas juga udah pada datang.”

Wooseok mendorong pelan punggung Jinhyuk agar menjauh, wajahnya sudah memerah hingga ke telinga. Malu saat Jinhyuk hanya terdiam sambil memandanginya dengan tatapan dalam.

“Kamu dulu yang masuk, baru mas pergi.”

Wooseok menggelengkan kepalanya, keras kepala. “Enggak! Mas Jinhyuk duluan, sana ke kamar. Hush hush!”

Jinhyuk meloloskan tawa saat Wooseok semakin gencar mengusirnya, dia bisa melihat wajah Wooseok yang semakin memerah menahan malu.

“Iya iya, mas pergi.” pungkas Jinhyuk mengalah.

Dia memandang Wooseok sesaat sebelum melangkahkan kakinya dengan pelan sambil berjalan mundur, menatap Wooseok yang masih terdiam di depan pintu kamarnya dengan gestur tangan mengusir.

I wanna marry you. I wanna marry you because you deserve someone who treats you right. I wanna marry you because I wanna take care of you. I wanna marry you because I trust you. I wanna marry you because I wanna make you happy. I wanna marry you because it's real and hard work, and a lifetime of ups and downs with you is worth every second of it. There are many more reasons I could mention. All of these reasons fall into the final and most important reason. I wanna marry you because I love you.

“Kak..”

Wooseok menoleh saat tangannya yang akan membuka pintu ditahan oleh tangan lain, hingga menyentaknya membuat wajahnya langsung menghadap dada Jinhyuk.

Wooseok terdiam sesaat masih mencerna yang terjadi, ini Mas Jinhyuk nya balik lagi?

“Kenapa, mas?” tanyanya pelan dengan nada bingung, namun tangannya bergerak untuk membalas pelukannya, meremas kedua sisi kemeja Jinhyuk.

Wooseok tidak-belum-mendapat jawaban sebuah kata, dia hanya bisa mendapatkan jawaban dari pelukan Jinhyuk yang mengerat dan sebuah ciuman di atas kepalanya, serta degup jantung Jinhyuk yang begitu cepat terasa di sisi wajahnya yang bersandar di dada Jinhyuk.

Perlahan semburat merah di kedua pipi Wooseok kembali nampak. Sekarang, detak jantungnya sendiri sudah sama cepatnya dengan punya Mas Jinhyuk.

Jinhyuk melepaskan pelukannya setelah beberapa saat hanya ada hening diantara mereka. Dia mengecup kening Wooseok cukup lama seakan mencurahkan segala perasaannya. Netranya kemudian turun untuk memandang paras Wooseok yang kembali bersemu dengan lamat-lamat.

Dengan senyum hangatnya Jinhyuk berujar pelan, “Gapapa, cuma belum bilang selamat malam.” dia sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajah Wooseok.

Kedua tangannya menangkup pipi Wooseok yang semakin bersemu dan dia mengusap menggunakan ibu jarinya, pelan teramat lembut.

Pandangan matanya menyiratkan beragam emosi, namun yang bisa Wooseok rasakan hanya teduh. Tatapan tulus yang membuatnya merasa sangat berarti, di mata Mas Jinhyuk.

Jinhyuk masih mengulas senyum hangat, menular hingga Wooseok menarik kedua sudut bibirnya secara perlahan untuk membalas, “Apa, Mas Jinhyuk?” cicitnya salah tingkah.

Jinhyuk, dia berbicara dengan sungguh-sungguh, cukup dengan berbisik dalam jarak sedekat ini.

“Selamat malam, Kak Ushin. Tidur yang nyenyak ya, sayang. Sampai bertemu besok... di hari pernikahan kita.”

“Mas Jinhyuk sayang kamu.”

A G O R A

[IV]

Wooseok berjalan bersisian dengan Yohan ketika keluar dari dinning hall sekedar untuk mengobrol setelah pertemuan tidak sengaja mereka tiga hari lalu.

Sedangkan ketiga temannya sudah berjalan terlebih dahulu. Bahkan bisa dilihat punggung kokoh Yuvin yang berdiri ditengah-tengah Sejin dan Byungchan sambil sibuk bercanda.

Mereka baru saja selesai makan malam, bisa dibayangkan ramainya seperti apa disekitar mereka saat ini. Half olympian, half blood, dan werewolf keluar dari dinning hall dengan senyum lega karena perut mereka sudah terisi dengan daging sapi potongan besar.

Menu dinner saat malam minggu memang selalu yang terbaik!

“Kau langsung ke asrama?” Yohan bertanya sambil sedikit membungkukkan badannya agar suaranya terdengar oleh Wooseok. Serius, disini benar-benar ramai.

“Kenapa memangnya?”

Yohan tersenyum lebar hingga menampilkan gigi kelincinya saat menerima pertanyaan balik dari Wooseok.

“Ayolah, Wooseok. It's saturday night! jangan hanya berdiam diri di kamar. Bersenang-senanglah sebentar. Kami para half blood selalu mempunyai banyak cara dalam menghabiskan malam minggu, begitupun werewolf, tapi kenapa para half olympian selalu bersikap kaku.” katanya diakhiri dengan nada mendesah heran, tidak habis pikir. Apa salahnya bersenang-senang? toh tidak menyalahi aturan sekolah.

Wooseok tersenyum tipis, ia tahu apa yang dimaksud Yohan, para half blood biasanya akan berkumpul di atap asrama mereka. Mengobrol hingga pagi atau saling memamerkan kekuatan. Sedangkan para werewolf biasanya ramai-ramai melakukan shifting lalu pergi ke dalam hutan, entah itu untuk berburu atau sekedar bermain-main di air terjun yang berada di dekat sungai Alios.

Malam minggu memang identik dengan mencari kesenangan, melepas penat setelah seminggu yang padat diisi dengan kegiatan sekolah dan belajar. Para siswa yang jenuh karena tidak bisa bebas keluar lingkungan sekolah dan hanya bisa melihat hutan sejauh mata memandang sekreatif mungkin mencari cara dalam menyenangkan diri untuk membebaskan pikiran. Pihak sekolah seakan paham tentang hal tersebut. Tidak pernah ada jam malam yang diberlakukan dan syaratnya hanya satu, jangan pernah membuat masalah. Apabila sudah terdengar oleh Master maka siap-siap kau akan mendapatkan hukuman hingga berhari-hari.

Wooseok tidak tahu awalnya bagaimana, namun sejak satu tahun lalu ia mulai bersekolah disini, para half olympian memang terkesan lebih “diam” daripada yang lainnya. Paling mereka hanya berjalan-jalan di sekitar sekolah tanpa bergerumul terlalu ramai. Selain itu half olympian memang cenderung lebih individualis dibandingkan yang lain. Wooseok sendiri lebih sering menghabiskan malam minggu dengan Byungchan, terkadang mengobrol hingga larut di kamar Sejin.

Wooseok mengulas senyum simpul, lalu melirik ketiga temannya yang sudah cukup jauh, “Aku akan pulang.” tangannya menepuk pelan lengan atas Yohan.

“Have fun!”

Yohan mengangguk, dia mengedikkan kepalanya, “Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Kalau butuh teman untuk berjalan-jalan malam hari pastikan beritahu aku. Kau tahu, banyak half blood yang tertarik padamu.” katanya serius.

“Terimakasih untuk tawarannya.”

Yohon tersenyum lalu berbalik kemudian berjalan menuju ke arah barat, berbaur dengan kulit pucat lainnya.

Wooseok menghembusakan napas panjang setelah Yohan pergi. Ia bisa melihat Byungchan yang melambaikan tangannya. Ketiganya terlihat berhenti terlebih dahulu untuk menunggunya.

Namun, sudut mata Wooseok justru tidak sengaja melihat sosok yang tidak asing. Jinhyuk. Walaupun sudah malam, Wooseok cukup yakin pemuda jangkung yang berjalan ke arah barat itu adalah Jinhyuk.

Jinhyuk bukan half blood, kulitnya tidak pucat dan tubuhnya tidak sedingin es. Berbekal rasa penasaran, Wooseok menggigit bibirnya sesaat sebelum melangkahkan kakinya. Namun, baru saja beberapa langkah lengannya sudah ditahan dari arah belakang.

“Mau kemana, Wooseok?”

Suara Byungchan langsung masuk ke pendengarannya, Wooseok berbalik dan ternyata sudah ada Yuvin juga di depannya.

Wooseok belum menjawab, ia kembali melirik punggung Jinhyuk yang dibalut dengan jaket berwarna hijau army.

“Aku ada perlu sebentar...kalian duluan saja.”

“Kemana?”

Wooseok menatap Yuvin dan Byungchan dengan ragu, ia belum pernah menceritakan apapun tentang Jinhyuk kepada mereka. Ini merupakan pertama kalinya Wooseok melihat sosok Jinhyuk lagi setelah tiga hari lalu bertemu tidak sengaja di kandang kuda dan Wooseok tidak tahu kapan ia bisa bertemu Jinhyuk lagi.

”...hanya disekitar sini. Aku janji akan pulang secepatnya. Kau di kamar Yuvin saja dulu.”

“Biar aku temani.” Byungchan berkata cepat.

Wooseok menggelengkan kepalanya pelan, “Tidak usah, Chan.” dengan perlahan ia melepaskan tangan Byungchan yang masih memegangnya, lalu memberi kode lewat tatapan matanya pada Yuvin untuk meminta tolong. Byungchan itu sedikit posesif, namun Wooseok tahu dia hanya menujukkan rasa khawatirnya.

Seakan paham, Yuvin langsung merangkul bahu Byungchan dan mencoba mengajaknya untuk pergi, walaupun dia langsung mendapatkan sikutan di perutnya sebagai penolakan.

“Kau tidak boleh sendirian, Wooseok. Ini sudah malam. Banyak half blood berkeliaran, bukannya kau tidak nyaman dengan mereka!”

Wooseok mengusap lengan atas Byungchan sambil tersenyum menenangkan, “Hanya sebentar, aku akan bertemu... teman. Aku akan baik-baik saja, Byungchan. Janji.”

“Hati-hati, Wooseok. Nanti owl-ku dilepas kalau kau masih belum kembali ke asrama. Dia akan menemukanmu.”

Yuvin berkata sambil memasang wajah serius, walaupun dia tidak tahu apa yang akan dilakukan putra Aphrodite itu atau siapa yang dia maksud teman. Tapi, satu yang bisa Yuvin tangkap, Wooseok sedang buru-buru.

“Thank you, Yuvin.”

Wooseok berjalan meninggalkan Yuvin dan Byungchan sambil mempercepat langkahnya, ia cukup tertinggal jejak Jinhyuk. Beruntung pemuda itu memiliki postur tinggi tidak kalah dengan para half blood sehingga masih bisa ditangkap oleh penglihatannya.

Byungchan langsung berdecak sebal, jari telunjuknya terulur di depan wajah Yuvin ketika punggung kecil Wooseok sudah mulai menjauh, “Kau! son of Hermes!!!!” katanya dengan mata yang menyipit tajam.

“Tanggung jawab kalau temanku kenapa-napa malam ini!” nadanya ditekan penuh peringatan. Dia kemudian berjalan meninggalkan Yuvin yang hanya bisa mendengus kecil.

Memang Byungchan itu siapa sih, Ibunya Wooseok? dasar posesif.


Entah sudah berapa kali Wooseok mengucap kata maaf setiap ia tidak sengaja mendorong tubuh orang-orang dengan badan kecilnya. Pandangannya terlalu fokus mengikuti kemana langkah Jinhyuk di depannya karena takut kehilangan jejak, hingga ia akhirnya sadar ini sudah melewati asrama half blood.

Bukannya ini tidak sopan? Wooseok bertingkah seperti layaknya stalker saat ini. Mungkin saja Jinhyuk akan bersenang-senang seperti siswa yang lainnya? menghabiskan waktu malam minggunya bukan?

Kaki Wooseok berhenti sejenak, dilema. Ia tanpa sadar menggigit kuku tangannya. Haruskah tetap diteruskan? Kalaupun nanti mereka bertemu, ia akan bilang apa? menyapanya sambil meminta maaf sudah membuntuti? atau mengatakan selama tiga hari ini ia terus memikirkannya? Wooseok mendecih samar dengan pikirannya sendiri, yang benar saja! Kau memikirkan pemuda yang bahkan kau tidak kenal, kau hanya tahu sebatas namanya saja dan hanya pernah bertemu dua kali secara tidak sengaja.

Namun, rasa penasarannya kembali timbul saat melihat Jinhyuk berbelok setelah melewati taman. Tunggu, dia memasuki kastil sekolah? malam-malam begini?

Kalah, Wooseok kalah dengan rasa ingin tahunya yang begitu tinggi tentang sosok bernama Jinhyuk. Langkah kecilnya akhirnya kembali mengayun, ia mengabaikan tatapan penasaran dari orang-orang yang dilewatinya dan sialnya kebanyakan adalah half blood sebagian lagi para werewolf karena ini sudah cukup jauh dari lingkungan asramanya.

Jinhyuk berjalan cukup jauh di depan, dan Wooseok secara pasti mengikuti. Tidak terlalu dekat jarak diantara mereka karena ia takut tertangkap basah, bahkan sesekali ia akan bersembuyi di balik pilar, persis layaknya stalker handal.

Tidak banyak lampu yang dipasang di lorong kastil sekolahnya sehingga membuat suasana sedikit menakutkan. Wooseok mengusap singkat tengkuknya saat berjalan perlahan. Kepalanya menoleh kesekitar, cukup sepi. Hanya beberapa orang yang terlihat berkeliaran, si kulit pucat. Hatinya kembali bertanya-tanya apa sebenarnya yang dilakukan oleh Jinhyuk malam-malam begini di sekolah? bersenang-senang? tapi dia terlihat sendirian tidak dengan teman-temannya.

Kepala Wooseok mengintip dibalik tembok saat melihat Jinhyuk mulai menaiki tangga menuju lantai dua. Mereka sudah masuk semakin dalam ke kastil sekolah. Wooseok berani bertaruh, tengkuknya beberapa kali merinding saat melewati pintu-pintu kelas yang tertutup rapat.

Di lantai dua cukup banyak ruangan selayaknya lantai satu, banyak kelas yang sehari-harinya digunakan, ada ruangan perpustakaan, beberapa laboratorium, juga disana terdapat ruang kerja khusus para Master.

Wooseok kembali ragu saat akan menaiki tangga. Ia sudah sejauh ini, haruskan menyerah? haruskan kembali ke asrama dan membiarkan rasa penasarannya menghantui semalaman. Konsekunsinya mungkin ia tidak akan bisa tidur hingga besok pagi.

Sekali lagi Wooseok mengedarkan pandangannya, sialan! netranya malah tidak sengaja bertemu pandang dengan salah satu half blood yang bersandar pada pilar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Terlihat disana ada sekitar tiga half blood yang sedang mengobrol. Wooseok bisa melihat seringainya, tersenyum sangat mengerikan.

Tanpa pikir panjang, Wooseok mempercepat langkahnya untuk menaiki tangga, otaknya seakan menyimpulkan setidaknya saat bersama Jinhyuk nanti lebih aman daripada berkeliaran sendiri dibawah tatapan para manusia pucat itu.

Begitu ujung sepatu Wooseok menginjak lantai marmer di lantai dua. Wooseok kembali terdiam. Bodoh, tentu saja Jinhyuk sudah tidak terlihat kemana perginya.

Wooseok kehilangan jejak.

Di depannya ada lorong panjang yang bagian kanannya langsung menghadap ke hutan, hanya tembok setinggi pinggang yang menjadi pembatas. Sedangkan di bagian kiri terdapat ruangan kelas yang berjejer. Ruangan perpustakaan berada di paling ujung dan ruangan para Master berada di lorong lain tepat sebelah kanan perpustakaan dan lorong sebelah kiri adalah tempat beberapa ruang laboratorium.

Wooseok mencengkram ujung sweater ungunya sambil berjalan dengan pelan, sebisa mungkin sepatunya dibuat tidak mengeluarkan suara sedikit pun, karena ia yakin suaranya pasti akan menggema memenuhi lorong.

Suara longlongan serigala yang terdengar menjadi tanda bahwa sepertinya para werewolf sedang bersenang-senang di luar sana. Wooseok menoleh cepat saat seekor burung gagak tiba-tiba terbang di atas kepalanya. Ia hampir saja menjerit kaget mengeluarkan suara, jantungnya berdegup cepat. Wooseok kemudian menutup mulutnya menggunakan tangan untuk berjaga-jaga bila hal tersebut terjadi lagi.

Langkahnya semakin pelan saat sudah dekat lorong yang terdapat ruangan para Master. Wooseok bisa melihat satu ruangan yang lampunya menyala disana. Ia harus memfokuskan matanya untuk melihat dengan jelas tulisan yang digantung di atas pintu. Wooseok yakin, Jinhyuk pasti ada di sana. Mata Wooseok sedikit membulat saat berhasil membacanya, keningnya mengerut dalam kembali bertanya-tanya. Sedang apa Jinhyuk di sana?

Master Lee, Ruangan Kepala Sekolah.

Wooseok terdiam cukup lama sambil menatap ke arah pintu ruangan Master Lee yang tertutup, ia masih berdiri di lorong, sendirian dan bersembunyi. Hingga akhirnya setelah sekitar hampir sepuluh menit kemudian, Wooseok rasa ini memang tidak benar.

Wooseok telah melanggar privasi Jinhyuk.

Mungkin dia memang sedang ada urusan dengan kepala sekolah? walaupun hal ini tetap terasa ganjil menurutnya, harus bertemu malam-malam begini diluar jam sekolah?

Setelah menghela napas pendek, Wooseok memundurkan langkahnya dengan perlahan lalu berbalik. Ia akan pulang. Lagipula takut Byungchan khawatir menunggunya di asrama. Bertemu Jinhyuk, mungkin bisa diketidak sengajaan lainnya.

Anytime and anywhere.

Wooseok menolehkan wajahnya saat merasa sedang diperhatikan, ia bisa melihat seekor burung hantu yang bertengger di batang pohon. Tanpa sadar Wooseok menarik satu sudut bibirnya, ia yakin itu burung hantu milik Yuvin yang sedang mencarinya. Memang pintar.

“Wooseok son of Aphrodite.”

Wooseok langsung mengangkat kepalanya yang tertunduk saat mendengar namanya dirafalkan dengan suara yang teramat dalam dan serak. Langkahnya yang baru saja hendak menuruni tangga ia urungkan. Kakinya perlahan mundur saat matanya menangkap sosok lima orang half blood yang berdiam di atas tangga seakan menunggunya turun.

“A-pa?” suara Wooseok tercekat diujung tenggorokannya membuat kelima manusia pucat itu terkekeh geli seperti menikmati ketakutan Wooseok.

Satu orang dengan perlahan menaiki tangga untuk mendekat, seperti pemimpinnya. Wooseok tidak tahu banyak tentang siapa-siapa saja half blood yang mempunyai kekuasaan disini, mungkin dari klan terkuat, anggota keluarga kerajaan di tempat asalnya.

Dingin. Wooseok bisa merasakan hawa yang berbeda saat dia berjalan semakin dekat.

“Jangan takut son of Aphrodite. Aku tidak mungkin menyakiti putra sang dewi.” katanya pelan, “Tidak baik berkeliaran sendirian seperti ini.”

Wooseok menelan ludahnya susah payah. Ia tahu para half blood hanya senang bermain-main. Tidak mungkin mereka menyakiti secara fisik. Apalagi Wooseok tahu ia tidak mempunyai masalah apa-apa dengannya.

“Ayo, aku akan mengantarmu pulang hingga ke asramamu.”

“Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri.”

Terdengar decakan samar yang membuat Wooseok meringis dalam hati. Sialan, apa ia sudah membuat half blood di depannya ini marah karena sudah ditolak kelewat cepat, “Maaf.” tambahnya pelan mencari aman.

Si half blood melirik sekilas pada teman-temannya lalu kembali menatap Wooseok yang tertunduk, “Tidak apa karena kau adalah Wooseok.” gumamnya membuat Wooseok langsung mengangkat kepala untuk menatap wajah si half blood. Setelah diperhatikan, wajahnya terlihat familiar, tapi Wooseok tidak tahu dia siapa. Mereka juga sepertinya tidak pernah menghadiri kelas yang sama.

Dia menundukkan sedikit wajahnya agar sejajar dengan telinga Wooseok, “Kau harus berhati-hati dengannya.” dia berbisik dengan suara berat.

Sumpah demi apapun detik itu Wooseok langsung merinding mendengarnya. Ia bisa merasakan hembusan napasnya yang sedingin es menerpa langsung tengkuknya. Namun, kening Wooseok berkerut dalam saat si half blood kembali menarik wajahnya untuk menjauh.

“Dengan siapa?” tanyanya penasaran. Siapa yang dimaksud half blood di depannya ini.

Si half blood belum menjawab, dia hanya menarik satu sudut bibirnya untuk menampilkan senyum miring,

“Behind you.”

Wooseok langsung berbalik dan ia melihat jelas sosok Jinhyuk yang sedang berjalan ke arah mereka.

A G O R A

[III]

Kelas Master Yoon hari ini selesai empat puluh menit lebih cepat, Master yang dikenal dengan kemampuannya dalam memanipulasi penglihatan itu mengatakan kalau ia harus pulang karena ibunya yang tinggal di Athena sedang sakit.

Anak-anak tertunduk sesaat untuk mendoakan, namun selang beberapa menit setelah beliau menutup pintu dan keluar kelas, suara berisik berbagai sorakan senang langsung terdengar memenuhi kelas.

“Aku akan ke asrama dan tidur seharian!”

“Bagaimana kalau kita berlatih panahan?”

“Kau ingin berburu di belakang sekolah? Ayo!”

“Hey aku tahu di mana tempat terbaik untuk melihat gadis cantik para half blood!”

Begitulah sebagian besar yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran Wooseok. Ia hanya menggelengkan kepalanya tidak perduli.

Kebetulan hari ini Wooseok menghadiri kelas yang memang hanya diisi oleh half god. Beberapa pelajaran ada juga yang kelasnya dicampur dengan para half blood dan werewolf, kebanyakan untuk pelajaran umum.

“Wooseok..”

Terdengar sebuah suara yang sangat dihafalnya karena Wooseok mendengar dari mulai ia bangun tidur hingga memejamkan mata setiap hari selama satu tahun ini, Byungchan.

“Hmm.”

Wooseok bergumam pelan, sibuk memasukan beberapa buku ke dalam tas ransel hitamnya, ia bisa merasakan tangan Byungchan yang langsung merangkul bahunya, “Kau akan kemana? pulang ke asrama?”

“Entah.”

Mendengar jawaban singkat dari roommate-nya membuat Byungchan mendengus kecil, putra Aphrodite ini seperti sedang kembali membangun benteng dengannya.

“Aku memang tidak tahu, Chan.” jelas Wooseok dengan melembutkan nadanya saat ia dengan jelas mendengar dengusan dari bibir Byungchan. Matanya menatap Byungchan yang berdiri di sampingnya, sedangkan ia sendiri masih duduk di kursinya.

Suasana kelas saat ini masih cukup ramai.

“Aku akan pergi dengan Sejin, mau ikut?”

“Kemana?”

Wooseok bertanya sambil mengerutkan keningnya. Byungchan tersenyum tipis tapi cukup untuk menampilkan lesung pipinya. Ia memanggil Sejin terlebih dahulu sebelum menjawab.

Saat Sejin sudah sampai di depan mereka, Byungchan melepaskan rangkulannya pada Wooseok, terkikik geli kemudian gantian merangkul saudaranya itu, “Mau menggantikan tugas Eros!” serunya.

Kerutan di kening Wooseok semakin dalam, apalagi saat melihat Sejin yang langsung menyikut perut Byungchan sambil mendengus kasar hingga menimbulkan suara ringisan kecil dari bibir putra Artemis tersebut.

“Jangan didengarkan, Byungchan hanya mengoceh tidak jelas.”

“Tapi kau yang tadi bilang, katanya kita akan ke bagian utara sekolah!” suara Byungchan memekik tidak terima, ia menatap Wooseok sambil memajukan badannya untuk berbisik, “Kelas para werewolf.”

Wooseok hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua half olympian bersaudara itu. Kalau ditambah Yuvin pasti semakin lengkap. Berisik 24/7. Sayangnya si putra Hermes itu menghadiri kelas yang berbeda.

“Jadi, apa kau mau ikut?” sekali lagi Byungchan bertanya pada Wooseok dan Wooseok langsung menolak sambil tersenyum tipis. Ia berkata sambil membetulkan kacamata bulatnya, “Kalian saja, aku akan ke halaman belakang atau mungkin ke perpustakaan.” tukasnya.

Sejin dan Byungchan hanya mengangguk paham, mereka tidak pernah memaksa untuk mengajak Wooseok kemanapun mereka pergi. Mungkin Wooseok sedang ingin sendirian dan tidak mau mengikuti kerusuhan yang biasanya Byungchan lakukan. Sedangkan Sejin, orangnya lebih santai dan tidak terganggu sama sekali dengan tingkah saudaranya itu.

“Ya sudah, sampai nanti di asrama. Sebelum makan malam aku sudah pulang!”

Wooseok melambaikan tangannya untuk membalas Byungchan dan Sejin yang meninggalkan ruang kelas. Mengedarkan pandangannya untuk melihat ke belakang—ia duduk di kursi depan, hanya tinggal beberapa orang saja yang mengisi ruang kelasnya.

Terdengar suara decitan kecil dari kursi yang digeser ketika Wooseok mulai berdiri dan melangkahkan kakinya keluar kelas. Berjalan di lorong kastil yang masih sepi karena kelas lain kebanyakan masih belum selesai.

Sekali lagi, terimakasih Master Yoon!

Wooseok memelankan langkahnya saat melewati arena lapangan utama sekolah sekedar untuk melihat-lihat. Di bawah sana terlihat beberapa orang yang bergerumul, diantaranya ada para kulit pucat yang sangat mencolok.

“Wooseok son of Aphrodite!”

Seseorang memanggilnya dari sana dengan suara nyaring, hal itu tentu saja langsung membuat beberapa pasang mata kini menatapnya.

Wooseok menghembuskan napas pelan, ia menjadi pusat perhatian, lagi.

Tangannya diangkat untuk membalas lambaian tangan dari orang yang memanggilnya itu sambil mengulas senyum tipis.

Terlihat si pemanggil yang berpamitan pada temannya sebelum berlari secepat kilat untuk menghampiri Wooseok.

Seorang half blood.

“Mau kemana?” tanyanya ketika sudah sampai di depan Wooseok.

Tentu saja tidak terengah sama sekali setelah berlari seperti itu, terkadang Wooseok masih amazed dengan para half blood, dia hanya butuh waktu sepersekian detik untuk sampai tepat di depannya, juga kulitnya benar-benar terlihat pucat apalagi ditambah rambut berwarna hitam legam yang dia punya.

“Hanya berjalan-jalan. Kelasku selesai lebih cepat. Kau sedang apa di lapangan? berolahraga?” tanyanya sansi, tubuh mereka sekuat itu tidak perlu olahraga tentu saja!

Si half blood tertawa kecil mendengar candaannya, “Hanya mengisi waktu luang sebelum makan malam, mau bergabung?”

Wooseok menggelengkan kepalanya, matanya melirik sekilas ke arah para teman dari temannya ini. Di sana terlalu banyak half blood, ia tidak akan nyaman.

“Tidak, terimakasih. Mungkin lain kali.” balasnya tidak terlalu yakin.

“Baiklah, tidak masalah. Sampai bertemu saat makan malam, Wooseok.”

Wooseok mengangguk, kedua sudut bibirnya ditarik untuk mengulas senyum, “Ya, sampai nanti, Yohan.”

Yohan memamerkan senyum hingga menampilkan gigi kelincinya sebelum kembali melesat secepat kilat. Sekarang Wooseok sudah melihatnya yang kembali asik berkumpul dengan teman-temannya.

Yohan, half blood yang menjadi—mungkin satu-satunya teman Wooseok sejak ia pertama kali sampai di Agora. Masuk di tahun yang sama dengannya. Wajahnya tampan dengan gigi kelinci yang terlihat lucu, sangat tidak sesuai dengan dirinya yang berkulit pucat dan sedingin es.

Yohan bukan dari klan yang terlalu berpengaruh di tempat asalnya, namun bukan juga dari golongan biasa. Setahu Wooseok, Ayahnya adalah salah satu orang kepercayaan dari keluarga kerajaan.

Pertemuan pertama mereka adalah saat Yohan menyapanya terlebih dahulu. Saat itu Yohan melihat Wooseok yang baru sampai di sekolah. Kebetulan dia sampai sehari sebelumnya, kemudian berbaik hati mengantar Wooseok hingga ruangan kepala sekolah, Master Lee.

Mulai saat itu, Wooseok tahu tidak semua half blood selalu mengintimidasi lewat tatapannya dan terlihat menakutkan seperti rumor yang ia dengar saat masih tinggal dengan manusia, karena Yohan pengecualian. Dia ramah dan cukup “hangat”.

Wooseok kembali melanjutkan langkahnya, sungguh ia tidak tahu harus kemana. Sekolah masih belum ramai karena belum jam pulang. Salah satu tujuan awalnya yaitu perpustakaan sudah dicoret, tidak, ia sedang tidak ingin mencium bau khas buku.

“Mungkin ke taman belakang saja.” gumamnya pelan.

Tungkainya lalu berbelok ke arah kanan, memasuki kembali lorong kastil yang penuh dengan pilar tinggi dan kokoh juga pintu-pintu kelas yang masih tertutup rapat. Bunyi sepatunya berketuk pelan cukup untuk mengisi kesunyian.

Amarillis, atau orang Yunani sering menyebutnya Amarullis memiliki arti “kemegahan”. Wooseok pernah diberitahu artinya oleh sang Ayah sewaktu kecil.

Ada sebuah kisah tragis dibalik bunga tersebut, tentang perjuangan cinta sepihak sang peri kepada pemuda pengembala bernama Alteo yang kerap kali menolaknya.

Tanamannya tidak terlalu banyak di sini namun cukup terlihat mencolok dengan warna merah dan kelopaknya yang cukup besar diantara bunga lain yang ditanam di taman belakang sekolah.

Wooseok perlahan mendekat, ia tidak pernah memetiknya karena tujuannya bukan itu. Ia hanya ingin melihatnya, terkadang mengobrol sendiri, menyampaikan rindu kepada sang Ayah.

Ada sedikit air di sana, sepertinya baru disiram oleh penjaga kebun. Pantas saja terlihat segar di sore seperti ini.

Senyumnya begitu indah dengan mata berbinar, “Hai.. aku datang lagi” bisiknya ringan pada sang bunga.

Senyum mahal itu masih terpatri jelas hingga,

“Cantik.”

Sebuah suara yang samar-samar terdengar olehnya, kepala Wooseok langsung mengedar karena ternyata ada orang selain ia di sini dan netranya langsung bisa menangkap sosok di sebrang taman, dari arah kandang kuda.

Butuh beberapa detik hingga Wooseok mengingat wajah familiar itu, dia pemuda yang menghampirinya saat hujan minggu lalu. Tepat di sini, di halaman belakang.

“Wooseok son of Aphrodite.”

Suaranya masih dalam dan berat seperti waktu itu, dia menatap Wooseok sekilas, kemudian kembali menatap kuda di depannya. Tangannya mengusap-ngusap surai panjang di atas kepala kuda berwarna hitam yang berada di dalam kandang sehingga hanya terlihat kepalanya saja yang menyembul. Kening pemuda itu ditempelkan kepada kepala kuda seakan sedang berbicara dengannya.

Wooseok hanya memperhatikan sambil mengerutkan keningnya, jujur saja ia masih tidak mengetahui pemuda itu. Mungkin werewolf atau half god? entahlah dan baru kali ini pula Wooseok melihatnya lagi dalam seminggu terakhir.

Sekali lagi Wooseok tekankan, murid di sini lebih dari tiga ratus, terlalu sedikit kemungkinan mereka bertemu, belum lagi kalau dia adalah seorang werewolf yang berbeda asrama atau berbeda tingkatan, mungkin siswa tingkat dua atau tiga?

“Kau bisa menunggang kuda?”

Dia bertanya dengan sedikit menaikan suaranya agar Wooseok bisa mendengar dengan jelas karena jarak mereka yang cukup jauh.

Wooseok terdiam sebentar lalu mengangguk pelan, ia memutuskan untuk menjawab, “Bisa.” katanya dengan suara tidak kalah nyaring.

Tentu saja, itu adalah pelajaran awal sebagai siswa di Agora. Mereka sudah diajarkan menunggang kuda sejak pertama kali masuk ke sekolah ini. Walaupun dulu Wooseok bukan yang terbaik di kelasnya, namun ia bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.

Wooseok membenarkan kacamata yang sedikit turun dari hidungnya, langkahnya ia bawa untuk mendekat kearah pagar setinggi dada orang dewasa yang menjadi pembatas antara area kandang kuda dan taman belakang.

Sejak lulus kelas menunggang, rasanya baru kali ini Wooseok kembali memperhatikan kuda-kuda di sini lagi. Dulu temannya berlatih adalah kuda berwarna putih jenis Tennessee Walker setinggi hampir 1.63 meter.

Wooseok memperhatikan sejenak sebelum ia melompati pagar dengan mudah, tubuhnya sangat ringan. Melompat seperti ini hanyalah hal kecil baginya.

Suara sepatu yang berdebum menginjak tanah membuat pemuda yang masih asik dengan kuda di depannya menoleh cepat, sudut bibirnya dia tarik samar saat melihat Wooseok yang sudah berdiri tidak jauh darinya sambil sibuk menepuk-nepuk bagian belakang celana seragamnya.

Kali ini, Wooseok tidak menggunakan hoodie marun seperti waktu itu. Ia hanya menggunakan seragam sekolah, yaitu kemeja putih panjang yang dilapisi blazer navy yang disepanjang garis kerah hingga ke bawah terdapat garis kuning keemasan dengan logo sekolah tecetak jelas di dada kiri lengkap dengan dasi merah bergaris yang masih terpasang rapi juga celana panjang berwarna khaki.

“Emrys, kau lihat. Putra Aphrodite ada disini.”

Wooseok bisa mendengar saat pemuda itu berbicara pada kuda di depannya, masih sambil mengusap lembut surainya membuat kuda yang ternyata bertubuh tinggi besar itu mengeluarkan suara ringkikkan yang cukup nyaring.

Wooseok tahu, ada puluhan mungkin hingga seratus lebih kuda di sekolahnya ini, tepatnya di kandang kuda tempat kakinya berpijak. Dan kuda yang sedang bersama pemuda itu memiliki kandang paling ujung dari pintu masuk di depan sana, artinya paling dekat dengan taman belakang.

Wooseok mendekat hingga berdiri bersampingan dengan pemuda jangkung itu, tangannya terulur tanpa ragu untuk ikut memegang surai hitam legam kuda di depannya membuat si pemuda justru menarik lengannya sendiri membiarkan tangan lentik Wooseok yang menggantikannya untuk mengelus dengan perlahan membuat lagi-lagi terdengar suara ringkikkan.

Wooseok tanpa sadar tersenyum mendengarnya.

“Emrys, namanya Emrys... Thoroughbred jantan.”

Dalam sekali lihat pun Wooseok juga tahu kuda hitam ini pasti jantan. Dia terlihat sangat gagah dengan tubuh tinggi besarnya. Apalagi otot kakinya, seperti telah biasa ditunggangi jarak jauh.

Wooseok menoleh, ia harus sedikit mendongak untuk menatap wajah pemuda itu, ini adalah jarak paling dekat yang ia buat dengan pemuda yang belum dikenalnya. Wooseok bisa melihat jelas garis-garis tegas di parasnya yang dibingkai dengan rambut hitam sedikit panjang melewati telinga.

Dulu, ia hanya melirik dengan ekor matanya saja.

Pemuda itu juga masih menggunakan seragam sekolah, tanpa blazer, dasinya tersampir asal dan kemeja putihnya sudah digulung hingga siku, menampilkan urat tanganya yang terlihat jelas.

Saat mata itu membalas tatapannya, Wooseok secepat kilat berpaling. Ia memilih kembali menatap kuda di depannya, tingkahnya barusan lagi-lagi mengundang senyum samar di ujung bibir si pemuda tidak dikenal.

“Emrys...” Wooseok berbisik.

“Artinya keabadian.”

“Kau yang memberinya nama?” balasnya cepat.

“Ya.”

Pemuda itu memilih mundur satu langkah. Berdiri tepat di belakang Wooseok yang masih anteng, tangan lentiknya kali ini mengusap pola putih yang tercetak jelas memanjang di tengah kepala sang kuda.

Puncak kepala Wooseok ternyata hanya sebatas dagunya, dilihat dari belakang, putra Aphrodite itu tampak lucu dengan tubuh mungil dan ransel hitamnya.

“Wooseok son of Aphrodite...” bisiknya dengan nada rendah.

Wooseok bergumam tanpa menoleh, ia masih mengusap lembut kepala Emrys, tertawa sangat pelan dan renyah menyejukkan telinga ketika lagi-lagi Emrys meringkik seperti merespon usapannya. Sungguh tawa mahal yang tidak semua orang bisa dengar dari bibir putra sang dewi.

“Kau cantik.”

“Ibuku dewi kecantikan kalau kau lupa.”

“Tidak, kau cantik... melebihi Dewi Aphrodite.”

Wooseok terdiam sesaat, lalu tertawa kecil yang terdengar sansi, “Memang kau sudah pernah melihat Ibuku? Don't talking nonsense.”

ia menjeda sebelum kembali bersuara,

“Werewolf?”

Wooseok kali ini berbalik, mata indah dibalik kacamata bulatnya sedikit mengerjap saat sadar jarak diantara mereka telalu dekat, hingga hidungnya hampir menyentuh dada pemuda itu, namun ia tidak bisa mundur karena tepat di belakangnya ada besi yang menjadi palang pintu kandang kuda.

Wooseok baru tahu, pemuda di depannya ternyata setinggi itu. Ia mendongak secara perlahan membuat tatapan mereka bertemu.

Sungguh, Wooseok bisa merasakan aura yang begitu dominan dari pemuda di depannya ini, tatapan matanya tajam cukup untuk mengunci pandangan mereka.

“Cantik..” bisiknya lirih sekali lagi yang disembahkan hanya untuknya.

Dalam jarak sedekat ini, Wooseok bisa melihat jelas alis tegasnya serta dahi yang terlihat sedikit di balik rambutnya. Iris matanya hitam, sangat gelap seperti suasana malam di Agora. Bibirnya-bisa dikatakan tipis membentuk garis lurus dan garis rahangnya tampak tegas, dia... tampan.

Wooseok seperti sedang ditelanjangi lewat tatapannya, pemuda ini benar-benar tidak memberinya ampun sekedar untuk bernapas normal.

Putra Aphrodite itu tanpa sadar meremas sisi celananya karena gugup. Tatapannya terlalu dalam menarik Wooseok, menyelam hingga ke paling dasar, mencengkramnya dengan erat tanpa berniat melepaskan.

Bahkan saat napas hangat pemuda itu menerpa langsung puncak kepalanya dan terasa menggelitik membuat tengkuk Wooseok meremang seketika.

“Jinhyuk!”

Sebuah suara berhasil mengalihkan atensi keduanya. Wooseok buru-buru mendorong tubuh pemuda itu agar sedikit menjauh, ia menghela napas lega, meraup oksigen sebanyak-banyaknya, berterimakasih kepada siapa pun yang sudah datang.

“Son of Aphrodite?”

Suara itu melengking kaget saat melihat presensi Wooseok, “Sedang apa putra sang dewi di sini?” gumamnya sambil terheran.

Wooseok hanya tersenyum tipis, memilih tidak menjawab apapun.

Dia mengibaskan tangannya tidak terlalu mengambil pusing tentang kehadiran Wooseok-dengan temannya di sini, walaupun pancaran mata penuh kekaguman tidak bisa dia sembunyikan.

Terkagum karena sebuah fakta apabila putra Aphrodite tampak berkali-kali lebih cantik dilihat dari dekat adalah benar adanya.

Ada hal yang lebih penting.

Pandangannya kemudian menatap si pemuda jangkung sambil mengedikkan kepala.

“Kau dipanggil ke ruangan Master Lee. Sekarang.”

Yang diberi tahu mendengus kasar sesaat seakan mendengar kabar yang membuatnya sebal, lalu netranya menatap Wooseok sekilas. Tidak mengatakan apapun, hanya memandangnya dalam diam. Dia lantas merangkul temanya itu dan berjalan meninggalkan Wooseok.

Jadi, namanya Jinhyuk.

“Kau tidak boleh di sini sendirian.”

Samar-samar Wooseok bisa mendengar suara Jinhyuk yang sudah semakin jauh meninggalkannya.