xxxxweishin

A G O R A

[II]

Apakah kau beranggapan apabila sekolah di Agora itu penuh dengan sihir dan tongkat ajaib seperti layaknya sebuah film? Karena Wooseok pernah mengira seperti itu, dulu, sewaktu kecil saat mendengar cerita dari Ibunya tentang tempat tersebut.

Namun, nyatanya berbeda. Sedikit. Di sini, hanya para Master yang mengajar saja yang memiliki hal semacam itu. Para siswa hanya mempunyai kemampuan bawaan dari orangtuanya yang kemudian akan dilatih dan dikembangkan di sini, pada dasarnya itu adalah fungsi sebuah sekolah, bukan?

Sebelum tinggal di Agora atau saat masih tinggal dengan manusia, dari kecil tentu saja mereka sudah pernah bersekolah, namun di sini sedikit “berbeda” saja. Banyak hal-hal yang tentu saja tidak dipelajari di dunia manusia, terutama tentang sebagian dari apa yang ada di dalam diri mereka, dewa, vampir dan hal semacamnya.

Lantas, kemampuan seperti apa yang dimaksud?

Misalnya, katakanlah putra Ares yang tidak terkalahkan apabila ada pertarungan yang diadakan di akhir semester, pedangnya benar-benar berkilat tajam hingga terkadang tidak ada yang berani macam-macam padanya karena darah dingin dari dewa perang yang ia miliki siap membantai lawannya tanpa ampun.

Ada pula putra Athena yang mewarisi segala sikap bijaksana dan kepintarannya, half olympian itu selalu menjadi yang terpintar, selalu menjadi yang terbaik saat ujian. Ia akan dengan mudah mendapatkan nilai sempurna, karya seninya dipajang megah di ballroom utama bangunan sekolah ini, bersanding dengan karya lainnya dari pelukis terbaik yang pernah ada.

Gambaran besarnya seperti itu.

Untuk half blood, mereka terkenal berdasarkan klan asal usulnya, yang terkuat lahir dari anggota kerajaan hingga kaum biasa.

Half blood tidak seperti vampir yang haus darah setiap saat. Mereka bisa makan selayaknya manusia, walaupun tetap saja sewaktu-waktu ada sebuah sakral yang harus dilakukan, biar bagaimanapun kodrat mereka adalah manusia peminum darah.

Secepat vampir, pucat dan dingin, namun, tidak takut terkena cahaya matahari. Dalam batas normal.

Werewolf, dulu di tempat asalnya Wooseok pernah bertemu dengan kaum ini yang sedang menyintas menuju Agora.

Tentu saja dalam wujud manusia.

Saat di sini ia untuk pertama kalinya melihat bagaimana mereka melakukan shifting, berubah menjadi serigala bertubuh besar dan melonglong mengisi sunyinya malam di Agora.

Bukan hanya ia, hampir semua orang sepertinya baru bisa melihat hal yang seperti itu di sini. Karena shifting baru dilatih dan diperbolehkan hanya saat mereka mulai sekolah di Agora. Saat masih tinggal dengan manusia tentu saja hal itu amat sangat dilarang oleh dewa karena bisa menyebabkan kekacauan, insting hewani mereka harus benar-benar dilatih dan dikendalikan.

“Sejin!”

Suara nyaring Byungchan di lobi asrama berhasil membuat beberapa kepala menengok mencari sumber suara, putra Artemis itu langsung membungkam mulutnya sendiri dan tersenyum malu hingga ke matanya,

“Maaf.” cicitnya berkali-kali.

Merasa malu sendiri sudah membuat sedikit keributan. Sedangkan, orang-orang di sana hanya menggelengkan kepala lalu kembali melanjutkan jalannya. Juga Wooseok, yang ternyata berdiri di sampingnya hanya bisa mendengus kecil melihat kelakuan Byungchan.

Byungchan adalah putra Artemis, dikenal sebagai dewi bulan, kalahiran, alam liar dan pemburu. Artemis merupakan keturunan Zeus dan saudari kembar Apollo, dewa cahaya, musik, pengobatan serta pemanah dengan busur terbuat dari emas.

“Kau darimana saja, Sejin!”

Byungchan kembali berseru saat Sejin saudaranya yang merupakan putra Apollo akhirnya mendekat.

“Aku dari toilet. Kenapa kau selalu heboh sih? Lihat temanmu hanya bisa menunduk malu melihat tingkahmu itu.”

Dagu Sejin menunjuk Wooseok lalu tersenyum lembut, berbeda seratus delapan puluh derajat saat ia menatap Byungchan.

“Aku sudah lapar! Ayo makan. Jangan sampai kita telat.”

Sejin dan Wooseok hanya bisa menghela napas panjang mendengar ocehan Byungchan, kemudian ketiganya berjalan ke arah dinning hall yang berada di tengah ketiga bangunan asrama.

Wooseok mengenal Byungchan tepat saat ia masuk ke kamar asramanya untuk pertama kali setahun lalu.

Byungchan sangat berisik, banyak bicara, mudah merengek, riang dan senyumnya sungguh indah dengan lesung pipi dalam, seindah bulan sabit yang kerap kali terlihat di langit gelapnya malam Agora.

Ia masuk di tahun yang sama dengan Wooseok, begitupula Sejin. Sejin juga tinggal di lantai yang sama dengan mereka, ia berbagi kamar dengan putra Hermes.

Beberapa minggu ini Byungchan sedang sibuk memikirkan akan memelihara seekor hewan, katanya ia mau seperti Ibunya yang dikenal sebagai dewi alam liar dan juga pemburu. Sialnya Wooseok hanya bisa mengelus dada saat mendengar rusa liar masuk ke dalam list.

Tidak salah sih, di hutan sekitar sekolah mereka pasti ada banyak. Tapi sungguh, di dunia ini masih ada makhluk bernama kucing, anjing atau bahkan kelinci yang menggemaskan, tidak bisakah salah satunya saja?

Bunyi jam yang berdenting tiga kali menandakan tepat pukul tujuh malam. Suaranya nyaring menggema, jam super besar yang berada di gedung utama sekolah itu bisa terdengar ke seluruh penjuru kastil, even in the lowest rat hole, kalau kata Byungchan.

Sebelum jam berdenting, semua siswa sudah duduk dalam meja panjang yang berjejer rapi dengan berbagai jamuan makan malam di atasnya. Pintu super tinggi dan berat itu sudah ditutup rapat oleh salah seorang penjaga sehingga yang telat datang tidak akan mendapatkan makan malam.

Di paling depan, beberapa Master terlihat duduk menghadap kearah para siswa.

Kegiatan makan adalah salah satu kegiatan yang mengumpulkan mereka dalam satu ruangan super besar. Half oyimpian, half blood dan para werewolf berbaur menjadi satu untuk mengisi perut mereka.

Setelah makan, mereka akan berbagi cerita, mengobrol, bergurau, ataupun melirik satu sama lain dan kemudian saling melemparkan senyum seperti yang sedang dilakukan oleh Sejin.

“Werewolf, huh?”

Byungchan berkata sambil menaikan alisnya, netranya mengikuti kemana arah pandang Sejin.

Meja kumpulan para werewolf yang terlihat ramai.

Sejin berdehem lalu memilih kembali memakan buah anggur merah di depannya dalam sekali suap, satu potong pie susu miliknya ia simpan di piring Byungchan, agar saudaranya itu diam.

“Yang mana, Sej? Alpha atau Beta?” tanyanya penasaran, matanya memincing masih menatap ke ujung sana, membuat beberapa werewolf kesenangan karena ditatap langsung oleh putra sang dewi.

“Lupakan! Sudah cukup, kau hanya semakin menarik perhatian mereka agar melihat ke sini, Byungchan.”

Nyatanya, perhatian hampir semua orang memang dari awal adalah ke meja mereka, di sana ada Wooseok, Byungchan, dan Sejin. Tiga pilar keindahan dari half olympian tahun pertama.

Wooseok dengan kecantikannya tentu saja, Byungchan dengan sikap riang dan senyum indahnya, dan Sejin putra Apollo itu bukan pemarah seperti Ayahnya, sikap lembutnya didapat dari Ibunya, kepiawaiannya dalam bermusik membuat setiap orang terkagum-kagum, saat kau mendengar alunan suara senar Lira dari tangan lentiknya, maka tidak ada lagi yang menurutmu paling indah dari suara petikannya.

Wooseok berteman dengan Byungchan, Byungchan bersaudara dengan Sejin, hingga akhirnya begitulah ketiga orang itu menjadi dekat.

Byungchan akhirnya menyerah saat Sejin tidak memberitahu yang mana dari salah satu werewolf di sana yang bisa menarik perhatian saudaranya itu.

Lalu, pandangannya sekarang fokus pada Wooseok yang duduk di depannya, ia hanya menunduk sambil memotong-motong asal kudapannya tanpa dimakan sama sekali, masih utuh. Hanya piring makan malam utamannya yang sudah kosong.

Awalnya, Byungchan pikir Wooseok berhati dingin dan tipikal orang yang tidak bisa diajak berteman. Dia tidak banyak bicara, sangat pendiam dan hanya bicara seperlunya saja. Namun, semakin lama Byungchan sadar, Wooseok hanya mencoba membatasi lingkup pertemanan saja. Ketat sekali.

Setelah satu tahun berbagi kamar dengan Byungchan yang mulutnya tidak bisa diam membuat Wooseok perlahan mulai terbuka, tak jarang setiap malam sebelum tidur mereka akan mengobrol hingga lupa waktu.

“Wooseok..”

Panggilnya membuat Wooseok mengangkat kepala, mata indahnya mengerjap lamat-lamat dibalik kacamata bulatnya menatap Byungchan dan Sejin yang duduk di depannya, “Ya?”

“Tadi, pulang sekolah kemana? Pas aku ke kamar, kau tidak ada.”

“Perpustakaan. Ada beberapa buku yang harus aku kembalikan. Lalu.. aku ke belakang sekolah untuk melihat bunga Amaryllis tapi tidak jadi.” jelasnya diakhiri nada lesu dengan pundak merosot.

“Gara-gara hujan, kan? Petir dan guntur tadi keras sekali.”

Sejin menimpali sambil mencebikkan bibirnya tidak suka. Ia putra dewa yang diberi kuasa untuk mengatur matahari di langit, Sejin lebih menyukai cahaya hangat yang menyapa Agora alih-alih hujan serta petir yang menyambar-nyambar.

Wooseok mengangguk mengiyakan, gara-gara hujan deras tadi Wooseok tidak bisa mendekat untuk melihat bunga Amaryllis di taman belakang, padahal ia sedang merindukannya Ayahnya. Bunga dengan kisah cukup tragis itu adalah bunga kesukaan Ayahnya.

“H-Hai-i...”

Sebuah suara yang terengah beserta presensi pemuda tampan langsung mencuri atensi ketiganya. Pemuda itu duduk di samping Wooseok. Kepalanya langsung ditaruh di atas meja begitu saja dengan menyingkirkan terlebih dahulu piring-piring menggunakan tangan kokohnya.

Ia tampak kelelahan, napasnya putus-putus.

Sejin langsung memukul bahu pemuda itu, tampak tidak perduli dengan tampilan lelahnya.

“Darimana saja si putra Hermes ini! Dari aku bangun tidur kau sudah menghilang, burung peliharaanmu juga tidak ada. Kau bolos di kelas Master Park, berani sekali!”

“Jangan marah-marah dulu, Sej. Aku lelah sekali, tenagaku terkuras habis rasanya. Sialan, Ayahku memang dewa yang sangat menyebalkan.” gerutunya sambil memukul meja dengan kepalan tangannya yang kokoh.

Kepalanya mengedar sebentar, “Aku tidak ketahuan kan baru datang? aku berhasil masuk karena menyelinap dari pintu dapur.” berkata sambil mengangkat lagi wajahnya, lalu mengambil buah anggur di piring Wooseok tanpa izin dan langsung memakannya. Tidak sopan!

Dia lapar, serius.

Maka karena kasihan, Wooseok langsung menggeserkan piringnya, memberi kudapannya yang memang belum ia makan.

“Terimakasih, cantik.”

Balas pemuda itu dengan senyum kelewat lebar sambil menyenggol bahu Wooseok dengan tubuh besarnya, membuat Wooseok mendengus keras karena sedikit limbung.

Yuvin son of Hermes.

Teman sekamar Sejin.

Dua kata untuknya, supel dan tampan. Harus digaris bawahi, kata tampan tersemat bukan karena sembarangan, tentu saja ia peroleh dari Ayahnya yang merupakan dewa pembawa pesan, penunjuk jalan dan penuntun arwah.

Owl-ku pagi tadi hilang..”

Yuvin memulai ceritanya, menegak minum terlebih dahulu sebelum melanjutkan.

“Ternyata itu kerjaan Ayahku agar aku keluar asrama untuk mencarinya bahkan hingga hutan belakang sekolah. Lalu aku disuruh ke perbatasan untuk menyampaikan pesan pada Dewi Iris. Kalian tahu kan jauhnya bagaimana? Dan aku hanya diberi kuda tua!” nadanya terdengar kesal karena frustasi, tenaganya habis karena menunggang kuda seharian.

“Kenapa sih dunia manusia lebih maju daripada Agora, setidaknya selain lift asrama dan peralatan canggih di sekolah, aku berharap kita diperbolehkan memiliki ponsel ataupun mobil di sini agar tugasku lebih mudah. Tinggal telpon saja Dewi Iris alih-alih berangkat menggunakan kuda tua. Kadang aku ingin kembali tinggal dengan Ibuku saja, baru satu tahun di Agora sudah begini, apalagi seumur hidup!”

Ketiga temannya hanya menghela napas, mau setuju tapi tidak sepenuhnya setuju, konyol sekali dia, mau ada mobil bagaimana? di sini saja yang bisa mereka lihat hanya hutan lebat.

Agora memang sangat berbeda jauh dengan tempat tinggal mereka dulu, sulit dipercaya di abad ke-20 seperti sekarang masih ada tempat yang kalau kata Wooseok seperti kembali ke masa Yunani kuno.

Hey, di mana di abad sekarang yang berkendara masih menggunakan kuda? hanya Agora, sepertinya.

Oh, ada pula kereta uap yang jadwalnya bisa dihitung jari. Wooseok saja baru beberapa kali menggunakannya.

Lihat saja bangunan sekolah mereka, kastil yang tampak seperti dibangun dari beratus-ratus tahun lalu dan di sekelilingnya hanya hutan. Membutuhkan waktu seharian apabila ingin ke luar lingkungan sekolah untuk ke pasar atau pemukiman penduduk.

Walaupun tidak masuk akal, tapi Wooseok ingin mengucap beruntung sekali di asrama ada lift, coba bayangkan kalau tidak ada? kakinya bisa copot bila ia setiap hari harus naik-turun tangga ke lantai 14.

Memang benar, di sekolah ini juga tidak diperbolehkan membawa ponsel. Andai saja diperbolehkan Wooseok pasti bisa menghubungi Ayahnya sekarang juga, tidak harus menunggu pulang saat liburan semester atau hanya mengandalkan surat!

Tapi, semua itu hal yang mustahil, akan dapat sinyal darimana. Dunia mereka terlalu berbeda.

“Memang Ayahmu kemana, Yuvin? hingga tugasnya diberikan padamu?”

Yuvin memutar bola matanya sambil berdecak samar, lalu ia menyuap pie susu milik Wooseok yang sudah dipotong-potong menjadi sangat kecil.

“Jalan-jalan ke underworld. Katanya ada arwah yang sangat sulit diberi petunjuk hingga Ayahku harus turun tangan langsung mengantarnya.”

Kali ini ketiganya mengangguk paham mendengar penjelasan Yuvin.

Hermes adalah salah satu dari lima dewa yang bisa bebas keluar-masuk underworld tanpa halangan selain Hades dan istrinya Persefone, Hekate yang merupakan dewi sihir dan Thanatos si dewa kematian.

Kembali lagi, mungkin kalau ditanya siapa yang paling membuat iri siswa di sini karena bisa dekat dengan ketiga orang ini jawabannya adalah Yuvin.

He's affable.

Dia berteman dengan siapa saja, baik half blood ataupun werewolf bahkan dengan half olympian kelas paling atas sekalipun yaitu Seungwoo.

Yuvin seperti Ayahnya, ia berperan sebagai half olympian yang-sepertinya mengetahui segala hal.

Biar bagaimana pun buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitulah apa yang banyak terjadi di sini. Dirimu sebagaimana orang tuamu.

Terkadang ia ditunjuk oleh Head Master untuk menyampaikan pesan kepada dewa penjaga kaki Gunung Olympus bila ada sesuatu yang harus disampaikan kepada yang agung.

Yuvin berdehem sebentar setelah selesai menghabiskan kudapan milik Wooseok juga secangkir susu milik Sejin yang masih utuh di dalam gelas berwarna tembaga.

Menumpu kedua sikunya di atas meja, pandangannya mengedar lagi, dinning hall ini masih sangat ramai walaupun pintu utama sudah dibuka daritadi yang artinya yang sudah selesai makan diperbolehkan meninggalkan ruangan untuk kembali ke asrama. Para Master pun sudah tidak terlihat di sana.

Yuvin melambaikan tangannya untuk menyapa temannya membuat Wooseok yang duduk di sampingnya ikut melihat, meja para half blood.

“Jaehyun berasal dari Arkadia, tidak tertarik, Seok? Arkadia tempat petinggi para vampir, lho. Sepertimu, dia itu bangsawan.” bisiknya.

Wooseok hanya menggelengkan kepalanya acuh mendengar penjelasan Yuvin. Bibirnya ditarik sedikit saat pemuda tampan berkulit pucat di sebrang sana memberikan sebuah senyuman.

Faktanya, walaupun sudah satu tahun tinggal di Agora dan setiap hari bertemu dengan para half blood entah mengapa Wooseok selalu merasa tidak nyaman bila di dekat mereka, rasanya seperti ia sedang diintai secara terang-terangan.

Lalu Yuvin kembali melambaikan tangannya, kali ini ke arah meja para werewolf, meja yang tadi dilihat oleh Sejin.

“Seungyoun. Ayahnya adalah salah satu Alpha yang tak kerkalahkan di Sparta, bahkan hampir sebagian dari ibu kotanya-Laconia adalah daerah kekuasaannya. Menikah dengannya tidak akan menderita hingga mungkin seratus turunan, trust me.” ujarnya hiperbola, kali ini Yuvin berkata tidak hanya kepada Wooseok, tapi juga kepada kedua temannya.

Ia lalu mengulas senyum menggoda saat pandangannya bertemu dengan Sejin, “Nanti aku kenalkan padamu.” katanya dibarengi dengan gelak tawa serta Byungchan yang langsung berseru akhirnya rasa penasarannya terjawab sudah.

Seakan mengabsen, Yuvin tidak berhenti di sana, tangannya kembali melambai pada meja yang terlihat lebih besar dengan kudapan yang lebih banyak. Dia sedikit menganggukkan kepalanya.

Meja itu hanya diisi oleh tiga orang penghuni lantai paling atas asrama mereka. Tanpa Yuvin mengoceh pun, mereka sudah hafal di luar kepala tentang ketiga half olympian di sana.

Pertama, putra raja dari semua dewa di Olympus, Seungwoo. Tampan, berwibawa dan pandai memikat adalah ciri khasnya. Orang yang paling disegani di sekolah ini karena statusnya tentu saja.

Kedua, putra si penguasa laut Pesoidon, Wonwoo. Dikenal sebagai half olympian yang jarang sekali menunjukan emosinya. Pembawaannya begitu tenang seperti lautan tak berombak.

Terakhir, putri dari Demeter dewi pertanian dan musim sekaligus yang paling muda diantara ketiganya, Roseanne. Wooseok mengenal baik sosoknya, mereka sering bertemu di taman belakang sekolah. Rambutnya panjang berwarna pirang, sering kali dihiasi flower crown dari bunga daisy putih yang membuatnya tampak cantik seperti seorang puteri yang keluar dari negeri dongeng.

A G O R A

[I]

Riak dari genangan air di depannya semakin terlihat takala hujan yang mengguyur tanah Agora semakin deras seperti ditumpahkan tanpa segan. Hal tersebut membuat suasana di sekitarnya menjadi berisik karena gemercik air dari langit jatuh langsung pada lantai marmer berpola penuh ukiran abstrak yang sudah berwarna merah pudar akibat dimakan waktu, belum lagi udara yang dingin, lembab, serta cipratan kecil mengenai ujung sepatu putihnya hingga memberikan sedikit noda.

Namun, walaupun begitu, walaupun ujung sepatunya menjadi kotor, anak tersebut tetap diam seakan kakinya telah dipatok permanen di sana, di tepi pelataran halaman belakang sekolah.

Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku hoodie berwarna marun yang sedang ia gunakan untuk melapisi baju seragam sekolahnya.

Napasnya terdengar dihembuskan secara kasar.

Lalu kepalanya menengadah, menatap langit yang berwarna kelabu-hampir hitam-serta kilat terang menyerupai akar yang seakan sedang menari-nari menghiasi kepolosan warna di sana, gemuruh guntur yang memekakkan telinga juga saling bersautan seperti ikut bersorak.

“Sepertinya Zeus sedang murka di Olympus sana.”

Tiba-tiba sebuah suara terdengar begitu dekat di belakangnya, suara langkah kaki yang teredam suara hujan samar-samar masuk ke pendengarannya, ada yang datang.

Ekor matanya hanya melirik sekilas pada tamu tak diundang tersebut untuk memastikan. Tidak pucat, itu adalah kesimpulan yang paling cepat ia pikirkan. Anak itu lalu memilih kembali menatap awan kelabu seakan di sana jauh lebih menarik.

Ia mengabaikan si pendatang.

Mereka berdiri bersampingan dengan jarak kurang dari dua meter. Menimbulkan perbedaan tinggi yang terlihat cukup mencolok, tentu saja si pendatang yang lebih unggul.

Pandangannya ikut melihat ke atas sana, lalu tangan kanannya terulur untuk menadah air hujan guna merasakan tetesan dari kemurkaan Zeus yang entah karena apa. Dingin, begitu yang dia rasakan saat air hujan itu menyapa telapak tangannya. Sedangkan, tangan kirinya tersembunyi rapat di dalam saku celana.

“Wooseok son of Aphrodite.”

Wooseok, anak yang telah hampir lima belas menit berdiri sendirian di sana hanya menggumam pelan. Sepertinya ia tidak tertarik menanggapi ucapan si pendatang yang entah siapa.

Sekolahnya memiliki hampir tiga ratus siswa dari berbagai jenis makhluk yang hidup di Agora dan bukan urusan Wooseok untuk tahu nama dari setiap kepala.

Sebuah saputangan hitam polos dengan tepian dijahit rapi berwana emas-terlihat mewah-yang terulur di depannya cukup menyita perhatian Wooseok, kepalanya menoleh sedikit untuk menatap ke arah pemuda tak dikenal itu.

Untuk apa? bingungnya sambil mengerutkan kening.

“Sepatumu kotor.” ucap dia seakan bisa membaca tatapan bingung di paras Wooseok.

Tanpa menunduk untuk menatap ujung sepatunya pun Wooseok sudah tahu, memang kotor.

Kakinya mundur dua langkah guna menghindari cipratan air walaupun terkesan sangat telat. Namun, hanya butuh satu menit kemudian Wooseok berjalan ke arah kursi di dekatnya, mengambil ransel yang terlihat ringan berwarna hitam pekat dengan gantungan berbentuk bunga Amaryllis berwarna merah di salah satu resletingnya, hadiah dari sang Ayah.

Kemudian tungkainya memilih melangkah pergi, meninggalkan pemuda itu tanpa berniat menengok lagi ke belakang.

“Wooseok..”

Langkah Wooseok terhenti saat mendengar namanya diserukan dari jauh, menggema di lorong kastil yang sunyi karena sekolah sudah berakhir hampir satu jam lalu.

Wooseok tidak menoleh, ia hanya terdiam menunggu apa kata selanjutnya, namun hingga beberapa detik ia hanya mendengar suara hujan dan guntur yang masih bersautan. Baru ketika langkahnya kembali akan mengayun ia mendengar lanjutannya, diucapkan dengan suara dalam dan berat,

“Kau cantik.”

Wooseok menghela napas pendek, entah sudah keberapa kali ia mendengar pujian itu hari ini. Wajahnya menoleh hanya sedikit tidak sampai menatap ke belakang, lagi-lagi ia hanya mengizinkan ekor matanya saja yang menatap pemuda jangkung itu, “Terimakasih.” balasnya samar yang entah akan terdengar atau tidak oleh pemuda yang masih berdiri di ujung sana.

Kemudian, Wooseok kembali melanjutkan langkahnya lagi. Meninggalkan gema dari sepatunya yang berketuk di sepanjang lorong kastil. Berbelok dibalik pilar tinggi hingga menghilang dari pandangan pemuda yang menatapnya dalam diam disertai tarikan di satu sudut bibirnya, sangat tipis.

Wooseok son of Aphrodite.

Sejak kecil itu adalah titelnya. Ia lahir dari salah satu dewi Olympus. Ibunya Aphrodite dikenal sebagai dewi cinta, seksualitas dan kecantikan. Sedangkan Ayahnya seorang manusia berstatus Pangeran dari Troya.

Hidup sebagai half god atau setengah dewa membuat Wooseok dikirim ke Agora oleh sang Ibu, ia tidak bisa membantah karena memang sudah peraturannya seperti itu sejak ribuan tahun lalu, entahlah.

Semakin dewasa tepatnya usia tujuh belas, para half god (manusia setengah dewa), half blood (manusia setengah vampir) dan werewolf (manusia serigala) memiliki tempatnya sendiri yang berbeda dengan manusia.

Maka, sejak satu tahun lalu Wooseok harus rela berpisah dengan Ayahnya yang sejak kecil selalu ia banggakan lebih dari Ibunya sendiri yang hanya bisa ia lihat sesekali karena beliau tinggal di Olympus.

Menurut Wooseok, Ayahnya yang terbaik, Ayahnya yang mengurus dia dari kecil, sedangkan satu-satunya yang bisa ia banggakan dari sang Ibu hanyalah status.

Wooseok hidup dengan status sebagai salah satu putra Aphrodite.

Agora adalah sebuah tempat yang berada sangat jauh dari tempat tinggal manusia.

Di sini semua kaum half god, half blood, dan werewolf hidup berdampingan. Memang tidak sepenuhnya selalu damai dan tentram, ada kalanya terjadi suatu konflik diantara mereka karena satu fakta yang tidak bisa dihindari sebagai makhluk sosial. Mau itu manusia, setengah manusia atau para dewa sekali pun pasti akan terjadi suatu perselisihan.

Agora berada diantara Sparta dan Athena, dua wilayah besar dengan berbagai cerita di dalamnya.

Selain itu apabila melihat ke arah utara, di sana kau akan melihat kaki Gunung Olympus dimana di atasnya, jauh di puncak sana terdapat istana para dewa yang sangat diagungkan tinggal.

Dewa Olympus atau Olympians adalah dewa yang mengatur alam semesta. Tidak semua dewa berstatus sebagai dewa olympus, begitupun keturunannya. Ada hal yang disebut half olympian diantara para half god atau anak-anak para dewa olympus dimana Wooseok termasuk salah satunya.

Selama satu tahun hidup di Agora, Wooseok tinggal di asrama yang disediakan oleh sekolah. Statusnya sebagai putra Aphrodite membuat ia mendapatkan privilages yang tidak bisa dianggap remeh, salah satunya mengenai urutan tempat tinggal di asrama yang berdasarkan status orangtuanya.

Tentu saja, si putra Zeus raja dari semua Dewa Olympus mempunyai kamar paling lengkap dengan fasilitas luar biasa dan berada di tingkat paling atas bangunan asrama. Di lantai yang sama, putra Poseidon dan putri Demeter juga tinggal di sana.

Sedangkan Wooseok, ia menempati kamar tepat satu lantai di bawahnya. Wooseok berbagi kamar dengan Byungchan, putra Dewi Artemis.

Sejak satu tahun bersekolah di sini, Wooseok dikenal sebagai poros atas apa yang dinamakan kecantikan.

Kulitnya putih seperti pualam dan semulus porselin.

Mata bulat jernih dengan sorot percaya diri dibingkai indah dengan bulu mata lentik yang selalu tersembunyi dibalik kacamata bulatnya.

Memiliki tulang hidung yang ramping tampak sempurna apabila dilihat dari sisi manapun.

Bibir mungilnya yang tidak terlalu tipis berwarna merah muda seperti bunga mawar yang merekah indah membuat setiap orang penasaran seperti apa gilanya apabila mereka bisa mengecup ranum milik putra sang dewi.

Wajahnya tirus dengan tulang rahang sempurna dilengkapi dengan surai indah berwarna kecoklatan.

Setiap detail dari proporsi wajahnya akan mengundang decak kagum. Semuanya, semua apa yang diturunkan oleh dewi kecantikan memang tidak salah jatuh pada Wooseok.

Selain itu, konon Ibu dari Ayahnya adalah seorang naiad, kaum nimfa atau perwujudan peri dan bidadari yang hidup di air tawar. Naiad dikenal dengan kecantikannya karena mereka tidak menua dan digambarkan sebagai gadis cantik yang pandai menyanyi dan menari.

Tidak heran, dahulu Aphrodite rela menyamar menjadi manusia hanya untuk medekati Ayahnya. Hingga akhirnya sembilan bulan kemudian sang dewi mengakui kebohongannya.

Sejak itu, Aphrodite menyerahkan bayinya-Wooseok-dan dia kembali tinggal di Olympus.

Wooseok mempunyai nama lain dari Ibunya, Cleine yang memiliki arti terkenal. Maka, sepertinya keinginan sang Ibu benar terjadi.

Sejak kecil, Wooseok selalu membuat semua orang menatapnya penuh iri, bagaimana mungkin seorang pria bisa secantik dan seindah ini. Mereka hanya bisa memandang dengan berjuta kekaguman hingga tidak bisa diucapkan, hanya mampu menelan ludah.

Setiap orang yang melihatnya perlu hingga-setidaknya tiga kali untuk mengekori setiap geriknya. Wooseok seperti magis dengan kecantikannya, dimanapun keindahan seorang Wooseok tidak akan tertandingi, seperti Ibunya.

Bila saja mengizinkan, Wooseok tidak akan tahu berapa juta orang yang akan berlutut untuknya, setiap orang yang mendambanya rela menukar apapun demi bisa mendapatkan perhatiannya. Sayangnya selama ini Wooseok membatasi karena pergaulannya tidak begitu luas. Ia memang mengenal hampir semua anak dari para Olympians, namun yang menjadi teman dekatnya hanya bisa dihitung jari.

Jadi, jangan pernah tanyakan kepada siapa Wooseok akhirnya memusatkan perhatian karena ia tidak tertarik sama sekali, atau belum.

Eros yang merupakan salah satu Putra Ares dan Aphrodite pernah menyapanya saat Wooseok pertama kali menginjakkan kaki di Agora, dewa cinta yang selalu membawa busur panah itu memberitahunya, kalau nanti ia menginginkan seseorang, ia bisa mengatakannya pada Eros.

Eros dengan senang hati akan membatu dengan busur panahnya yang siap dia tarik, melesat tepat dan akurat pada targetnya.

Dewa cinta itu berkata sambil mengedipkan satu matanya, bibirnya tersenyum menggoda membuat Wooseok membalas sambil tersenyum simpul dan berucap terimakasih. Namun, hingga kini Wooseok tidak pernah melihat dewa bersayap indah itu lagi, Eros dan para dewa bersayap atau Erotes lebih sering bepergian dengan Aphrodite.

Sebagai half olympian yang mengenal Eros, tidak jarang Wooseok mendapati teman-temannya yang meminta tolong agar dipertemukan langsung dengan dewa cinta tersebut demi mendapatkan kisah yang diinginkan.

“Wooseok?”

Sebuah suara yang cukup dikenalnya membuat Wooseok menoleh, dilihatnya sosok si putra Zeus yang berusaha menyusulnya agar berjalan beriringan.

“Baru pulang?” tanyanya.

Wooseok mengangguk singkat dengan mengulas senyum tipis, mereka sekarang di lobi asrama. Menunggu lift yang masih beberapa menit lagi akan terbuka. Omong-omong, asrama di sekolah ini terbagi menjadi tiga bangunan, untuk para half god, half blood dan tentu saja werewolf.

“Ayahmu sepertinya sedang murka, petir dan gunturnya masih belum berhenti.”

Suara Wooseok memecah keheningan diantara mereka yang sekarang sudah masuk ke dalam lift. Ia menekan angka 14 dan 15, yang diajak bicara mengangkat bahunya, “Entahlah.” katanya pelan.

Mari kita asumsikan saja seperti itu, apabila ada petir, maka Zeus sedang murka.

“Terimakasih, Wooseok.”

Si Putra Zeus berkata sambil mengulas senyum penuh pesonanya saat dia baru menyadari Wooseok sudah menekan tombol 15, lantai tempatnya tinggal.

“Sama-sama, Seungwoo.”

[epilog 7]

Wooseok harus belajar dari pengalamannya yang lalu, ia harus bisa menahan ego dan emosinya, ia akan mendengarkan apapun penjelasan yang akan Jinhyuk katakan, begitu harusnya..

supaya masa lalu tidak terulang lagi.

Jinhyuk memegang kedua tangan Wooseok, mengelusnya pelan menggunakan ibu jarinya. Mencoba menenangkan. Pandangannya bersitatap dengan Wooseok yang masih memasang wajah kesal serta bibirnya mencebik ke bawah.

Masih tidak habis pikir dengan Jinhyuk.

“Berapa tahun kamu pacaran sama dia?” tanyanya kelewat ketus tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

Jinhyuk mengangkat dua jarinya, membuat hati Wooseok mencelos lagi, Ya Tuhan. Serius gak sih! Yang begini katanya Jinhyuk masih menyayanginya? Bullshit.

“Minggu.” lanjut Jinhyuk saat melihat Wooseok akan melepaskan genggamannya.

“Baru dua minggu, Shin. Sumpah. Dari dua minggu itu baru ketemu dua kali. Tadi yang kedua dan yang terakhir.”

Wooseok menghela napas, merasa lega saat pikirannya salah menduga, dia menatap Jinhyuk dengan penuh tuntutan,

“Ceritain semuanya sekarang! Aku udah gak pusing lagi.” titahnya membuat Jinhyuk mengangguk patuh.

Maka, mengalirlah dari kedua bilah bibir Jinhyuk, tentang Sujeong yang merupakan temannya semasa kuliah. Sifatnya yang baik dan memang mudah bergaul membuat Jinhyuk betah berteman dengannya hingga mereka sudah lulus pun pertemannya tidak putus begitu saja, sesekali mereka akan bertemu kalau ada waktu luang disela-sela pekerjaan ditambah Seungyoun yang juga memang bekerja di satu kota dengan Jinhyuk.

Bahkan hingga saat ia beberapa bulan lalu disuruh kembali kesini ini oleh Ibunya, Sujeong juga yang baik menawarkan pekerjaan dari perusahan tempat Papi nya bekerja.

Karena Sujeong bekerja dan masih tinggal di luar kota, bukan disini. Makanya mereka baru bertemu dua kali selama pacaran, pertama saat Jinhyuk mengajaknya berpacaran, kedua saat tadi makan siang.

Sujeong bahkan tertawa saat Jinhyuk mengajaknya berpacaran, saat itu mereka sedang di mobil Jinhyuk dalam perjalanan ke bandara ketika dia akan pulang setelah berkujung ke rumah orangtuanya. “Kok jadi aku sih?” tanyanya heran. Tiba-tiba banget, padahal mereka baru bertemu lagi setelah Jinhyuk pindah.

Jinhyuk mengedikkan bahunya, sambil berucap “Aku tahu kamu orang baik. Kita nyambung juga, siapa tahu kan beneran bisa. Aku capek ditanyain Ibu gara-gara lima tahun gini-gini aja..”

”...papi kamu juga getol banget ngomongin kamu kalau sama aku. Kode gak tuh?”

Memang dasarnya Sujeong sama-sama sedang sendiri, dia yang kebetulan baru putus akhirnya mengiyakan. “Yakin kamu niat move on, hyuk? Tapi aku masih nata hati juga sih. Jadi, jangan ngarep banyak ya. Yaudah cobain dulu.”

Jinhyuk setuju, begitu saja ceritanya.

Judulnya memang berpacaran, tapi toh dua minggu itu mereka masih seperti layaknya teman. Sujeong juga tahu cerita Jinhyuk dengan Wooseok karena memang pernah diceritakan oleh Seungyoun tentu saja. Makanya dia agak tidak yakin dengan ajakan Jinhyuk, kata Seungyoun sih kagak mungkin si Jinhyuk bisa move on dari drama permantanannya.

Berteman dan menjalin hubungan adalah dua hal yang Jinhyuk rasakan dan rasanya sangat berbeda. Dia memang nyaman berteman dengan Sujeong karena sifat baiknya, tapi saat menjalin hubungan, hatinya tidak bisa berbohong, benar sekuat apapun tekadnya untuk berpaling, disana selalu ada nama Wooseok yang tidak bisa digantikan.

Lima tahun, selama itu dia tidak pernah membuka hatinya untuk yang lain, bagi laki-laki seperti Jinhyuk yang dijuluki fakboi oleh Wooseok karena mempunyai mantan-cukup-banyak dan pergaulan yang luas, itu merupakan sebuah pencapaian, sebuah kesungguhan yang tidak main-main.

Lee Jinhyuk benar-benar hanya mencintainya.

Sama halnya dengan Jinhyuk, Wooseok pun begitu, lima tahun ini hanya memikirkan Jinhyuk, Jinhyuk dan Jinhyuk, tidak ada yang lain. Jinhyuk orang yang bisa membuat ia berani membuka hati untuk pertama kali, Jinhyuk orang yang tidak gentar mengekorinya mencoba meluluhkan hatinya hingga berbulan-bulan walaupun selalu diabaikan. Jinhyuk yang paling sabar, Jinhyuk yang paling mengerti dirinya. Jinhyuk patah hati pertama sekaligus cintanya.

Lima tahun lalu adalah sebuah kesalahan yang memang sangat menyakitakan bagi keduanya, saat keadaan mengharuskan untuk berpisah walaupun hati mereka masih saling mencintai.

Tapi, itu yang justru menyadarkan keduanya tentang fakta bahwa mereka tidak bisa saling melepaskan, berapa lama pun saling pergi, seberapa jauh pun terpisah jarak, takdir tetap membawa mereka kembali bertemu karena ada benang merah yang masih terhubung, masih kuat mengikat.

Jinhyuk selesai menceritakan semuanya, bahkan ia juga menyinggung kabar teman-temanya sekarang yang tidak lagi pernah merecoki Wooseok karena permintaannya. Jinhyuk takut Wooseok merasa tidak nyaman karenanya.

Wooseok belum memberikan respon apapun. Jauh di dalam hatinya berkali-kali mengucap syukur saat mendengar cerita Jinhyuk. Ia percaya pada Jinhyuk. Ia percaya pada hatinya kali ini. Ia tidak akan mengulang kecerobohannya bertahun-tahun lalu, tidak lagi mau kehilangan sosok Jinhyuk dari hidupnya.

“Shin..”

Panggilan dari Jinhyuk membuat Wooseok kembali dari pikirannya, dia menatap Jinhyuk yang memasang raut cemas, ketakutan jelas terlihat.

Jinhyuk takut Wooseok tidak menerima penjelasannya, seperti dulu.

“Tolong kali ini percaya sama aku, Shin..” Jinhyuk berbisik, tanganya menggenggam semakin erat, “Aku bener-bener serius, cuma kamu dari dulu. Gak ada yang lain.” tatapannya penuh harap pada Wooseok.

Wooseok menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan dengan yakin, “Aku percaya, Jinhyuk.. aku percaya sama kamu.” katanya lirih.

Dia memajukan duduknya untuk memeluk erat bahu Jinhyuk, menyembunyikan wajahnya disana, di ceruk leher Jinhyuk.

Jinhyuk memejamkan matanya, cupu banget. Malah dia yang sekarang nangis. Berkali-kali dia bilang makasih sama Wooseok. Berkali-kali pula dia memeluk Wooseok semakin erat.

“Aku kangen banget sama Jinhyuk..”

Jinhyuk mengiyakan, ia tahu.

“Jangan pergi jauh lagi... jangan pernah lepasin aku lagi... jangan ya, Jinhyuk.”

Jinhyuk mengiyakannya lagi, tidak akan Wooseok, tidak akan pernah.

Jinhyuk melonggarkan pelukannya, ia mau melihat wajah Wooseok sepuasnya. Mengganti lima tahun paling menyiksa yang pernah ia alami. Ditatapnya dalam-dalam semua sisi wajah Wooseok, diperhatikan setiap detailnya, kangen banget dia. Dahinya, matanya, alisnya, hidungnya, pipinya yang sering merona, bibir mungilnya yang berwarna pink pucat, dagunya, rahangnya dan semuanya dari diri Wooseok, Jinhyuk teramat sangat merindukannya.

“Kok kamu nangis?” Wooseok mengusap ujung mata Jinhyuk dengan lembut, keinginannya daritadi untuk memegang wajah Jinhyuk akhirnya kejadian, beneran ini bukan mimpi. Jinhyuk di depannya, tepat.

“Jangan nangis, Jinhyuk.”

Wooseok berucap lirih, dengan tangan yang masih mengusap rahang Jinhyuk. Matanya kembali berkaca-kaca tapi binar bahagianya tidak bisa disembunyikan, tidak sendu seperti tadi.

“Aku nangis gara-gara kelewat seneng, Shin. Gara-gara kamu.”

Jinhyuk mendongak untuk menghalau air matanya, lalu terkekeh kecil, “Maaf ya, aku beneran seneng banget. Gak ngerti lagi. Jadinya gini.”

Wooseok mengangguk sangat mengerti karena dia pun merasakannya, Wooseok kembali memeluk Jinhyuk, menepuk-nepuk punggungnya mencoba menenangkan, tingkahnya membuat Jinhyuk mengulas senyum simpul.

“Itu si bruni masih ada?”

Jinhyuk melirik kadal biru yang disimpan diatas meja belajar, barang yang pernah jadi drama diantara teman-temannya dulu. Masih merasa lucu kalau ingat kebadutan Yohan yang bertingkah sok ide.

Wooseok meringis mendengarnya, tangannya sekarang semakin erat memeluk leher Jinhyuk. Kepalanya juga sudah bersandar nyaman di pundak lelaki itu, “Selalu aku bawa kemana-mana.. biar inget kamu terus.” cicitnya mencoba jujur.

Wooseok langsung merasakan tangan Jinhyuk yang juga memeluk pinggangnya semakin erat, serta kepalanya yang semakin dalam dikubur diceruk lehernya, hingga Wooseok bisa merasakan hembusan napas Jinhyuk yang terasa hangat disana. Jinhyuk juga memberi kecupan-kecupan ringan di bahunya.

“Aku juga kadang peluk si bruni kalau lagi kangen banget sama kamu, hyuk.” tambahnya.

Jinhyuk tertawa kecil, semakin tidak menyangka mendengar hal seperti itu dari seorang Kim Wooseok,

“Sekarang kamu bisa meluk langsung, Ushin.”

Wooseok tidak menjawab, tapi kepalanya mengangguk setuju. Masih banyak waktu, masih banyak kesempatan Wooseok akan memeluk Jinhyuk sepuasnya, karena selama apapun itu Jinhyuk tidak akan protes.

Untuk sekarang ia memilih melepaskan pelukannya sebentar, ada yang harus dilakukannya terlebih dulu. Netranya menatap langsung ke dalam mata Jinhyuk, menampilkan senyum paling manis hingga membuat Jinhyuk pusing.

Gila, ini sih keinginannya daritadi, melihat senyum Wooseok yang paling dia rindukan.

“Kamu kok bisa ada di cafe?” Jinhyuk akhirnya menanyakan hal paling membuat dia penasaran. Jemarinya merapikan rambut Wooseok yang sedikit berantakan, “Gimana ceritanya?”

“Dikasih tau bang Junhoo kamu ada di sana, tiga hari lalu aku ke cafe dan ya begitulah...” Wooseok lalu memasang raut serius hingga memudarkan senyum manisnya, “Jinhyuk... sebelumnya aku mau minta maaf dulu.”

“Buat apa, hmm?”

Wooseok sedikit menunduk, menatap tanganya yang sekarang bertumpu di dada Jinhyuk, ia menghela napas, “...buat yang dulu.” ujarnya sambil jemarinya mengusap pelan disana, pada jejak air matanya tadi yang masih membekas di kemeja Jinhyuk.

Langsung mengerti, Jinhyuk seakan tahu kemana arah pembicaran ini. Dia mengangkat dagu Wooseok agar kembali menatapnya, mata itu yang baru saja berbinar kembali sendu dengan penuh rasa bersalah.

“Shin, dengerin aku ya. Yang lalu udah gak usah diingat lagi. Bukannya kamu sudah berdamai dengan masa lalu, makanya kamu bisa melangkah sejauh ini?”

Wooseok memejamkan matanya sebentar lalu kembali menatap kedua bola mata Jinhyuk yang masih mencoba meyakinkan, seakan semuanya tidak apa-apa.

“Justru karena aku udah berdamai sama masa lalu, hyuk... aku ngerasa jadi orang paling egois, aku... ngerasa jadi paling bodoh, aku... semuanya yang terjadi pada kita.. itu gara-gara aku. Aku bersal-”

Jinhyuk mengentuh bilah bibir Wooseok dengan ibu jarinya, menghentikan segala ucapan yang akan semakin banyak diucapkannya dan Jinhyuk tahu pasti isinya hanya akan menyalahkan dirinya sendiri.

Jinhyuk tidak pernah menyalahkan Wooseok, dulu memang keadaan yang memaksa mereka untuk berpisah, untuk saling melepaskan. Mungkin memang harusnya begitu, mungkin mereka memang harus melalui fase yang menyesakkan itu agar hari ini tiba.

“Aku gak mau kamu ngomong gitu lagi.”

Wooseok mengangguk pelan sambil menggigit bibir bawahnya, kenapa sih Jinhyuk baik banget. Walaupun tatapannya lembut tapi ucapannya sangat mendominasi, Wooseok tahu Jinhyuk tidak mau dibantah dan itu demi kebaikannya juga, kebaikan mereka.

“Sekarang kita pikirin buat kedepannya aja, ya. Kita mulai lagi semuanya, kita ganti waktu yang hilang lima tahun kemarin dengan cerita baru, buat moment sebanyak-banyaknya dengan waktu lebih lama. Cuma aku sama kamu..”

Jinhyuk mengulas senyum hangat walaupun masih ada jejak air mata yang masih bisa Wooseok lihat,

“Kamu mau kan?”

Jinhyuk lega, senyumnya tidak bisa ditahan, sungguh beban dibahunya selama bertahun-tahun terangkat secara perlahan saat Wooseok mengangguk dan berucap tanpa ragu, “Mau, Jinhyuk. Aku mau sama-sama kamu lagi.”

Wooseoknya kembali.

Dikecupnya dahi Wooseok, berlama-lama disana. Gak ada yang lebih bahagia dari ini, Jinhyuk sudah tidak tahu berapa kali hatinya meyakinkan kalau ini nyata.

“Sayang banget aku sama kamu, Shin.”

Jinhyuk berbisik tanpa menjauhkan wajahnya, menyatukan dahi mereka dengan tangan kanan yang menangkup pipi Wooseok, mengelusnya pelan menggunakan ibu jarinya. Dengan jarak sedekat ini ia bisa dengan jelas melihat rona kemerahan disana yang perlahan timbul. Gemas.

“Aku juga, sayang Jinhyuk.”

“Tapi, aku lebih sayang kamu.”

Wooseok meloloskan kekehan kecil pada Jinhyuk yang tidak mau kalah, si fakboi ini memang.

“Jinhyuk..”

Napas hangat keduanya terasa sangat dekat dengan jarak seintim ini, saling menerpa wajah masing-masing. Jinhyuk bergumam dalam memberi respon. Wooseok tersenyum bahagia,

”..mau sama Jinhyuk, selamanya.” bisiknya.

Jinhyuk memiringkan wajahnya, mengulum senyum mendendengar permintaan Wooseok. Lalu ia memilih mencuri kecupan di bibir mungil yang masih mengulas senyum manis itu sebagai jawabannya dari permintaan Wooseok.

Saat Wooseok memejamkan matanya, Jinhyuk tahu artinya, Wooseok benar-benar telah memberinya kesempatan lagi.

Jinhyuk benar-benar menyalurkan kerinduannya selama bertahun-tahun, tidak ada ciuman yang terlalu menuntut disana, semuanya sangat hati-hati teramat lembut hingga rasanya Wooseok ingin menangis lagi diperlakukan semanis ini oleh Jinhyuk. Dengan begini, dia tahu sebesar apa Jinhyuk yang begitu tulus mencintainya, sebesar apa rindu yang Jinhyuk punya padanya selama ini karena seakan tiap kecapnnya ada satu rindu yang tersampaikan.

Tangan Jinhyuk kembali beralih untuk merengkuh pinggangnya membuat jarak keduanya semakin dekat, tak akan dilepas lagi, rengkuhan hangatnya hanya untuk Wooseok, bukan yang lain.

Hingga Wooseok sadar, bukan hanya air mata miliknya yang mengalir di sela ciuman kerinduan mereka.

Jinhyuk juga sama menangis.

Jinhyuk juga sama frustasinya, menahan rasa yang selama ini dipendam di hati paling dasar miliknya.

Kali ini, biarkan beban itu, sesak yang mereka rasa selama bertahun-tahun dilepaskan.

Memulai semuanya lagi, mengulang rasa yang tidak pernah hilang, tapi justru bertahan semakin dalam.

#weishinbalikan2020

[epilog 6]

Tanpa dijawab pun pertanyaannya perihal kabar, Jinhyuk sudah tahu pasti bahwa Wooseok sedang tidak baik-baik saja, setidaknya hari ini.

Untuk hari-hari sebelumnya, minggu lalu, beberapa bulan lalu, bahkan beberapa tahun belakangan Jinhyuk hanya berharap bahwa Wooseok selalu dalam kabar yang baik. Wooseok yang melanjutkan harinya kembali, Wooseok yang selalu bersemangat, atau Wooseok yang sesekali akan bersikap galak khas dengan nada juteknya.

Jinhyuk lebih suka melihat Wooseok yang seperti itu daripada kali ini ia melihatnya untuk pertama kali setelah begitu lama, Jinhyuk justru mendapati sebuah tangisan.

Jinhyuk belum menjawab pertanyaan Wooseok barusan, ia tidak mau kejadian salah paham seperti dulu terulang lagi. Jangan sampai. Maka, ia dengan sabar menunggu Wooseok agar tenang terlebih dahulu, biarkan dia menyelesaikan tangisnya.

Ketika tangis Wooseok sudah berhenti menyisakan mata sembab, jejak air mata yang lengket dan hidung yang memerah, punggungnya bersandar lelah pada sandaran kursi. Dia menangis cukup lama dalam pelukan Jinhyuk, bisa dilihat dari kemeja Jinhyuk yang masih basah, tapi siempunya tidak mempermasalahkannya sama sekali, belum lagi bagian punggungnya yang menjadi kusut.

“Pusing?”

Jinhyuk bertanya khawatir saat Wooseok memijit pangkal hidungnya sambil memejamkan mata. Pertanyaannya hanya dibalas gumaman tidak jelas.

“Mau pindah ke kamar, Shin?”

Wooseok tidak menjawab, kepalanya benar-benar berat dan serasa berputar. Mungkin gara-gara kelamaan menangis.

Walaupun Wooseok tidak menjawab, Jinhyuk rasa Wooseok perlu istirahat dengan nyaman di kamarnya daripada di ruang tamu seperti ini dan untungnya dia tidak banyak protes saat Jinhyuk membantunya untuk berdiri.

Ingatan Jinhyuk masih sangat jelas kemana tungkainya harus melangkah sambil merangkul pundak Wooseok, menaiki setiap anak tangga dengan hati-hati, lalu berbelok kearah kanan hingga berhenti di depan sebuah pintu berwarna coklat kayu dengan foto kecil Wooseok yang masih saja tergantung di depannya.

Kamarnya masih sama, bahkan tata letaknya Jinhyuk ingat betul dimana tempat tidur, dimana lemari pakaian, dan dimana meja belajarnya. Persis seperti terakhir kali ia kesini saat mereka benar-benar berpisah hari itu.

Wooseok duduk bersandar pada headboard dengan bantal yang mengganjal punggungnya dan Jinhyuk langsung memberinya minum yang memang selalu tersedia di atas meja nakas samping tempat tidur.

“Perlu minum obat? nanti aku minta bibi bawain obat pusing, ya?”

“Gak usah.”

Wooseok menjawab dengan suara pelan sambil memejamkan mata, keningnya mengerut tanda menahan sakit, membuat Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan perasaan khawatirnya. Tanganya terulur untuk mengusap puncak kepala Wooseok, lalu beralih mengelus pelan alisnya mencoba menghilangkan kerutan tersebut berharap sakitnya sedikit berkurang.

“Kamu jangan sakit, jangan buat aku khawatir.”

Mendengarnya, Wooseok hanya menarik sedikit sudut bibirnya, meyakinkan kalau ia tidak apa-apa. Jauh di dalam hatinya ia merindukan sikap Jinhyuk yang seperti ini, yang selalu memperlakukannya dengan penuh sayang.

Namun, tetap saja Wooseok harus kembali ke realita saat ini.

“Pacar kamu gapapa emang, kamu kayak gini ke aku? Gak marah?”

Wooseok bertanya dengan susah payah, ia masih belum membuka matanya, “Males nanti disebut pho.” lanjutnya.

Sialan, jiwa julidnya memang masih tetap tidak berubah. Wooseok tidak bisa mengontrolnya sekalipun kepalanya semakin terasa berat, juga pilu dihatinya yang ikut memperparah.

“Pacar yang mana?”

Detik itu Wooseok rasanya mau menangis, lagi.

Lee Jinhyuk ini sebenarnya punya pacar berapa sih?! Sekali fakboi tetap saja fakboi!!!

Wooseok langsung menepis tangan Jinhyuk yang masih di keningnya. Matanya perlahan terbuka dengan menyipit karena masih pusing, sekarang justru berkali-kali semakin pusing saat mendengar ucapan Jinhyuk.

“Kamu tuh punya pacar berapa sih, Jinhyuk? selain cewek tadi!”

Gak tau dapat tenaga darimana, tangannya langsung memukul bahu Jinhyuk.

Kesel, marah, kecewa, capek sama Jinhyuk.

Jinhyuk buru-buru menggelengkan kepalanya saat tahu Wooseok salah paham lagi, maksudnya bukan begitu. Bodoh. Tanganya menahan tangan brutal Wooseok yang terus memukulinya. Mengunci dikedua sisinya.

“Aku gak punya pacar, Shin. Maksud aku pacar yang mana yang marah, punya aja enggak.”

Wooseok semakin pusing mendengar ocehan Jinhyuk. Matanya menatap serius dengan tatapan tajam yang menuding,

“Maksud kamu yang tadi bukan pacar kamu? Jangan coba-coba bohongin aku. Jelas-jelas bang Junhoo bilang dia itu pacar kamu!”

Jinhyuk mengangguk lalu menggelengkan kepalanya dalam memberi respon kepada perkataan Wooseok, ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu menujukkan chat dari Sujeong.

“Iya tadi pacar, tapi sekarang udah jadi mantan. Ini barusan aku diputusin sama dia. Jadi, aku gak bohongin kamu.”

Dan Wooseok hanya bisa mengerang frustasi, kehabisan kata dengan tingkah Jinhyuk.

[epilog 5]

“Kamu apa kabar?”

Jinhyuk tahu ini telat, tapi ia tetap bertanya. Ia sungguh-sungguh ingin mengetahui bagaimana kabar Wooseok. Lima tahun setelah memutuskan hubungan ia hanya tahu bahwa Wooseok tinggal dengan orangtuanya, itu pun ia tahu karena bertemu Airin secara tidak sengaja di salah satu tempat makan tidak lama setelah kelulusan mereka.

Jinhyuk masih menunggu jawaban, yang ditanya masih diam, sibuk merapatkan bibirnya. Suasana rumah yang sunyi seakan menambah aura dingin disekitar mereka. Tadi saat pertama datang memang ada Airin, tapi setelahnya yang lebih dewasa seakan mengerti, ia memilih meninggalkan keduanya untuk bicara.

Jinhyuk memang sedang duduk di ruang tamu rumah Wooseok, tadi dengan segala usahanya ia berhasil mengantarkan Wooseok pulang. Walaupun selama di jalan, Wooseok hanya diam dan terus-menerus menghindarinya.

Percaya tidak percaya Jinhyuk akhirnya menginjak rumah ini lagi, tidak banyak yang berubah. Rumah ini masih banyak menyimpan kenangan yang tidak bisa ia lupakan.

Apa kabar?

Itu hanya sebuah pertanyaan kecil yang harusnya tidak susah untuk dijawab. Kalau pertanyaan itu ditanyakan padanya pagi tadi, Wooseok pasti akan menjawab dengan riang, dengan senyum lebarnya dan berkata ia baik-baik saja, sangat baik.

Tapi, sekarang berbeda. Wooseok tidak baik-baik saja. Wooseok ingin menangis, mirisnya justru menangisi orang yang menanyakan kabarnya tersebut. Pikirannya semakin kalut, ia tidak mengerti dengan ucapan Jinhyuk tadi yang menurutnya semakin memperumit keadaan, bisa-bisanya Jinhyuk berucap seperti itu disaat sudah dengan yang lain, apa Jinhyuk mencoba mempermainkan perasaannya.

“Ushin...”

Wooseok menggigit bibirnya, dia hanya menunduk menatap tanganya yang saling berpilin, mencoba tetap tenang. Harusnya ia tadi menyuruh Jinhyuk langsung pulang saja, bukan malah membiarkan dia masuk ke rumah dan duduk di sampingnya seperti sekarang.

Wooseok harus bisa mengontrol emosinya agar suaranya tidak tercekat, “..kamu pulang aja, hyuk.” bukannya menjawab pertanyaan sederhana dari Jinhyuk, Wooseok memilih mengucapkan kata lain. Sesusah itu menjawab pertanyaan dari Jinhyuk.

“Shin..”

Jinhyuk memberanikan untuk menggenggam tangan Wooseok yang saling berpilin, kebiasaan kecil yang sudah sangat dihapal oleh Jinhyuk di luar kepalanya, Wooseok sedang gugup.

Tingkahnya berhasil membuat Wooseok kembali berani menatapnya, mengangkat wajahnya yang sedari tadi terus menunduk. Membuat Jinhyuk hanya bisa melihat ujung kepalanya, dengan mati-matian tanganya ditahan, ia sangat ingin mengelus rambut halus Wooseok, mengusap-ngusapnya dengan sayang, mengusaknya dan mencium harum aromanya, seperti dulu.

Wooseok merasakan ujung matanya yang memanas lagi, dipandangannya yang mulai memburam karena air mata sialan yang terus mendesak keluar, dia bisa melihat wajah Jinhyuk sedekat ini, ia mengingat garis-garis wajah Jinhyuk yang tidak banyak berubah setelah lima tahun berlalu, hanya pipinya yang semakin berisi, tidak setirus dulu.

Kalau nyalinya masih ada, kalau saja hatinya tidak menyerukan bahwa Jinhyuk sudah milik orang lain, Wooseok pasti sudah mengulurkan tangannya untuk memegang setiap inchi dari wajah di depannya, memastikan bahwa Jinhyuk di depannya adalah nyata. Bahwa orang yang dirindukannya selama bertahun-tahun ini benar-benar hadir bukan hanya di mimpinya.

“Jinhyuk..”

Suaranya parau, bergumam dengan sangat lirih, Wooseok tidak bisa menahannya lebih dari ini, dia akhirnya menujukan dirinya yang tidak baik-baik saja di depan Jinhyuk.

Air matanya dibiarkan mengalir melalui sudut mata indahnya, menganak sungai melalui pipi tirusnya hingga ke dagu membuat Jinhyuk dengan sigap langsung menghapusnya, ia menyimpan kacamata bulat milik Wooseok di meja, lalu kembali menangkup kedua pipi tirus itu membiarkan tanganya kembali merasakan bagaimana halus dan lembutnya pipi Wooseok yang sekarang sedikit memerah.

“Jangan nangis, Shin. Setelah lima tahun, masa aku malah lihat air mata kamu..”

Namun, rasanya sia-sia, air mata Wooseok malah semakin banyak, “..aku cuma mau lihat senyum kamu. Aku kangen banget.” Jinhyuk berbisik dengan senyumnya, mencoba agar Wooseok melakukan hal yang sama.

Permintaan Jinhyuk sangat sederhana, tapi Wooseok menggelengkan kepala, dia tidak bisa mengabulkannya, dia benar-benar hanya ingin menangis sekarang, melepaskan sesak yang sedari tadi mati-matian ditahan.

Bahunya semakin bergetar dan tangisnya pecah saat Jinhyuk mendekapnya, membawanya kedalam pelukan hangat yang sangat dirindukannya, menggumamkan kata-kata menenangkan dan menciumi berkali-kali puncak kepalanya.

Wooseok menyembunyikan wajahnya, air matanya tercetak jelas di bagian bahu kemeja biru muda yang sedang dipakai oleh Jinhyuk, dan tangannya meremas bagian belakang kemeja tersebut, tepat di punggungnya.

Wooseok membalas pelukannya dan hati Jinhyuk menghangat, ia tahu Wooseok merasakan hal yang sama, Wooseok merindukannya sebanyak ia merindukan Wooseok.

“Jinhyuk..”

Disela-sela isakannya, Wooseok beberapa kali menggumam pelan, membuat Jinhyuk semakin yakin, Wooseok sudah berdamai dengan masa lalunya. Beban yang dulu, masalah yang menjadi alasan mereka selesai sudah tidak ada lagi.

Dulu Jinhyuk berkata ia melepaskan Wooseok supaya mereka bisa mencari bahagianya masing-masing, dengan yang lain. Namun, faktanya tidak. Bahagia Jinhyuk ada disini, di pemuda yang saat ini sedang didekapnya.

Diciumnya dalam-dalam pelipis Wooseok, hatinya sesak karena terlalu bahagia, kali ini ia yakin, bukan hanya dirinya yang mau bertahan, ia tidak sendiri, ada Wooseok yang juga ingin kembali.

“Aku sayang banget sama kamu, Shin. Dari dulu, sehari pun gak pernah berubah.”

Wooseok menggelengkan kepalanya pelan, “Jinhyuk bohong..” gumamnya lirih.

Kenapa Jinhyuk berucap semudah itu, dia memukul pelan punggung Jinhyuk dengan kepalan tanganya,

”..kalau sayang, kenapa kamu punya pacar?”

[epilog 4]

“Jinhyuk, lepasin.”

Wooseok berucap pelan sambil mencoba melepaskan tangan Jinhyuk yang semakin erat memegang lengannya. Dia tidak berani mendongak untuk protes sambil menatap wajah Jinhyuk langsung, sangat berbeda dengan dulu yang bisa dengan berani memberikan tatapan nyalang saat kesal.

Jinhyuk tidak bergeming sedikit pun, dia seakan menikmati setiap kata yang keluar dari bibir Wooseok, ia rindu suara itu. Suara ketika Wooseok memanggil namanya.

“Ushin..”

Wooseok semakin kuat menyentak tangan Jinhyuk agar terlepas, dia mau pergi. Mau disimpan dimana wajahnya kalau ia malah menangis disini, menangisi pacar orang lain pula.

“Lee Jinhyuk!”

Suaranya meninggi bebarengan dengan tanganya yang berhasil terlepas dari cengkraman Jinhyuk, entah memang tenaganya yang mendadak kuat atau Jinhyuk yang sengaja berniat melepaskannya.

Jinhyuk hanya bisa menghela napas sambil mengucap kata maaf saat melihat tangan Wooseok yang sedikit memerah karena ulahnya.

Wooseok buru-buru mengambil kunci mobilnya, dia akan pergi secepat mungkin. Sudah tidak tahan berada disini. Ingin pulang, menangis sepuasnya tanpa ada yang melihat. Melepaskan sesak yang daritadi bergumul di dadanya.

Namun, sosok di depannya juga tidak gentar. Setelah cengkramannya terlepas, bukan serta merta Jinhyuk akan membiarkan Wooseok pergi begitu saja.

Ini waktunya, mengembalikan keadaan seperti semula. Memulai semuanya kembali dari awal, karena kalau detik ini ia membiarkan Wooseok pergi, maka sudah dipastikan semuanya akan semakin runyam. Benar-benar tidak ada harapan lagi.

“Ushin, jangan dulu pulang, ya?”

Wooseok mendecih, buat apa? cuma buat melihat dia dan pacarnya disini? Jahat banget sih manusia ini.

“Gak penting aku tetap disini.”

Jinhyuk menggelengkan kepalanya, menatap Wooseok yang masih menunduk, tanganya menggenggam kunci mobil dengan erat seperti sedang menyalurkan emosinya.

“Kata siapa, hmm? Buat aku penting, banget.”

Mendengar ucapan Jinhyuk lagi-lagi Wooseok hanya bisa mendecih sebal. Bohong. Wooseok tidak percaya. Jinhyuk.. Jinhyuk hanya basa-basi. Jinhyuk sudah tidak mengharapkannya lagi.

Jinhyuk sudah memilih yang lain. Mereka cuma masa lalu.

Wooseok menyandarkan tubuhnya pada mobil, kepalanya mendadak seperti mau pecah memikirkan orang di depannya ini.

“Shin, kamu gapapa?” nada khawatir jelas tersirat dalam suara Jinhyuk. Tangannya dengan refleks melingkar di bahu sempit Wooseok, “Aku anterin pulang ya?”

“Gak usah. Aku bisa pulang sendiri.”

Wooseok dan kepala batunya yang tidak pernah berubah membuat Jinhyuk menghela napas dalam, masih sama.

Jinhyuk mengambil kunci mobil yang masih di pegang oleh Wooseok, sedikit memaksa saat yang punya mempertahankannya sambil mencoba berkelit, gerutuan langsung bisa Jinhyuk dengar keluar dari bibir mungil Wooseok, sungguh ia sangat rindu dengan segala omelan Wooseok, selalu terdengar lucu menurutnya.

“Aku anterin kamu pulang. Kamu diem, jangan banyak protes.”

Tangannya langsung menggandeng Wooseok, memutari mobil untuk menyuruhnya masuk ke kursi penumpang. Tegas, tanda tidak mau dibantah.

Namun, bukan Wooseok namanya kalau langsung menurut begitu saja, si kepala batu ini memberanikan diri menatap langsung wajah pemuda di depannya.

“Siapa kamu berani nyuruh-nyuruh aku diem? Kamu cuma mantan. Jangan melewati batas, Jinhyuk.”

Haruskah pertemuan pertama mereka setelah lima tahun berakhir seperti ini?

Tanpa senyuman, tanpa pelukan hangat, tanpa bertanya kabar terlebih dahulu, tanpa mengungkapkan kata-kata rindu yang telah menumpuk selama bertahun-tahun.

“Aku gak perduli. Aku bakal melewati batas, daripada kamu kenapa-kenapa di jalan..”

Jinhyuk membalas tatapannya dengan lembut, sedikit menunduk agar wajahnya sejajar dengan wajah Wooseok, kedua sudut bibirnya ditarik sedikit saat dia benar-benar bisa melihat dengan jelas setiap inchi dari paras Wooseok, rindu. Jinhyuk merindukannya, demi Tuhan.

“Aku mau jagain kamu lagi, kali ini gak akan pernah aku lepasin.”

[epilog 3]

Sesaat, Jinhyuk bisa merasakan bahwa waktu seperti berhenti berputar saat netranya bersitatap dengan mata sendu yang sedang menatapnya dibalik kaca mata bulat, teramat sangat familiar. Mata indah yang dulu sangat disukainya.

Jinhyuk tidak mungkin lupa.

Perasaannya tidak bisa berbohong, jantungnya menggila saat otaknya berhasil memproses apa yang sedang dilihatnya, nyata. Itu Kim Wooseok, mantan terindahnya.

“Jinhyuk? Kamu kenapa?”

Sebuah suara dan lambaian tangan di depan wajahnya membuat Jinhyuk mengerjap, kemudian ia mengalihkan tatapannya pada sosok di depannya yang sedang memasang raut wajah bingung.

“Gapapa, udah beres makannya? Mau langsung pulang?”

Yang ditanya mengangguk kecil, dia mencuri pandang dengan menengok ke belakang punggungnya, penasaran apa yang membuat Jinhyuk tertegun.

“Siapa? temen kamu?” tanyanya saat melihat seorang pemuda perawakan mungil yang sedang berbicara dengan pemilik cafe yang tadi dikenalkan oleh Jinhyuk.

Jinhyuk menghela napas pelan mendengar pertanyaannya, “Ya.” bisiknya.

“Kenapa gak disamperin? Temen kuliah dulu? Tuh udah mau pergi.”

Jinhyuk mengusap pahanya dengan kedua tangan, kakinya tidak bisa diam terus dimainkan, hati kecilnya berucap memohon saat Wooseok berdiri, jangan pergi, Shin.

Dia melihat sepupunya yang mengedikkan kepala, memberikan kode untuk menyusul Wooseok yang sudah berjalan pergi.

Dilema, haruskah ia menyusul Wooseok? atau tetap disini.

“Susul aja. Aku gapapa, Jinhyuk. Itu tadi... yang namanya Wooshin ya? mantan kamu?”

“Tapi Suj-”

“Mata kamu gak bisa bohong, Jinhyuk. Aku nanti tinggal bilang sama Papi, bawahanya gak cuma kamu yang ganteng. Tinggal minta dicariin pacar lagi.” ucapnya enteng.

Jinhyuk mendengus mendengarnya, tapi dia tersenyum kecil setelahnya, merasa bersalah pada anak kesayangan editor senior di tempatnya bekerja sekarang sekaligus temannya saat menempuh jenjang S2.

“Maaf ya, Sujeong.”

Sujeong mengangguk, “Buruan! Keburu pergi orangnya.” dia kemudian memekik kesal saat ujung kepalanya diusak oleh tangan lebar Jinhyuk sebelum benar-benar pergi meninggalkannya.

“Lee Jinhyuk bego. Sosoan mau nyoba pacaran, hatinya aja masih buat mantan! Untung gue pernah liat fotonya itu orang, jadi tau.”


Jinhyuk bisa melihat punggung Wooseok yang berjalan menuju parkiran, langkahnya masih sama seperti dulu, terlalu mudah disusul oleh Jinhyuk yang mempunyai kaki panjang.

Lima tahun berlalu, Jinhyuk tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya saat kembali melihat Wooseok. Dia tertawa pelan, masih tetap kiciw ternyata.

Tapi, sedang apa Wooseok disini? apa dia tahu bahwa Jinhyuk sedang berkujung ke cafe? apa sepupunya ada dibalik ini semua? yang paling membuatnya penasaran, sejak kapan Wooseok kembali ke kota ini?

“Wooshin..”

Suaranya pelan dan dalam, percayalah itu adalah suara yang mampu membuat Wooseok yang sedang kalut dengan perasaannya langsung membeku.

Suara Jinhyuk, ada Jinhyuk dibelakangnya.

Wooseok semakin erat mencengkram ujung bajunya, ia tidak siap bertemu Jinhyuk saat ini. Hatinya sedang berantakan. Dia mati-matian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.

Dia tidak akan berbalik, dia takut tidak akan bisa kembali. Dia takut akan selalu melihat ke arah Jinhyuk, sedangkan Jinhyuk melihat ke arah orang lain.

Wooseok tidak akan sanggup.

Saat sebuah tangan menahan lengannya yang akan mengeluarkan kunci mobil di saku, Wooseok langsung tahu.

Tangan Jinhyuk masih sehangat dulu.

“Jangan pergi lagi, Shin.”

[epilog 2]

Hatinya mencelos, pernah ngerasain terbang tapi langsung dijatuhin ke jurang? Wooseok sedang mengalaminya detik ini.

Tubuhnya bersandar pasrah pada kursi mobil yang baru saja ia parkir di samping cafe. Tangannya memegang erat ponsel yang menampilkan dua buah pesan yang baru saja ia baca. Telat, ia sudah sampai disini.

Jinhyuk sudah punya pacar?

Bodoh, Wooseok tertawa sinis disela sesaknya. Apa yang dia harapkan selama lima tahun ini? Jinhyuk yang masih mengingatnya? Jinhyuk yang masih menunggunya? atau Jinhyuk yang masih mempunyai perasaan seperti dulu? Jinhyuk yang mencintainya.

“Lo aja yang bego, shin.” gumamnya sambil menelungkupkan wajah diatas kemudi, bahkan beberapa kali mengetuk-ngetuk kepalanya sambil terus berguman pelan. Merutuki kebodohan, merutuki harapan yang dia ciptakan sendiri sejak tadi, ah bukan, sejak lima tahun lalu.

“Lima tahun itu lama, apapun bisa terjadi, shin.”

Sekarang, saat sudah disini. Apa yang harus ia lakukan? Turun lalu menyapa seperti teman lama?

“Hai Jinhyuk, kamu apa kabar? lama gak ketemu.”

Begitu? pura-pura baik-baik saja? pura-pura tidak ada yang mengganjal hatinya saat ini atau pura-pura tidak tahu tentang seseorang yang mungkin sedang duduk dengan Jinhyuk.

atau haruskah ia kembali menyalakan mobilnya-mobil airin-lalu berputar arah dan meninggalkan cafe, membuang satu-satunya kesempatan untuk melihat Lee Jinhyuk lagi, setelah selama ini ia merindukannya. Teramat sangat.

Dengan tanganya yang sedikit bergetar, Wooseok mengambil ponsel yang sejak tadi langsung dilempar begitu saja ke kursi samping, menekan angka satu, mendial nomor kakaknya.

“Teh Ai.” ucapnya langsung saat disebrang sana Airin bertanya ada apa. Wooseok memejamkan matanya, menggigit bibir saat Airin terus-terusan bertanya ada apa.

“Teh Ai, aku harus gimana?” bisiknya lirih dengan nada putus asa. Wooseok mendengus saat merasakan ujung matanya yang mulai menghangat, gak guna nangis waktu kayak gini. Percuma, shin!

“Kamu kenapa, dek? itu udah ketemu sama Jinhyuk?”

Wooseok menggelengkan kepalanya walaupun tahu kakaknya tidak mungkin melihat,

“Belum... aku gak sanggup teh. Takut.”

“Kamu nangis? kenapa? mau teteh susulin? shareloc tempatnya sekarang!”

“Enggak usah.”

Wooseok menghela napas panjang, berusaha mengatur suaranya agar Airin tidak khawatir di rumah. Kepalanya ditumpu lagi pada kemudi, ponselnya masih disamping telinga dengan suara Airin yang keukeuh menanyakan apa yang sebenernya terjadi.

“Jinhyuk...” Wooseok berkali-kali lipat merasa sesak saat akan mengatakannya,

”... Jinhyuk sama pacarnya.”


Semoga, Wooseok hanya bisa berharap keputusannya kali ini benar. Setelah berbicara dengan kakaknya, butuh hingga hampir sepuluh menit untuk Wooseok merenung. Memikirkan langkah apa yang harus dia ambil sekarang.

Hatinya mungkin akan tersayat perih saat nanti melihat Jinhyuk bersama yang lain, tapi jauh di dalam hati kecilnya ada yang terus meminta bertemu, sekali saja. Setelahnya biarkan nanti Wooseok menata hatinya yang hancur, sendirian.

Sebelum benar-benar keluar dari mobil, Wooseok memilih membalas pesan bang Junhoo,

“Gak usah minta maaf bang. Aku tetep datang, ini udah di parkiran.”

Biar bagaimana pun, peran sepupu Jinhyuk itu sangat berarti karena Wooseok tidak mungkin mendatangi langsung rumah Jinhyuk untuk bertanya mencari tahu kabarnya.

Butuh beberapa kali Wooseok menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan, hatinya terus berbicara mencoba menguatkan dirinya sendiri,

“Ayo shin, lo bisa. Jangan nangis. Cukup ketemu sebentar cuma buat ngobatin rindu. Habis itu langsung balik.” bibir mungilnya juga ikut bergumam. Kedua tanganya bertautan, karena gugup.

Tungkainya melangkah dengan penuh keraguan menuju depan cafe, sengaja Wooseok tidak melihat dahulu suasana di dalam melalui jendela kaca seperti waktu itu karena faktanya dia masih menyisakan banyak sekali ragu, haruskah?

Gak bisa, Wooseok berbalik lagi, kakinya mendadak lemas ditambah jantungnya yang masih berdenyut nyeri, padahal ia baru mendengar kabar belum melihatnya langsung. Apalagi saat nanti Jinhyuk ada didepannya dan mungenalkan pacar barunya, Wooseok tidak bisa menjamin ia akan kuat.

Lebih baik ia pulang. Mungkin seperti ini keputusan terbaik, Wooseok tidak akan melihat Jinhyuk lagi. Wooseok harus melupakan Jinhyuk, biar saja ia hanya akan mengingat wajah Jinhyuk lima tahun lalu.. ia lebih baik tidak tahu bagaimana paras Jinhyuk yang sekarang, ia tidak akan penasaran lagi apa Jinhyuk masih suka tersenyum lebar, apa Jinhyuk masih suka bertingkah jahil, apa Lee Jinhyuk berbeda setelah dewasa.

Suara denting dari lonceng diatas pintu cafe yang terbuka dan sebuah suara yang menyerukan namanya membuat Wooseok menghentikan langkah.

“Tunggu Wooshin, kamu beneran datang?”

Suara bang Junhoo.

Wooseok mau tidak mau berbalik dan tersenyum tipis, “Ya.” gumamnya.

Bohong kalau Junhoo tidak bisa melihat mata Wooseok yang memerah walaupun sudah terhalang oleh kacamata bulatnya.

“Kamu gapapa, kan?”

Pertanyaan retorik gak sih? mana mungkin Kim Wooseok sedang baik-baik saja. Tapi, yang dilakukan Wooseok hanya mengangguk samar. Pembohong.

“Jinhyuk ada di dalam.”

Wooseok meneguk ludahnya susah payah, jantungnya berdegup saat mendengar kalimat penjelas dari orang di depannya. Jantungnya tidak bisa berbohong, masih memberi respon yang sama pada satu nama. Namun, sayangnya kali ini degup tersebut dibarengi rasa sesak.

Melihat Wooseok yang hanya terdiam membuat Junhoo tidak tega, “Jangan kalau kamu gak sanggup.” ucapnya pelan dengan raut prihatin, biar bagaimana pun ia dulu menjadi saksi bagaimana kedua anak adam tersebut saling mencintai, berbagi tawa saat berkujung ke cafenya. Ia sangat tahu bagaimana sepupunya selalu memperlakukan Wooseok dengan penuh sayang.

Wooseok menunduk menatap ujung sepatunya, tanganya mengusap ujung matanya lagi. Kan, dia bahkan cuma diperingatkan tapi sudah begini. Jinhyuk nya saja belum nampak.

“Jinhyuk tau aku datang?” tanyanya pelan dan kemudian ia mengangguk saat melihat Junhoo menggelengkan kepalanya, “Pasti kaget lihat aku nanti..” dia menarik satu sudut bibirnya, “Niatnya aku yang mau bikin suprise, tapi malah aku yang disuprise-in duluan ya, bang.” lanjutnya dengan tawa kecil yang sangat penuh kepalsuan.

“Yaudah, ayo masuk.”

Junhoo mengangguk, membuka pintu cafe dan mempersilahkan Wooseok untuk masuk.

Wooseok merasa tepukan di bahunya lalu ia melihat arah yang ditunjuk oleh Junhoo, meja tempat Jinhyuk dan seseorang yang kebetulan duduk membelakanginya. Ia dengan jelas melihat sosok Lee Jinhyuk versi dewasa, tampak sedang tertawa... dengan pacarnya.

Detik ini, Wooseok sadar kalau keputusannya untuk melihat Jinhyuk adalah sebuah kesalahan. Dia berbalik menatap Junhoo dan menggelengkan kepalanya dengan putus asa,

“Aku gak bisa. Aku mau pulang.”

Ia tidak sanggup, hatinya berdenyut semakin nyeri saat melihat secara langsung.

“Harusnya aku gak lihat sekalian.” gumamnya lirih.

Jinhyuk sudah menemukan alasannya bahagia dan itu bukan dirinya lagi.

Wooseok tidak baik-baik saja dengan fakta tersebut.

[epilog au eskalator]

Langkahnya tampak memilih dengan sangat hati-hati, sesekali ia melebarkanya untuk menghindari kubangan air yang tampak terlihat di bebera titik, lalu dengusannya tak bisa ditahan, lolos begitu saja dari bibir mungilnya saat tidak sengaja sepatu putihnya terkena cipratan air, kotor, dia tidak suka.

“Baru gue pake, kenapa harus turun hujan sih?” gerutunya sambil berdecak sebal.

Namun, senyumnya tampak terbit saat netranya melihat bangunan di sebrang jalan. Masih ada, cafenya masih sama hanya saja terlihat berbeda di beberapa sisi setelah lima tahun, dulu kacanya tidak selebar itu. Dulu tulisannya tampak diatas pintu, sekarang tercetak jelas di jendela kaca, rendezvous cafe.

Ketika lampu jalan menampilkan warna merah dan menghentikan laju kendaraan. Langkahnya ikut berbaur dengan beberapa pejalan kaki lainnya untuk menyebrangi jalan.

Angin berhembus cukup kencang, menguarkan khas bau tanah setelah hujan. Membuatnya sedikit bergidik karena udara dingin yang menerpa dan secara refleks langsung merapatkan jaket kebesarannya.

Langkahnya berhenti, berdiri cukup lama di depan cafe, dari luar melalui jendela kaca, dia bisa melihat langsung suasana di dalam, tidak terlalu ramai. Hanya beberapa kursi yang tampak terisi.

Kakinya mendadak meragu, dia mengetuk-ngetuk ujung sepatunya, kepalanya menengok ke dalam melalui jendela beberapa kali dan jantungnya mendadak berdegup. Kuku jarinya juga digigit beberapa kali, tanda gugup.

Saat suara lonceng dari pintu berdenting dan membuat seseorang berpakaian sebagai pegawai keluar, dia terlonjak kaget.

“Mas gapapa? Mau masuk atau..?” ucapan si pegawai menggantung diujung kalimat sambil menatapnya bingung, menunggu respon. Yang ditanya buru-buru mengangguk, “..iya ini mau masuk kok.” jawabnya.

“Uhm.. Bang Junhoo nya ada? yang punya cafe maksud saya.”

“Oh, ada. Masuk aja nanti saya panggilkan.”

Tungkainya melangkah mengikuti arahan si pegawai yang membawanya masuk melewati beberapa meja, hingga kemudian berhenti di meja yang berada tepat di depan kasir,

“Tunggu disini ya, Mas. Saya panggil bos dulu.” begitulah ucapan si pegawai yang langsung meninggalkannya menuju lantai dua.

Pandangannya mengedar ke sekitar, walaupun dari luar tampak berbeda ternyata suasana di dalam masih sama. Bau manis khas kue dan kopi langsung bisa tercium, bau yang tampak familiar. Juga, memorinya langsung terputar bagai potongan film, ia menatap meja paling ujung tepat di depan dinding yang sedang diisi oleh tiga orang anak sekolah.

Sudut bibirnya melengkung tipis dengan helaan napas yang tiba-tiba sesak, rindu. Tempat favoritnya lima tahun lalu saat ia kalau berkunjung ke tempat ini... dengan Jinhyuk.

“Wooshin?”

Sebuah panggilan yang menyerukan namanya langsung membuyarkan lamunan, memutus bayangan Jinhyuk yang diam-diam mencoba mengambil sebuah cookies di piringnya lalu akan tertawa saat tingkah jahilnya ketahuan oleh Wooseok yang sibuk membaca buku.

Wooseok mengulas senyum tipis menatap Bang Junhoo, si pemilik cafe sekaligus sepupu Jinhyuk.

***

Wooseok menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk, masih terpaku untuk sesaat sebelum kembali mengulang kalimat yang baru saja ia baca. Ponselnya menampilkan sebuah pesan dari Bang Junhoo, orang yang ditemuinya tiga hari lalu,

“Ada Jinhyuk di cafe”

Setelah bersiap, Wooseok menuruni tangga dengan terburu-buru membuat kakaknya, Airin mengerutkan kening bingung, “Mau kemana, dek?” tanyanya.

“Teh Ai, pinjem kunci mobil, aku mau keluar sebentar.”

Wooseok langsung menyambar kunci mobil Airin yang disimpan diatas meja dekat tv, dia memeluk Airin erat-erat sebelum keluar rumah, “Kamu mau kemana?” tanya kakaknya yang masih penasaran dengan tingkah adiknya barusan.

Wooseok menatap Airin yang mengikuti langkahnya keluar rumah dan bersandar di depan pintu, masih menatapnya heran bercampur penasaran.

Dengan mengulas senyum lebar sebelum masuk ke dalam mobil, Wooseok menjawab,

“Mau ketemu mantan, teh.”

Selama menyetir, Wooseok terus mengulas lengkung indah di bibirnya sambil sesekali mengikuti lirik lagu yang diputar dari radio mobil Airin. Tangannya juga beberapa kali mengikuti irama dengan mengetuk-ngetukan jarinya pada kemudi.

Pikiran dan fisiknya selaras, sama-sama sudah tidak sabar untuk sampai di cafe tempat Jinhyuk berada saat ini.

Akhirnya, akhirnya setelah memutuskan hubungan setelah lima tahun, Wooseok akan melihat sosok Lee Jinhyuk lagi, seseorang yang pernah menjadi mataharinya. Seseorang yang mengajarkan arti kehilangan, namun faktanya Wooseok tidak pernah benar-benar menghilangkan Jinhyuk dari pikirannya.

Lima tahun memang waktu yang cukup lama, dia tidak pernah mendengar kabar Jinhyuk. Teman-teman Jinhyuk pun seakan mengerti, tidak lagi ada yang selalu merecokinya. Setelah lulus, semuanya seperti menghilang.

Wooseok memilih tinggal kembali dengan orangtuanya di luar kota, walaupun keputusannya sempat mendapatkan protesan dari kakaknya yang tidak mau ditinggalkan. Sedangkan kata bang Junhoo, Jinhyuk melanjutkan S2 dan bekerja di bagian kota lainnya dan baru beberapa bulan ini kembali setelah akhirnya mendapatkan pekerjaan disini karena permintaan Ibunya.

Ingatan Wooseok kembali terputar, Jinhyuk bilang ia mempunyai cita-cita masa kecil yaitu menjadi ilmuan. Wooseok terkekeh saat itu, mempertanyakan kenapa ia malah menjadi mahasiswa ilmu komunikasi alih-alih mahasiswa science. Yang ditanya hanya cengengesan sambil menjawab, “Bakatku ternyata bacot, bukan ngelab.”

Rupanya, Wooseok terlalu asik dengan pikirannya, tentang kenangan masa lalunya. Tentang imajinasi bagaimana rupa Jinhyuk sekarang setelah lima tahun mereka tidak bertemu, apa semakin tampan? apa senyumnya masih selebar dulu? apa tingkahnya masih suka jahil?

Juga tentang kemungkinan hubungan mereka di masa sekarang... bisakah mereka mengulang dari awal? apa Jinhyuk masih mengingatnya sebagaimana Wooseok yang tidak pernah bisa melupakan Jinhyuk selama ini.

Saat ponselnya bergetar menandakan sebuah pesan masuk, Wooseok tidak menyadarinya sama sekali. Pesan dari bang Junhoo,

“Maaf, Wooshin. Sepertinya Jinhyuk janjian dengan pacarnya.”

Satu pesan kembali masuk,

“Waktu itu saya gak bilang, soalnya takut kamu kecewa. Tapi, saya lebih takut kalau kamu lihat langsung sekarang.

Kamu mau tetap datang?”

au eskalator

Jinhyuk menghela napas panjang saat melihat pesannya hanya dibaca oleh Wooseok, ponselnya di letakan begitu saja di atas meja dengan layar yang masih menunjukkan chatroomnya. Tangan kanannya memijit keningnya, tampak pusing. Sesulit itu untuk mengerti apa mau Wooseok sebenarnya.

Tingkahnya menarik perhatian Airin yang memang masih duduk di ruang tamu bersamanya. Yang juga melakukan hal sama, telah mengirim pesan pada Wooseok, adiknya yang sangat-sangat keras kepala.

“Gak dibales, teh.”

Jinhyuk berucap pelan, netranya beberapa kali melirik ke arah tangga, menunggu presensi Wooseok yang tak kunjung nampak.

Airin atau yang biasa dipanggil Teteh itu menatap Jinhyuk prihatin, “Jinhyuk, teteh mau nanya. Pas ushin insomnia waktu itu, kalian ada telponan gak?” tanyanya.

Jinhyuk mengalihkan tatapannya pada Airin sambil membuat raut wajah bingung, “Enggak, memangnya kenapa, teh?” boro-boro telponan, panggilannya saja langsung direject oleh adiknya.

“Oh, kirain. Pas bangun tidur matanya sembab banget. Teteh tanya katanya baru tidur jam 4an gitu. Padahal jelas banget itu habis nangis.” Airin sedikit menerawang mencoba mengingatnya, “Oh iya, belum lagi ngeluh pusing, akhirnya pas berangkat ke kampus dianterin karena gak kuat kalau nyetir sendiri, teteh juga gak bakal ngasih izin takut ada apa-apa.”

Jinhyuk menelan ludahnya kasar saat mendengar cerita Airin, mereka memang tidak telponan, tapi malam itu kan pas mereka kembali membahas-pertikaian-masa lalu.

Benar, itu saat Wooseok menangis, saat Jinhyuk juga kalang kabut mengingat hubungan setelah satu bulan akhirnya kembali bercakap langsung hancur lagi dalam semalam, juga saat akhirnya Jinhyuk memutuskan untuk tidak lagi mengaharapkan hubungan yang tidak perlu dipertahankan, semuanya memang harus selesai.

Antara dia dan Wooseok

Airin tersenyum tipis sambil menatap Jinhyuk yang masih terdiam, “Teteh sebenarnya sudah percaya sama kamu buat jagain Ushin. Kamu bisa tahan setahun lebih sama dia, hebat banget. Apalagi jaman kamu masih pdkt dan gak ditanggapi. Tapi, memang kayaknya gak bisa lagi ya? Teteh tau ushin masih sayang sama kamu, hyuk dan teteh juga bisa tau kamu juga masih sama. Tapi, kadang semuanya gak sesuai sama apa yang kita mau.” Airin tampak menjeda sebelum kembali melanjutakan ucapannya, “Ushin terlalu keras kepala anaknya, kamu gak bisa maksa. Biar dia sadar sendiri, nanti juga nyesel.”

“Bohong kalau saya bilang udah gak sayang atau udah gak cinta sama ushin. Tapi, dengan keadaan kita yang kayak gini, saya juga ragu, teh. Belum lagi kasian ushin, dia belum bisa lepas dari kecewa sama saya dan jujur saya juga.”

Jinhyuk menyandarkan punggungnya pada kursi, lelahnya tampak nyata bukan hanya di pikirannya saja. Masalah yang sudah menyangkut hati, perasaan dan kepercayaan memang tidak bisa dianggap remeh begitu saja.

“Ushin bakal terus melabeli saya selingkuh dan saya yang akan terus berpikir tidak nyaman karena merasa dituduh pada apa yang saya gak lakukan sama sekali. Makanya tujuan saya kesini buat ngelurusin semuanya, teh.”

Airin mengangguk paham mendengar penjelasan Jinhyuk, sedikit banyak dia tahu ceritanya dari Ushin tentu saja, namun dari sisi Jinhyuk dia juga sudah mendengar, semuanya hanya salah paham. Kenapa mereka sangat sulit menyelesaikannya? yang paling tidak habis pikir tentu saja dengan tingah adiknya. Wooseok lebih milih menutup mata dan menulikan telinga, tapi malah membiarkan hatinya tersakiti oleh pikiran dan tingkahnya sendiri.

Airin tidak mau ikut campur terlalu jauh, mereka sama-sama sudah dewasa yang malah bertingkah kekanakan, biarkan saja. Ia menatap Jinhyuk lurus-lurus lalu mengedikkan dagunya ke arah tangga,

“Mau teteh yang maksa dia turun, atau kamu yang ke atas? Selesain cepet, jangan lama-lama ngambang kayak gini. Perjelas, mau balikan atau pisah.”

Jinhyuk tersenyum masam mendengarnya, tapi dia langsung berdiri sambil menggelengkan kepalanya membalas tatapan Airin, “Maaf teh, saya rasa berpisah yang terbaik. Kalau gitu saya izin ke atas, ya. Gak lama kok.” katanya lirih.

Jinhyuk menyambar ponselnya yang tadi diletakkan di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Dia juga mengambil sebuah paperbag yang daritadi tergeletak di atas kursi.

Mengangguk sebentar pada Airin sebelum benar-benar melangkahkan tungkainya masuk semakin dalam ke kediaman kakak beradik itu.

Langkah kakinya masih mengingat jelas dimana harus berhenti setelah memasuki lantai 2, setahun terakhir rumah ini banyak sekali menyimpan kenangan yang masih bisa terputar jelas diingatan Jinhyuk.

Karena kalau boleh jujur kebanyakan mereka menghabiskan waktu di rumah Wooseok, sekedar menonton film, bermain games, mengerjakan tugas atau makan bersama. Semua karena Wooseok yang kesepian hanya tinggal berdua dengan kakaknya, orang tuanya tinggal di kota yang berbeda.

Wooseok juga tidak terlalu suka menghabiskan waktu di cafe yang ramai, paling hanya sesekali kalau sedang jenuh, mereka punya cafe langganan tempat dessert favorit Wooseok dan Jinhyuk tidak pernah merasa keberatan sama sekali, bersama Wooseok tidak ada waktu yang merasa ia buang sia-sia.

Langkahnya berhenti tepat di depan pintu berwarna coklat kayu dengan foto Wooseok saat kecil yang tergantung di depannya, katanya dulu itu sengaja dipasang saat dia smp dan tidak ada niatan untuk dilepas lagi hingga sekarang. Jinhyuk mengulas senyum tipis melihatnya, tangannya mengusap foto itu dengan perlahan, teramat sangat hati-hati walaupun tentu saja tidak akan rusak karena telah dipasang bingkai. Untuk terakhir kalinya Jinhyuk bisa melihat Wooseok kecil dengan pipi tembam yang sedang tersenyum dan tampak sangat menggemaskan itu.

Jinhyuk mengetuk pintu dua kali hingga terdengar suara sahutan Wooseok yang menyuruhnya masuk, tentu saja dia mengira kalau itu adalah ketukan dari kakaknya.

Jinhyuk menghembuskan napasnya perlahan, sebelum benar-benar membuka pintu didepannya. Presensinya membuat Wooseok memekik kaget, tentu saja dia tidak akan menyangka kalau Jinhyuk sampai masuk ke kamarnya. Bahkan mungkin dia kira Jinhyuk sudah pulang setelah pesannya 10menit lalu tidak ia balas.

“Jinhyuk, ngapain lo?”

Wooseok langsung bangun dari kasurnya, langkahnya berderap hingga membuatnya berdiri di depan Jinhyuk yang menjulang, lalu dengan cepat melewatinya untuk membuka pintu, “Gue gak mau ketemu sama lo. Keluar.” katanya sambil menarik tangan Jinhyuk, sayang usahanya sia-sia.

Jinhyuk masih tidak beranjak, ia malah melipat tangannya di dada, “Gak, gue gak akan pergi sebelum ngomong.” katanya sambil menatap serius langsung ke dalam mata Wooseok. Membuat Wooseok mendengus dengan tatapan kesalnya.

Tangan Jinhyuk dengan cepat menutup pintu lalu menarik Wooseok agar duduk di tepi tempat tidur. “Diem, gausah banyak protes. Gue udah capek.” ucapnya tegas sambil menggeser kursi dari meja belajar untuknya sendiri duduk tepat di depan Wooseok. Ia meletakan paperbagnya begitu saja diatas meja belajar Wooseok tanpa berkata apapun.

Hening tepatnya suasa sangat canggung, bagaimana pun ini pertama kalinya mereka berduaan setelah putus. Kalau bertemu saja tentu pernah saat Jinhyuk beberapa kali mendatanginya di fakultas setelah putus, tapi selalu saja Wooseok bisa menghindar.

Waktu Jinhyuk datang langsung ke rumah sama saja, selalu katanya tidak ada. Tentu saja apa yang dikatakan maidnya hanya akal-akalan dari Wooseok yang tidak ingin bertemu. Hingga akhirnya, Jinhyuk lelah sendiri dan tanpa terasa sudah sebulan setelah kejadian (di)putus(kan)nya.

Jinhyuk menatap Wooseok, netranya menilik setiap inchi paras Wooseok yang sangat ia rindukan. Tidak ada yang berubah sedikit pun, Wooseok masih sama seperti setahun yang lalu bahkan sebulan lalu, oh ada satu yang diam-diam menyesakan hatinya, Wooseok di depannya bukan Wooseok nya lagi, bukan miliknya lagi. Jinhyuk hanya bisa tersenyum miris mendengar bisikan hatinya.

Sedangkan Wooseok memilih menatap ke sembarang arah, menghindar dari Lee Jinhyuk adalah keahlian barunya.

“Mau ngomong apa sih? cepetan. Biar cepet keluar lo dari kamar gue.”

Nada ketus Wooseok mengingatkan Jinhyuk pada perkenalan mereka dulu.

“Gue mau meluruskan semuanya, shin. Tentang gue yang keliatan gak ada beban di mata lo. Tentang lo yang gabisa bebas masih terjebak dalam pikiran lo, tentang gue yang gak PERNAH selingkuh, tentang semua kesalah pahaman, dan tentang hubungan kita kedepannya.”

Wooseok akhirnya membalas tatapan Jinhyuk, tampak berani walaupun jauh di dalam hatinya merasa gelisah. Tangannya meremas kedua sisi bajunya.

“Lo gak perlu ngomong, gapapa. Biar gue aja, lo cukup dengerin.”

“Harusnya masalah kita kelar sebulan lalu, harusnya gue gak capek buat ngejar lo buat ngejelasin semuanya. Harusnya lo gak usah ngehindar dan mertahanin ego lo. Siapa yang akhirnya sakit? Kita berdua, shin. Bukan cuma lo doang. Gue juga.” Jinhyuk, melembutkan tatapannya, “Gue gak baik-baik aja, shin. Sama kayak lo. Gue capek, gue frutasi, gue mencoba biasa aja depan temen-temen gue tapi gue juga gak pernah lupa, ushin. Gue gak pernah lupain lo.”

Jinhyuk mengacak rambutnya, emosinya selama sebulan yang dia pendam mulai merangkak mengambil alih, salahin Wooseok, kalau bukan karena dia yang batu, kalian gak bakal selesai gitu aja, setan di kepalanya terus berbisik demikian.

Jinhyuk mengambil napas panjang, mencoba tenang, dia memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menatap Wooseok, tangannya memegang kedua bahu Wooseok dengan sedikit meremasnya, “Lupain. Hilangin di pikiran lo kalau gue selingkuh. Gue gak pernah sama sekali kayak gitu. Yang lo liat cuma sebagian dari kejadiannya.” katanya lirih, “Percaya sama gue, shin. Lo cuma nyiksa diri lo sendiri.”

Wooseok semakin meremas bajunya, napasnya memburu selaras dengan matanya yang mulai memburam, sialan. Kepalanya menggeleng pelan mendengar ucapan Jinhyuk.

“Gue liat, Jinhyuk...” suaranya bergetar tercekat di tenggorokan, “...gue liat lo sama mantan lo.” tepat, satu bulir air mata dari sudut matanya dengan kurang ajar mulai turun seolah memberi jalan untuk yang sudah susah payah dia tahan.

Tatapannya Wooseok sangat terluka saat mengucapkanya, membuat Jinhyuk mengalihkan tatapannya tidak ingin melihat, karena sumpah demi apapun hatinya langsung berdenyut nyeri. Belum pernah sekalipun Jinhyuk melihat tatapan seperti itu sejak dia mengenal Wooseok.

“Ushin, gue gak ngapa-ngapain. Gue gak sengaja ketemu sama dia. Kita cuma masa lalu.”

Wooseok menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakan, tangannya sudah tidak meremas bajunya, dia malah menepuk-nepuk dadanya mencoba menghentikan tangis yang siap lolos. Sesak, sungguh.

Wooseok mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan, “Jinhyuk.. mau dilihat sama orang lain pun. Pasti mereka setuju sama aku...” suara Wooseok kembali tertahan di tenggorokan, tangisnya langsung terdengar sangat pilu di telinga Jinhyuk, “..kamu keluar sama dia.. dari bar.” lanjutnya disusul dengan isakan menyedihkan.

“Aku liat, Jinhyuk. Aku liat pake mata aku sendiri.” Wooseok masih mencoba bicara walaupun dengan susah payah, keduanya tangannya memegang lengan Jinhyuk sedikit meremasnya mencoba menyalurkan sesak, “..Aku liat, Jinhyuk..” tatapannya, sorot kecewanya yang mencoba mengadu pada Jinhyuk membuat Jinhyuk menahan napas. Kenapa Wooseok tampak sangat terluka seperti ini.

Jinhyuk mengusap wajahnya, “Gue kesana sama temen gue, shin. Bukan buat selingkuh sama dia.” jelasnya kembali, merasa frustasi harus bagaimana lagi menjelaskannya.

“Kita terjebak di salah paham, shin.”

Wooseok masih menangis, belum mau mengangkat wajahnya, sesungguhnya jauh di dalam hatinya dia-mau-percaya dengan ucapan Jinhyuk, namun di pikirannya kembali berkata kalau Jinhyuk memang berselingkuh berdasarkan penglihatannya sendiri. Dan ya, pikirannya menang.

Jinhyuk mengulurkan tangannya untuk mengusap bahu Wooseok dengan lembut, “Jangan nangis, please. Ushin, lo tau gue gabisa liat lo nangis kayak gini. Hati gue ikutan sakit, shin.” Jinhyuk mencoba menarik tangan Wooseok yang menutupi wajahnya, namun langsung ditolak.

“Kita sama-sama lepasin bebannya, shin. Biar bisa ngelangkah lagi.” Jinhyuk berkata dengan lembut, “Biar bisa ngelangkah masing-masing.” lanjutnya lirih.

“Kamu harus bisa, shin. Ceria lagi, bebas lagi ngelakuin apa pun tanpa harus ngerasa terjebak masa lalu. Cari orang yang lebih ngertiin kamu, mungkin aku bukan orangnya.”

“Kita udah gabisa bareng lagi.” Jinhyuk merasakan tenggorokannya mulai tercekat, “kita cari bahagia masing-masing, ya? sebelumnya kamu harus damai dulu sama masa lalu. Buang jauh-jauh kalau kamu ngerasa aku sakitin dengan cara diselingkuhin. Karena faktanya gak gitu. Kamu gak pantes disakitin kamu gak pantes di sia-siain.”

Jinhyuk membawa Wooseok ke pelukannya, menghirup wangi harum Wooseok yang menjadi favoritnya, untuk yang terakhir.

“Aku lepasin kamu hari ini. Aku gabisa bertahan sendirian, shin. Aku gabisa kalau kamunya gak mau. Aku gak bisa maksa.”

Jinhyuk mencium puncak kepala Wooseok, untuk yang terakhir. Ujung matanya sudah terasa panas dan air matanya ikut turun. “Maaf kalau kamu jadi kayak gini gara-gara kenal aku.” bisiknya lirih.

Jinhyuk melepaskan pelukannya, menatap Wooseok sedekat ini, untuk yang terakhir. Dia mengulas senyum pedih.

“Aku gak pernah bohong pas bilang kamu mantan terindah aku, cuma wooshin.”

Tangannya mengusap air mata Wooseok yang belum nampak berhenti justru malah semakin deras, Jinhyuk-mencoba-tertawa diantara sesaknya, “Udah dong jangan nangis, aku jadi ikutan kan.” katanya kemudian mengusap ujung matanya sendiri.

Dua-duanya tampak menyedihkan, sungguh. Jinhyuk ingin bertahan, namun dia tahu Wooseok kecewa, pun begitu sebaliknya Wooseok ingin bertahan, namun dia ragu dengan Jinhyuk.

Wooseok menggelengkan kepalanya, isakannya belum hilang semua, netranya menatap jauh ke dalam mata Jinhyuk, susah payah dengan tercekat dia mencoba bebicara.

“Kamu balikin si Bruni? kamu bahkan gak mau nerima hadiah dari aku?”

Jinhyuk terkekeh walau terdengar sumbang, sempat-sempatnya bertanya hal itu, “Aku gak mau, karena kamu nyuruh Yohan buang itu. Artinya itu udah bukan buat aku. Jadi, aku balikin ke kamu.” jawabnya.

Wooseok terdiam sesaat, isakan-isakan kecil masih keluar dari bilah bibirnya, hidungnya sudah memerah dan air matanya yang belum berhenti masih di usap oleh tangan Jinhyuk.

“Aku udah tau bakal kayak gini, tapi kenapa rasanya sakit banget, Jinhyuk?” Wooseok bertanya dengan pelan, semakin sesak saat melihat air mata Jinhyuk yang kembali terlihat di sudut matanya, Wooseok belum pernah melihat Jinhyuk menangis dan tidak pernah sekalipun dia membayangkannya, terlebih pribadi Jinhyuk yang sehari-harinya selalu ceria. Menjadi mataharinya.

“Apa aku gak pantes buat kamu ya, hyuk? Aku terlalu egois ya? Kamu capek sama aku, aku gak cukup buat jadi alasan kamu bertahan, aku.. gimana kalau aku gabisa lupain kamu?”